“Hahaha!”
Suara tawa renyah Hamida mendengar ucapan David yang di luar dugaannya.
“Anak itu ada-ada saja, lucu juga ceritanya. Lanjutkan...”
Hamida menuangkan minuman lagi ke gelas David, memintanya melanjutkan cerita tentang Ayesha. David merasa tidak ada beban saat menceritakan tentang keponakannya itu.
“Itu sebenarnya kesalahan saya, Nyonya. Tolong jangan berpikiran buruk tentang Ayesha.” David menyelipkan keseriusannya meski melihat Hamida malah tertawa-tawa lepas. Seolah itu bukan hal besar.
“Santai, kita bisa mengerti, kok! Aku tahu Ayesha wanita yang baik. Dia juga seorang guru ‘kan?” Hamida mengulas senyumnya.
‘Ayo, teruskanlah. Aku harus mendapatkan sesuatu yang mengejutkan lagi!’ Hamida tidak sabar menggiring David.
“Dia di tempat bordil pun hanya sebentar, langsung diambil Tuan Hilbram dan dinikahi.”
“Hmmm, rasanya tidak mungki
Ada undangan pernikahan dari seorang kenalan, Hilbram untuk pertama kalinya mengajak Ayesha dan ingin memperkenalkannya ke khalayak ramai bahwa dia sudah memiliki istri. Selama ini, di kalangan pengusaha muda, Hilbram terkenal sebagai bujang sukses yang belum juga menikah. Usianya sudah 33 tahun dan beberapa bulan lagi akan bertambah satu angka. Dia merasa harus mengajak istrinya itu agar tidak terus dibully jika kebetulan bertemu teman dekatnya. “Mas, aku tidak pernah pergi ke acara seperti ini.” Ayesha melingkarkan tangannya di lengan Hilbram ketika masuk ke tempat acara yang megah itu. “Tidak apa, kau hanya perlu tersenyum dan menyapa orang yang aku kenalkan padamu,” bisik Hilbram pada istrinya yang tegang itu. Ayesha sering dipandang rendah orang lain, karenanya dia selalu merasa kurang percaya diri dengan penampilannya. Padahal saat ini dia menggunakan gaun yang indah dan terlihat sesuai dengan dirinya. Meski memakai hijab, dia terlihat sangat anggun dan menawan. Belum lagi a
Sepanjang acara tadi, Hilbram hanya terdiam melihat prosesi acara yang memang dirancang dalam suasana hidmat. Ayesha yang duduk di sampingnya jadi resah atas sikap suaminya itu. Apa dia memang menghayati acara atau marah padanya?‘Aku tidak melakukan apapun, kenapa dia marah?’ batin Ayesha yang memilih untuk tidak memikirkannya lagi.Acara akhirnya selesai. Hilbram menggandeng tangan Ayesha kembali ke mobilnya. Sialnya, mereka lagi-lagi berpapasan dengan Gilga dan istrinya.“Aku tidak suka berbasa-basi, mau apa?” Hilbram heran, untuk apa Gilga malah menghampiri mereka. Sementara di sudut sana, Hilbram melihat istri pria ini menunggunya di samping mobil.“Ini—pin Ayesha bukan? Tertaut di kemejaku!” tukas Gilga santai menunjukan pin itu.Ayesha melihatnya, itu memang pin hijabnya. Sebelum tangannya sempat mengambil pin itu, Hilbram sudah lebih dulu menyambarnya.“Terima kasih!” tukas Hilbram dingin dan menggandeng Ayesha masuk ke dalam mobilnya.Hilbram nampak fokus menyetir dalam diam
Ayesha mengambil beberapa bunga di halaman yang sudah bermekaran dan menatanya di dalam vas. Zain membantu nyonya -nya itu mengambilkan beberapa bunga lagi. Ketika itu, Rahman tampak menghampiri Zain. Mereka terlihat berbicara serius.“Ada apa, Zain?” tanya Ayesha, penasaran.“Pak Rahman mencari Tuan Hillbram, Nyonya. Saya sudah menyampaikan Tuan sedang berolahraga di lantai atas.”Zain membawa bunga-bunga yang baru dipetiknya.“Adakah hal serius?” tanya Ayesha, karena melihat raut Rahman yang tegang dan mendesak. Terlebih, Rahman bertanya pada Zain dan mengabaikannya yang juga ada di sini.“Saya kurang faham, Nyonya,” ujar Zain tidak banyak bicara.Ayesha tidak bertanya lagi. Dia menyelesaikan rangkaian bunganya lalu membawa vas itu ke dalam.“Aku bisa melakukannya sendiri, Zain. Kau bisa melakukan pekerjaan lainnya,” tukas Ayesha, melihat Zain hendak mengukutinya.“Baiklah, Nyonya. Permisi!”Zain melangkah pergi.Ayesha melihat-lihat ruangan dan menilai sudut mana yang bagus untuk m
“Sebagai seorang Nyonya keluarga Al Faruq, hal seperti itu tidak pantas Anda lakukan, Nyonya. Saya berharap Anda belajar lagi menggunakan etika yang baik. Ada sesuatu hal yang bisa jadi tidak bisa di dengar orang lain. Kata permisi adalah hal yang seharusnya sudah anda ketahui dalam sopan santun!”Rahman memberikan sebuah pelajaran etika pada seorang guru seperti Ayesha. Hal demikian bukan sesuatu yang bisa diangggap menasehati, tapi lebih sebagai sebuah sindiran.Ayesha bukan orang yang tidak memahami hal itu. Tapi, sebelumnya dia sudah merasa berbuat kesalahan. Karenanya dia tidak ingin menjadi pemicu masalah lagi, hingga sampai harus ingin tahu apa yang terjadi.Ayesha mengakui dia salah. Dan akan memperbaiki kesalahannya itu.“Baik, Rahman. Aku memang bersalah.” Ayesha tidak menyangkal.“Apa yang Anda ingin sampaikan?” tanya Rahman lagi.“Aku-aku hanya...”“Apa Anda mau mengakui kalau Anda-lah yang membocorkan perjanjian pernikahan itu?”Ayesha terdiam. Rahman sudah tentu mencuri
“Bisakah Anda tidak mengganguku?” ujar Ayesha dengan nada lelah.“Ada apa? Kau terlihat tertekan? Apa kau ada masalah?” Gilga justru bertanya dengan sok perhatian.“Maaf!” Ayesha segera menutup ponselnya dan melemparkannya di tempat tidur.Dia suntuk sekali, lalu memutuskan untuk pergi keluar. Tidak lupa, dia mengirim pesan pada Hilbram sekedar memberitahunya kalau dia ingin keluar.[Mas, aku keluar ya?] tulisanya yang sudah terkirim ke nomor Hilbram.Pesan terbalas lima menit kemudian.[Baik, hati-hati!]Ayesha tercenung sesaat, Hilbram tidak bertanya ke mana dia pergi. Ya sudah, mungkin dia sedang sibuk di kantor dan banyak pekerjaan.Hilbram tentu tidak perlu bertanya ke mana istrinya pergi. Ada supir dan juga gps di mobilnya. Jadi dia bisa tahu kemana dan kapan istrinya singgah di suatu tempat.“Ke mana, Nyonya?” tanya Zain, karena sejak tadi Ayesha tidak mengatakan tujuannya. Sementara mereka sudah berputar-putar kota.“Maaf, Nyonya? Kita ke mana?” tanya Zain sekali lagi.Barul
Zain menurut saja kala Ayesha memintanya harus mengikuti mobil Hamida. Dia menyampaikan bahwa Hamida ingin mengajaknya sekedar makan malam.Ayesha juga sudah menghubungi Hilbram. Suaminya itu hari ini pulang larut karena harus menghadiri launching produk perusahaannya di sebuah hotel. “Anda yakin, Nyonya?” Zain kembali mengingatkan.Hamida selalu ingin menjahatinya, lalu untuk apa sekarang dia tiba-tiba ingin mengajak Ayesha makan malam.“Ya sudahlah, Zain. Tidak enak juga ‘kan kalau tidak menyanggupi ajakan makan malamnya,” ujar Ayesha terlihat sekali enggan mengikuti kemauan Hamida.Setelah sampai di sebuah tempat, Ayesha pun keluar dari mobil.Zain menawarkan apakah dia perlu ikut? Tapi Ayesha menolak.Lagi pula Zain tidak perlu tahu pembicaraan mereka agar tidak mengadu pada Rahman ataupun Hilbram. Meski Ayesha tahu, Zain bukan orang yang suka mengadu.Dia mengikuti dua wanita itu memasuki lift. Ke tiganya tidak berbicara hingga lift terbuka dan mereka disambut petugas restoran y
Ayesha bingung dengan semua kerumitan dalam hidupnya ini. Dia menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam bathtub untuk beberapa saat, berharap gelembung-gelembung yang keluar dapat menghempaskan semua beban di kepalanya.Apa yang harus dia lakukan?Apakah harus membicarakan semua ini dengan Hilbram?Hhhahhh! Ayesha kembali muncul dipermukaan merasakan dadanya sesak kehabisan napas. Nyatanya, beban yang bergelanyut di kepalanya masih terasa berat dan menyiksa.“Tuhan, perjanjian apa yang kau serukan padaku sebelum memutuskan meloloskan jiwaku terlahir ke dunia ini” gumamnya sambil menitikan air matanya. Sebentar menguatkan diri, barulah Ayesha bangkit mengambil handuknya.Dia lelah sekali, lalu memutuskan untuk bergegas tidur saja agar tidak malah stress meghadapi masalahnya. Suaminya pasti masih sibuk bekerja. Kasihan dia, sudah sesibuk ini mengurusi perusahaan, tapi malah menghadapi gugatan hak warisnya dicabut.
[ Nyonya, persiapkan dirimu. Aku akan menjemputmu sebentar lagi ]Pesan dari Hilbram terbaca di layar ponsel Ayesha.Netranya masih juga menatap lekat-lekat layar ponsel itu. Apakah pesan seperti ini masih bisa didapatkannya setelah semua ini berakhir?[ Baik, Tuan! ] Ayesah mengirim balasan beberapa menit kemudian.Dia bangkit untuk mempersiapkan dirinya. Mungkin malam ini dia akan membicarakan masalah itu pada Hilbram. Mereka akan berbicara selayaknya dua orang dewasa. Bukan sebagai dua orang yang sama-sama mencintai. Ayesha berharap dia dan Hilbram bisa mengesampingkan perasaan masaing-masing untuk kebaikan bersama.“Istriku cantik sekali!” Hilbram mengulurkan tangannya saat menyambut Ayesha dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Dia tidak pernah pelit saat memuji istrinya itu.Ayesha tidak memungkiri, dia memang mempercantik dirinya. Hari-hari menuju perpisahan mereka harus diakhirinya dengan kesan yang indah. Setidaknya
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber