Sebulan yang lalu, tepatnya setelah dari acara hari ulang tahun yayasan pendidikan yang dikelola keluarganya, Hilbram tampak resah dan gelisah.
Dia merasa enggan untuk balik secepat ini. Bukan karena acaranya, tapi karena gadis yang tak sengaja dilihatnya di taman.
Diusap layar ponselnya dan melihat lagi rekaman gadis yang diambilnya di taman tadi.
Sepertinya gadis itu terlalu manis untuk tidak segera didapatkan.
“Berhenti!” ujar Hilbram pada supirnya. Rahman yang duduk di samping supir pun terlihat menoleh dan bertanya-tanya.
“Ada masalah, Tuan?” tanya Rahman.
Hilbram tiba-tiba saja, berjingkat keluar yang membuat pengawal di mobil belakang pun keluar.
Rahman juga melakukan hal yang sama.
“Tuan Bram, apa yang Anda lakukan?” Rahman bertanya karena sang tuan melepas jasnya lalu melemparnya ke dalam mobil.
“Jangan ikuti aku, kalian pulanglah dulu!” tukasnya berlalu. Ketika dua pengawal itu membuntutinya, Hilbram berhenti dan menatap mereka tajam.
“Kau tidak dengar tadi?”
Mereka sontak menatap pasrah sang tuan muda lalu berlalu pergi.
Sementara itu, Hilbram malah menghampiri tukang ojek online di pinggir jalan dan menawarkan sesuatu.
Dia pun berkendara menuju sekolah itu lagi dengan jaket dan helm sang tukang ojek.
Entah takdir atau bagaimana, ketika acara itu selesai Ayesha tampak berjalan mendekati tukang ojek itu.
“Abang bilang ke teman saya kalau saya pesan ojek?” tanyanya heran pada abang ojek, karena dia tidak pesan.
Hilbram hanya mengangguk dan menyerahkan helm pada Ayesha.
Meski ragu, Ayesha menerimanya.
Lumayan ada yang memesankan ojek online atas namanya. Dia bisa sedikit berhemat.
“Nangka Jajar gang 5 ya, Pak. Rumahnya di ujung sana, nomor 8,” Ayesha menunjukan alamatnya.
Hilbram menoleh sedikit sambil mengacungkan jempolnya lalu menekan gas hingga membuat Ayesha tertarik ke tubuhnya sesaat.
“Maaf!” ujarnya sambil jalan. Melihat pantulan bayangan Ayesha dari kaca spion, sepertinya sangat sebal.
Hilbram terbiasa mengendarai motor balap.
Jadi, dia sedikit tidak sabar dengan motor ojek ini.
“Lain kali kalau bawa motor hati-hati, Anda membahayakan orang yang Anda bonceng, Mas.” Ayesha mengomel setelah turun di depan rumahnya.
“Maaf, Bu!” ucap Hilbram tanpa membuka helmnya.
Entah mengapa, ia justru senang mendapat omelan gadis cantik itu.
Saat Ayesha masuk, barulah Hilbram menyesal mengapa tidak melambatkan motornya tadi.
Dia baru tahu penyebabnya sampai tidak bisa sedikit santai saat Hilbram merasa degupannya lebih kencang dari biasanya.
Sayangnya, dia malah menemukan Ayesha tiba-tiba ada di rumah bordil beberapa hari lalu.
Bisa bayangkan betapa murkanya sang pewaris satu ini, kan? Dengan cepat, Hilbram memesan Ayesha dari rumah bordil!
*****
“Apa kau masih sibuk?” tanya Ayesha pada Momo.
“Pekerjaan saya adalah melayani Anda, Nyonya. Apakah ada yang bisa saya bantu?” ujar pelayan itu dengan hormat.
“Uhm, kalau begitu temani aku sarapan, ya?”
“Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa melakukannya.” Momo masih mencoba menjaga batasan antara majikan dan seorang pelayan. Dia takut kepala pelayan akan memarahinya.
Ayesha mengerucutkan bibirnya karena Momo tidak mau menemaninya. Ayesha tidak terbiasa makan sementara ada orang yang berdiri di sampingnya hanya melihat. Lalu dia bangkit menutup ruangan itu. Kemudian menarik lengan Momo dan memaksanya duduk.
“Sudah, tidak akan ada orang yang melihatmu. Ayo duduklah, makan bersamaku!” ucap Ayesha menyodorkan piring pada Momo yang tampak serba salah. “Kalau kau menolak, aku juga tidak akan makan!”
“Oh, baik, Nyonya!” Momo tidak berdaya dan mengikuti saja perintah Ayesha.
Sambil makan, Ayesha mencari tahu tentang pria itu. Tapi dia tidak bisa langsung ke tujuannya, karenanya Ayesha lebih dulu bertanya tentang Momo sendiri.
“Kau sudah lama bekerja di sini, Momo?” tanya Alea mengawali misinya.
“Baru setahun ini, Nyonya!”
“Apa kau tahu mengapa di rumah ini tidak tampak keluarga Tuan Hilbram?” sedikit tergesa Ayesha tidak sabar menanyakan tentang pria itu.
“Ini salah satu rumah pribadi Tuan Hilbram, Nyonya. Rumah keluarga besar ada di Kota Pusat. Tuan Hilbram hanya datang sesekali saja. Jadi lebih sering berpindah-pindah karena bisnis keluarganya sangat banyak. Beliau kalau sudah ke luar negri bisa berbulan-bulan baru balik lagi. Hanya kali ini saja berbeda karena sebulan kemarin baru datang.”
Momo tidak keberatan menjawab untuk hal yang ringan seperti itu. Sebenarnya dia juga sangat suka berbicara. Mempunyai nyonya yang low profile seperti Ayesha nampaknya tidak buruk.
“Oh!” Ayesha sudah mendengarnya sendiri bahwa pria itu sangat sibuk.
Tapi, masih saja dia tercengang karena baru tahu dia sesibuk itu.
Berpindah dari satu negara ke negara lain untuk bisnisnya?
Tidak bisa dibayangkan kalau menjadi istri yang ‘sebenarnya’. Pasti akan lebih sering merana karena terus ditinggal pergi.
Ayesha ingin bertanya lebih jauh lagi. Namun, pintu tiba-tiba terbuka, hingga membuat Momo terkejut dan segera bangkit dari tempatnya duduk.
Seorang pria berpakaian rapi datang dan menatap pelayannya itu dengan tidak suka.
“Maaf, Tuan. Saya yang meminta Momo untuk menemaniku sarapan. Saya tidak terbiasa sarapan sendiri.” Ayesha langsung memberikan alasan meski dia meruntuki alasan bohongnya.
Sepanjang hari, dia ‘kan makan tidur dan melakukan segala hal hanya seorang diri.
Hanya saja, dia tidak ingin pelayan yang tidak bersalah itu nantinya dihukum.
Rahman menghela napas melihat ketegangan itu. “Mohon jangan panggil saya, Tuan. Panggil saja saya Rahman. Saya asisten Tuan Hilbram.”
“Oh, baik Pak Rahman!” tukas Ayesha mengangguk walau sebenarnya ia merasa tak nyaman harus seformal itu.
“Jangan, Nyonya! Saya mohon, panggil saja nama saya, seperti Tuan Hilbram memanggil saya.” Rahman mengoreksi ucapan Ayesha.
“Maaf, Pak. Saya lebih muda dari Anda, jadi ...”
“Rahman, Nyonya. Panggil saya Rahman saja!” sahut Rahman menegaskan.
Ayesha hanya manggut-manggut saja karena pria ini benar-benar berkeras dengan panggilan atas dirinya.
“Okey, Rahman!” tukas Ayesha membenarkan panggilannya.
Rahman sepertinya ingin Momo meninggalkan ruangan karena ada hal penting yang akan disampaikannya mewakili tuannya.
Setelah pelayan itu berlalu, Rahman kembali pada Ayesha.
“Maaf Nyonya, apa saya mengganggu acara sarapannya?” tanya Rahman menatap meja makan yang masih rapi itu.
“Tidak apa, Rahman. Saya jarang makan berat saat sarapan,” tukas Ayesha yang sudah menghabiskan sebuah apel tadi. Itu sudah cukup mengisi perut kecilnya.
“Baiklah, Nyonya. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pernikahan akan dilaksanakan nanti malam. Saya harap Nyonya bisa lebih kooperatif dengan kesepakatan yang sudah Nyonya dan Tuan putuskan semalam.”
Ayesha sedikit terkejut karena merasa bahwa pernikahan yang didasarkan kepentingan masing-masing itu juga diketahui orang lain, selain mereka.
“Kau juga tahu hal itu?” tanyanya pada Rahman.
“Saya asisten Tuan Hilbram, hanya kita bertiga yang mengetahui hal ini. Saya juga berharap Nyonya tidak memberitahu orang lain tentang perjanjian pernikahan itu. Resikonya sangat tinggi bagi Tuan Hilbram. Apa saya bisa mempercayai anda?”
Rahman cemas kalau saja Ayesha membocorkan rahasia ini. Ketika pengacara keluarga Al-Faruq mengetahuinya, maka akan ada banyak pihak yang memanfaatkan hal ini untuk menggugat wasiat Nyonya Safinah Al-Faruq.
“Kau membuatku takut. Aku harus bagaimana ini?” cemas Ayesha tiba-tiba.
Dia tidak pernah berurusan dengan orang sepenting Hilbram. Kalau tahu resikonya tinggi, harusnya dia menolaknya. Tapi pria itu sendiri yang mendesak.
“Jangan khawatir, Nyonya! Tuan Hilbram sudah berjanji akan melindungi Nyonya dan memastikan kehidupan Nyonya akan baik-baik saja. Jadi anda hanya perlu menjadi wanita tuan yang patuh saja dan tidak berpikir macam-macam.”
Tatapan Rahman sedikit menyinggung Ayesha.
Tentu Ayesha paham apa yang dipikirkan Rahman.
“Rahman, aku tidak butuh harta tuanmu itu. Aku hanya butuh dia melepasku. Tapi, dia yang menawarkan perjanjian itu,” ucap Ayesha cepat.
Dia jelas tersinggung karena tahu bahwa Rahman pasti berpikir dirinya-lah yang merasa diuntungkan dengan perjanjian itu.
Di salah satu poin memang menyebutkan jika Hilbram memutuskan bercerai darinya, maka dia akan memberikan banyak uang sebagai mut’ah perceraian.
Padahal, Ayesha hanya berpikir dirinya butuh rasa aman dan perlindungan sementara waktu dari Pamannya dan Murni.
Bahkan, dia terpaksa menjadi istri Hilbram.
Menyadari kesalahannya, Rahman jadi tak enak.
“Mohon maafkan saya jika Anda tersinggung, Nyonya. Saya percaya Anda bukan wanita yang culas seperti sebelum-sebelumnya. Saya hanya memastikan keamanan tuan saya. Itu adalah tugas saya, Nyonya. Saya harap pengertian Anda,” ucap pria itu cepat.
Sementara itu, Ayesha tertegun.
Seperti sebelumnya? Jadi, sudah banyak wanita sebelum ini?
'Bukannya dia bilang tidak ada waktu untuk sekedar menjalin hubungan dengan seorang wanita?' batin Ayesha penuh tanda tanya.
“Nanti malam pernikahan akan segera dilaksanakan, saya harap anda mempersiapkan diri dengan baik,” ucap Rahman–menyadarkan Ayesha dari lamunan. Dia kemudian pamit undur menyisakan Ayesha terduduk dan termenung. Dia baru sadar bahwa dalam hitungan jam nanti dia akan segera menjadi istri pria itu. Hatinya menjadi resah dan gelisah. Mengapa tiba-tiba perasaannya menjadi kacau begini dan merasa tidak sanggup melakukan apa yang sudah mereka sepakati semalam? Apakah dia siap menanggung segala resikonya? ****Tanpa disadari, akad selesai dengan lancar tanpa ada pengulangan. Tiba-tiba saja, Hilbram meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan pria yang sudah menjadi wali Ayesha. Dia harus memastikan bahwa pria yang tidak berperasaan ini tidak lagi memanfaatkan keadaan gadis yang kini sudah sah menjadi istrinya itu. “Kau sudah mendapatkan yang kau mau, jadi kalau sampai aku mengetahui kau masih mencoba menganggunya lagi, kupastikan hidupmu akan menderita!” ancam Hilbram pada paman A
“Kau belum mengganti bajumu?” ucap pria itu dengan suara yang berat. Hilbram sebenarnya heran karena Ayesha masih dengan kebayanya. Ayesha tidak bergeming. Dia seolah masih belum bisa menerima status barunya saat ini. Mulutnya memang sudah menyepakati perjanjian itu, tapi siapa sangka bahwa hatinya sungguh masih tidak bisa menerima semua ini. “Apa kau mau aku panggilkan Rahman karena kau berubah pikiran?” Hilbram melepas jasnya dan tahu bahwa Ayesha sedih dengan kenyataan hidupnya. Astaga, pria ini! Tidak bisakah dia memberinya sedikit waktu untuk menyiapkan mentalnya? “Baik, Tuan!” ucap Ayesha sedikit bergetar di nada suaranya. Dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Hilbram hanya menatapnya dengan pandangan rumit. Saat di kamar mandi dan mencari baju ganti di walk in closet, dia hanya menemukan beberapa baju tidur. Momo tadi sudah bilang sementara baju-bajunya yang lain masih dalam pengerjaan dan besok pagi akan di antar dari butik langsung. Namun sepertinya, itu akal-akaln
Ayesha belum bisa berpikir jernih dan menentukan sikap dalam menjalani kehidupan barunya ini. Mungkin, dirinya masih sangat shock dengan pernikahan yang tiba-tiba ini hingga harus menolak pria yang sudah menikahinya itu. Beruntung sepertinya Hilbram bukan pria yang tidak punya belas kasihan. Sebagai pria yang punya hak penuh atas dirinya, Hilbram masih bisa membiarkannya malam ini meski dengan tatapan yang kecewa. * Pagi pun tiba, Ayesha memilih-milih gamis di lemari yang sudah tersedia untuknya. ‘Bagus-bagus sekali,’ batinya sambil mengambil satu yang segera dipakainya. Dia mengagumi model yang elegan yang tampak anggun saat dipakainya itu. Namun, ketika melihat merk baju itu dia melongo, dia sudah menabung untuk mambeli setidaknya satu dress dari merk tersebut. Sayangnya, tak pernah kesampean. Bagaimanapun dia seorang perempuan. Menyukai fashion dan barang-barang bagus adalah fitrahnya. Apalagi dia mengajar di sekolah ternama. Dimana penampilan juga menjadi salah satu yang
Ketika mobil sudah berhenti di sebuah tempat yang seperti sebuah vila, Ayesha berdecak kagum. Dua puluh empat tahun tinggal di kota ini kenapa tidak sekalipun melintas di jalan ini?Benar-benar seperti kastil yang penuh dengan bunga indah. “Apa kau berpikir aku tidak serius?” tanya Hilbram setelah mengajak Ayesha keluar mobil dan berjalan ke dalam.“Yang ada di otakmu pasti berpikir aku merencanakan hal buruk, bukan?” Hilbram berkata seolah tahu isi kepala Ayesha. “Bukan begitu,” ujar Ayesha lirih walau sebenarnya dia memang sempat berpikir pria ini akan memberinya hukuman. “Saya hanya merasa terkejut anda tiba-tiba mengajak saya menemui orang tua anda.” “Kenapa?” dengan kata tanya favoritnya, Hilbram mendesak Ayesha terus mengungkapkan isi hatinya. Pikirannya juga sama dengan Ayesha, tidak ingin hubungan ini berjalan dalam kebekuan. Saling mengobrol akan bisa memahami satu sama lain. “Orang tuaku tidak bisa memarahimu, tidak bisa membulimu, jadi apa yang kau cemaskan?” lagi Hil
Tanpa Ayesha sadari, suaminya itu diam-diam menyesal karena membuat perjanjian dengannya.Persetan jika Ayesha berakhir memanfaatkannya! Asal bisa bersama gadis ini, Hilbram toh akan memberikan apapun.Di sisi lain, Ayesha tertegun. Dia meraba-raba perasaannya ketika mendengar pernyataan dari bibir Hilbram. Hanya saja, Ayesha tidak lagi membantah apa pun. “Kau tidak setuju?” tanya Hilbram melihat raut wajah Ayesha yang tampak berpikir.“Maafkan saya. Tadi hanya terpikir sudah seminggu ini tidak masuk dan berharap kepala sekolah tidak memberiku teguran! Itu saja.” Hilbram mengangguk. “Hmm, biar Rahman yang mengurusnya.” “Tidak usah, Tuan!” sahut Ayesha segera setelah mendengar ucapan Hilbram. Jika Rahman yang mengurus, takutnya semuanya bisa tahu status barunya sekarang. Menjadi istri pria ini. “Kenapa?” tanya Hilbram bingung. Gadis di depannya ini tidak tahu saja, kalau pihak sekolah mengetahui statusnya sebagai istri pemilik yayasan itu, cuti setahun pun tidak akan jadi soal.
Rahman nampak hadir menjeda pembicaraan mereka dan memberikan sesuatu pada Hilbram. Seperti segan mengatakan di depan Ayesha, dia meminta pendapat.“Tidak apa, Rahman. Katakan saja!” tukas Hilbram.“Saya sudah menyampaikan surat izin atas nama Nyonya ke pihak sekolah. Jadi seharusnya tidak ada masalah saat Nyonya kembali mengajar,” ujar Rahman.Ayesha yang di sana tentu mendengarnya.“Good job! Terima kasih!” Hilbram pada Rahman. Ayesha tampak tidak sabar untuk menanyakan sesuatu. Setelah Rahman berlalu, dia segera melakukannya.“Anda sudah meminta Rahman datang ke sekolah tempat saya mengajar?” tanya-nya terlihat heran.“Ya,” jawab Hilbram singkat.“Tapi bukankah kita baru saja membicarakannya?”“Kenapa memang?”Gadis ini bawel juga. Bukankah lebih sederhana jika dia mengucapkan terima kasih. Mengapa masih harus memikirkan hal tersebut?Ayesha hanya bingung dan terkejut karena pria ini sebenarnya sudah memikirkan tentang masalahnya. Sebelum dirinya menyampaikannya tadi. Itu bahkan
Ponsel berdering saat Hilbram sibuk melaksanakan zoom meeting di ruang kerjanya. Dia tidak bisa segera mengangkatnya karena sedang bicara. Tidak berapa lama, terlihat Rahman datang mencoba meminta waktu Hilbram sejenak.“Ada apa?” tanya Hilbram setelah mengetuk tombol mute di layar laptopnya.“Maaf, Nyonya Hamidah dalam panggilan. Beliau sepertinya mendesak untuk segera disambungkan dengan anda,” tukas Rahman menyodorkan ponselnya.“Bilang aku sedang meeting penting. Nanti aku akan menghubunginya,” ujar Hilbram menolak meski tahu bahwa tantenya itu akan marah besar kalau panggilannya ditolak.“Baik, Tuan!” Rahman terlihat gelisah atas penolakan itu. Setelah ini dia akan bersiap untuk mendapatkan kemarahan Hamidah. Keponakan dan Tante ini kenapa tidak bisa sedikit akur?Balik dari ruang kerja sang tuan, Rahman langsung menyampaikan apa yang diminta Hilbram. Padahal sudah disampaikannya dengan sesopan dan sehormat mungkin, namun Hamida tetap juga memarahinya. Segenap kata-kata pedas ya
Momo mengetuk pintu kamar Ayesha dan segera mendapati sang nyonya sudah tampak rapi pagi ini. “Nyonya, cantik sekali!” Pujinya pada Ayesha.“Jangan berlebihan begitu, Momo. Ini karena set baju dan hijab yang aku pakai saja bagus, bukan karena akunya.” Ayesha yang tidak terbiasa mendapat pujian pun justru merendah. “Ah, Nyonya terlalu merendah. Itu baju kalau saya yang pakai pasti sayanya tetap kelihatan buluk!” Momo menertawai dirinya sendiri.Ketika melihat Ayesha tidak ikut menertawai dirinya, Momo segera sadar dan memperbaiki sikapnya. Tidak seharusnya terlalu akrab dengan sang Nyonya meski dia tahu Ayesha wanita yang baik dan humble. “Kenapa, Momo?” Ayesha heran Momo dengan cepat bersikap seperti biasanya.“Maaf, jika Nyonya tidak suka. Saya seharusnya tidak bersikap demikian.”Ayesha tersenyum dan mendekati wanita itu. “Aku tidak keberatan kok, kalau kita ngobrol biasa seperti teman. Akan sangat menjemukan bukan sepanjang hari harus seformal itu.”Dia akan menghabiskan banya
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber