Part 14
Selesai makan aku kembali ke depan untuk melanjutkan rewang bersama para ibu-ibu. Akhirnya bisa makan enak juga, walaupun harus melalui drama yang memalukan.Saat aku sampai di tempat ibu-ibu berkumpul tadi, ternyata mereka sudah pada selesai mengupas bawang dan racik-racik yang lainnya. Hanya tinggal beberapa saja yang masih memetik tauge."Lho, Bik, udah siap ngupas bawangnya?" Tanyaku pada Bik Nur yang masih duduk di tempatnya sambil bergosip ria."Udah dari tadi, Mi. Telat dirimu!"Aku hanya cengengesan menanggapi perkataan Bik Nur.Mataku memperhatikan sekeliling, mana tahu ada yang bisa kubantu-bantu lagi. Soalnya kalau tak terlihat bantu-bantu, nanti aku dikira cuma numpang makan lagi. Tapi emang bener sih.Saat pandanganku sedang menyapu sekeliling. Kulihat di depan rumah ada Kak Rani sedang bercakap-cakap serius dengan Mbak Ratih dan saudara-saudara yang lain. Sepertinya Kak Rani baru datang. Parah! UdahPart 15"Bang Yo, Mi ... Kenalin ini istriku, Dea." Bang Radi memperkenalkan wanita cantik tadi sebagai istrinya.Aku menelisik istri Bang Radi dari bawah ke atas, atas ke bawah lagi. Kuno banget! Gantungannya gak ada sama sekali. Cuma ada cincin sebiji di jari manis tangan kirinya, yang kutebak pasti itu cincin pernikahan."Dek, kok gitu liatinnya? Kasian itu Deanya dari tadi ngulurin tangan gak disambut-sambut. Keburu pegel," ucap Bang Suryo menyadarkanku yang asyik menyoroti tiap inchi tubuh Dea.Aku langsung menegakkan tubuh dengan angkuh dan membusungkan dada, menyambut uluran tangan Dea. "Tami ... Istri Bang Suryo, sepupunya Bang Radi." Sengaja kugoyangkan sedikit tanganku ketika berjabat tangan agar gelang yang kupakai ikut bergoyang, supaya Dea yang melihatnya jadi ngiler."Dea," ucapnya pendek dengan senyum yang terlihat agak risih. Mungkin dia risih, karena bersentuhan dengan emas-emas yang ada di tanganku. Udik sih, g
Sepanjang perjalanan pulang, aku bahagia sekali. Bahagia dong, udah berhasil menjarah gudang makanannya Mbak Ratih. Walau di akhir, sempat ketahuan Kak Rani, masa bodo lah! Yang penting dapat makanan enak-enak secara gratis. Lagian, gak mungkin juga Kak Rani ngadu ke orang lain. Kalau dia ngadu, sama aja dia mempermalukan dirinya sendiri."Kenapa kamu, Dek, senyam-senyum terus? Sawan ya?" Tanya Bang Suryo yang menatapku dari kaca spion motor."Enak aja! Aku tu lagi hepi, Bang. Secara ... dua hari ini bakal makan enak terus. Gak perlu masak-masak lagi.""Gitu aja, hepinya minta ampun, Dek, Dek," ucap Bang Suryo sambil geleng-geleng kepala.Sampai di rumah, aku segera meletakkan bungkusan berisi makanan tadi di meja makan. Setelah itu, aku bergegas mandi dulu. Gerah sekali rasanya, dari pagi harus berjubel dengan para ibu-ibu yang rewang."Dek, aku sama Wulan makan duluan ya? Laper," ucap Bang Suryo setengah menjerit, karena aku sudah berad
Aku terbangun di ruangan bernuansa pink-biru langit. Entah kamar siapalah ini, yang jelas tempat tidurnya empuk banget, gak seperti punyaku di rumah.Begitu aku membuka mata, aku langsung disambut oleh sorot mata khawatir dari orang-orang yang berada di sekelilingku. Bang Suryo, Kak Rani, dan ... Dea!Aku hampir pingsan lagi melihat wajah chubby Dea yang putih berkilau, syukurnya Bang Suryo segera menyadarkanku dengan menepuk pipiku."Kamu kenapa, Mi? Kok tiba-tiba pingsan? Hari ini bukan bikin malu, malah bikin khawatir orang!" Ucap Kak Rani ketus, walau ketus ada nada khawatir terselip di sana. Apa aku harus pingsan terus ya, untuk mengambil hati Kakak iparku ini?"Iya, Dek. Kamu kok tiba-tiba pingsan? Ada yang sakit atau gimana?" Tanya Bang Suryo dengan perhatiannya."Enggak kok Bang. Aku cuma shock aja tadi, abis liat demit," jawabku asal. Tapi bener-bener seperti demit harga skincare tadi, bikin aku merinding."Ah, ada-ada a
Part 18.Aku yang melihat keadaan Bang Suryo begitu, langsung berlari ke arahnya."Bang, kenapa kaki Abang? Kok bisa begini?" Tanyaku dengan hati tak menentu, diliputi kecemasan. Padahal tadinya aku ingin curhat tentang Bik Nur, alamat gak jadi nih kalau begini."Kena kaca tadi, Dek, di kerjaan.""Ya ampun, Bang. Kok bisa, sih? Emang Abang gak hati-hati?""Udah hati-hati, Dek. Namanya juga musibah.""Kak, kalo bisa, dibawa berobat Bang Suryonya ya, Kak. Soalnya tadi kami liat, lukanya lumayan dalam," ucap salah satu teman Bang Suryo, sambil membantu Bang Suryo duduk di sofa ruang tamu."Iya, nanti aku bawa," jawabku cepat. Padahal dalam hati ogah. Sepeninggal teman-teman Bang Suryo, aku langsung membantu Bang Suryo membersihkan badan. Agak ribet sih, soalnya kaki Bang Suryo yang luka, tak bisa dibuat menapak ke lantai."Dek, habis ini kita berobat ya? Biar cepat sembuh Abang," ucap Bang Suryo setelah s
Part 19Hingga hari ketiga Bang Suryo dirawat, barulah pihak rumah sakit memperbolehkannya pulang. Padahal kulihat keadaan Bang Suryo sudah membaik sedari lama. Memang dasar pihak rumah sakitnya aja, pengen cari untung.Sepanjang perjalanan pulang aku terus saja cemberut. Bagaimana tidak? Ternyata biaya Bang Suryo dirawat selama tiga hari beserta tetek bengeknya hampir mencapai dua juta. Terpaksa aku harus menjual emasku lagi untuk melunasinya, karena hasil menjual emas yang pertama hanya dapat sejuta lebih sedikit. Serasa habis dirampok aku. Kesel!Sampai rumah aku masih terus manyun, Bang Suryo yang baru turun dari motor mungkin heran melihat tingkahku seharian ini."Kamu kenapa, Dek? Dari tadi kok manyun terus," tanya Bang Suryo tanpa rasa bersalah."Gara-gara Abang ni! Emasku mental dua. Hiks," ucapku terisak menangisi nasib malang emas-emasku."Oalah, maafin Abang ya, Dek. Nanti kalo ada rezeki, Abang ganti deh, Dek."
Part 20"Abang ketahuan, Dek," jawab Bang Suryo lirih, nyaris tak terdengar."Hah? Ketahuan apa maksud Abang?" Tanyaku langsung duduk di samping Bang Suryo."Tadi Abang mau ngambil besi sesuai saran kamu, Dek. Tapi karena kaki Abang masih susah dibuat jalan, akhirnya ketahuan teman Abang, dan langsung diadukan ke bos."Spontan aku menepuk jidat mendengar penuturan Bang Suryo. Bisa-bisanyalah Bang Suryo ketahuan. Apa gak bisa main cantik sedikit?"Tapi kamu gak dipecat kan, Bang? Mereka bilang apa?""Mereka nanya, apa aku selama ini sering nyuri bahan bangunan?""Jadi kamu jawab iya?" Spontan aku bertanya, takutnya Bang Suryo terlalu polos dan akhirnya jujur ke bosnya."Ya enggaklah, Dek. Emangnya aku gila apa? Malah aku bohong ke mereka kalo aku terpaksa nyuri untuk bayar biaya perawatanku kemarin.""Nah, gitu dong. Emang pinter suamiku ini," ucapku sambil menepuk-nepuk pundak Bang Suryo dan memberikann
Part 21Pagi menjelang. Bang Suryo masih saja mengacuhkanku. Aku yang merasa tak bersalah ikut mengacuhkan Bang Suryo juga dong. Biar dia tahu, kalau permintaanku tadi malam bukan main-main.Namun, sebagai istri yang baik, aku tetap menyiapkan sarapan dan bekal Bang Suryo, walaupun dengan mode silent.Selesai menyiapkan menu untuk Bang Suryo, aku segera menyuruh Wulan untuk memanggil Bapaknya yang sejak tadi tak kunjung keluar dari kamar. Ada harapan di hati agar Bang Suryo sedikit luluh, karena aku sudah menyiapkan menu spesial untuknya, yaitu nasi goreng dengan taburan telur dadar yang sudah kuiris tipis-tipis.Bang Suryo datang dengan penampilan yang sudah rapi. Tanpa melirik sedikit pun ke arahku, Bang Suryo langsung duduk dan melahap nasi goreng yang sudah tersedia. Jadi makin keki aku karena diabaikan."Pak, hari ini ada pembagian buku LKS lah, Pak. Bapak ada duit gak untuk bayarnya?" Wulan memecahkan keheningan di antara kami, dengan menyuguhkan masal
Part 22"Pak, kenapa ini, Pak?" Tanyaku pada Bapak yang sedang berjongkok di ambang pintu kamar mandi. Di hadapan Bapak, ada Emak yang sedang tergeletak di lantai kamar mandi, tak sadarkan diri. Dan terlihat dari bagian bawah tubuh Emak ada darah yang merembes keluar."Kamu gimana, sih, Mi, jagain Emak? Kok bisa sampe kayak begini?" Ketus Bapak padaku. Terlihat dari raut wajahnya, kalau Bapak sangat marah."Aku ngantuk banget tadi, Pak. Gak sadar apa-apa." Aku beralasan."Udah, cepat bantuin Bapak, angkat Emakmu dulu ini." Dengan susah payah, kami mengangkat tubuh Emak yang lumayan tambun. Padahal Emak makan selalu ngirit, tapi kok bisa berat banget gini ya badannya?Setelah meletakkan Emak di tempat tidur, Bapak langsung menyuruhku untuk menghubungi Bang Budi dan Kak Imas, Abang dan Kakakku. Sedangkan Bapak langsung melesat pergi keluar rumah, mau cari mobil untuk bawa Emak ke dokter katanya.Sejenak aku bimbang dan ra
Part 59Lamunanku langsung buyar saat ponsel yang kuletakkan di nakas bergetar. Gegas kuraih ponsel tersebut."Nomor baru?" Gumamku saat melihat ke layar ponsel.Segera kugeser layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut."Hallo ... Siapa ya?" Tanyaku pada sang penelpon."Pak, ini Pak Beni kan?" Tanya seseorang di seberang sana. Terdengar nada panik dari suaranya."Iya saya Beni. Ini siapa ya?" Tanyaku lagi."Saya Risman, Pak. Tetangga sebelah rumah, Bapak," ujarnya masih dengan nada begitu panik."Rumah? Rumah yang mana?" Tanyaku bingung. Jelas aku bingung, selama ini aku tak mengenal seseorang bernama Risman, dan sekarang tiba-tiba ada yang menelpon dan mengaku-ngaku sebagai tetanggaku."Rumah Bapak yang di komplek perumahan Permai Indah Residence."Aku langsung terkesiap begitu lelaki tersebut menyebutkan alamat tempat di mana kutinggalkan Tami sendiri."Oh iya, ada apa? Saya sed
Part 58Masih dengan wajah menunduk, perlahan kuturunkan kaca jendela, agar orang tersebut tak bertambah marah. Namun alangkah terkejutnya aku saat mendapati siapa yang sedari tadi mengetuk pintu mobilku."Su-suryo?" Aku langsung terkejut begitu melihat siapa orang yang sedari tadi marah-marah sambil mengetuk kaca mobilku."Beni?!" Serunya tak kalah kaget."Gila kamu ya, Ben! Main tabrak aja. Keluar cepat!" Hardiknya membuatku sedikit ciut. Padahal dulu saat kami akrab tak pernah kami bertengkar hebat. Lagi-lagi aku menyalahkan Tami atas kerengganganku dengan Suryo.Karena takut kena bogeman dari Suryo, mau tak mau aku pun turun dari mobil. Begitu turun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati seorang bapak-bapak sudah tergeletak di hadapan mobilku dengan gerobak yang juga terlihat berantakan akibat tertabrak mobilku."Oooh, ini penabraknya! Tanggung jawab kamu! Atau kami akan laporin ke polisi," ancam salah seorang warga yang be
Part 57Masih dengan menutup hidung, aku masuk ke dalam rumah hendak mencari keberadaan Tami dan bertanya perihal bau busuk ini. Bergegas aku menuju kamar kami, namun ternyata pintunya tertutup. Kucoba perlahan membukanya, ternyata tak terkunci."Tamiii ...." Aku memekik kala melihat Tami yang hanya memakai pakaian dalam itu, sedang tergeletak di atas ranjang dengan posisi meringkuk sambil memegangi organ intimnya.Semakin aku mendekatinya semakin pekat pula bau busuk itu menguar. Atau jangan-jangan memang bau busuk ini berasal dari tubuh Tami?Dengan menahan napas aku berusaha membalikkan tubuh Tami yang membelakangiku. Alangkah terkejutnya aku, saat melihat wajah Tami sudah tak secantik kemarin. Bibirnya terlihat berwarna merah membengkak, begitu juga keseluruhan wajahnya terlihat timbul benjolan-benjolan yang mengeluarkan nanah berbau busuk.Yang lebih parah lagi, saat aku melihat ke arah kewanitaan Tami terlihat banyak sekali cairan
Part 56Dengan kecepatan tinggi Lilis mengemudikan mobil, membuat aku ketakutan dan menjerit-jerit karena takut kecelakaan. Namun, Lilis tetap tak menurunkan laju kendaraannya. Ia terlihat benar-benar gusar. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Nyai Warsih padanya?Setelah melalui perjalanan yang mendebarkan tersebut, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah kami sampai di rumahku. Terlihat Mas Beni sedang duduk santai di teras rumah sambil merokok."Aku pamit langsung pulang ya, Mi," ucap Lilis tanpa menatapku. Pandangannya terlihat menerawang ke depan. Benar-benar aneh sikapnya."Kenapa buru-buru?" Tanyaku benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Lilis."Aku sudah ditunggu suami." Lilis menjawab dengan sangat cepat."Tapi, Lis ... Setelah ini aku harus gimana?" Tanyaku lagi meminta solusi pada Lilis."Nanti kita bicarakan lagi ya, Mi. Aku harus cepat-cepat pulang," tukas Lilis. Kali ini dengan menatap wajahku.
Part 55POV ViviHatiku benar-benar panas kala mengetahui soal perselingkuhan Mas Beni dengan karyawannya. Apalagi video mesum mereka sampai viral di medsos. Membuat aku semakin malu dan tak ada muka untuk bertemu dengan geng sosialitaku. Sudah pasti aku jadi bahan gunjingan mereka saat ini.Sejak kejadian video Mas Beni viral, aku mulai membatasi geraknya. Pabrik kuambil alih, begitu juga dengan ponsel. Awalnya setelah perselingkuhannya terbongkar sebenarnya aku berniat mengajukan gugatan cerai pada Mas Beni. Tapi ia langsung memohon-mohon dan mengemis maaf padaku agar aku tak meninggalkannya. Bahkan ia janji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Awalnya aku tak peduli dan tetap kukuh pada pendirian. Namun saat melihat Mas Beni yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin berubah membuat hatiku jadi luluh dan percaya bahwa ia tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Mas Beni juga menunjukkan perubahan. Ia mulai menjauh dari si pelakor te
Part 54Begitu sampai di rumah sakit. Aku langsung mengatakan keluhanku pada dokter yang sedang berjaga di IGD. Mereka memintaku berbaring di ranjang, dan langsung memeriksa bagian sensitifku. Sudah persis seperti orang yang akan melahirkan keadaanku saat ini.Mereka langsung terkejut begitu melihat apa yang terjadi pada organ intimku. Bahkan aku pun lebih terkejut lagi, kala dokter memberitahu bahwa ada belatung yang keluar dari sana. Pantas saja tadi aku merasa ada yang bergerak-gerak di sana.Dokter dan perawat langsung membersihkan cairan yang keluar beserta belatung itu. Terlihat wajah mereka sangat menderita saat melakukannya. Apalagi bau busuk yang keluar semakin kuat. Bahkan mereka sampai memakai masker ganda demi menghalau bau yang keluar dari kewanitaanku.Dokter spesialis kulit dan kelamin pun datang. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan padaku. Apa aku selama ini melakukan seks bebas? Apa aku pernah berhubungan dengan pengidap PMS? A
Part 53Baru saja berjalan sekitar setengah jam, tiba-tiba ponsel Mas Beni berdering. Ia langsung membeliak begitu melihat sang penelpon yang tak lain adalah Vivi. Dengan media video callku pula. Matilah aku!"Gimana ini, Mas?" Tanyaku panik pada Mas Beni yang juga terlihat bingung sambil memandang layar ponsel."Emm ... Kamu keluar dulu bisa, Mi? Sembunyi agak jauh dari mobil," titah Mas Beni membuat hatiku dongkol.Aku berdecak kesal."Kenapa gak dimatikan saja sih, Mas? Ganggu saja!" Keluhku kesal."Gak bisa, Mi. Mas udah janji sama Vivi, bakal sering-sering hubungi dia, karena itu jugalah Vivi mengizinkan Mas pergi," ujar Mas Beni dengan raut wajah memelas.Aku memanyunkan bibir lalu keluar dari mobil sesuai perintah Mas Beni. Baru saja bertemu, sudah ada gangguan. Bagaimana lagi ke depannya? Masa iya sedang sibuk bermesraan nanti pun bakal terganggu dengan Vivi. Huh! Ingin kusantet saja rasanya wanita itu.
Part 52Vivi terus mendekat ke arah kami. Dan begitu sampai di hadapanku ....Plaaak!Belum sempat aku berucap apa-apa, telapak tangan Vivi sudah mendarat di pipiku, meninggalkan rasa panas yang menjalar di sana."Dasar perempuan tak tau malu! Masih ada nyali kau datang ke sini, hah?" Hardiknya dengan mata melotot seperti akan copot dari rongganya."Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu!" Tandasku tak mau kalah. Jelas aku tak akan pernah mau mengalah jika itu dengan rival."Terus mau ketemu dengan Mas Beni?! Jangan mimpi!" Ucap Vivi sengit dibarengi oleh tarikan tangannya pada rambutku.Aku langsung meringis menahan perih pada kulit kepala. Ternyata Vivi tak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yang tak mau kalah darinya langsung membalas menarik surai pirang panjang miliknya. Kami pun saling jambak-jambakan satu sama lain, diiringi dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian dari Vivi.Kericuhan ka
Part 51"Tolong, berhenti ... Jangaaan ... Aku betul-betul tak bersalah," rintihku dengan air mata yang mulai menitik, merasa benar-benar terdzolimi dengan perbuatan mereka.Namun bukannya iba dengan keadaanku, mereka malah makin beringas ingin melucuti pakaianku.Saat baju atasanku hampir terlepas sempurna, barulah terdengar suara seseorang membelaku."Hei! Sudah-sudah! Jangan main seperti ini. Matikan kameranya. Jangan asal viral-viralkan!" Terdengar suara seseorang yang amat sangat kukenal. Suara Heni."Halah! Kamu bela karena kamu temannya, kan?" Terdengar sahutan salah satu penghuni kost.Heni berdecak kesal, lalu beralih menatap Bu Diah."Bu, emang ibu mau kalau suami Ibu viral? Ibu udah siap mental belum, kalau dijulidin orang? Terus, apa ibu mau kalau kost ini jadi sepi karena para orang tua tak mempercayakan lagi anaknya ngekost di sini?" Sepertinya perkataan Heni kali ini berhasil meluluhkan mereka, terbukti me