Namun, semua emosi itu larut perlahan seperti jejak kaki di pasir yang diterjang gelombang. Riana menghela napas panjang, membiarkan udara pantai yang asin dan segar memenuhi paru-parunya.Ia memilih untuk menikmati pemandangan yang begitu indah ketimbang tenggelam dalam perdebatan yang tak ada ujungnya."Riana, aku minta maaf. Aku mohon jangan marah lagi," suara Fandy terdengar di belakangnya, penuh ketulusan yang hampir menyakitkan."Aku lihat antusias kamu ingin ke sini, makanya aku nggak cari negara lain lagi dan memilih negara ini saja. Tapi, kalau kamu tidak nyaman ada di sini, kita bisa pergi ke tempat lain."Riana diam, matanya memandang jauh ke cakrawala di mana langit dan laut bertemu dalam warna biru yang nyaris tak terbedakan.Entah bagaimana, di tengah kecamuk rasa kecewa, ia menemukan setitik damai. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mencoba menerima semua ini.Riana mengibaskan tangannya dengan gerakan malas, seolah mengusir debu kenangan yang berusaha menyelimuti mereka.
Ia mengembungkan pipinya, sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan ketika merasa kesal atau gelisah.Ting!Suara notifikasi dari ponsel Fandy memecah lamunannya. Riana menoleh, pandangannya tertuju pada ponsel itu yang tergeletak di atas pasir. Ia menatapnya sejenak, ragu."Aku nggak berani buka. Takut Fandy marah," bisiknya pada diri sendiri. Tapi rasa penasaran mulai menggerogoti hatinya, seperti air laut yang perlahan mengikis tebing karang."Tapi, penasaran juga dari siapa," gumamnya sambil mengambil ponsel itu dengan hati-hati. Ia mengetuk layar ponsel dan membukanya. "Sekalian lihat wajah Citra juga. Pasti masih ada di sini."Riana memandangi layar dengan jantung yang berdegup sedikit lebih cepat. Pesan masuk baru saja dikirim, dan ia membaca nama pengirimnya.Satya.Matanya membelalak. "Kak Satya?" gumamnya, lalu membuka pesan itu dengan telunjuk yang sedikit gemetar.Satya:[Jangan khawatir, Fandy. Aku sudah semakin membaik. Have fun ya, Dek. Jaga Riana, jangan sampai kehilanga
Riana menelan saliva dengan susah payah. "Karena ... karena aku sudah ...." Kalimatnya menggantung di udara, diikuti helaan napas kasar.Ia menatap wajah Fandy dengan sorot mata yang penuh emosi. "Karena aku menjaga kehamilan! Tapi, bukan sepenuhnya salahku. Kamu juga yang membuatku melakukannya!"Fandy tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu bukan untuk mengejek, melainkan bentuk kehangatan yang ia harapkan dapat meringankan hati istrinya."Maksud kamu ... kamu merasa bersalah karena kita menjaga supaya tidak punya anak dulu? It's oke, Riana. Kalau kamu mau, kita coba lagi. Kali ini semoga berhasil. Oke?""Heuh?" Riana menatap Fandy dengan bingung.Fandy tersenyum penuh arti, lalu mengacak lembut rambut Riana. "Jangan pura-pura nggak tahu, Riana. Sok polos banget, deh!" candanya sambil melangkah ke arah tempat penitipan papan selancar. "Tunggu di sini sebentar. Aku ganti baju dulu. Habis ini kita mau ke mana lagi? Masih jam empat."Riana mengangkat bahunya dengan ekspresi bing
Fandy mengadahkan kepalanya kemudian tersenyum tipis. "Enjoy, Riana," ucapnya kemudian mengulum pucuk merah muda itu dengan rakus.Riana membusungkan dadanya. Tangannya meremas erat sprei di sampingnya dengan mata terpejam.Suara parau itu beradu jadi jadi seraya menikmati sentuhan nikmat yang mereka lakukan di malam itu. Gerayang nafsu akan bercinta yang mulai diadu di malam itu.Puas menyesapi dada itu, Fandy mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Matanya terus menatap Riana yang tengah bersiap menunggu Fandy menyatukan dirinya.Blesss ....Riana menggigit bibirnya seraya menahan sesuatu di bawah sana sudah masuk. Ia kemudian membuka matanya dan menatap Fandy yang berada di atasnya."Percobaan pertama. Ke sananya juga kamu bisa nikmati ini. Jangan hanya sebagai penumpu apa yang aku lakukan pada kamu," ucapnya seraya mendorong tubuhnya.Riana sudah bukan gadis lagi. Tak perlu ia hati-hati karena memang sudah biasa ada benda asing masuk di bawah sana. Milik Fandy, hanya dia dan mungk
Riana menyunggingkan bibirnya kemudian memutar bola matanya dengan malas.Fandy yang melihatnya lantas terkekeh pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku hanya bertanya, kalau memang tidak, ya sudah. Tidak perlu emosi. Tidurlah, sudah malam." Fandy menepuk-nepuk kasur di sampingnya agar menghampiri Fandy di sana.Riana lantas menarik selimut kemudian memunggungi Fandy. Tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang tengah menahan emosinya lantaran pertanyaan Fandy mengenai perasaannya kepada Satya.'Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu padaku. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu padaku? Cinta? Bagaimana bisa?' Riana berucap dalam hatinya.Ia pun tidak tahu apakah dia mencintai Satya atau hanya sekadar menganggap bila Satya adalah kakak iparnya yang memiliki sifat baik dan selalu perhatian kepadanya.Pikiran Riana terus tertuju pada pertanyaan Fandy tadi. Belum bisa ia lupakan hingga tak sadar sudah satu jam lamanya dia terjaga sementara Fandy sudah terlelap dalam tidurnya.'Kenapa malah nggak bi
Fandy menganggukkan kepalanya perlahan, seperti mencoba menata sebuah pikiran yang terurai kusut. "Iya. Aku ingin tahu setidaknya pendidikan terakhir kamu itu apa," tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik nada datarnya.Riana menundukkan kepala, seolah ada beban tak kasatmata yang tiba-tiba menghimpit bahunya."Hanya sampai SMA," jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening yang terasa meluas di antara mereka."Setelah itu, kerja dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Terakhir, aku dapat pekerjaan jadi service room di hotel kamu."Fandy tersenyum samar, seperti ada sesuatu yang hanya dia tahu. "Kak Satya," koreksinya lembut."Hotel itu milik Kak Satya. Setelah dia mengalami trauma itu, aku ditugaskan untuk menjaga hotel itu selama Kak Satya menjalani pengobatannya."Ia berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke arah Riana, penuh dengan intensitas yang sulit diartikan. "Jangan bicara pada siapa pun, sekalipun pada temanmu soa
Fandy memandang istrinya, senyuman tipis terukir di bibirnya, penuh rasa sayang. Melihat Riana merentangkan tangannya, membiarkan angin menyelimuti tubuhnya, membuat hatinya terasa hangat."Nanti ke sini lagi kalau belum puas," ujarnya lembut, seolah menjanjikan sebuah kebahagiaan yang tak akan pernah pudar.Riana menoleh, matanya berbinar seperti permata yang memantulkan cahaya pagi. Ia mengangguk antusias, senyuman lebar menghiasi wajahnya, membawa kebahagiaan yang terasa menular."Oke!" jawabnya riang, suaranya penuh semangat.Fandy menatapnya dengan tatapan geli. "Mau tahu sejarah jembatan ini?" tanyanya tiba-tiba, memecah momen hening yang begitu damai.Riana menoleh, alisnya terangkat sedikit, menciptakan ekspresi skeptis yang menggemaskan. "Memangnya kamu tahu?" tanyanya, nadanya setengah meragukan, tetapi ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Fandy menyunggingkan senyum kecil, seolah menyimpan rahasia yang ingin ia bagikan. Ia menghela napas panjang sebelum mulai berbicara,
Waktu sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Langit di luar apartemen begitu gelap, namun gemerlap lampu kota Sydney masih menyala seperti ribuan bintang yang turun ke bumi.Setelah puas menyusuri megahnya Jembatan Sydney Harbour, Riana dan Fandy akhirnya kembali ke apartemen."Huufft! Lelah juga," keluh Riana, duduk di sofa sambil memijat kakinya yang pegal. Rasa letih dari perjalanan panjang terasa menjalar dari telapak kaki hingga betisnya, membuatnya mengernyit sedikit.Tanpa diminta, Fandy mendekat, berlutut di hadapan Riana. Tangannya yang hangat mulai memijat lembut kaki istrinya, gerakannya penuh perhatian dan kelembutan.Wajahnya terangkat sedikit, menatap Riana dengan sorot mata yang tenang namun dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak terucap.Riana, yang merasa risih dengan tatapan itu, buru-buru membuang muka. Pipinya memerah samar, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Fandy yang melihat reaksi itu hanya terkekeh pelan, suara tawanya seperti alunan melodi yan
Waktu sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Langit di luar apartemen begitu gelap, namun gemerlap lampu kota Sydney masih menyala seperti ribuan bintang yang turun ke bumi.Setelah puas menyusuri megahnya Jembatan Sydney Harbour, Riana dan Fandy akhirnya kembali ke apartemen."Huufft! Lelah juga," keluh Riana, duduk di sofa sambil memijat kakinya yang pegal. Rasa letih dari perjalanan panjang terasa menjalar dari telapak kaki hingga betisnya, membuatnya mengernyit sedikit.Tanpa diminta, Fandy mendekat, berlutut di hadapan Riana. Tangannya yang hangat mulai memijat lembut kaki istrinya, gerakannya penuh perhatian dan kelembutan.Wajahnya terangkat sedikit, menatap Riana dengan sorot mata yang tenang namun dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak terucap.Riana, yang merasa risih dengan tatapan itu, buru-buru membuang muka. Pipinya memerah samar, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Fandy yang melihat reaksi itu hanya terkekeh pelan, suara tawanya seperti alunan melodi yan
Fandy memandang istrinya, senyuman tipis terukir di bibirnya, penuh rasa sayang. Melihat Riana merentangkan tangannya, membiarkan angin menyelimuti tubuhnya, membuat hatinya terasa hangat."Nanti ke sini lagi kalau belum puas," ujarnya lembut, seolah menjanjikan sebuah kebahagiaan yang tak akan pernah pudar.Riana menoleh, matanya berbinar seperti permata yang memantulkan cahaya pagi. Ia mengangguk antusias, senyuman lebar menghiasi wajahnya, membawa kebahagiaan yang terasa menular."Oke!" jawabnya riang, suaranya penuh semangat.Fandy menatapnya dengan tatapan geli. "Mau tahu sejarah jembatan ini?" tanyanya tiba-tiba, memecah momen hening yang begitu damai.Riana menoleh, alisnya terangkat sedikit, menciptakan ekspresi skeptis yang menggemaskan. "Memangnya kamu tahu?" tanyanya, nadanya setengah meragukan, tetapi ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Fandy menyunggingkan senyum kecil, seolah menyimpan rahasia yang ingin ia bagikan. Ia menghela napas panjang sebelum mulai berbicara,
Fandy menganggukkan kepalanya perlahan, seperti mencoba menata sebuah pikiran yang terurai kusut. "Iya. Aku ingin tahu setidaknya pendidikan terakhir kamu itu apa," tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik nada datarnya.Riana menundukkan kepala, seolah ada beban tak kasatmata yang tiba-tiba menghimpit bahunya."Hanya sampai SMA," jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening yang terasa meluas di antara mereka."Setelah itu, kerja dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Terakhir, aku dapat pekerjaan jadi service room di hotel kamu."Fandy tersenyum samar, seperti ada sesuatu yang hanya dia tahu. "Kak Satya," koreksinya lembut."Hotel itu milik Kak Satya. Setelah dia mengalami trauma itu, aku ditugaskan untuk menjaga hotel itu selama Kak Satya menjalani pengobatannya."Ia berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke arah Riana, penuh dengan intensitas yang sulit diartikan. "Jangan bicara pada siapa pun, sekalipun pada temanmu soa
Riana menyunggingkan bibirnya kemudian memutar bola matanya dengan malas.Fandy yang melihatnya lantas terkekeh pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku hanya bertanya, kalau memang tidak, ya sudah. Tidak perlu emosi. Tidurlah, sudah malam." Fandy menepuk-nepuk kasur di sampingnya agar menghampiri Fandy di sana.Riana lantas menarik selimut kemudian memunggungi Fandy. Tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang tengah menahan emosinya lantaran pertanyaan Fandy mengenai perasaannya kepada Satya.'Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu padaku. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu padaku? Cinta? Bagaimana bisa?' Riana berucap dalam hatinya.Ia pun tidak tahu apakah dia mencintai Satya atau hanya sekadar menganggap bila Satya adalah kakak iparnya yang memiliki sifat baik dan selalu perhatian kepadanya.Pikiran Riana terus tertuju pada pertanyaan Fandy tadi. Belum bisa ia lupakan hingga tak sadar sudah satu jam lamanya dia terjaga sementara Fandy sudah terlelap dalam tidurnya.'Kenapa malah nggak bi
Fandy mengadahkan kepalanya kemudian tersenyum tipis. "Enjoy, Riana," ucapnya kemudian mengulum pucuk merah muda itu dengan rakus.Riana membusungkan dadanya. Tangannya meremas erat sprei di sampingnya dengan mata terpejam.Suara parau itu beradu jadi jadi seraya menikmati sentuhan nikmat yang mereka lakukan di malam itu. Gerayang nafsu akan bercinta yang mulai diadu di malam itu.Puas menyesapi dada itu, Fandy mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Matanya terus menatap Riana yang tengah bersiap menunggu Fandy menyatukan dirinya.Blesss ....Riana menggigit bibirnya seraya menahan sesuatu di bawah sana sudah masuk. Ia kemudian membuka matanya dan menatap Fandy yang berada di atasnya."Percobaan pertama. Ke sananya juga kamu bisa nikmati ini. Jangan hanya sebagai penumpu apa yang aku lakukan pada kamu," ucapnya seraya mendorong tubuhnya.Riana sudah bukan gadis lagi. Tak perlu ia hati-hati karena memang sudah biasa ada benda asing masuk di bawah sana. Milik Fandy, hanya dia dan mungk
Riana menelan saliva dengan susah payah. "Karena ... karena aku sudah ...." Kalimatnya menggantung di udara, diikuti helaan napas kasar.Ia menatap wajah Fandy dengan sorot mata yang penuh emosi. "Karena aku menjaga kehamilan! Tapi, bukan sepenuhnya salahku. Kamu juga yang membuatku melakukannya!"Fandy tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu bukan untuk mengejek, melainkan bentuk kehangatan yang ia harapkan dapat meringankan hati istrinya."Maksud kamu ... kamu merasa bersalah karena kita menjaga supaya tidak punya anak dulu? It's oke, Riana. Kalau kamu mau, kita coba lagi. Kali ini semoga berhasil. Oke?""Heuh?" Riana menatap Fandy dengan bingung.Fandy tersenyum penuh arti, lalu mengacak lembut rambut Riana. "Jangan pura-pura nggak tahu, Riana. Sok polos banget, deh!" candanya sambil melangkah ke arah tempat penitipan papan selancar. "Tunggu di sini sebentar. Aku ganti baju dulu. Habis ini kita mau ke mana lagi? Masih jam empat."Riana mengangkat bahunya dengan ekspresi bing
Ia mengembungkan pipinya, sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan ketika merasa kesal atau gelisah.Ting!Suara notifikasi dari ponsel Fandy memecah lamunannya. Riana menoleh, pandangannya tertuju pada ponsel itu yang tergeletak di atas pasir. Ia menatapnya sejenak, ragu."Aku nggak berani buka. Takut Fandy marah," bisiknya pada diri sendiri. Tapi rasa penasaran mulai menggerogoti hatinya, seperti air laut yang perlahan mengikis tebing karang."Tapi, penasaran juga dari siapa," gumamnya sambil mengambil ponsel itu dengan hati-hati. Ia mengetuk layar ponsel dan membukanya. "Sekalian lihat wajah Citra juga. Pasti masih ada di sini."Riana memandangi layar dengan jantung yang berdegup sedikit lebih cepat. Pesan masuk baru saja dikirim, dan ia membaca nama pengirimnya.Satya.Matanya membelalak. "Kak Satya?" gumamnya, lalu membuka pesan itu dengan telunjuk yang sedikit gemetar.Satya:[Jangan khawatir, Fandy. Aku sudah semakin membaik. Have fun ya, Dek. Jaga Riana, jangan sampai kehilanga
Namun, semua emosi itu larut perlahan seperti jejak kaki di pasir yang diterjang gelombang. Riana menghela napas panjang, membiarkan udara pantai yang asin dan segar memenuhi paru-parunya.Ia memilih untuk menikmati pemandangan yang begitu indah ketimbang tenggelam dalam perdebatan yang tak ada ujungnya."Riana, aku minta maaf. Aku mohon jangan marah lagi," suara Fandy terdengar di belakangnya, penuh ketulusan yang hampir menyakitkan."Aku lihat antusias kamu ingin ke sini, makanya aku nggak cari negara lain lagi dan memilih negara ini saja. Tapi, kalau kamu tidak nyaman ada di sini, kita bisa pergi ke tempat lain."Riana diam, matanya memandang jauh ke cakrawala di mana langit dan laut bertemu dalam warna biru yang nyaris tak terbedakan.Entah bagaimana, di tengah kecamuk rasa kecewa, ia menemukan setitik damai. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mencoba menerima semua ini.Riana mengibaskan tangannya dengan gerakan malas, seolah mengusir debu kenangan yang berusaha menyelimuti mereka.
Fandy menganggukkan kepalanya perlahan, gerakannya nyaris seperti angin malam yang menyapu dedaunan, begitu tenang namun sarat beban."Iya, Riana. Aku tidak akan melupakannya. Jangan bahas itu karena kedatangan kita ke sini mau liburan, bukan mau bahas masa lalu."Suara Riana melenting seperti senar yang dipetik terlalu keras, penuh nada ketidakpuasan."Masa lalu dari mana! Baru juga dua bulan yang lalu."Fandy menghela napas pelan, seperti mencoba mengusir bayangan gelap yang membayang di benaknya. "Iya, dua bulan yang lalu."Riana menatapnya, sorot matanya seperti cahaya lilin yang menari di tengah ruangan gelap, lemah namun menuntut jawaban."Kamu ... masih menunggunya pulang? Jawab saja dengan jujur. Agar aku tidak terlalu mengharapkan kamu jadi suami baik buat aku. Aku akan bersiap setelah Citra kembali."Ada jeda panjang, seperti langit yang menahan hujan sebelum pecah menjadi deras. Fandy menelan saliva dengan pelan, seolah kata-kata yang akan keluar terlalu tajam untuk diucapk