Ponsel berdering saat Hilbram sibuk melaksanakan zoom meeting di ruang kerjanya. Dia tidak bisa segera mengangkatnya karena sedang bicara. Tidak berapa lama, terlihat Rahman datang mencoba meminta waktu Hilbram sejenak.“Ada apa?” tanya Hilbram setelah mengetuk tombol mute di layar laptopnya.“Maaf, Nyonya Hamidah dalam panggilan. Beliau sepertinya mendesak untuk segera disambungkan dengan anda,” tukas Rahman menyodorkan ponselnya.“Bilang aku sedang meeting penting. Nanti aku akan menghubunginya,” ujar Hilbram menolak meski tahu bahwa tantenya itu akan marah besar kalau panggilannya ditolak.“Baik, Tuan!” Rahman terlihat gelisah atas penolakan itu. Setelah ini dia akan bersiap untuk mendapatkan kemarahan Hamidah. Keponakan dan Tante ini kenapa tidak bisa sedikit akur?Balik dari ruang kerja sang tuan, Rahman langsung menyampaikan apa yang diminta Hilbram. Padahal sudah disampaikannya dengan sesopan dan sehormat mungkin, namun Hamida tetap juga memarahinya. Segenap kata-kata pedas ya
Momo mengetuk pintu kamar Ayesha dan segera mendapati sang nyonya sudah tampak rapi pagi ini. “Nyonya, cantik sekali!” Pujinya pada Ayesha.“Jangan berlebihan begitu, Momo. Ini karena set baju dan hijab yang aku pakai saja bagus, bukan karena akunya.” Ayesha yang tidak terbiasa mendapat pujian pun justru merendah. “Ah, Nyonya terlalu merendah. Itu baju kalau saya yang pakai pasti sayanya tetap kelihatan buluk!” Momo menertawai dirinya sendiri.Ketika melihat Ayesha tidak ikut menertawai dirinya, Momo segera sadar dan memperbaiki sikapnya. Tidak seharusnya terlalu akrab dengan sang Nyonya meski dia tahu Ayesha wanita yang baik dan humble. “Kenapa, Momo?” Ayesha heran Momo dengan cepat bersikap seperti biasanya.“Maaf, jika Nyonya tidak suka. Saya seharusnya tidak bersikap demikian.”Ayesha tersenyum dan mendekati wanita itu. “Aku tidak keberatan kok, kalau kita ngobrol biasa seperti teman. Akan sangat menjemukan bukan sepanjang hari harus seformal itu.”Dia akan menghabiskan banya
Hilbram menyukai tempat yang bisa menjaga privasinya. Namun pagi ini dia ingin sarapan di luar rumah dan mencari suasana baru karena sekalian ingin menghabiskan sedikit waktu bersama wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.Rahman memilihkan sebuah resto dan kafe yang bernuansa alam, di mana viewnya langsung gunung dan air terjun dari kejauhan yang terlihat mempesona. Cocok sekali untuk pasangan pengantin baru yang seharusnya hari-hari ini dihabiskan untuk berbulan madu.Tempat itu sengaja ditutup untuk umum karena hanya akan melayani seorang pegusaha kaya raya yang ingin sekedar sarapan bersama istrinya.Ketika Ayesha sudah duduk di sana bersama Hilbram dengan sajian menu yang beraneka macam, dia sedikit merasa aneh. Kenapa tempat ini sepi sekali?“Apa yang membuatmu resah?” tanya Hilbram menatap sang istri yang pagi ini terlihat cantik sekali. Udara yang sejuk menambah suasana hatinya menjadi damai.“Tempat ini b
Di luar hujan deras dan mereka memutuskan untuk menyewa Vila. Keduanya duduk di pinggir jendela menikmati teh hangat dan camilan yang disuguhkan pengelola vila. Sambil berbincang-bincang kecil menunggu hujan reda. Sebenarnya dalam hati Hilbram berharap hujan akan turun sepanjang hari agar dia bisa menikmati momen berdua yang romantis ini. Meski saat ini hanya bisa mengobrol saja. Menunggu waktu yang tepat untuk melakukan apa yang seharusnya dua insan yang sudah menikah lakukan. Dingin-dingin seperti ini, pemikiran pria yang sudah beristri pastilah ke arah sana. “Kau tinggal bersama siapa saja di rumahmu?” tanya Hilbram. Sebenarnya Hilbram sudah tahu karena meminta Rahman menyelidiki tentang gadis ini. Namun pertanyaan itu harus diutarakannya agar Ayesha menganggap Hilbram peduli untuk bertanya tentang keluarganya. “Aku tinggal sendiri. Ibuku meninggal ketika aku baru lulus SMA. Ayahku sudah lebih dulu meningggal
Mata yang terpejam itu perlahan terbuka dan menatap tubuh yang terkulai lemas di sampingnya.Beberapa saat dia menatap wajah yang terlelap itu dan menyadari bahwa dia sedikit terburu melakukannya.Padahal sebelumnya sudah menyepakati untuk tidak mengusik Ayesha hingga gadis ini benar-benar menerimanya.Ternyata pengendalian dirinya tidak sekuat yang dikiranya selama ini.Sebagai pengusaha muda yang sukses, godaan akan tawaran wanita tentu tidaklah sedikit.Pernah suatu ketika seorang direktur yang bekerjasama dengan perusahaannya, ingin berterima kasih dengan mengirimkan dua wanita pilihan untuk menghiburnya. Wanita dengan kualitas terbaik dan nyaris sempurna secara visual.Tapi Hilbram justru memberikan uang pada dua wanita itu dan memintanya pergi dari kamar hotelnya.Hilbram dididik dengan sangat baik oleh kakeknya, bahwa hal sekecil itu mungkin bisa menjadikan masalah besar jika tidak bisa m
Semalam tidurnya nyenyak sekali hingga baru terbangun ketika ponsel di nakas berdering berkali-kali. Ayesha berjingkat dan segera memeriksa ponselnya. Sudah jam 5 lebih beberapa menit dan dia belum melaksanakan kewajibannya. Beberapa menit lagi mentari sudah menyapu jejak waktu subuh. Ayesha segera bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Ponsel berdering sekali lagi. Ayesha yang sudah menyelesaikan sholat bangkit mengambilnya. Melihat nama di layar dia mengernyitkan jidatnya. ‘Suamiku?’ Pasti nomor pria itu. Siapa yang memberi nama seperti itu? Menggelikan sekali. Batin Ayesha sembari mengangkat panggilan. “Assalamu’alaikum?” sapa Ayesha dengan nada ragu. “Waalaikum salam, sudah bangun, Sha?” suara bariton itu terdengar sedikit serak seperti orang mengantuk. Ayesha baru ingat, Qatar dan tempatnya beda 4 jam lebih lambat. Jika sekarang baru pukul 5 pagi, di Qatar pasti masih dini hari. Apa pria ini tida
“Maaf, Bu!” hanya itu ucapan Ayesha.Salahnya dia tidak bertanya dengan alasan apa Rahman mengijinkannya? Jadinya dia hanya bisa meraba-raba dan menunggu apa yang akan disampaikan kepala sekolahnya.“Tadinya aku mau memberimu surat teguran, tapi pihak yayasan menyampaikan memberimu izin selama yang kau butuhkan. Heran saja, bagaimana kau begitu lancang meminta izin dari yayasan sementara tidak memberitahuku!”Maria merasa apa yang dilakukan Ayesha dengan begitu saja meminta izin dari yayasan adalah sebuah penghinaan padanya. Karena yayasan sendiri selama ini tidak pernah ikut campur dalam urusan penegakan kedisiplinan di sekolah.Jika tiba-tiba ada rekomendasi langsung dari yayasan tentang surat izin Ayesha, Maria tentu mencurigai Ayesha sudah bermanipulatif.“Saya harus bagaimana, Bu?”Ayesha tidak paham apa yang harus dilakukannya. Secara administrasi dia sudah meminta izin dan sekolah
Jam pelajaran sudah berakhir 15 menit yang lalu. Ayesha membereskan kelas dan mematikan lampu ruangan lantas melangkah keluar. Dia lupa ada janji dengan Hanin karenanya berhenti sebentar dan mengambil ponselnya di tas. Zain pasti sudah menunggu di depan. Ayesha harus mengirimkannya pesan agar tahu bahwa dia masih ada urusan. [ Kau bisa balik lagi nanti kalau aku sudah selesai urusanku, Zain ] ketik Ayesha di aplikasi pesan yang dikirimkannya pada Zain. [ Siap, Nyonya ] hanya itu balas Zain namun sudah membuat Ayesha mengembangkan senyumnya. Perempuan itu terlihat sangar di awal bertemu, ternyata ramah dan manis. Ayesha jadi teringat Hilbram yang terlihat dingin dan menakutkan di awal, namun sebenarnya semakin mengenalnya Ayesha jadi tahu bahwa Hilbram tidak semenakutkan itu. Di sela menikmati bakso di kedai Bu Ratmi, Hanin terus mendesak agar Ayesha menceritakan tentang ketidak hadiraannya hampir dua miggu ini. Di mana dia dan a
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber