Sepanjang jalan aku terus menghubungi Om Jatmiko. Laki-laki itu mengirim beberapa data tentang orang yang menyebarkan berita bohong terkait perusahaanku.
Mahesa Adiwarna
Tiga puluh dua tahun, bekerja di sebuah perusahaan media masa terkenal di Jakarta. Dan bertindak sebagai tim editor. Sedang membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan anaknya yang menderita gagal jantung.Aku tersenyum sinis membaca biodata laki-laki ini.
Setelah beberapa jam berkendara, aku tiba di kawasan Jakarta Timur. Mobil melaju memasuki sebuah perumahan. Rumah yang kucari ternyata terlerak agak jauh dari rumah-rumah yang lain.
Kulihat Om Jatmiko sudah menunggu dengan beberapa orang suruhannya. Dia membungkuk hormat menyambut kedatanganku.
“Di mana orang itu?” tanyaku pada Om Jatmiko.
“Ada di dalam, mari.” setelah itu, Om Jatmiko mengajak masuk.
Berita yang baru saja dikabarkan Dimas membuatku tak bisa berpikir waras. Sialnya di jam-jam begini jalanan Jakarta akan mengalami macet. Aku mengumpat dan memukul setir mobil merasa benar-benar frustasi.Aku hanya ingin cepat sampai ke rumah sakit dan melihat keadaan Kayla. Di tengah rasa frustasi, aku melihat seorang laki-laki memarkirkan motor ninja di depan restorant. Buru-buru kubelokkan mobil ke arahnya dan menghampiri laki-laki itu.“Mas, boleh saya minta tolong." Melihat laki-laki di depanku terlihat bingung, aku memutuskan mengatur napas lebih dulu agar bisa menjelaskan maksud pertanyaan barusan.“tolong ... pinjami saya motor. Saya harus cepat-cepat bertemu istri saya. Dia baru saja mengalami kecelakaan,”“jika Mas merasa tak percaya. Ini kartu nama saya, ini mobil saya, akan saya jadikan jaminan. Asal Mas mau meminjamkan motor ini.”Laki-la
Aku mencintaimu karena Allah. Sebab dari awal aku mau memutuskan menikah juga bukan karena harta. Tapi karena aku tulus ingin menggapai sakinah bersamamu************Setelah obrolan dengan Dimasselesai, aku memutuskan kembali ke ruangan Kayla. Saat aku masuk sudah ada Abi di sana. Sementara Kayla sudah terlihat lebih baik.“Abi di sini?”“Kamu kenapa pergi begitu saja tanpa memberi tahu Abi, kalau Kayla kecelakaan?”Abi berkata dengan nada kesal.“Maaf, Bi, Adit tadi terlalu panik. Mendengar kabar tentang Kayla, hingga tak memikirkan hal lain.”“Ya sudah, Abi dan Umi pulang dulu. Jovan biar umi yang jaga. Kamu jangan lupa kabari mertuamu tentang Kayla,” ujar Umi mengingatkan. Yang hanya kujawab dengan anggukan.“Terima kasih
Kupijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Masalah yang terjadi sekarang ini benar-benar telah menguras energi dan pikiran. Bagaimana tidak? Satu masalah belum selesai muncul lagi masalah baru. Aku bisa terima jika niat Om Danu hanya ingin menghancurkan perusahaan. Tapi masalahnya si keparat itu juga mulai mengancam nyawa Kayla.Aku tak akan pernah memaafkannya jika sampai dia melukai Kayla lebih dari ini. Mau tak mau aku benar-benar harus menyetujui usul Dimas tentang Kayla, demi keamanannya. Setelah obrolan kami tadi, laki-laki itu memutuskan lebih dulu bergegas menuju ke rumah sakit dan membawa barang-barang istriku.Sementara ada hal yang harus kukerjakan terlebih dulu di rumah. Om Jatmiko memberi tahu, ada beberapa kasus kecurangan yang terjadi di daerah pertambangan. Kepalaku benar-bear ingin pecah mendengar kabar itu. Aku teringat pembicaraan dengan Dimas setengah jam yang lalu."Aku pikir keadaan di sini memang s
Sudah dua hari semenjak aku di rawat. Rasanya sangat membosankan berada di sini dan hanya berbaring seperti orang penyakitan. Sementara keadaanku bahkan sehat wal afiat.Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Adit yang semakin aneh setiap harinya. Belum lagi masalah Dimas yang tiba-tiba selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Terlebih setelah pembicaraan kami kemarin. Semakin menambah kecurigaanku mengenai hal yang sedang di sembunyikan Mas Adit. Ingatanku berputar pada kejadian kemarin."Mas ingin kamu tinggal di pesantren Ustaz Fredrik setelah keluar dari sini. Mas akan membicarakan ini dengan Adiba dan ayahnya besok." Aku terdiam dan menatap Mas Adit bingung. Apa maksudnya dia bicara seperti itu?"Pesantern Ustaz Fredrik? Berarti rumah Kak Adiba?" tanyaku memastikan. Barangkali yang dimaksud orang lain. Mas Adit hanya menjawab pertanyaan tadi dengan anggukan kecil. Sambil memainkan rambutku dan sesekali merapikannya.
Mobil yang ku naikin bersama Kak Adiba melaju meninggalkan rumah sakit. Aku terus melafalkan istighfar melihat betapa macetnya Jakarta siang ini. Tak ada celah untuk mobil bergerak sedikit saja, sementara waktu yang kumiliki tak banyak. Mengingat Mas Adit mungkin saja sedang kesusahan menangani para pendemo itu. "Astaghfirallah, ayo lah, Kak! Apa kita nggak bisa menyalip?" Seruku frustrasi. "Sabar, Kay. Kamu kan lihat mobil di depan nggak bergerak dari tadi," jawab Adiba sambil membunyikan klakson, "Kamu yang tenang. Sebentar lagi kita sampai kok," sambungnya, berusaha membuat aku tak panik. Aku menghembuskan napas lelah mendengar ucapan itu. Ini sudah dua jam semenjak kami pergi dari rumah sakit. Perjuanganku mengecoh Dimas dan para anak buahnya juga lumayan sulit. Kenapa mesti terjebak di sini juga. Aku teringat kejadian di rumah sakit tadi. Setelah Dimas Pergi, aku meminta bantuan
Setelah terjadi kegaduhan di kantor akibat kedatanganku, aku gegas menemui mereka di depan gerbang untuk melakukan wawancara dengan beberapa wartawan. Kami memutuskan mengadakan konfrensi pers hari ini juga guna meredam opini publik yang terlanjur keliru.Aku menarik napas dalam, mengamati beberapa orang di depan sana. Ada perwakilan dari keluarga korban, dan perwakilan dari masyarakat sekitar daerah pertambangan.Negosiasi dengan mereka berjalan alot, karena ada beberapa orang yang terus saja memprofokasi. Mas Adit duduk di sebelah kananku, sementara Abi di sebelah kiri. Ada Om Jatmiko, Dimas, pengacara keluarga, dan beberapa petinggi perusahaan, beserta wartawan yang sengaja kami izinkan masuk.Pertemuan di adakan di lounge atau gathering yang cukup luas. Dengan sebuah jendela besar terdapat di samping kiri. Mungkin jika ke adaanya tak seperti sekarang, aku akan berdecak kagum menikmati pemanda
Aku terbangun dari tidur saat jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Kami sampai di resort ini sekitar tengah malam. Karena terlebih dulu berjalan-jalan di Bali. Kulirik Kayla yang masih terlelap di sampingku dengan selimut yang membalut tubuhnya.Dia pasti sangat lelah hingga tidur sepulas itu. Aku memutuskan tak membangunkan dia. Setelah mengecup keningnya, aku beranjak ke kamar mandi dan mengambil wudu. SSetelahselesai salat malam dan salat subuh, aku keluar untuk menanti matahari terbit. Resort ini termasuk jaringan bisnis keluarga Kaffi.Denganlanskaptropis yang tenang di sekelilingnya. Sebenarnya penginapan ini lebih bisa disebutcamp, karena menawarkan pondok-pondok pantai dengan balkon pribadi yang menyuguhkan pemandangan laut. Berkonsepback to natur, dengan suasana pedesaan khas Lombok. Akomodasiini berjarak tiga kilo meter dari Tanjung Ringgit. Layanan antar-jemput bandara satu ara
Seorang pria paruh baya terlihat duduk di kursi kebesaran, sembari menyilangkan kaki dia menyunggingkan senyum sinis. Sementara tangan kanannya memegang cerutu, sesekali menghisapnya. Tatatapan dingin yang dia arahkan semakin membuat anak buah di depannya terlihat takut.Pria itu bangkit, menghampiri si anak buah, kemudian mengepulkan asap dari cerutu yang dihisap. Wajah tanpa ekspresi itu justru membuat laki-laki di depannya memasang sikap waspada.Dan benar saja, Dia melayangkan bogem mentah pada perut sang anak buah setelahnya. Belum puas sampai di sana, bahkan setelah melihat orang di depan tersungkur, dia kembali menendangnya, hingga terdengar suara rintih kesakitan."Dasar bodoh! Hanya kuperintah membereskan seorang saja kalian tak becus!" hardik pria itu."Ma-maafkan saya, Bos. Saya tidak tahu jika para polisi yang berjaga itu telah mengintai kami.""Apa gunanya kalian kubayar. Jika