Riana berucap dalam hatinya. Ia akan pergi dari hidup Fandy karena sudah tidak tahan dengan ini semua. Lari dari keluarga Pramudia dan mungkin akan hidup sendiri lagi seperti garis hidupnya yang dibuang oleh orang tuanya yang hingga kini tidak tahu alasannya kenapa.Fandy menganggukkan kepalanya seraya menatap kecewa wajah Riana. “Oke, fine! Kalau itu mau kamu, aku akan menemui Citra dan membawanya pada orang tuaku. Mereka pun tahu kalau kamu tidak mau membuka hati untuk aku. Selama ini aku sudah berusaha dan ternyata tidak dihargai olehmu!”“Apa maksudmu, Fandy? Tidak dihargai seperti apa? Kamu sendiri yang sudah menutup semuanya. Berubah kamu itu hanya pura-pura! Hanya pura-pura supaya kamu tidak kena marah Mama dan juga Kak Satya!” pekik Riana tidak mau dituding bila dirinya yang salah.“Selama dua bulan ini aku mencoba bertahan, menjadi istri yang baik untuk kamu, tapi tidak pernah kamu hargai. Bukannya malah sebaliknya? Kamu sendiri yang tidak pernah mau menghargai aku? Kenapa ma
Fandy mengerang seraya menatap wajah perempuan itu. Tangannya kemudian menjambak rambut Riana dan membalikkan tubuh Riana dan mulai menyatukan dirinya lagi di bawah sana.Tanpa ampun mungkin akan ia lakukan sampai semua emosinya luruh dalam permainan gila yang dibuat oleh Fandy kepada Riana.Hampir dua jam lamanya Fandy menggerayangi tubuh Riana, akhirnya selesai dan langsung menyeret tubuh Riana—membawanya ke dalam kamar perempuan itu. Kini, Riana sudah berantakan bahkan tubuhnya lemas tak berdaya.“Untuk terakhir kalinya aku menyentuhmu! Tidak akan pernah lagi aku sentuh perempuan busuk sepertimu! Kita akan bercerai setelah Citra kembali!” ucapnya kemudian keluar dari kamar itu.“Brengsek!” pekik Riana kemudian menutup tubuh polosnya itu dengan selimut. Tangannya menjambak rambutnya kemudian menundukkan kepalanya seraya terisak lirih.“Haruskah aku mati saja? Untuk apa bertahan hidup kalau tidak punya tujuan? Untuk apa aku hidup kalau tidak ada satu pun orang yang mengharapkan aku h
Riana menggeleng pelan, senyumnya samar seperti goresan tipis di kanvas pucat. “Tidak ada. Punya masalah dengan siapa? Aku tidak punya siapa-siapa,” ucapnya dengan suara datar, nyaris tanpa emosi. Kata-kata itu jatuh, seperti batu kecil yang menimbulkan riak kecil di permukaan air tenang.Rinda mengatupkan bibirnya, sadar mungkin ia telah menyentuh sisi yang tak seharusnya ia singgung. “Sorry... mungkin dengan pacarnya?” godanya ringan, meski nada suaranya sedikit berhati-hati.Riana tersenyum lirih, senyum yang tak mampu menyembunyikan luka dalam hatinya. “Pacar pun tidak ada,” jawabnya pelan, suaranya serupa bisikan angin di tengah hening ruangan.“Oh...” Rinda membisu sejenak, tapi rasa penasaran lebih kuat. “Tapi, rumor tentang kamu pacaran sama Pak Satya itu... bener nggak sih? Atau cuma gosip aja?” tanyanya dengan mata berbinar, mencoba mencari kejujuran di wajah Riana.Riana mengangkat bahunya ringan, gerakan itu seperti daun yang jatuh tanpa tujuan. “Hanya gosip. Jangan dideng
Di Amerika Serikat, matahari mulai condong ke barat, membungkus cakrawala dengan semburat jingga yang memudar perlahan.Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Satya duduk terpaku di kursi kayu berlapis kulit cokelat tua, punggungnya sedikit melengkung.Matanya terpaku pada jendela apartemen yang menyuguhkan panorama gedung-gedung menjulang dan cahaya lampu yang mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil di permukaan bumi.Namun, keindahan itu baginya tak lebih dari ilusi kosong, pantulan kesedihan yang diam-diam merayap di balik batinnya.Wajahnya pucat seperti kanvas tak bernyawa, membawa jejak perjuangan melawan sakit yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun.Ia memilih diam, menyembunyikan derita seperti seseorang menyembunyikan rahasia besar yang terlalu berat untuk diungkap. Tidak ingin merepotkan siapa pun, apalagi keluarganya.Tok tok tok.Ketukan pelan membuyarkan lamunannya. Perawatnya, Mitha, masuk dengan langkah lembut. “Tuan Satya, saatnya periksa kondisi An
Sore hari telah tiba ....Mendung berkepanjangan itu ternyata berhasil membuat gundah para orang yang tidak memiliki kendaraan roda empat alias mobil.“Belum pulang, Riana?” sapa Dimas yang tengah bersiap-siap untuk pulang.“Sebentar lagi pulang, Dim. Semoga aja pas di jalan nggak hujan.”“Aamiin. Yuk! Keburu hujan, udah mendung banget soalnya.” Dimas segera mengenakan helm-nya kemudian pamit kepada Riana agar segera tiba ke rumahnya.Sementara Riana masih sibuk dengan jaketnya dan segera mengenakan helm-nya. Kebut seperti pembalap moto GP, Riana mengendarainya tanpa menggunakan rem karena tidak ingin kehujanan di tengah jalan.“Semoga nggak hujan, semoga nggak hujan. Nanti malam aja hujannya, yaa. Pleaseeee ....” Riana berdoa supaya jangan dulu hujan.Namun, rupanya doanya tidak dikabulkan. Hujan begitu deras turun dengan jarak ke rumahnya hanya tinggal beberapa meter lagi.“Aaahh ... terobos ajalah! Bodo amat!” pekik Riana yang sudah jengkel karena rupanya dia harus kebasahan meski
Mata itu menatap nanar penuh emosi kepada Fandy. Sementara pria itu sudah meringkuk takut karena tatapan Yuni yang begitu menghunus siap menghajarnya tanpa ampun.“Kalau begitu, saya bawa pasien ke ruang visum terlebih dahulu. Kami ingin memastikan saja,” ucap Dokter Nana sebab ia merasa kasihan kepada Riana yang sudah pasti kesakitan akibat lebam yang dibuat oleh suami biadabnya itu.Plak!Tamparan keras pun melayang di pipi lelaki itu. Matanya menatap nanar dengan manik mata begitu tajam.“Apa yang kamu lakukan pada Riana? Jangan sampai kabar ini sampai kepada papa kamu, Fandy! Kamu akan digantung olehnya!” pekik Yuni kemudian melangkahkan kakinya mengikuti Dokter Nana yang sudah membawa Riana ke ruang visum.Air matanya terus turun dari sudut matanya seraya kakinya melangkah lemas melihat wajah pucat Riana yang belum juga sadarkan diri dari pingsannya.‘Semoga kamu baik-baik saja, Nak. Maafkan Mama yang tidak pernah tahu kalau kamu selalu disiksa oleh Fandy,’ ucapnya dalam hati.Ia
Fandy menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah sang mama. “Heuuh? Ma—maksud Mama?” tanyanya seolah tidak paham dengan maksud Yuni yang akan membawa Riana ke rumahnya.Yuni menoleh dengan malas ke arah anak bungsunya itu. “Mama sudah tidak percaya lagi sama kamu, Fandy. Kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Kamu tidak berhak menyakiti Riana hanya karena masih belum mencintai dia.“Mama akan membawa Riana ke rumah dan Mama yang akan merawatnya. Kamu tinggal saja sendiri di sana. Renungkan semua kesalahan yang kamu buat kepada Riana.“Mama kecewa sama kamu, Fandy. Sudah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, malah belum bisa dan malah semakin menjadi.“Seharusnya kamu tahu dan paham posisi kamu ini seperti apa. Jangan selalu menyalahkan Riana seolah Riana yang sudah membatalkan pernikahan kamu dengan wanita penyakitan itu!“Mama tidak ingin mendengar alasan apa pun dari kamu, Fandy. Intinya, Mama sudah tidak percaya lagi pada kamu. Biarkan Riana tinggal di rumah Mama sampai kamu be
Riana menatap kecewa kepada Fandy yang terlalu mendewakan diri bahkan percaya diri bahwa dia dan Citra akan kembali seperti sedia kala.Bukan, bukan tidak ingin pisah dengan Fandy. Hanya saja, Fandy selalu merendahkan dirinya dan mengejeknya sebab menunggu Satya sampai sembuh.“Apa yang kamu inginkan?” tanya Fandy dengan nada pelan.Riana tersenyum miring. “Tidak ada. Hanya ingin kamu diam, jangan banyak oceh dan terlalu percaya diri karena Citra akan kembali sembuh sementara kakakmu sendiri kamu doakan tidak akan sembuh. Jangan begitu, Fandy. Mereka sama-sama memiliki penyakit yang serius. Tidak bisa dipastikan mana yang duluan sembuh.”Fandy berdecih pelan. Ia kemudian menatap istrinya itu dengan tatapan tak suka. “Bukan karena tidak mau pisah denganku, kan?” tanyanya penuh percaya diri.Riana lantas tertawa mendengarnya. “Haah? Hanya akan membuat aku tersiksa kalau aku tidak ingin pisah denganmu, Fandy! Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya tidak ingin kamu kena masalah lagi denga
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak