Part 3
Pov Tami.Aku terbangun, perutku tiba-tiba sakit dan melilit sekali. Kulirik jam masih pukul empat pagi. Bang Suryo pun masih mendengkur di sampingku. Segera aku lari ke kamar mandi, untuk melaksanakan panggilan alam. Baru selesai menuntaskan panggilan alam dan baru akan keluar dari kamar mandi, lagi-lagi perut ini melilit. Aku pun masuk kembali. Sampai berkali-kali aku seperti itu. Akhirnya, daripada capek bolak-balik aku memilih nongkrong aja di WC sambil berpikir, 'aku salah makan apa?'Sedang asyik-asyiknya nongkrong, pintu kamar mandi digedor-gedor dengan keras."Dek, kamu di dalam?" Tanya Bang Suryo, suamiku tercinta."He'em.""Cepat! Aku gak tahan!"Aku cepat-cepat menyelesaikan ha*jatku dan keluar dari kamar mandi."Astaga, Dek! Bibirmu kenapa itu?" Tanya Bang Suryo dengan raut terkejut.Kupegang bibirku. Astaga! Kok bentuknya terasa lain. Dengan cepat aku ke kamar dan berkaca."Ya ampun! Bibirku kok jon*tor gini?" Pekikku yang membangunkan seisi rumah.Kuperiksa tubuh yang lain, bagian tangan dan kaki bintik-bintik merah. Memang tadi malam aku merasa sangat gatal di bagian wajah, tangan, dan kaki. Sampai susah tidur. Aku salah makan apa sih, kok sampai begini? Gak mungkin kan karena makan ikan, wong ikannya masih bagus kok."Bang, badanku kenapa pada gatal-gatal begini ya?" Tanyaku pada Bang Suryo yang baru saja keluar dari kamar mandi."Ya pikir aja sendiri!" Jawabnya dengan ketus.Ternyata Bang Suryo masih marah gara-gara ikan kemarin. Dasar plin-plan! kemarin bilangnya pengen makan enak, udah dimasaki ikan bukannya bersyukur malah marah."Udah cepat, biar aku antar berobat. Besok aku pergi keluar kota sama bos, ninjau proyek yang ada di sana. Nanti ada apa-apa susah, gak ada aku di rumah." Ucap Bang Suryo.Walau lagi marah, ternyata dia masih perhatian padaku. Oogh ... Jadi makin cinta."Abang ada uang?" Tanyaku."Ya uang kamulah, Dek! Abang mana ada lagi uang, kan udah Abang kasih semua sama kamu.""Aku juga gak ada uang, Bang. Tinggal untuk belanja besok.""Ya udah, jual aja emas kamu satu."Lagi-lagi Bang Suryo berusaha menjarah emasku."Gak maulah Bang, sayang kok.""Terserah! Tahankanlah sakitmu itu!" Ketus Bang Suryo sambil berlalu.Baru saja Bang Suryo berlalu, kembali perut ini melilit sekali. Segera aku lari ke kamar mandi.Selagi merenung di WC, aku dapat ide. Aku minta saja obat ke Santi, tetanggaku. Dia seorang perawat di rumah sakit dan memang biasanya banyak stok obat-obatannya di rumah, yang kadang-kadang diperjual-belikan.Selesai buang ha*jat, aku pergi ke rumah Santi."Saaan ... Santiii ...," panggilku, tapi tak ada jawaban dari Santi.'Pasti masih tidur,' batinku.Sampai beberapa kali kupanggil, akhirnya keluarlah Santi, dengan wajah khas orang bangun tidur."Ya ampun, San, matahari udah tinggi baru bangun?""Iya Bulek, abis shift malam. Ini juga baru tidur, tapi terbangun karena Bulek manggil."Santi dan Bang Suryo memang masih ada hubungan saudara. Makanya dia memanggilku Bulek."Kenapa, Bulek?" Tanyanya lagi."Bulek mau minta obat, liat ni ...," kataku menunjukkan bibirku yang memang dari tadi kututupi handuk, yang kusampirkan di bahu."Astaga! Kenapa itu, Bulek?""Gak tau ni, San, dari tadi malam gatal-gatal terus, diare juga," kataku menjelaskan."Bulek salah makan kalii ....""Gak tau deh, San ... Ada obatnya gak?""Sebentar ya, Bulek," katanya sambil membuka lemari penyimpanan obatnya.Santi pun memberiku bermacam-macam obat, juga menasihatiku untuk banyak minum air, agar tidak dehidrasi."Oke, makasih ya, San," kataku sambil melenggang pergi dengan diiringi tatapan Santi yang ... Entahlah.'Masa iya dia mau minta bayaran? Gitu amat sama saudara sendiri aja perhitungan.' Batinku sambil masuk ke rumah.***Setelah minum obat dari Santi, esoknya aku langsung pulih. Ternyata obatnya manjur. Hari ini Bang Suryo akan pergi ke luar kota dan menginap di sana katanya. Lumayan deh, gak perlu masak. Cukup goreng telor atau masak mie instan sebungkus aja cukup."Maaak, perutku sakit banget Mak," rintih Wulan saat aku akan masak Mie instan untuk makan malam."Duh, kenapa, Kak?""Gak tau, Mak, macam sesak e*ek.""Ya udah, sana ke kamar mandi," kataku.Belum berselang lama Wulan masuk ke kamar mandi, gantian Rafa datang mengeluhkan badannya gatal-gatal. Dan ternyata dua-duanya juga ngalami sakit yang sama kayak aku kemarin, diare plus gatal-gatal. Jadilah dua-duanya merengek saja. Ampuuun! Mana Bang Suryo lagi gak ada.Aku pun berinisiatif memberi obat dari Santi kemarin. Tapi ini kan obat untuk dewasa, mana mungkin kuberi mereka. Akhirnya aku pergi ke rumah Santi lagi. Tapi sayang, berulang-ulang kali kupanggil, Santi tak keluar-keluar. Padahal aku tahu dia ada di dalam rumah. Dasar kej*am! Orang lagi kesusahan dia tak mau menolong. Mana duit juga gak ada lagi. Eh, ada sih, tapi itu anggaran untuk beli emas. Masa, mau dipakai. Harus minta tolong ke siapa lagi aku? Minta tolong ke keluargaku tak mungkin. Mereka tak bisa diharap, paling susah dimintai tolong.Ahaaa ... Aku tau!Pelit Bin MeditPart 4Pov TamiAhaaa ... Aku tau!Gegas kukeluarkan motor dari rumah, kuajak juga anak-anakku. Tujuanku adalah ke rumah Bik Nur. Tak sampai dua menit, sampailah aku di rumah Bik Nur. Rumahnya memang tak terlalu jauh dari rumahku."Bik ... Oh Bik!" Panggilku sambil mengetuk pintu rumah Bik Nur.Tak berselang lama, keluarlah Bik Nur."Ada apa Mi?" Tanyanya dengan pandangan menyelidik."Bik, ada uang gak? Aku mau bawa anak-anak berobat ni Bik, pada sakit.""Duh, gak ada, Bibik. Uangnya dibawa Mamang semua." Jawab Bik Nur.Tahu banget aku, kalau Bik Nur bohong. Mana pernah Bik Nur gak pegang uang. Uangnya juga banyak. Dasar Bik Nurnya aja yang pelit. "Mak, gak tahan aku Mak ... Sakit kali perutku." Rengek Wulan."Iya Mak, badanku juga gatal kali ini. Cepatlah Mak." Sambung Rafa.Duh, kalau gini mau tak mau terpaksa pakai uang belanja untuk berobat deh ini."Anak-anakmu kenapa emangnya Mi? Kok pada sakit semua gini?" Selidik Bik Nur."Gak tau ni, Bik. Tiba-tiba udah begi
Pelit Bin MeditPart 5Hari sudah menjelang sore, aku sudah mandi, cantik dan rapi. Sebentar lagi Bang Suryo akan pulang, tak sabar rasanya menunggu, sebab ini hari gajian.Tak berapa lama, terdengar suara motor masuk ke pekarangan rumah. Ahaa, pasti Bang Suryo. Dengan kecepatan bak kilat, aku segera membuka pintu untuk menyambut suamiku."Eh suamiku sayang udah pulang." Ucapku menyambutnya.Bang Suryo hanya menjawab dengan senyuman. Pasti dia capek habis pulang dari luar kota. Aku bergegas ke belakang mengambil air putih untuknya."Minum dulu Bang." Ucapku sambil menyodorkan air putih ke Bang Suryo yang sedang duduk di sofa.Dan dalam sekejap saja air dalam gelas tersebut langsung tandas."Gak ada cemilan, Dek?" "Gak adalah Bang, orang duit juga gak ada.""Masak apa tadi? Abang laper banget.""Gak masak aku Bang. Cuma masak mie aja tadi. Emang Abang belum makan?""Ya belumlah.""Dih, pelit banget bos Abang gak ngasih makan!""Siang ya dikasih, dek. Tapi kan siang tadi. Sekarang Aba
Part 6Tapi apa yang kudengar sekarang ini? Emak mau pulang? Oh, no!"Wah, baguslah Kak. Pulang sama siapa Emak? Gak sendiri kan?""Sama bapak katanya."Bang Suryo malah kegirangan, Emaknya akan pulang. Gak peduli banget dia sama perasaanku.Aku menekuk muka sambil memandang tajam ke Bang Suryo yang sedang bicara dengan Kak Rani. Biar sadar dia, istrinya lagi ngambek."Kenapa mukamu gitu Dek? Kok kecut banget macam jeruk purut." Bang Suryo malah meledekku. Dasar kurang asem!"Tenanglah kau Mi, nanti kusuruh aja Emak nginap di rumahku." Sindir Kak Rani.Bagus deh kalau begitu. Kalau sempat Emak tinggal di sini, habislah aku. Bakalan tekor banyak dan tertekan aku.***Sepeninggal Kak Rani, aku dan Bang Suryo bersiap-siap untuk tidur."Siap-siap kamu Dek.""Siap-siap apa?""Ya diberesin rumah, bakalan ngamuk nanti Emak sama Bapak kalo tau rumahnya ancur gini.""Bodo amat! Kan kata Kak Rani, mau nginap di rumah dia.""Hellooo ... Dek. Sadar Dek, ini rumah siapa?" Ucap Bang Suryo sambil m
Part 7"Buat malu aja!" Kataku geram, sambil menyubit lengannya dengan keras. Yang membuatnya semakin menangis histeris dan lari pulang ke rumah."Bapaaaak ....""Kenapa ini?" Tanya Bang Suryo sambil menyambut Wulan dalam pelukannya."Minta jajan Pak ...." Rengek Wulan sambil masih menangis."Kok gak dibelikan sih, Dek?""Masih pagi, gak boleh jajan!""Ya ampun Dek, Dek. Udah Wulan, ayok jajan sama bapak.""Eh gak boleh, gak boleh! Makan nasi aja, Mamak mau masak enak ini."Bang Suryo dan Wulan tetap melenggang pergi tak menghiraukan ucapanku. Dasar!Gegas aku menuju dapur, untuk memasak menu yang istimewa untuk mertuaku.Baru saja mulai meracik bahan-bahan Bik Nur tiba-tiba memanggilku."Masuk aja Bik, aku di dapur.""Jam berapa Emak nyampe Mi?" Tanya Bik Nur yang sudah berada di dapur."Sebentar lagi mungkin Bik.""Itu mau masak apa?""Menu istimewa untuk Emak dong, Bik. Sop ceker plus sambal kecap.""Oalah Mi, Mi. Kakakku sekali-sekali pulang cuma dimasaki ceker. Duitmu banyak, yo
Part 8Pov Bik NurHari ini Yuk Parmi, Kakakku yang merantau di Dumai akan pulang. Aku sudah siap-siap menyambut kedatangannya.Tepat jam sebelas siang Yuk Parmi datang bersama suaminya. Suryo dan anak-anaknya juga ikut.Mata Suryo berbinar menatap berbagai makanan yang memang sudah aku siapkan untuk menyambut Kakakku itu."Buat sendiri ini Bik?" Tanya Suryo yang langsung menyantap beberapa kudapan, sebelum kupersilahkan. Sudah biasa dia begitu, bahkan di rumah orang lain."Iya, sebagian." Jawabku sambil menatapnya dengan miris.Kulihat Yuk Parmi menatap anak lelakinya itu dengan pandangan sedih.Tak berapa lama terdengar suara motor masuk ke halaman rumahku. Ternyata Rani yang datang. "Ternyata di sini Emak, aku nyariin ke rumah Tami tadi." Ucap Rani sambil mencium tangan Emak dan Bapaknya."Ya ampun Yo, kayak gak pernah makan Kowe. Kakaknya datang pun gak digubris." Ucap Rani kepada Suryo, yang masih terus menyantap makanan bersama anak-anaknya."Emang gak pernah makan enak-enak gi
Part 9.POV Suryo"Mohon maaf, Dek. Kalau kamu tetap pada pendirianmu. Aku memilih mundur.""Maksudmu apa Bang? Jangan aneh-aneh!" Teriak Tami menggelegar."Aku udah kasih pilihan sama kamu Dek, untuk berubah. Tapi kamu yang gak mau! Kamu lebih mementingkan egomu sendiri!"Aku mulai geram dengan Tami yang tak juga sadar akan kesalahannya."Oke, kalau itu maumu! Pulangkan saja aku ke orang tuaku kalau begitu!" Tantangnya lagi.Aku sebenarnya berat untuk melakukan ini, apalagi memikirkan anak yang masih kecil-kecil. Tapi aku berharap ini bisa jadi pelajaran untuk Tami agar berubah.Akhirnya kami pun sepakat, mengantar Tami kembali ke keluarganya. Berbagai sumpah serapah mereka keluarkan kepada kami. Berulang kali pula Bapak menjelaskan permasalahannya, tapi tak digubris mereka. Akhirnya kami memutuskan pulang dengan diiringi caci maki mereka.Sedih sebenarnya harus begini, apalagi anak-anak juga ikut Tami
Part 10Sedang asyik berbincang dengan Dina, tiba-tiba datang dua krucilku."Bapaaaak ...."'Duh, gawat! Bisa terbongkar nih masalahku dengan Tami,' Batinku kalut."Lho ... Wulan, Rafa dari mana? Emak mana?" Tanya Dina pada kedua bocahku."Dari rumah Nenek, Tante. Emak juga di sana," Jawab Wulan sambil menyalami Dina."Oh, jadi perginya ke rumah mertua kamu toh, Bang?" Dina mengalihkan pertanyaan padaku."Eeh ... Emm ... Iya Din," Jawabku bohong lagi."Bilang ke Emak, Wulan, Tante Dina nyariin." Ucap Dina lagi kepada Wulan."Eh, gak usah, gak usah Wulan! Biar aja Emak di sana," Ucapku spontan begitu mendengar perkataan Dina.Dina mengernyit mendengar perkataanku. "Kok gitu Bang?""Gak papa, gak papa, hehehe ... Tami lagi sibuk di sana, gak bisa diganggu," Jawabku asal."Kan Emak sama Bapak lagi berantem, Tan," Sahut Wulan dengan polosnya.Duh! Anak ini, kenapa jujur b
Part 11Pov TamiAku pulang dengan rasa geram yang membuncah di dada. Berani sekali mereka mempermalukanku. Bang Suryo juga, bukannya membelaku malah diam saja. Malah sibuk membela-bela Dina.Aku memang tau, bagaimana hubungan Bang Suryo dengan Dina. Mereka hanya teman. Tapi entah kenapa, sore ini aku bagai dibakar rasa cemburu. Bagaimana tidak, keadaan kami saat ini sedang tak baik-baik saja, Dina malah muncul."Mak! Maaak!" Jeritku memanggil Emak begitu sampai rumah."Apa sih Mi? Maghrib-maghrib jejeritan." Emak datang dari dapur dengan raut kesal mendengar panggilanku."Sini dulu!" Kutarik Emak ke kamar dan kukunci pintu supaya tak ada yang mengganggu."Nanti malam kita ke rumah Mbah Ranem pokoknya Mak! Geram kali aku dibuat mereka.""Coba tenang dulu. Mereka siapa?" Tanya Emak tak paham.Aku pun menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Mendengar ceritaku wajah Emak pun berubah jadi kesal.
Part 59Lamunanku langsung buyar saat ponsel yang kuletakkan di nakas bergetar. Gegas kuraih ponsel tersebut."Nomor baru?" Gumamku saat melihat ke layar ponsel.Segera kugeser layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut."Hallo ... Siapa ya?" Tanyaku pada sang penelpon."Pak, ini Pak Beni kan?" Tanya seseorang di seberang sana. Terdengar nada panik dari suaranya."Iya saya Beni. Ini siapa ya?" Tanyaku lagi."Saya Risman, Pak. Tetangga sebelah rumah, Bapak," ujarnya masih dengan nada begitu panik."Rumah? Rumah yang mana?" Tanyaku bingung. Jelas aku bingung, selama ini aku tak mengenal seseorang bernama Risman, dan sekarang tiba-tiba ada yang menelpon dan mengaku-ngaku sebagai tetanggaku."Rumah Bapak yang di komplek perumahan Permai Indah Residence."Aku langsung terkesiap begitu lelaki tersebut menyebutkan alamat tempat di mana kutinggalkan Tami sendiri."Oh iya, ada apa? Saya sed
Part 58Masih dengan wajah menunduk, perlahan kuturunkan kaca jendela, agar orang tersebut tak bertambah marah. Namun alangkah terkejutnya aku saat mendapati siapa yang sedari tadi mengetuk pintu mobilku."Su-suryo?" Aku langsung terkejut begitu melihat siapa orang yang sedari tadi marah-marah sambil mengetuk kaca mobilku."Beni?!" Serunya tak kalah kaget."Gila kamu ya, Ben! Main tabrak aja. Keluar cepat!" Hardiknya membuatku sedikit ciut. Padahal dulu saat kami akrab tak pernah kami bertengkar hebat. Lagi-lagi aku menyalahkan Tami atas kerengganganku dengan Suryo.Karena takut kena bogeman dari Suryo, mau tak mau aku pun turun dari mobil. Begitu turun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati seorang bapak-bapak sudah tergeletak di hadapan mobilku dengan gerobak yang juga terlihat berantakan akibat tertabrak mobilku."Oooh, ini penabraknya! Tanggung jawab kamu! Atau kami akan laporin ke polisi," ancam salah seorang warga yang be
Part 57Masih dengan menutup hidung, aku masuk ke dalam rumah hendak mencari keberadaan Tami dan bertanya perihal bau busuk ini. Bergegas aku menuju kamar kami, namun ternyata pintunya tertutup. Kucoba perlahan membukanya, ternyata tak terkunci."Tamiii ...." Aku memekik kala melihat Tami yang hanya memakai pakaian dalam itu, sedang tergeletak di atas ranjang dengan posisi meringkuk sambil memegangi organ intimnya.Semakin aku mendekatinya semakin pekat pula bau busuk itu menguar. Atau jangan-jangan memang bau busuk ini berasal dari tubuh Tami?Dengan menahan napas aku berusaha membalikkan tubuh Tami yang membelakangiku. Alangkah terkejutnya aku, saat melihat wajah Tami sudah tak secantik kemarin. Bibirnya terlihat berwarna merah membengkak, begitu juga keseluruhan wajahnya terlihat timbul benjolan-benjolan yang mengeluarkan nanah berbau busuk.Yang lebih parah lagi, saat aku melihat ke arah kewanitaan Tami terlihat banyak sekali cairan
Part 56Dengan kecepatan tinggi Lilis mengemudikan mobil, membuat aku ketakutan dan menjerit-jerit karena takut kecelakaan. Namun, Lilis tetap tak menurunkan laju kendaraannya. Ia terlihat benar-benar gusar. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Nyai Warsih padanya?Setelah melalui perjalanan yang mendebarkan tersebut, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah kami sampai di rumahku. Terlihat Mas Beni sedang duduk santai di teras rumah sambil merokok."Aku pamit langsung pulang ya, Mi," ucap Lilis tanpa menatapku. Pandangannya terlihat menerawang ke depan. Benar-benar aneh sikapnya."Kenapa buru-buru?" Tanyaku benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Lilis."Aku sudah ditunggu suami." Lilis menjawab dengan sangat cepat."Tapi, Lis ... Setelah ini aku harus gimana?" Tanyaku lagi meminta solusi pada Lilis."Nanti kita bicarakan lagi ya, Mi. Aku harus cepat-cepat pulang," tukas Lilis. Kali ini dengan menatap wajahku.
Part 55POV ViviHatiku benar-benar panas kala mengetahui soal perselingkuhan Mas Beni dengan karyawannya. Apalagi video mesum mereka sampai viral di medsos. Membuat aku semakin malu dan tak ada muka untuk bertemu dengan geng sosialitaku. Sudah pasti aku jadi bahan gunjingan mereka saat ini.Sejak kejadian video Mas Beni viral, aku mulai membatasi geraknya. Pabrik kuambil alih, begitu juga dengan ponsel. Awalnya setelah perselingkuhannya terbongkar sebenarnya aku berniat mengajukan gugatan cerai pada Mas Beni. Tapi ia langsung memohon-mohon dan mengemis maaf padaku agar aku tak meninggalkannya. Bahkan ia janji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Awalnya aku tak peduli dan tetap kukuh pada pendirian. Namun saat melihat Mas Beni yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin berubah membuat hatiku jadi luluh dan percaya bahwa ia tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Mas Beni juga menunjukkan perubahan. Ia mulai menjauh dari si pelakor te
Part 54Begitu sampai di rumah sakit. Aku langsung mengatakan keluhanku pada dokter yang sedang berjaga di IGD. Mereka memintaku berbaring di ranjang, dan langsung memeriksa bagian sensitifku. Sudah persis seperti orang yang akan melahirkan keadaanku saat ini.Mereka langsung terkejut begitu melihat apa yang terjadi pada organ intimku. Bahkan aku pun lebih terkejut lagi, kala dokter memberitahu bahwa ada belatung yang keluar dari sana. Pantas saja tadi aku merasa ada yang bergerak-gerak di sana.Dokter dan perawat langsung membersihkan cairan yang keluar beserta belatung itu. Terlihat wajah mereka sangat menderita saat melakukannya. Apalagi bau busuk yang keluar semakin kuat. Bahkan mereka sampai memakai masker ganda demi menghalau bau yang keluar dari kewanitaanku.Dokter spesialis kulit dan kelamin pun datang. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan padaku. Apa aku selama ini melakukan seks bebas? Apa aku pernah berhubungan dengan pengidap PMS? A
Part 53Baru saja berjalan sekitar setengah jam, tiba-tiba ponsel Mas Beni berdering. Ia langsung membeliak begitu melihat sang penelpon yang tak lain adalah Vivi. Dengan media video callku pula. Matilah aku!"Gimana ini, Mas?" Tanyaku panik pada Mas Beni yang juga terlihat bingung sambil memandang layar ponsel."Emm ... Kamu keluar dulu bisa, Mi? Sembunyi agak jauh dari mobil," titah Mas Beni membuat hatiku dongkol.Aku berdecak kesal."Kenapa gak dimatikan saja sih, Mas? Ganggu saja!" Keluhku kesal."Gak bisa, Mi. Mas udah janji sama Vivi, bakal sering-sering hubungi dia, karena itu jugalah Vivi mengizinkan Mas pergi," ujar Mas Beni dengan raut wajah memelas.Aku memanyunkan bibir lalu keluar dari mobil sesuai perintah Mas Beni. Baru saja bertemu, sudah ada gangguan. Bagaimana lagi ke depannya? Masa iya sedang sibuk bermesraan nanti pun bakal terganggu dengan Vivi. Huh! Ingin kusantet saja rasanya wanita itu.
Part 52Vivi terus mendekat ke arah kami. Dan begitu sampai di hadapanku ....Plaaak!Belum sempat aku berucap apa-apa, telapak tangan Vivi sudah mendarat di pipiku, meninggalkan rasa panas yang menjalar di sana."Dasar perempuan tak tau malu! Masih ada nyali kau datang ke sini, hah?" Hardiknya dengan mata melotot seperti akan copot dari rongganya."Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu!" Tandasku tak mau kalah. Jelas aku tak akan pernah mau mengalah jika itu dengan rival."Terus mau ketemu dengan Mas Beni?! Jangan mimpi!" Ucap Vivi sengit dibarengi oleh tarikan tangannya pada rambutku.Aku langsung meringis menahan perih pada kulit kepala. Ternyata Vivi tak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yang tak mau kalah darinya langsung membalas menarik surai pirang panjang miliknya. Kami pun saling jambak-jambakan satu sama lain, diiringi dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian dari Vivi.Kericuhan ka
Part 51"Tolong, berhenti ... Jangaaan ... Aku betul-betul tak bersalah," rintihku dengan air mata yang mulai menitik, merasa benar-benar terdzolimi dengan perbuatan mereka.Namun bukannya iba dengan keadaanku, mereka malah makin beringas ingin melucuti pakaianku.Saat baju atasanku hampir terlepas sempurna, barulah terdengar suara seseorang membelaku."Hei! Sudah-sudah! Jangan main seperti ini. Matikan kameranya. Jangan asal viral-viralkan!" Terdengar suara seseorang yang amat sangat kukenal. Suara Heni."Halah! Kamu bela karena kamu temannya, kan?" Terdengar sahutan salah satu penghuni kost.Heni berdecak kesal, lalu beralih menatap Bu Diah."Bu, emang ibu mau kalau suami Ibu viral? Ibu udah siap mental belum, kalau dijulidin orang? Terus, apa ibu mau kalau kost ini jadi sepi karena para orang tua tak mempercayakan lagi anaknya ngekost di sini?" Sepertinya perkataan Heni kali ini berhasil meluluhkan mereka, terbukti me