“Apa guru Kala menghubungimu?”“Apa dia bilang kalau Kala menangis di kelas?”Cloud yang hampir masuk ke dalam lift seketika menghentikan langkah. Ia tampak menggerakkan bibir untuk menjawab, tak berselang lama pundaknya terlihat longsor. Wanita itu membuang napas panjang, menurunkan ponsel yang menempel di telinga dan mematung cukup lama.“Kala, mendengar perbincanganku dengan opa dan mabibinya pagi tadi. Kemungkinan dia tahu apa yang ingin aku lakukan padanya dulu.”“Biarkan aku yang menjemput Kala, aku akan memberi kabar nanti.”Nic mengingat bercakapannya dengan Cloud beberapa saat yang lalu. Pria itu kini sedang berjalan pelan di koridor sekolah Kala. Ia tampak mencangklong tas anaknya di sebelah pundak. Tangannya menepuk pelan punggung Kala yang ada digendongan. Bocah itu menyandarkan kepala ke pundak Nic dengan wajah sedih.“Apa mama dan Papa tidak sayang aku?” Tanya Kala tiba-tiba.Nic pun menghentikan langkah, sedangkan Kala perlahan mengangkat kepala untuk memandang wajahnya
"Mama, Papa!"Cloud dan Nic kaget mendengar Kala memanggil, mereka menoleh kemudian buru-buru melepaskan pelukan satu sama lain. Kala bangun, memegang kening dan mengerutkan dahi. Dia memandangi kamar Nina lalu bertanya sedang berada di mana."Ah ... ini kamar onty Nina," ucap Kala bahkan sebelum Cloud atau Nic menjawab.Cloud mengangguk, dia mendekat dan duduk di depan Kala. Diusapnya wajah anak itu masih dengan rasa bersalah yang memenuhi dada."Kala, apa Kala merasa sakit? Coba bilang ke Mama mana yang sakit!" Pinta Cloud lembut.Kala tak segera menjawab. Bocah itu diam sampai Nic ikut duduk di dekatnya lalu membantu Cloud bicara. "Mama dan papa akan selalu ada untuk Kala, kami sangat mencintai Kala. Jadi jangan pernah merasa kalau mama dan Papa tidak sayang dan peduli," tutur Nic. "Saat miss Elly bilang Kala sakit, Papa langsung menjemput di sekolah, sedangkan mama membeli obat agar Kala cepat sembuh. Kami sangat sayang ke Kala, terlepas dari apa yang Kala dengar dan lihat selam
Nic berjalan pelan di belakang Amara. Tentu saja dia juga merasa bersalah ke wanita itu. Seandainya dia tidak memanfaatkan Amara sebagai alat membuat Cloud sakit hati, mungkin mereka masih bisa menjadi teman baik saat ini. Amara menoleh lagi, dia menghentikan langkah untuk menunggu Nic mendekat hingga mereka berdiri saling berhadapan. Amara memulas senyum, dia hendak menyentuh Nic tapi pria itu lebih dulu mundur ke belakang. Amara tentu saja kaget, meski begitu dia mencoba bersikap biasa. Baginya yang memiliki rasa cinta teramat besar ke Nic, melupakan dan membiarkan pria itu kembali ke pelukan Cloud bukanlah perkara mudah."Ra, aku meminta bertemu bukan untuk mengajakmu kembali berhubungan seperti dulu. Aku hanya ingin menanyakan satu hal, apa kamu yang menyebar berita perselingkuhan kita ke media?"Nic bicara dengan nada datar, dia tidak membentak, marah ataupun emosi menghadapi mantan selingkuhannya ini, meski sudah melihat bukti jelas dari Aditya. Bagaimanapun juga Nic tahu dir
Nic dan Aditya terperanjat. Mereka bahkan terdiam karena syok saat melihat seseorang berlari masuk ke air mengejar Amara. Keduanya sadar orang itu pasti ingin mencegah Amara berbuat nekat.“Apa yang kamu lakukan? Apa kamu tidak punya Tuhan? Kenapa ingin bunuh diri?”Amara kaget, dia menoleh lalu menghempaskan tangan Cloud yang sedang memegang lengannya.“Apa pedulimu? Bukankah kamu akan jauh lebih bahagia kalau aku mati?”Melihat sang istri yang berdebat dengan Amara di dalam air membuat Nic tak bisa tinggal diam. Ia berlari masuk ke air, memanggil Cloud untuk meminta wanita itu keluar dari sana.“Aku memang sangat membencimu, tapi aku tidak sejahat itu sampai berharap kamu mati,” balas Cloud.Amara tertawa, dia tak pedul dan kembali memutar badan. Cloud sendiri berusaha mencegah. Namun, tak mereka duga sebuah ombak besar tiba-tiba datang menerjang. Tubuh Aamara terhempas begitu juga dengan Cloud.“Cloud!” Teriak Nic menyadari istrinya tak muncul lagi ke permukaan.Aditya pun terkesia
“Saya akan mengantar Anda pulang.” Aditya bicara ke Amara yang membuang muka. Ia memindai baju wanita itu yang masih tampak menteskan air. “Apa Anda benar tidak mau ganti baju? Anda bisa terserang flu karena memakai pakaian basah.” “Apa pedulimu? Cukup diam! Lakukan saja apa yang Nic perintahkan. Tidak perlu mengajakku bicara!” Amara menjawab ketus tanpa menoleh Aditya. Di pikiran wanita itu saat ini hanya ada bayangan Nic dan Cloud yang tengah bersenang-senang memadu kasih di penginapan. Amara merenung. Ia tak menyangka Cloud akan menyelamatkannya bahkan membahayakan nyawanya sendiri karena hampir terseret ombak tadi. Amara tersenyum miring, mulai membanding-bandingkan dirinya dengan Cloud. Mungkinkah dia tak sebaik wanita itu sampai Nic jatuh hati? Amara menarik napas yang terdengar berat, lalu menghapus pipinya yang basah oleh air mata. Ia tak ingin Aditya nantinya melapor pada Nic atau malah menertawakan kesedihannya. Seperti apa yang dia minta, Aditya benar-benar diam sepan
Sesaat setelah sampai di rumah Amara, Aditya tanpa bicara keluar dari mobil. Ia tak pamit atau mengucapkan salam ke wanita yang masih duduk tanpa menoleh padanya sepanjang perjalanan itu. Aditya berjalan pelan menjauh dari mobil Amara yang dia parkirkan di depan gerbang. Namun, Aditya seketika menghentikan langkah saat mendengar suara amukan dari seseorang. Ternyata Amara ditarik keluar dari mobil oleh Riswan. Wanita itu dipukul dan ditampar tapi hanya diam. Sedangkan seorang wanita yang Aditya yakini adalah mamanya tampak melerai dan meminta sang suami untuk tidak melakukan itu kepada putri mereka. “Apa kamu sudah gila? Pergi ke mana kamu sampai baru pulang jam segini?” Amara tak menjawab sampai Riswan hampir memukul lagi. Pria itu sudah mengangkat tangan tinggi-tinggi, tapi tiba-tiba sebuah tangan mencekalnya lebih dulu untuk menahan. Riswan terkesiap, begitu juga dengan Amara dan sang mama. Wanita itu tak percaya Aditya berani melakukan itu. “Pak, ini sudah malam. Tidak baik me
“Biar saya yang gendong mas Kala, Non.”“Nggak usah. Bapak tolong bawain tas saya sama punya Kala aja masuk. Terus bantu bukain pintu kamar.”Cloud menolak tawaran dari penjaga rumah yang hendak membantu. Kala terlihat tertidur dan kelelahan sehingga Cloud tidak tega untuk membangunkan dan meminta anak itu berjalan sendiri masuk.“Papa dan Mama sudah tidur ‘kan?” Tanya Cloud mencari tahu. Ia cemas jika sampai orangtuanya masih terjaga hanya untuk menunggunya pulang.Namun, belum juga penjaga rumah menjawab, Cloud dibuat kaget melihat sosok Skala dan Bianca yang duduk di ruang tamu. Keduanya seolah sengaja berada di sana untuk menunggu.“Belum tidur?”Cloud bingung haruskah tersenyum atau bersikap datar dan langsung berlalu. Tingkahnya tampak mencurigakan di mata Bianca, apalagi pertanyaan basa-basinya barusan.“Bagaimana bisa tidur kalau kamu dan Kala belum pulang?”Bianca menjawab lantas berdiri disusul oleh Skala. Pria paruh baya itu meraih Kala dari gendongan Cloud, menepuk-nepuk p
“Ada donk, Papa makan mi buatan pabrik Opa pakai nasi. Papa bilang mau makan mi terus karena enak.”Cloud melotot menoleh Kala yang duduk di sampingnya. Saat sarapan bersama tadi, Skala dan Bianca sama sekali tidak membahas soal kenapa dia dan anaknya pulang malam. Namun, karena terlalu penasaran Cloud bertanya ke Kala mungkinkah kakek neneknya bertanya apa yang mereka lakukan kemarin, dan jawaban anak itu adalah ‘iya’. Kala bahkan mengulangi pertanyaan Skala dan jawaban yang dia berikan ke sang opa.“Lalu apa opa dan mabibi bertanya hal lain?” Cloud bertanya lagi. Bukannya apa-apa, dia hanya tidak ingin pikiran orangtuanya ke mana-mana, apalagi memandang buruk sang suami.“Tidak, opa cuma bilang ‘o… begitu’ terus aku lari ke kamar mandi karena kebelet pipis.”Cloud mengangguk dan tersenyum kecil. Berpikir kalau orangtuanya ternyata tahu apa yang dia lakukan tapi memilih diam.Seperti biasa setelah mengantar Kala, Cloud langsung menuju gedung Niel Fashion. Ia agak memperlambat laju mo
Satu bulan kemudian Hari itu awan mendung menyelimuti hati Cloud. Sejak Nic berangkat kerja dan Kala sekolah, Cloud terus menangis karena merasa sangat bersalah ke baby Gaza juga Kala. Bukan tanpa alasan Cloud bersikap seperti ini. Beberapa hari ini dia sering merasa mual dan lemas. Bahkan setelah makan banyak dan mengonsumsi vitamin kondisinya juga masih sama. Hingga, Cloud yang memang sejak melahirkan baby Gaza belum mendapat tamu bulanan memilih untuk mencoba melakukan uji kehamilan. Cloud awalnya hanya iseng dan berpikir untuk tidak berpikir yang macam-macam, tapi dia berakhir lemas saat melihat dua garis merah tertera jelas pada alat uji kehamilan yang dia gunakan. Hati Cloud sedih, merasa sangat bersalah pada dua anaknya terutama ke baby Gaza yang baru saja berumur empat bulan. Karena hal itu, Cloud tidak bisa fokus bekerja dengan tenang meskipun masih bekerja dari rumah. Dia juga takut memberitahu Nic dan sekarang hanya Bianca yang menjadi tumpuannya. Setelah mengetahui diri
Cloud meraba dada Nic, mengusap lembut sambil merapatkan tubuhnya dan menciumi punggung pria itu. Cloud tahu Nic mengizinkannya melakukan itu saat tak mendapatkan penolakan sama sekali, bahkan saat dia mulai menempelkan lalu menggesekkan dadanya yang memang lebih padat karena berisi ASI putra kedua mereka. Nic diam-diam tersenyum, menikmati sentuhan Cloud. Tak lama tanpa ragu Nic akhirnya meraih tangan Cloud yang sejak tadi mengusap dada untuk mulai mengusap miliknya yang berada di antara paha.Cloud tersenyum penuh arti, dia mengangkat kepala untuk menjangkau tengkuk Nic dan memberi kecupan di sana, tak puas Cloud menggigit kecil cuping telinga suaminya bahkan menggelitik beberapa detik menggunakan ujung lidah.Nic pun tak sanggup lagi, dia bergerak dan Cloud pun bergeser, secepat kilat Nic mengurung tubuh Cloud, mencekal ke dua tangan istrinya di sisi kepala."Apa kamu tahu hukuman apa yang pantas diberikan ke wanita yang membuat prianya cemburu?" Tanya Nic."Aku tidak tahu, tapi k
Tidak terasa tiga bulan pun berlalu. Siang itu Cloud menitipkan Gaza ke Bianca karena harus menghadiri pesta pernikahan Thea dan Aditya.“Misal nanti Gaza rewel atau kenapa-napa, Mama langsung kabari aku saja,” ucap Cloud saat menitipkan putra ke duanya.“Kamu itu kayak baru kali ini nitipin anakmu ke Mama,” ucap Bianca. “Kayak masih setengah ga percaya.”Cloud pun tersenyum lebar mendengar protes Bianca kemudian membalas, “Bukan begitu, Ma. Siapa tahu Mama tidak bisa mengatasi kalau Gaza sedang rewel.”“Sudah kamu tenang saja. Nikmati pesta Thea dan jangan mikir yang aneh-aneh. Mama akan menjaga Gaza dengan baik,” ujar Bianca.Cloud pun melebarkan senyum mendengar ucapan Bianca. Dia lantas berpamitan dan pergi bersama Nic juga Kala. Dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya itu terlihat mengenakan setelan jas yang sama, Kala bahkan memperlihatkan aura seperti anak bangsawan.“Ayo!” Nic mengulurkan tangan ke Cloud agar istrinya itu bisa menuruni anak tangga dengan nyaman. Mereka te
“Hai.”Arkan masuk menyapa Cloud dan Nic yang ada di kamar. Nic yang awalnya tegang seketika rileks saat menyadari sepupunya datang mengajak Shafira dan memperkenalkan gadis itu sebagai calon istrinya dengan bangga.Nic pun bisa menerima kehadiran Arkan, bahkan bersikap ramah saat menyadari tatapan mata pria itu sudah sangat berbeda ke Cloud.“Bagaimana kondisimu dan juga bayimu?” Tanya Arkan. Dia berdiri di dekat ranjang Cloud bersisian dengan sang kekasih.Cloud sendiri tampak begitu kagum melihat bagaimana anggunnya Shafira. Sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang fashion, Cloud mendapat inspirasi bagaimana kalau perusahaannya mulai mencoba merambah dunia busana yang bisa dikenakan juga oleh para wanita yang mengenakan hijab.“Kami sehat, bahkan besok aku sudah diperbolehkan pulang,” jawab Cloud lantas menoleh ke baby box di mana bayinya sedang tidur.Shafira langsung mengalihkan tatapan ke sana, senyum gadis itu merekah bahkan diam-diam menarik bagian kemeja Arkan yang a
Kala masuk dan langsung menuju box bayi di mana sang adik tidur. Dia sangat bersemangat untuk melihat bagaimana wajah sang adik dari pada menyapa Cloud dan Nic lebih dulu. Berbeda dengan Bianca yang datang bersama rombongan putranya dan juga Skala. Wanita itu mendekati Cloud dan memeluk putrinya dengan tangis haru."Selamat ya! Kamu hebat, Cloud. Mama bangga," bisik Bianca. Perlahan dia mengurai pelukan sambil berkata membawakan makanan kesukaan Cloud. Bianca menjauh agar yang lainnya juga bisa mengucapkan selamat ke ibu dua anak itu.Seluruh anggota keluarga sudah melek akan informasi hingga berusaha agar Cloud tidak sampai mengalami Baby Blues Syndrome. Ya, terkadang seorang ibu yang baru saja melahirkan merasa tersisihkan, melihat bagaimana sikap orang sekitar yang lebih memperhatikan bayinya dari pada dia yang berjuang mempertaruhkan nyawa."Aku dan Embun sudah menyiapkan kado untukmu, coba lihat!" Pinta Rain sambil mengulurkan sebuah tas kertas kecil ke Cloud. Setelah sang adik
"Ners, tolong itu suami saya!"Cloud yang sudah ingin mengejan masih bisa memikirkan Nic yang baru saja terkena mental. Seorang perawat pun mencoba mendekat untuk memastikan keadaan Nic. Dia memegang lengan pria itu yang tatapannya terlihat kosong."Anda duduk saja di sini ya, Pak!" Ucap perawat itu sebelum kembali mendekat ke ranjang untuk mendengarkan keputusan dokter."Ibu tahan ya! Kita pindah ke ruang bersalin."Dokter pun memberi kode ke perawat yang berada di dekatnya dan Cloud pun segera dipindahkan. Nic sendiri seolah baru sadar saat ranjang sang istri dibawa keluar. Dia berdiri bergegas mengikuti ke mana Cloud pergi."Pak, Anda hanya boleh masuk kalau yakin kuat melihat apa yang terjadi di dalam, kalau tidak lebih baik Anda menunggu di luar." Dokter menahan Nic di depan pintu. Wajah pucat pria itu semakin membuat Dokter berpikir Nic sama sekali tidak siap menemani persalinan Cloud. Dokter pun hendak masuk tapi Nic menerobos sambil berkata dia kuat dan mampu.Meski wajahnya
Kelakuan Nic membuat Kala sampai terbangun, anak itu menggosok mata melihat Cloud berdiri menyanggah pinggang sedangkan Nic sibuk berganti baju. “Mama,” panggil Kala. Cloud yang mendengarnya menoleh, dia pun mendekat ke Nic dan memukul lengan sang suami karena membuat Kala terbangun.“Kala bangun gara-gara kamu,” ucap Cloud masih sambil menahan sakit di bagian perut bawah. Dia mengusap pipi agar Kala tak sampai melihatnya menangis. “Mama, apa Mama masih marah?” Cloud menoleh dan buru-buru menghampiri Kala. Dia membelai pipi anak itu dan mencium puncak kepalanya. Cloud menggeleng dan malah meminta maaf karena merasa keterlaluan memarahi Kala tadi. “Kenapa muka Mama begitu?” Kala menyadari ekspresi wajah Cloud yang berbeda.” Apa Mama sakit?” Tanyanya. “Hm… iya, adik sepertinya mau lahir,” jawab Cloud. Namun, bukannya merasa kasihan ke sang mama, Kala malah melompat-lompat kegirangan di atas kasur. Cloud sampai membeku dan saling pandang dengan Nic. Mata Kala yang mengantuk berub
Cloud ternyata hanya berpura-pura, setelah Kala dan dua keponakannya memasang muka bersalah dan ketakutan, Cloud pun berhenti mengaduh kesakitan. Masing-masing dari Cloud dan juga Embun tentu saja sangat ingin marah. Ini jelas bukan hanya sekadar masalah belanja atau uang puluhan juta, tapi seharusnya Olla dan Kala meminta izin lebih dulu kepada orangtua."Kalau izin namanya ga kejutan donk," ucap Olla. Meski awalnya takut, cucu pertama Skala itu akhirnya berani mengeluarkan pendapat karena mendapat pembelaan opanya."Sudahlah, tidak perlu ribut. Nanti papa yang ganti."Mendengar ucapan Skala baik Cloud dan Embun menoleh bersamaan. Skala sendiri tidak merasa takut diplototi anak dan menantunya, dia malah memanggil Olla, Kala juga Omi dan memeluk ke tiganya bergantian menunjukkan kasih sayang."Benar-benar," gerutu Embun sambil membuang muka.Nic sendiri dengan cara berbisik mengatakan pada Rain, kalau dia akan segera mengganti uang yang dipakai Kala berbelanja."Papa tidak bisa membel
Usia kandungan Cloud pun akhirnya sudah memasuki sembilan bulan. Seperti kesepakatan mereka saat kandungan Cloud masih berumur enam bulan, wanita itu bekerja di rumah karena Nic sudah tidak memperbolehkannya bolak-balik ke perusahaan, demi menjaga kondisi tubuh juga calon buah hati mereka. Bahkan mendekati hari perkiraan lahir, kini Nic dan Cloud tinggal di rumah Skala. Hal ini dilakukan semata-mata karena Nic takut Cloud mengalami kontraksi.Sore itu Rain datang ke rumah sang papa bersama Embun juga anak-anaknya untuk makan malam bersama dan menginap di sana. Saat masuk, Rain melihat sang adik yang duduk di sofa ruang keluarga sambil meluruskan kaki bersama Bianca dan Skala.“Bagaimana kabarmu?” tanya Rain yang langsung menghampiri Cloud.“Baik.” Cloud menjawab kemudian mengelus perutnya karena sang bayi baru saja menendang.Rain dan Embun pun ikut duduk, seperti biasa membiarkan Olla dan Omi bermain di belakang, apalagi Kala juga berada di sana. Awalnya Rain membahas tentang harga s