Part 9.
POV Suryo"Mohon maaf, Dek. Kalau kamu tetap pada pendirianmu. Aku memilih mundur.""Maksudmu apa Bang? Jangan aneh-aneh!" Teriak Tami menggelegar."Aku udah kasih pilihan sama kamu Dek, untuk berubah. Tapi kamu yang gak mau! Kamu lebih mementingkan egomu sendiri!"Aku mulai geram dengan Tami yang tak juga sadar akan kesalahannya."Oke, kalau itu maumu! Pulangkan saja aku ke orang tuaku kalau begitu!" Tantangnya lagi.Aku sebenarnya berat untuk melakukan ini, apalagi memikirkan anak yang masih kecil-kecil. Tapi aku berharap ini bisa jadi pelajaran untuk Tami agar berubah.Akhirnya kami pun sepakat, mengantar Tami kembali ke keluarganya. Berbagai sumpah serapah mereka keluarkan kepada kami. Berulang kali pula Bapak menjelaskan permasalahannya, tapi tak digubris mereka. Akhirnya kami memutuskan pulang dengan diiringi caci maki mereka.Sedih sebenarnya harus begini, apalagi anak-anak juga ikut TamiPart 10Sedang asyik berbincang dengan Dina, tiba-tiba datang dua krucilku."Bapaaaak ...."'Duh, gawat! Bisa terbongkar nih masalahku dengan Tami,' Batinku kalut."Lho ... Wulan, Rafa dari mana? Emak mana?" Tanya Dina pada kedua bocahku."Dari rumah Nenek, Tante. Emak juga di sana," Jawab Wulan sambil menyalami Dina."Oh, jadi perginya ke rumah mertua kamu toh, Bang?" Dina mengalihkan pertanyaan padaku."Eeh ... Emm ... Iya Din," Jawabku bohong lagi."Bilang ke Emak, Wulan, Tante Dina nyariin." Ucap Dina lagi kepada Wulan."Eh, gak usah, gak usah Wulan! Biar aja Emak di sana," Ucapku spontan begitu mendengar perkataan Dina.Dina mengernyit mendengar perkataanku. "Kok gitu Bang?""Gak papa, gak papa, hehehe ... Tami lagi sibuk di sana, gak bisa diganggu," Jawabku asal."Kan Emak sama Bapak lagi berantem, Tan," Sahut Wulan dengan polosnya.Duh! Anak ini, kenapa jujur b
Part 11Pov TamiAku pulang dengan rasa geram yang membuncah di dada. Berani sekali mereka mempermalukanku. Bang Suryo juga, bukannya membelaku malah diam saja. Malah sibuk membela-bela Dina.Aku memang tau, bagaimana hubungan Bang Suryo dengan Dina. Mereka hanya teman. Tapi entah kenapa, sore ini aku bagai dibakar rasa cemburu. Bagaimana tidak, keadaan kami saat ini sedang tak baik-baik saja, Dina malah muncul."Mak! Maaak!" Jeritku memanggil Emak begitu sampai rumah."Apa sih Mi? Maghrib-maghrib jejeritan." Emak datang dari dapur dengan raut kesal mendengar panggilanku."Sini dulu!" Kutarik Emak ke kamar dan kukunci pintu supaya tak ada yang mengganggu."Nanti malam kita ke rumah Mbah Ranem pokoknya Mak! Geram kali aku dibuat mereka.""Coba tenang dulu. Mereka siapa?" Tanya Emak tak paham.Aku pun menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Mendengar ceritaku wajah Emak pun berubah jadi kesal.
Part 12.Selesai sarapan, aku segera mengantar Bang Suryo dan Wulan ke depan untuk berangkat. Bang Suryo dan Wulan memang terkadang berangkat bersama, karena sekolah Wulan searah dengan tempat kerja Bang Suryo. Sepeninggal Bang Suryo, baru saja kaki ini akan melangkah masuk ke dalam rumah tiba-tiba Bik Nur datang dengan sepeda kesayangannya. Pagi-pagi udah bertandang aja, kebiasaan! Gak tau apa, orang lagi banyak kerjaan."Lho, Mi, kamu di sini?" Bik Nur bertanya padaku dengan wajah heran sekaligus tak suka."Iyalah. Kenapa emangnya? Bibi gak suka, aku balikan sama Bang Suryo?""Ya bukan gitu. Heran aja sih, kok tiba-tiba. Suryo juga gak ada cerita ke Bibi kalo kalian mau balikan.""Emang semua-semua harus cerita ke Bibi gitu?""Ya gak juga sih.""Bibi bawa apa tuh?" Pandanganku beralih ke bungkusan kresek yang dibawa Bik Nur."Ini? Lauk, tadinya mau untuk Suryo. Tapi kalo Suryonya udah pergi, ya udah
Part 13.Hari Sabtu pun tiba, kami bersiap-siap akan pergi rewang ke rumah Mbak Ratih. Kebetulan Bang Suryo libur hari ini, jadi bisa ikut rewang dari pagi.Aku mematut diri di depan cermin buluk milik kami. Kukenakan pakaian terbaik yang kupunya, dan mempercantik diri semaksimal mungkin. Tak lupa kukenakan kalung dengan bandul berbentuk hati besar, gelang rantai, dan cincin empat buah, dua kanan, dua kiri. Sengaja aku tak menggunakan gelang keroncong, karena akan kupakai besok saat hari H nya.Setelah selesai berdandan, aku segera keluar kamar, mengajak Bang Suryo dan anak-anak untuk segera pergi menuju rumah Mbak Ratih."Gak sarapan dulu Mak? Aku laper." Rengek Wulan."Udah di sana aja! Di sana banyak makanan nanti. Kalian bisa makan sepuasnya."Mendengar jawabanku, kali ini Wulan tak membantah seperti biasanya Tanpa menunggu lama kami segera menuju rumah Mbak Ratih. Mbak Ratih itu dulu sebenarnya mantan calon Kakak
Part 14Selesai makan aku kembali ke depan untuk melanjutkan rewang bersama para ibu-ibu. Akhirnya bisa makan enak juga, walaupun harus melalui drama yang memalukan.Saat aku sampai di tempat ibu-ibu berkumpul tadi, ternyata mereka sudah pada selesai mengupas bawang dan racik-racik yang lainnya. Hanya tinggal beberapa saja yang masih memetik tauge."Lho, Bik, udah siap ngupas bawangnya?" Tanyaku pada Bik Nur yang masih duduk di tempatnya sambil bergosip ria."Udah dari tadi, Mi. Telat dirimu!"Aku hanya cengengesan menanggapi perkataan Bik Nur.Mataku memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang bisa kubantu-bantu lagi. Soalnya kalau tak terlihat bantu-bantu, nanti aku dikira cuma numpang makan lagi. Tapi emang bener sih.Saat pandanganku sedang menyapu sekeliling. Kulihat di depan rumah ada Kak Rani sedang bercakap-cakap serius dengan Mbak Ratih dan saudara-saudara yang lain. Sepertinya Kak Rani baru datang. Parah! Udah
Part 15"Bang Yo, Mi ... Kenalin ini istriku, Dea." Bang Radi memperkenalkan wanita cantik tadi sebagai istrinya.Aku menelisik istri Bang Radi dari bawah ke atas, atas ke bawah lagi. Kuno banget! Gantungannya gak ada sama sekali. Cuma ada cincin sebiji di jari manis tangan kirinya, yang kutebak pasti itu cincin pernikahan."Dek, kok gitu liatinnya? Kasian itu Deanya dari tadi ngulurin tangan gak disambut-sambut. Keburu pegel," ucap Bang Suryo menyadarkanku yang asyik menyoroti tiap inchi tubuh Dea.Aku langsung menegakkan tubuh dengan angkuh dan membusungkan dada, menyambut uluran tangan Dea. "Tami ... Istri Bang Suryo, sepupunya Bang Radi." Sengaja kugoyangkan sedikit tanganku ketika berjabat tangan agar gelang yang kupakai ikut bergoyang, supaya Dea yang melihatnya jadi ngiler."Dea," ucapnya pendek dengan senyum yang terlihat agak risih. Mungkin dia risih, karena bersentuhan dengan emas-emas yang ada di tanganku. Udik sih, g
Sepanjang perjalanan pulang, aku bahagia sekali. Bahagia dong, udah berhasil menjarah gudang makanannya Mbak Ratih. Walau di akhir, sempat ketahuan Kak Rani, masa bodo lah! Yang penting dapat makanan enak-enak secara gratis. Lagian, gak mungkin juga Kak Rani ngadu ke orang lain. Kalau dia ngadu, sama aja dia mempermalukan dirinya sendiri."Kenapa kamu, Dek, senyam-senyum terus? Sawan ya?" Tanya Bang Suryo yang menatapku dari kaca spion motor."Enak aja! Aku tu lagi hepi, Bang. Secara ... dua hari ini bakal makan enak terus. Gak perlu masak-masak lagi.""Gitu aja, hepinya minta ampun, Dek, Dek," ucap Bang Suryo sambil geleng-geleng kepala.Sampai di rumah, aku segera meletakkan bungkusan berisi makanan tadi di meja makan. Setelah itu, aku bergegas mandi dulu. Gerah sekali rasanya, dari pagi harus berjubel dengan para ibu-ibu yang rewang."Dek, aku sama Wulan makan duluan ya? Laper," ucap Bang Suryo setengah menjerit, karena aku sudah berad
Aku terbangun di ruangan bernuansa pink-biru langit. Entah kamar siapalah ini, yang jelas tempat tidurnya empuk banget, gak seperti punyaku di rumah.Begitu aku membuka mata, aku langsung disambut oleh sorot mata khawatir dari orang-orang yang berada di sekelilingku. Bang Suryo, Kak Rani, dan ... Dea!Aku hampir pingsan lagi melihat wajah chubby Dea yang putih berkilau, syukurnya Bang Suryo segera menyadarkanku dengan menepuk pipiku."Kamu kenapa, Mi? Kok tiba-tiba pingsan? Hari ini bukan bikin malu, malah bikin khawatir orang!" Ucap Kak Rani ketus, walau ketus ada nada khawatir terselip di sana. Apa aku harus pingsan terus ya, untuk mengambil hati Kakak iparku ini?"Iya, Dek. Kamu kok tiba-tiba pingsan? Ada yang sakit atau gimana?" Tanya Bang Suryo dengan perhatiannya."Enggak kok Bang. Aku cuma shock aja tadi, abis liat demit," jawabku asal. Tapi bener-bener seperti demit harga skincare tadi, bikin aku merinding."Ah, ada-ada a
Part 59Lamunanku langsung buyar saat ponsel yang kuletakkan di nakas bergetar. Gegas kuraih ponsel tersebut."Nomor baru?" Gumamku saat melihat ke layar ponsel.Segera kugeser layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut."Hallo ... Siapa ya?" Tanyaku pada sang penelpon."Pak, ini Pak Beni kan?" Tanya seseorang di seberang sana. Terdengar nada panik dari suaranya."Iya saya Beni. Ini siapa ya?" Tanyaku lagi."Saya Risman, Pak. Tetangga sebelah rumah, Bapak," ujarnya masih dengan nada begitu panik."Rumah? Rumah yang mana?" Tanyaku bingung. Jelas aku bingung, selama ini aku tak mengenal seseorang bernama Risman, dan sekarang tiba-tiba ada yang menelpon dan mengaku-ngaku sebagai tetanggaku."Rumah Bapak yang di komplek perumahan Permai Indah Residence."Aku langsung terkesiap begitu lelaki tersebut menyebutkan alamat tempat di mana kutinggalkan Tami sendiri."Oh iya, ada apa? Saya sed
Part 58Masih dengan wajah menunduk, perlahan kuturunkan kaca jendela, agar orang tersebut tak bertambah marah. Namun alangkah terkejutnya aku saat mendapati siapa yang sedari tadi mengetuk pintu mobilku."Su-suryo?" Aku langsung terkejut begitu melihat siapa orang yang sedari tadi marah-marah sambil mengetuk kaca mobilku."Beni?!" Serunya tak kalah kaget."Gila kamu ya, Ben! Main tabrak aja. Keluar cepat!" Hardiknya membuatku sedikit ciut. Padahal dulu saat kami akrab tak pernah kami bertengkar hebat. Lagi-lagi aku menyalahkan Tami atas kerengganganku dengan Suryo.Karena takut kena bogeman dari Suryo, mau tak mau aku pun turun dari mobil. Begitu turun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati seorang bapak-bapak sudah tergeletak di hadapan mobilku dengan gerobak yang juga terlihat berantakan akibat tertabrak mobilku."Oooh, ini penabraknya! Tanggung jawab kamu! Atau kami akan laporin ke polisi," ancam salah seorang warga yang be
Part 57Masih dengan menutup hidung, aku masuk ke dalam rumah hendak mencari keberadaan Tami dan bertanya perihal bau busuk ini. Bergegas aku menuju kamar kami, namun ternyata pintunya tertutup. Kucoba perlahan membukanya, ternyata tak terkunci."Tamiii ...." Aku memekik kala melihat Tami yang hanya memakai pakaian dalam itu, sedang tergeletak di atas ranjang dengan posisi meringkuk sambil memegangi organ intimnya.Semakin aku mendekatinya semakin pekat pula bau busuk itu menguar. Atau jangan-jangan memang bau busuk ini berasal dari tubuh Tami?Dengan menahan napas aku berusaha membalikkan tubuh Tami yang membelakangiku. Alangkah terkejutnya aku, saat melihat wajah Tami sudah tak secantik kemarin. Bibirnya terlihat berwarna merah membengkak, begitu juga keseluruhan wajahnya terlihat timbul benjolan-benjolan yang mengeluarkan nanah berbau busuk.Yang lebih parah lagi, saat aku melihat ke arah kewanitaan Tami terlihat banyak sekali cairan
Part 56Dengan kecepatan tinggi Lilis mengemudikan mobil, membuat aku ketakutan dan menjerit-jerit karena takut kecelakaan. Namun, Lilis tetap tak menurunkan laju kendaraannya. Ia terlihat benar-benar gusar. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Nyai Warsih padanya?Setelah melalui perjalanan yang mendebarkan tersebut, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah kami sampai di rumahku. Terlihat Mas Beni sedang duduk santai di teras rumah sambil merokok."Aku pamit langsung pulang ya, Mi," ucap Lilis tanpa menatapku. Pandangannya terlihat menerawang ke depan. Benar-benar aneh sikapnya."Kenapa buru-buru?" Tanyaku benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Lilis."Aku sudah ditunggu suami." Lilis menjawab dengan sangat cepat."Tapi, Lis ... Setelah ini aku harus gimana?" Tanyaku lagi meminta solusi pada Lilis."Nanti kita bicarakan lagi ya, Mi. Aku harus cepat-cepat pulang," tukas Lilis. Kali ini dengan menatap wajahku.
Part 55POV ViviHatiku benar-benar panas kala mengetahui soal perselingkuhan Mas Beni dengan karyawannya. Apalagi video mesum mereka sampai viral di medsos. Membuat aku semakin malu dan tak ada muka untuk bertemu dengan geng sosialitaku. Sudah pasti aku jadi bahan gunjingan mereka saat ini.Sejak kejadian video Mas Beni viral, aku mulai membatasi geraknya. Pabrik kuambil alih, begitu juga dengan ponsel. Awalnya setelah perselingkuhannya terbongkar sebenarnya aku berniat mengajukan gugatan cerai pada Mas Beni. Tapi ia langsung memohon-mohon dan mengemis maaf padaku agar aku tak meninggalkannya. Bahkan ia janji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Awalnya aku tak peduli dan tetap kukuh pada pendirian. Namun saat melihat Mas Beni yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin berubah membuat hatiku jadi luluh dan percaya bahwa ia tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Mas Beni juga menunjukkan perubahan. Ia mulai menjauh dari si pelakor te
Part 54Begitu sampai di rumah sakit. Aku langsung mengatakan keluhanku pada dokter yang sedang berjaga di IGD. Mereka memintaku berbaring di ranjang, dan langsung memeriksa bagian sensitifku. Sudah persis seperti orang yang akan melahirkan keadaanku saat ini.Mereka langsung terkejut begitu melihat apa yang terjadi pada organ intimku. Bahkan aku pun lebih terkejut lagi, kala dokter memberitahu bahwa ada belatung yang keluar dari sana. Pantas saja tadi aku merasa ada yang bergerak-gerak di sana.Dokter dan perawat langsung membersihkan cairan yang keluar beserta belatung itu. Terlihat wajah mereka sangat menderita saat melakukannya. Apalagi bau busuk yang keluar semakin kuat. Bahkan mereka sampai memakai masker ganda demi menghalau bau yang keluar dari kewanitaanku.Dokter spesialis kulit dan kelamin pun datang. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan padaku. Apa aku selama ini melakukan seks bebas? Apa aku pernah berhubungan dengan pengidap PMS? A
Part 53Baru saja berjalan sekitar setengah jam, tiba-tiba ponsel Mas Beni berdering. Ia langsung membeliak begitu melihat sang penelpon yang tak lain adalah Vivi. Dengan media video callku pula. Matilah aku!"Gimana ini, Mas?" Tanyaku panik pada Mas Beni yang juga terlihat bingung sambil memandang layar ponsel."Emm ... Kamu keluar dulu bisa, Mi? Sembunyi agak jauh dari mobil," titah Mas Beni membuat hatiku dongkol.Aku berdecak kesal."Kenapa gak dimatikan saja sih, Mas? Ganggu saja!" Keluhku kesal."Gak bisa, Mi. Mas udah janji sama Vivi, bakal sering-sering hubungi dia, karena itu jugalah Vivi mengizinkan Mas pergi," ujar Mas Beni dengan raut wajah memelas.Aku memanyunkan bibir lalu keluar dari mobil sesuai perintah Mas Beni. Baru saja bertemu, sudah ada gangguan. Bagaimana lagi ke depannya? Masa iya sedang sibuk bermesraan nanti pun bakal terganggu dengan Vivi. Huh! Ingin kusantet saja rasanya wanita itu.
Part 52Vivi terus mendekat ke arah kami. Dan begitu sampai di hadapanku ....Plaaak!Belum sempat aku berucap apa-apa, telapak tangan Vivi sudah mendarat di pipiku, meninggalkan rasa panas yang menjalar di sana."Dasar perempuan tak tau malu! Masih ada nyali kau datang ke sini, hah?" Hardiknya dengan mata melotot seperti akan copot dari rongganya."Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu!" Tandasku tak mau kalah. Jelas aku tak akan pernah mau mengalah jika itu dengan rival."Terus mau ketemu dengan Mas Beni?! Jangan mimpi!" Ucap Vivi sengit dibarengi oleh tarikan tangannya pada rambutku.Aku langsung meringis menahan perih pada kulit kepala. Ternyata Vivi tak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yang tak mau kalah darinya langsung membalas menarik surai pirang panjang miliknya. Kami pun saling jambak-jambakan satu sama lain, diiringi dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian dari Vivi.Kericuhan ka
Part 51"Tolong, berhenti ... Jangaaan ... Aku betul-betul tak bersalah," rintihku dengan air mata yang mulai menitik, merasa benar-benar terdzolimi dengan perbuatan mereka.Namun bukannya iba dengan keadaanku, mereka malah makin beringas ingin melucuti pakaianku.Saat baju atasanku hampir terlepas sempurna, barulah terdengar suara seseorang membelaku."Hei! Sudah-sudah! Jangan main seperti ini. Matikan kameranya. Jangan asal viral-viralkan!" Terdengar suara seseorang yang amat sangat kukenal. Suara Heni."Halah! Kamu bela karena kamu temannya, kan?" Terdengar sahutan salah satu penghuni kost.Heni berdecak kesal, lalu beralih menatap Bu Diah."Bu, emang ibu mau kalau suami Ibu viral? Ibu udah siap mental belum, kalau dijulidin orang? Terus, apa ibu mau kalau kost ini jadi sepi karena para orang tua tak mempercayakan lagi anaknya ngekost di sini?" Sepertinya perkataan Heni kali ini berhasil meluluhkan mereka, terbukti me