Syera spontan bersingkut mundur setelah tak ada lagi yang menyeret tubuhnya. Selama beberapa saat wanita itu masih menunduk dengan tubuh gemetar ketakutan. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dan saat itu pula netra hazelnya bertabrakan dengan manik hitam legam suaminya yang sedang melawan para lelaki cabul itu. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, memastikan sosok yang tengah bergulat dengan ketiga lelaki mabuk itu. Ia tidak mungkin salah, lelaki itu memang Tama. Namun, bagaimana caranya lelaki itu menemukan keberadaannya? Syera menyeret langkah menjauh dari sana hingga punggungnya menabrak tembok pembatas di belakangnya. Sorot matanya tak lepas dari sosok Tama yang sangat lihai melawan 3 orang sekaligus. Namun, tetap saja hal itu tak membuat kekhawatirannya berkurang. Sayangnya, ia tak bisa membantu sama sekali. “Awas di belakangmu, Tuan!” pekik Syera spontan saat salah satu di antara orang-orang itu nyaris memukul Tama dari belakang mengunakan batu besar. Beruntung, Ta
Syera mengerutkan keningnya tepat ketika mobil yang dikendarai oleh asisten suaminya berhenti di dekat tempat perbelanjaan. Tempat yang cukup dekat dengan area jalan-jalannya kemarin. “Kenapa kita berhenti di sini, Tuan? Apa kita tidak langsung ke bandara saja?” “Kita tidak jadi kembali ke Jakarta hari ini. Masih ada beberapa hal yang harus kita selesaikan sebelum pulang. Ayo turun!” tutur Tama yang lebih dulu turun dari mobil. Lelaki itu melangkah memutari mobil dan membukakan pintu untuk Syera. Syera mengerutkan keningnya bingung. Namun, ia tetap melangkah turun dari mobil dan membalas gandengan Tama. Sejak masih berada di hotel tadi, dirinya memang sudah heran karena Elvina tidak diizinkan ikut. Syera mengira mereka memang akan menggunakan mobil terpisah. Tetapi ternyata Tama memiliki rencana lain. Setelah kejadian semalam, jujur saja dirinya memang ingin segera kembali ke Jakarta. Syera ingin segera menghapus sisa kenangan pahit itu. Setidaknya jika ia tidak berada di sini lagi,
“Apa?! Alat pelacak?! Kapan Tuan menaruh alat pelacak di cincin ini?! Kenapa Tuan melakukannya?!” sentak Syera dengan suara tertahan. Dari semua kemungkinan, ia tak menyangka ternyata Tama meletakkan alat pelacak di cincinnya. Walaupun alat pelacak tersebut sangat membantu semalam, tetapi tetap saja itu melanggar privasinya. Pantas saja Tama begitu mudah menemukannya karena lelaki itu memang bisa memantau keberadaannya kapan pun dan di mana pun. Syera spontan melepas cincin yang tersemat di jari manisnya itu. Tak peduli suaminya akan marah padanya. Namun, Tama lebih dulu mencegah dan menggenggam tangannya erat. Kemudian, melempar tatapan amat tajam. “Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh melepasnya dan kita sudah menyepakati itu!” sentak Tama penuh penekanan, namun masih dengan suara pelan. Tak ingin orang-orang di sekitar sana mendengar percakapan mereka. “Aku setuju karena tidak tahu kalau Tuan memasang alat pelacak di cincin ini! Kalau aku tahu sejak awal, aku tidak akan mau m
Syera yang semula terkantuk-kantuk kontan menegang. Wanita itu spontan menoleh ke belakang bersamaan dengan Utari juga dokter Elly yang duduk di bangku belakang. Ternyata ada sebuah mobil hitam yang memang sedari tadi berada di belakang mobil ini. “Apa Mas yakin? Bisa saja mobil itu memang memiliki tujuan yang sama dengan kita,” sahut Syera yang masih mengumpulkan nyawanya karena nyaris jatuh terlelap tadi. “Kita tidak boleh asal menuduh tanpa bukti.” Ia juga menyadari jika mobil itu berada di belakang mobil Tama, namun belum tentu juga mobil tersebut sengaja mengikuti mereka. “Kamu terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa. Sejak kita keluar dari hotel, mobil itu sudah berada di belakang mobil kita. Untuk membuktikannya, kita putar arah saja. Kita buktikan mobil itu mengikuti kita atau tidak!” tegas Tama tak ingin dibantah. Arman yang menjadi supir dalam perjalanan ini segera membelokkan mobil ke kiri, padahal seharusnya mereka menggunakan jalur lurus agar lebih cepat sampai di band
“Mereka adalah orang-orang yang sama dengan peneror Kirana dulu. Polisi menemukan lencana ini di dalam mobil yang mereka tumpangi. Aku ingat lencana itu dimiliki oleh orang-orang yang mengganggu Kirana,” beber Tama seraya meletakkan sebuah lencana kecil berbentuk lingkaran dengan aksen unik itu di samping Syera. Syera yang sedang menyuapi Elvina spontan menoleh dengan mata membulat sempurna. Tak menyangka ternyata ketiga lelaki brengsek yang mengejarnya dan nyaris membuat mereka semua celaka kemarin ada kaitannya dengan peneror mendiang Kirana. Entah apa lagi yang mereka inginkan sampai nekat mengejarnya dua hari lalu. Jika seperti itu, ada kemungkinan dirinya dan anggota keluarga Tama lainnya sudah diincar sejak lama. Berarti orang-orang itu berniat mencelakainya seandainya Tama tidak cepat datang. Padahal tempat ini cukup jauh dari kota asal mereka. Namun, dengan begitu mudahnya orang-orang misterius itu menjadi menyusul dirinya dan Tama kemari. Mulai sekarang ia harus menamba
“Kenapa, Mas? Kami hanya mengobrol biasa, seperti itu saja tidak boleh?” tanya Syera dengan kening berkerut. “Ck! Tentu saja tidak! Kamu terlalu polos dan bisa membeberkan apa pun bahkan yang seharusnya tidak perlu orang lain tahu! Ini berlaku untuk siapa pun. Kamu tidak boleh terlalu akrab dengan siapa pun karena ada banyak hal yang tidak boleh dibahas!” sahut Tama tegas. Syera menatap Tama dengan mulut menganga lebar. Tak menyangka Tama akan memberi alasan seperti itu. Alasan yang sangat tidak masuk akal dan berlebihan. Dirinya bukan anak kecil yang harus diatur sedemikian rupa sampai tutur katanya juga. “Aku pasti bisa mengontrol diri! Mana mungkin aku membeberkan sesuatu yang tidak seharusnya aku katakan?! Selama ini aku juga selalu bisa mengontrol pembicaraan dengan siapa pun!” protes Syera tak terima. “Atau jangan-jangan sebenarnya Mas sengaja ingin membuatku tidak punya teman mengobrol?!” gerutu wanita itu dengan wajah bersungut-sungut kesal. “Mas tega sekali kalau begitu. A
Seakan memiliki dendam kesumat, begitu sampai di rumah setelah menempuh perjalanan udara, Tama langsung menarik Syera memasuki kamarnya dan mengunci ruangan tersebut. Yang lebih mengejutkan lagi, lelaki itu sampai mengambil kunci kamarnya dan meletakkan di saku celananya. Syera yang sedari tadi dibekap langsung memberontak dan melepaskan diri. Namun, Tama tak membiarkan dirinya terlepas meski lelaki itu telah menyingkirkan tangan dari mulutnya. “Untuk apa sampai dikunci segala?! Aku harus membereskan barang-barang Elvina di kamar sebelah!” “Bukankah harusnya sekarang Mas pergi ke kantor? Ayo bersiap-siaplah! Tolong buka pintunya agar aku bisa menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya,” imbuh wanita itu dengan senyum kecil, berharap Tama akan mengabulkan keinginannya. Sebenarnya Syera mengerti apa yang sedang Tama rencanakan. Meskipun telah berulang kali melakukannya dengan orang yang sama, tetap saja selalu mendebarkan hatinya. Dan sekarang dirinya masih terlalu lelah untuk melakukan
“Menyesal? Tentu saja! Tidak ada satu pun orang yang ingin berada di posisiku dan memiliki kehidupan sepertiku!” jerit Syera yang benar-benar tak bisa mengontrol emosinya. Foto-foto Kirana yang terpajang di kamar ini dan ruangan lainnya berhasil menjatuhkan moodnya hingga ke dasar. Deru napaa Syera terengah-engah karena emosi yang semakin membumbung tinggi. “Masa depanku hancur! Bahkan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya! Semuanya berawal dari fitnah keji itu! A-aku harus berada di sini, kehilangan ayahku, dan semua rencana masa depan yang pernah aku susun dengan rapi.” Syera sudah tidak tahan lagi. Setiap detiknya selalu ia lewati dengan perasaan was-was juga rasa bersalah yang pekat. Meskipun ia bukan pembunuh Kirana dan tidak tahu apa pun tentang itu. Tetap saja apa yang dirinya lakukan sekarang tidak berbeda jauh. Syera merasa seakan merebut Tama dari Kirana, meskipun sebenarnya tidak seperti itu. Selama ini ia berusaha menyangkal dan mengabaikan rasa bersalah itu. Na
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas