“Sha, kemarilah kita bicara sebentar!” ujar Hilbram pada Ayesha yang sejak tadi melengos dan menghindarinya itu.Ayesha tidak ingin membuka suaranya dahulu. Dadanya penuh sesak dengan segunung kekesalan. Tidak mau membuat air matanya terlihat menetes di hadapan pria ini. Dia harus ingat bahwa sudah sepakat dengan dirinya sendiri untuk mematikan rasa pada pria yang kejam ini.Tidak cukupkah bagi pria itu menyakitinya selama ini?Untuk apa masih datang hanya untuk mengatakan bahwa dirinya sudah tahu Adam adalah anaknya.Lantas mau apa kalau memang mengetahui kenyataan itu?Bukankah dia sudah menikah lagi?Merasa Ayesha mengabaikan kehadirannya, dia bangkit dan hendak menghampiri Ayesha. Namun dengan sigap Ayesha juga bangkit sambil menahan Hilbram dengan tatapan tajamnya yang penuh luka yang masih berdarah.Hatinya masih belum terima mengetahui bahwa pria ini begitu cepat berbahagia dengan wanita lain, sementara dirinya terpuruk dalam kubangan derita karena tujuan kebaikannya. Rasanya
Pagi-pagi seperti biasa, Ayesha menyiapkan segala sesuatunya sebelum Adam terbangun. Pumping ASI. Menyiapkan keperluan Adam selama di Daycare, juga menyiapkan sarapannya sendiri. Dia harus menjaga pola makannya agar Adam mendapatkan ASI yang berkualitas.Teringat tentang pria itu lagi, sebenarnya terasa enggan sekali berangkat ke kantor. Tapi tidak mungkin dia resign saat banyak kebutuhan dalam hidupnya. Apalagi belum tentu langsung dapat pekerjaan di tempat lain.Ayesha lagi-lagi harus mengenyahkan egonya demi kebaikannya dan Adam.Suara klakson mobil terdengar. Ayesha yangg sudah rapi segera mengambil Adam yang juga sudah ganteng dan wangi itu untuk digendongnya.Saat dia harus merapikan penampilannya di depan cermin, bayi lucu itu terlonjak senang dan terkekeh melihat pantulan bayangannya sendiri di cermin.“Astaga, Nak. Ketawanya renyah sekali!” Ayesha jadi tertular bahagia melihat anaknya yang sudah ceria lagi itu.“tatatatata...” ocehnya kemudian terlonjak lagi dan tertawa lepas
Kantor mereka sudah pindah ke gedung baru yang lebih bagus. Ada banyak wajah-wajah baru, sepertinya pegawai lama dari Kota Pusat yang di mutasi ke Kota Surajaya.Ayesha baru ingat, ada peraturan di kantor agar memakai masker. Lalu dia mengambil masker di tasnya dan menggenakannya. Dia jadi ingat, tadinya dia ingin menyamarkan diri dengan memakai masker agar tidak diketahui Hilbram. Ternyata pria itu sudah lebih dulu tahu tentang dirinya yang bekerja di kantor ini.Ayesha jadi berpikir lagi, bagaimana harus bersikap tentang hubungannya ini. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Mungkin ajakan Hilbram untuk berbicara harus dia terima. Mereka harus bicara agar tidak lagi ada kesalahpahaman diantara keduanya. Kalau memang berakhir, maka harus diakhiri dengan baik. Bukankah itu yang diinginkannya sejak awal?“Bagaimana anakmu? Sudah lebih baik?” tanya Nola yang tahu anak Ayesha baru keluar dari rumah sakit. Dia juga yang memintakan Ayesha izin tidak masuk kerja kemarin.“Oh, sudah,
Karena tidak sedang membawa Adam, Ayesha memutuskan pulang dengan menaiki kendaraan umum.Dia tidak menunggu Miko karena kantor mulai memberlakukan pulang lebih cepat di masa pembatasan kegiatan masyarakat ini.Miko pasti masih sibuk antar barang. Pekerjaannya memang mengantar paket, sambil menumpangi orang yang searah dan memberinya tips seikhlasnya. Pria muda itu memang pekerja keras, jadi penasaran dengan istri dan tiga anaknya.Pria semuda itu sudah punya tiga anak. Katakanlah dia seumurannya, 26 tahun. Jika menikah muda usia 20 tahunan, artinya setiap anak mereka baru berumur satu tahun istrinya sudah hamil lagi. Ayesha hanya menggelengkan kepala melihat orang dengan pemikiran senekat itu memutuskan membina rumah tangga lebih awal.Tapi, benar tidak sih tentang Miko ini? Ayesha tiba-tiba meragukan sesuatu. Apalagi ada hal janggal dari pekerjaannya itu. Antar paket tapi seketika Ayesha menelponnya dia pasti langsung datang. ‘Sudahlah Ayesha, jangan mengurusi urusan orang! Urus
Ayesha resah sejak tadi mencoba memejamkan kedua matanya tapi tidak juga bisa terlelep. Padahal biasanya dia sudah terlelap jam begini. Dia bangkit dari tidurnya dan duduk termenung di atas ranjang. Entah apa yag dipikirkannya. Hanya untuk mengusir kejemuan, dia iseng membuka ponselnya. Memeriksa barangkali ada pesan yang belum terbaca atau sekedar melihat status teman-temannya. Tiba-tiba pesan dari Hilbram masuk ke ponselnya. [Kenapa masih online jam segini?] Pesan itu terbaca di netra Ayesha yang tidak sengaja menekan layar tepat di nomor yang bahkan belum diberinya nama itu. Ayesha tadinya enggan membalas. Tapi statusnya sudah centang biru. Mulai ada rasa tidak enak jika mengabaikannya. Apalagi mereka ada janji besok siang untuk belanja keperluan Adam. “Balas tidak ya?” gumamnya sendiri berperang dalam keraguan. Sepertinya berat untuk mengubah sikapnya dengan beramah tamah membalas pesan yang tidak penting itu. Ayesha tidak mau akhirnya menjadi nyaman dengan obrolan ini.
Semua orang sepertinya bekerja dengan sangat terburu-buru. Ayesha menyapa Nola yang juga baru datang kemudian sedikit bertanya padanya.“Ada meeting penting dengan perwakilan perusahaan dari jepang dan korea di Indonesia. Tadinya ‘kan meetingnya siang, tapi karena suatu hal diubah menjadi pagi hari. Makanya bagian penyelenggara keteteran!”Ayesha melihat beberapa karyawan sampai berlari-lari demi mempercepat persiapan yang seharusnya dipakai siang tapi diajukan pagi ini.Undangan ini mungkin sekalian mengenalkan kantor baru perusahaan Al Faruq di Kota Surajaya, kepada para pimpinan perusahaan yang memiliki ikatan kerja sama dengan perusahaan Alfaruq.Ayesha jadi ingat, kemarin Hilbram mengcancel sebuah meeting hanya karena ingin mengantarnya membeli keperluan Adam. Apa mungkin meeting yang ini?Kalau benar begitu, dia berlebihan sekali. Membeli keperluan Adam bisa lain waktu, tidak perlu juga sampai harus mengubah jadwal meeting hingga membuat banyak orang keteteran seperti ini. Para
“Sha, letakan Adam di strollernya. Kita harus bicara!” ucap Hilbram melihat Ayesha masih menggendong Adam yang sudah tertidur itu.Mereka baru selesai berbelanja dan saat ini sedang memesan makanan di sebuah kafe. Hilbram yang suka privasi meminta satu ruangan untuknya disterilkan dari pengunjung. Ayesha sudah paham dengan hal itu.Beberapa saat kemudian, Ayesha melihat Hilbram mulai terihat serius. Sepertinya ingin membicarakan sesuatu yang penting. Bukankah semalam mereka memang berbalas pesan dan pria ini ingin menjelaskan semuanya?“Bagaimana?” tanya Hilbram saat Ayesha sudah menaruh Adam di strollernya.“Apa?” Ayesha tidak paham pertanyaan Hilbram.Hilbram menghela napas dan memperbaiki posisi duduknya. Melihat Ayesha sepertinya belum sepenuhnya bisa menerima kehadirannya kembali. Dia inginnya malam ini mengakhiri jarak diantara mereka. Ayesha adalah istrinya dan tidak boleh jauh darinya lagi.“Kau sudah tahu ‘kan kalau kita masih terikat pernikahan? Seharusnya kita tidak tingg
Hilbram baru bersiap ke kantor ketika pesan dari Miko dibacanya. Ayesha mengatakan tidak ke kantor pagi ini. Hilbram menanyakan apakah Ayesha atau Adam sakit? Dan Miko menyampaikan bahwa anak dan istrinya itu baik-baik saja.Ada apa?Apa dia marah padanya?Hilbram berpikir apa kira-kira yang membuatnya marah. Perkataannya yang mana yang membuatnya tersinggung sampai marah?Mungkin nanti, selepas menyelesaikan pekerjaannya, Hilbram akan menemuinya.❤️❤️❤️“Jadi di sekolah ada kebijakan menjadwal siswa yang masuk. Hari ini kebetulan kelasku libur!” Hanin menggendong Adam dan menimang-nimangnya. Kangen sekali dengan bayi gemoy itu.“Padahal kota kita termasuk salah satu kota yang belum ada kasus Covid. Tapi Pemprov sudah menerapkan kebijakan seperti itu. Berlebihan enggak sih?” Hanin seolah tidak setuju dengan kebijakan meliburkan sekolah. Padahal sejak dulu di kota ini protokoler kesehatan sudah diterapkan dengan baik. Anak-anak yang diliburkan tidak semuanya mau belajar di rumah. Kese
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber