Hilbram sudah mulai bekerja di kantornya meski harus didorong di kursi roda. Tulang kakinya sebelah kiri mengalami patah dan masih membutuhkan waktu pemulihan. Dia juga belum bisa mengingat banyak hal pasca kecelakaan itu.
“Baru-baru ini Anda sudah menanda tangani kontrak kerjasama dengan perusahaan minyak dan gas di Kanada, kemudian beberapa aset perusahaan kita di Qatar pun berkembang dengan pesat.” Karena dokter mengatakan bahwa Hilbram mengalami amnesia dan kehilangan beberapa memori beberapa tahun kebelakang, Rahman menjelaskan hal yang Hilbram lupakan.
“Benarkah itu, Rahman?” Hilbram tampak terkesan dengan pencapaiannya sendiri.
“Benar, Tuan. Anda juga melakukan banyak investasi ke beberapa perusahaan di Eropa dan Amerika. Dan setiap tahun nilai sahamnya terus merangkak naik.”
Hilbram merasa terhibur mendengarnya. Dia kemudian berterima kasih pada Rahman, pasti karena pria ini dia bisa melakukan
Hilbram menjalankan kursi rodanya secara otomatis menuju halaman samping. Melihat Thalita sedang duduk di ayunan sambil merenung di sana.“Kau melamun?” tanya Hilbram menyapa sepupunya itu.“Bram?” Thalita sedikit terkejut ada Hilbram yang sudah mendekatinya.“Biasanya kau panggil aku kakak?” Hilbram sedikit protes pada sepupunya itu yang memanggilnya dengan hanya nama saja. Padahal usianya jauh lebih muda darinya.“Hei, kenapa kau mirip sekali dengan Nenek? Dia selalu meribetkan hal-hal kecil seperti ini.”Hilbram tersenyum melihat sepupunya itu mencebik. Gadis ini memang selalu membuatnya terhibur. Yah, itu karena Hilbram tidak punya banyak waktu sekedar bersama teman atau mencari hiburan yang lain. Setidaknya memiliki sepupu membuatnya masih bisa bercanda.“Ada apa dengan kekasihmu itu? Dia meninggalkanmu saat hamil?” tanya Hilbram, dia juga bisa melihat perut Thalita mulai
Hilbram sedang memeriksa laporan perusahaannya saat ponsel di samping laptopnya berkedip. Tidak ada nama pengirim yang tertera. Jadinya, dibiarkan saja panggilan itu tidak terjawab.Beberapa saat kemudian, ponselnya berkedip kembali. Sepertinya, nomor sama yang menghubunginya lagi. Barulah dia tercenung menatap layar ponselnya.Tidak sembarang orang yang tahu nomor ponselnya. Mungkinkah itu panggilan penting dari orang yang dikenalnya.Hanya karena tidak mau terus diganggu, akhirnya Hilbram mengangkat ponsel itu.“Hallo?” Suaranya dingin. Setelah mendengar tidak ada pergerakan dari seberang. Dia mengulang sekali lagi sapaannya, jika tidak ada hal penting maka dia akan segera menutupnya.Namun, akhirnya terdengar juga suara seseorang di seberang sana.“Tuan, apa kabar?”Hilbram mengernyitkan dahinya dan memikirkan apakah dia pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya? Siapa wanita yang menghubunginya ma
Hanin melihat Ayesha membolak-balik makanannya tapi tidak juga dimakannya. Setelah panggilan waktu itu yang tidak ada respon baik, Ayesha malah terlihat murung sepanjang hari.“Mungkin dia sedang sibuk dan tidak menyangka kalau itu dirimu. Bisa jadi seperti itu ‘kan?” Hanin masih menghibur Ayesha.Padahal, Hanin sendiri merasa tidak suka Ayesha terlalu berharap pada pria yang sudah menelantarkannya itu.“Benar, Nin. Mungkin aku kirim pesan dulu kali ya?” tiba-tiba Ayesha mendongakan tatapnya dan melihatkan seribu harapan masih terpancar di manik matanya yang teduh itu.Hanin hanya bisa mengangguk dan menyodorkan ponselnya. Asal Ayesha bisa terlihat senang, dia berharap yang terbaik saja.Dengan tangan bergetar karena tidak sabar ingin menghubungi Hilbram, Ayesha mengetikan sesuatu di sana. Ini bukan tengah malam, mudah-mudahan Hilbram membalas pesannya dan langsung menghubunginya?[ Assalamu’aa
Taher mengetuk pintu, Hilbram langsung menyuruhnya masuk.Pria itu kemudian melaporkan data-data yang sudah didapatnya.“Nomor ponsel ini didaftarkan atas nama Hanin Prajayaksa. Dengan alamat sesuai identitas di kota Surajaya.”Hilbram mencoba mengingat, adakah dia mengenal nama Hanin?“Kau kenal nama itu?” tanya Hilbram pada Taher.“Sama sekali tidak, Tuan!”“Mungkin di kota Surajaya, aku pernah bertemu atau mengenal seorang wanita di sana?”Taher terdiam. Apakah nomor ponsel itu ada hubungannya dengan nyonya-nya yang hilang itu?“Taher?” Hilbram menggugah Taher yang belum menjawab itu.“Oh, makam orang tua Anda ada di Kota Surajaya. Anda juga memiliki rumah pribadi di sana. Ada perusahaan cabang juga yayasan pendidikan Al Faruq yang didirikan Nyonya Safina di kota tersebut.”“Aku tidak lupa hal itu, Taher.” Hilbram merasa Taher t
“Dokter, apa aku sudah lebih baik?” tanya Hilbram saat harus mengontrol kesehatannya.Kakinya sudah lebih baik dan dia sudah tidak harus duduk di kursi roda. Namun dia masih butuh tongkat agar tidak terlalu berat menahan tubuhnya di kaki yang masih dalam taraf penyembuhan.“Berangsur membaik, Tuan. Anda sudah tidak perlu memakai kursi roda kalau Anda mau.”“Bukan hal itu. Maksudku—apa ada kemungkinan aku mendapatkan ingatanku kembali?” tanya Hilbram mencari tahu.Dokter Rana, dokter keluarga Al Faruq menatap Hilbram dan memperhatikan apa pasiennya itu mulai mengingat sesuatu?“Katakan pada saya, Tuan. Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?”“Bagaimana dikatakan mengganggu itu?” Hilbram tidak tahu pasti apa yang dimaksud dokter. Kalau yang menganggunya hanya karena dia merasa tidak ingat apapun, setiap hari memang seperti itu adanya.“Misalnya, tiba-tib
Kembali ke rumah pribadinya, ada perasaan yang tidak bisa diungkapnya. Dia bingung hal apa itu?Menatap taman di samping rumahnya yang penuh bunga-bunga, dia teringat seseorang yang menyukai bunga.Siapa?Neneknya kah yang dilihatnya sedang memetik bunga dan merangkainya di sana?“Bram, di mana kamarku?” Thalita terlihat memegangi pinggangnya, mungkin lelah.Sebentar lagi dia sudah masuk bulan melahirkan. Sungguh kasihan jika melihat wanita hamil. Tampak kesusahan dengan perutnya yang membesar. Terlebih Thalita tidak bersama ayah dari bayinya. Hilbram berpikir, tega sekali pria yang sudah membuat sepupunya hamil itu namun malah meninggalkannya.Momo hadir dan menunjukan kamar yang akan di tempati Thalita.“Saya sudah bersihkan, Nona. Silahkan!”Setahu Momo Thalita adalah sepupu Hilbram. Pernikahan itu belum banyak yang mengetahui. Bahkan pegawai Hilbram yang tidak serumah, tidak juga mengetah
“Besok kau akan ke Qatar ‘kan? Jadi sekarang kau harus menemaniku jalan-jalan!”Thalita menggandeng lengan Hilbram saat mereka memutuskan jalan-jalan sore itu di sebuah mall.“Jahat sekali kamu, Bram! Istri mau melahirkan malah ditinggal.” Masih Thalita bergumam kesal.“Papa dan Mamamu akan datang, kau akan balik ke Kota Pusat besok. Lagi pula ini juga di luar rencanaku. Tadinya aku mau berlibur saja sementara waktu di kota kelahiranku ini. Ternyata ada hal yang membuatku harus datang ke Qatar.”Hilbram juga terlihat sangat kecewa. Rahman memang tidak memaksanya untuk hadir jika Hilbram tidak menginginkannya.Namun, pria itu menyampaikan sesuatu yang sekiranya membuat Hilbram tidak tenang kalau tidak datang ke Qatar.Bagi pria berprinsip dan berkomitmen tinggi terhadap pekerjaannya, Hilbram tentu memilih untuk pergi ke Qatar.“Tunggu di sini sebentar, aku mau ke belakang!” Th
“Mbak? Mbak tidak apa-apa?”Seorang pria terkejut ketika tiba-tiba Ayesha roboh di pelukannya saat masih ada di lift.“Eh, sadar Mbak!” Pria muda itu sedikit panik karena Ayesha pingsan. Dia tidak mungkin mengabaikannya apalagi tahu kalau wanita yang pingsan di pelukannya itu sedang hamil besar.Begitu lift terbuka, pria itu berteriak meminta tolong, namun sepertinya orang yang tidak banyak di luar sana hanya terbengong. Baru kemudian seorang petugas datang terburu menghampiri.“Pak Sebastian?” Petugas keamanan itu terkejut karena melihat bos pemilik mall tempatnya bekerja sedang memapah wanita yang hamil. Setahunya, bosnya itu belum menikah.“Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak lihat aku membawa wanita hamil?” Pria yang bernama Sebastian itu melotot pada petugas itu.“Oh, baik, akan saya panggilkan ambulans.” Petugas itu jadi ikutan panik. Jangan-jangan wanita yang bersama bosnya itu akan segera melahirkan.“Hai, tunggu!” Sebastian jadi bingung sendiri. Akhirnya dia menggendong tubuh
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber