Sinar matahari mulai masuk dan membangunkan Rara dari tidurnya. Rara tersenyum menatap suaminya yang smasih tertidur pulas disampingnya. Dia tersenyum saat mengingat percakapannya dengan Joe semalam. Meskipun Joe belum mau mengakhiri hubungannya dengan Clay, setidaknya Rara tahu, Joe juga memikirkan Rara. Saat mulai beranjak untuk memasak, Rara melihat ponsel Joe yang berdering di atas nakas.
[Sayang, kamu akan menjemputku untuk makan siang, kan?]
Rara tersenyum miris membaca pesan masuk dari Clay itu. Sepertinya, ucapan Joe semalam tidak akan merubah apapun diantara mereka. Rara memilh mengabaikan pesan tersebut dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan.
“Kamu sudah bangun dari tadi?” Terdengar suara Joe yang sedang berjalan ke arah dapur.
“Iya... Aku kan, harus memasak makanan untuk kita sarapan.” “Aku pergi mandi dulu, ya.”Mendengar ucaapan Joe, Rara hanya mengangguk dan tersenyum. Rara senang, karena hari ini Joe memulai percakapan santai dengannya untuk pertama kalinya.
Tak lama, Joe keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi dan duduk untuk makan bersama Rara.
“Joe?” panggil Rara memulai percakapan.
“Iya, Ra? Kenapa?” “Bolehkah aku makan siang denganmu hari ini?” “Kenapa? Tumben?” “Ah, aku hanya tiba-tiba ingin makan siang denganmu.” “Besok saja, ya, Ra. Hari ini aku ada janji dengan Clay saat makan siang.”Rara hanya mengangguk pelan. Sebenarnya, dia tahu bahwa Joe pasti akan lebih memilih untuk menemui Clay. Rara hanya ingin memastikan, seperti apa tanggapan Joe saat dia mengajaknya makan siang bersama di luar rumah.
***Sejak menikah, Rara banyak menghabiskan waktu sendirian di rumah. Sekarang dia sudah mulai merasa bosan. Sebenarnya, Rara ingin kembali bekerja. Tapi, tentu saja Joe tidak mengijinkannya.
Hari ini Rara berjalan-jalan sendirian untuk menghilangkan rasa bosannya. Setelah berjalan-jalan ke beberapa tempat, Rara memutuskan untuk makan siang di salah satu tempat makan yang sering dia kunjungi. Rara berjalan di bahu jalan sambil melihat sekitar. Langkahnya tiba-tiba berhenti saat dia mendengar seseorang memanggil namanya dari dalam mobil.
“Rara!”
“Brian? Kamu sedang apa disini?” “Aku mau makan siang. Kamu sendirian?” Brian keluar mobil dan berjalan mendekati Rara. “Iya, aku tadi jalan-jalan sendiri dan sekarang mau makan siang.” “Mau makan siang bersamaku?” “Boleh!” Rara mengangguk antusias.Rara sebenarnya tidak ingin makan siang sendiri hari ini. Untung saja, dia bertemu dengan Brian. Mereka bergegas menuju salah satu resto di dekat sana.
Saat sudah sampai, mereka langsung mencari kursi yang kosong dan segera duduk. Namun, baru saja mereka membuka menu untuk memesan makanan, mereka dikejutkan oleh Joe yang tiba-tiba menghampiri mereka.
“Joe? Kenapa kamu ada disini?” tanya Rara.
“Tentu saja karena aku sedang makan bersama Clay!” Joe terlihat kesal, “Kenapa kalian makan berdua?” “Aku tidak sengaja melihat Rara sedang berjalan sendirian tadi, jadi aku menghampirinya dan mengajaknya makan siang bersama.” “Sayang? Ada apa?” tanya seorang perempuan cantik yang datang menghampiri mereka bertiga.“Ah, tidak apa-apa. Aku kebetulan melihat Brian dan Rara sedang makan disini. Jadi, aku menyapa mereka.”
“Oh, Rara? Halo, aku Clay.” Clay mengulurkan tangan pada Rara untuk berkenalan. “Halo, aku Rara,” balasnya lalu tersenyum manis ke arah Clay. “Aku dan Clay akan pergi dulu. Kalian bersenang-senanglah.”Joe dan Clay berjalan menjauh meninggalkan tempat itu. Joe terlihat sedikit marah karena Rara berjalan-jalan tanpa memberitahunya.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Brian.
“Tentu saja, Brian.” Rara terlihat memaksakan senyumnya. "Tolong beri tahu kalan nanti Joe membuat masalah."***
“Kamu cemburu melihat Rara bersama dengan Brian tadi?” tanya Clay yang sekarang sedang berada dalam perjalanan pulang dengan Joe. “Tentu saja tidak. Kenapa aku harus cemburu? Aku bahkan tidak peduli.” “Tapi kamu terlihat kesal, Joe.” “Sudahlah, Clay. Aku tidak cemburu, aku juga sedang tidak ingin membahas wanita itu.”Clay terdiam dan melihat keluar jendela mobil. Dia merasa bahwa Joe sepertinya mulai menyukai Rara. Tapi, bagaimanapun Clay tetap tidak ingin meninggalkan Joe karena dia sangat mencintai Joe. Clay bahkan rela dibenci oleh banyak orang demi tetap bersama Joe.
“Joe?”
“Hmm?” “Kamu masih mencintaiku, kan?” “Tentu saja, Clay. Kamu tidak perlu mempertanyakan hal yang sudah pasti.”Joe tersenyum dan mencium tangan Clay. Sebenarnya, tidak ada yang berubah dengan perasaan Joe. Dia masih tidak menyukai Rara seperti biasa. Tapi, entah kenapa hari ini dia sedikit kesal melihat Rara makan berdua dengan Brian.
Hari sudah mulai sore. Joe sudah dirumah, sedangkan Rara belum juga pulang. Joe berusaha menghubunginya, namun tidak ada jawaban dari Rara. Joe sangat kesal, dia berpikir akan memarahi Rara habis-habisan saat dia pulang nanti.
Tiba-tiba, Joe mendengar pintu rumahnya terbuka. Dia langsung menoleh ke arah pintu dan melihat Rara masuk ke rumah.
“Dari mana saja kamu?! Aku bahkan sudah di rumah sejak satu jam yang lalu!”
“Ah, maaf, Joe.” Rara menjawab singkat, tidak ingin memulai perdebatan. “Pasti kamu terlalu asik berkencan dengan Brian, kan?!” “Joe! Cukup! Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu!” “Jawab pertanyaanku, Rara! Jangan membuatku kesal!” "Apapun yang aku lakukan akan selalu membuatmu kesal, Joe. Kamu tidak pernah menganggap semua tindakanku benar!” “Jangan melebih-lebihkan! Kamu memang bersalah!” “Terserah, Joe! Pikirkan apapun yang kamu mau!”Rara berjalan melewati Joe, dia benar-benar tidak ingin bertengkar dengan suaminya hari ini. Joe segera menyusul Rara, menghalangi pintu kamar agar Rara tidak bisa masuk.
“Joe, tolong. Hari ini saja, biarkan aku tenang.”
“Jawab dulu pertanyaanku!” “Apa yang ingin kamu tahu?” Rara mendengus kesal. Dia benar-benar lelah dengan sikap suaminya. “Dari mana saja kamu dengan Brian?” “Setelah makan, Brian mengantarku ke apotek untuk membeli obat karena aku sedang tidak enak badan, Joe. Setelah itu, kami langsung pulang.” Rara menggeser badan Joe yang masih menghalangi pintu kamar, “Tenang saja, aku tahu apa yang kamu khawatirkan. Aku tidak sepertimu. Aku tidak akan berselingkuh dan mengecewakan orang tuamu.”Kemudian, Rara masuk ke kamar dan langsung membaringkan badannya di ranjang. Joe menatap Rara dengan perasaan bersalah. Dia baru menyadari bahwa wajah Rara pucat, karena tadi Joe mendahulukan emosinya. Joe berjalan menghampiri Rara dan duduk di tepi ranjang.
“Kamu sakit? Apa kamu demam?” Joe menyentuh kening Rara dengan punggung tangannya.
“Tidak, Joe. Sepertinya aku hanya butuh istirahat.” “Tidurlah, kalau nanti masih belum membaik, aku akan mengantarmu ke dokter."Rara hanya mengangguk pelan dan tersenyum. Rara tahu, bahwa Joe sebenarnya adalah pria yang baik. Hanya saja, keadaan yang membuatnya terkadang bersikap kekanakan.
“Kamu tidak perlu memasak untuk makan malam. Kita makan di luar saja hari ini.”
“Baiklah. Terimakasih Joe, karena sudah mau mengerti.”Joe hanya mengangguk. Dia menarik selimut untuk Rara dan keluar kamar agar Rara bisa beristirahat. Joe benar-benar bingung dengan perasaannya. Mengapa sekarang dia mudah marah saat mengetahui Rara pergi dengan Brian? Tidak mungkin kan, kalau Joe mulai menyukai Rara?
“Yang benar, Dok? Istri saya hamil?” “Benar, Pak. Usia kandungan Istri anda baru menginjak tiga minggu. Selamat, ya, Bapak dan Ibu,” dokter memberikan hasil pemeriksaan pada Joe dan Rara, “Karena ini adalah kehamilan pertama dan usia kandungan masih sangat muda, tolong lebih berhati-hati dan jangan sampai kelelahan, ya.” “Terimakasih banyak, Dok,” ucap Rara sembari tersenyum. Joe tampak sangat bahagia, dia segera memeluk Rara setelah keluar dari ruangan Dokter. “Terimakasih, Ra. Terimakasih karena kamu memberikan hadiah yang sangat berharga untukku,” ucap Joe yang masih memeluk Rara. “Joe...” Rara memanggil Joe lembut. “Hmm?” Joe melepas pelukannya dan menatap Rara sembari tersenyum. “Aku tidak akan lagi memintamu untuk meninggalkan Clay. Tapi, bisakah kamu setidaknya meluangkan lebih banyak waktu untukku?” “Tentu saja,” Joe tersenyum lembut dan membelai rambut Rara. Saat hendak pulang dari rumah sakit, Joe segera menelepon Mamanya dan memberi kabar bahwa Rara s
Hari ini Rara bertemu dengan Brian. Mereka bertemu saat makan siang di dekat perusahaan milik papa Joe. “Hai, Ra,” sapa Brian saat melihat Rara yang sudah duduk menunggunya. “Kamu naik apa ke sini?” “Tadi aku naik taksi, Brian.” “Ah, Joe memang benar-benar tidak berguna, ya.” “Dia tidak seburuk itu, kok.” “Iya, iya... tidak perlu membela suamimu terang-terangan di depanku,” Brian tersenyum sembari menggeleng pelan, “Kenapa mengajakku bertemu?” “Karena kamu temanku satu-satunya,” ucap Rara sambil tertawa. “Kita benar-benar tidak bisa lebih dari sekedar teman, ya,” balas Brian menggoda Rara. “Brian! Hentikan atau kamu akan kuhajar habis-habisan!” Rara mencubit lengan Brian dan mereka tertawa bersama.Saat sedang bercanda, ponsel Rara berdering dan tertulis nama Joe di layarnya. “Halo, Joe. Ada apa?” “Kamu sudah makan siang?” tanya Joe diujung telepon. “Aku sedang makan siang sekarang, bersama Brian.” “Brian? Kamu sedang bersamanya?” “Iya, Joe. Aku
“Joe! Tolong jangan kasar!” teriak Clay yang sekarang sudah berada di dalam mobil Joe.Joe tidak menanggapi perkataan kekasihnya, lalu segera memacu mobilnya. “Kita mau kemana?” tanya Clay. “Ke rumahku!” “Apa kamu sudah gila, Joe? Bagaimana dengan Rara?” “Biar aku yang menjelaskan padanya!”Clay hanya diam dan pasrah. Dia tidak mengatakan apapun, sampai mereka tiba di tempat tinggal Joe dan Rara. Joe segera menarik Clay dan membawanya masuk ke dalam. “Joe! Lepaskan!” rintih Clay, “Tolong, bicaralah baik-baik!” “Baiklah. Jelaskan! Siapa pria tadi?” “Dia teman dekatku, namanya Sean.” “Teman dekat? Kenapa aku tidak pernah tahu bahwa kamu memiliki teman dekat?!” “Joe, sudahlah! Dia hanya temanku!” “Teman macam apa? Kenapa kalian berada di rumahmu malam-malam begini?! Apa yang kalian lakukan?!” “Dia hanya mampir setelah pulang kerja, Joe. Kami tidak melakukan apa-apa.” “Jangan bohong. Kamu tidur dengannya, kan?!PLAK!! Clay menampar pipi Joe dengan sanga
Brian menggendong Rara masuk ke dalam mobilnya, lalu segera memacu mobil menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Brian mencoba menghubungi Joe, namun sama sekali tidak ada jawaban.Sampai di rumah sakit, Rara segera ditangani oleh Dokter. Brian menunggu di depan ruangan dengan perasaan cemas. Setelah menunggu beberapa saat, Dokter keluar dan memanggil Brian. “Apakah anda suami dari Ibu Rara?” tanya Dokter yang menangani Rara. “Bukan, Dok. Saya adalah kerabatnya.” “Dimana suaminya? Saya harus segera berbicara dengannya.” “Suaminya belum bisa datang karena ada yang sedang diurus, Dok. Bisakah Dokter berbicara pada saya?” “Baiklah. Silahkan ikut ke ruangan saya.”Brian mengikuti dokter ke ruangannya, lalu berbincang dengan beliau. Wajahnya tampak serius mendengarkan setiap perkataan dokter. “Apa tidak ada jalan lain, Dok?” tanya Brian. “Untuk saat ini, yang saya katakana tadi adalah jalan keluar terbaik, Pak.”Setelah mendapat penjelasan tentang kondisi Rara, Brian
Rara terbangun dari tidurnya. Aroma obat-obatan dan suasana rumah sakit masih harus Rara rasakan hari ini. Dia belum diperbolehkan untuk pulang, karena dokter bilang Rara kekuarangan cairan yang membuatnya harus diinfus lebih lama.Pintu ruang inap Rara terbuka, terlihat seorang perawat yang masuk membawakan Rara sarapan. “Selamat pagi, Bu. Sarapannya segera dimakan, ya,” ucap perawat dengan ramah. “Baik, sus. Terimakasih,” Rara membalas senyumannya, lalu perawat tadi meninggalkan ruangan Rara.Tak lama, pintu kembali terbuka. Kali ini Brian yang datang. Dia bergegas menghampiri Rara, saat melihat Rara sedang berusaha meraih gelas yang terletak di nakas. “Biar aku bantu,” ucap Brian. “Terimakasih, Brian. Kamu tidak pergi ke kantor?” “Aku akan pergi ke kantor setelah memastikan kamu menghabiskan sarapanmu dan meminum obatmu.” “Aku bukan anak kecil!” seru Rara sembari berdecak kesal.Brian tertawa dan mengusap kepala Rara gemas. Brian menemani Rara makan sambil sesekal
Sudah satu minggu Joe menemani Rara. Dia benar-benar menepati janjinya, meluangkan banyak waktu untuk Rara dan mengerjakan semua pekerjaan kantornya di rumah. Bahkan, Joe membuat sekertarisnya harus mondar-mandir dari kantor ke rumah Joe, untuk menyerahkan berkas penting atau sekedar meminta tanda tangan darinya. Selama di rumah, Joe benar-benar berubah. Dia sangat perhatian pada Rara, dan mencurahkan semua waktunya untuk Rara.Hari sudah mulai petang, Rara dan Joe sedang menonton film. Rara bersandar pada bahu Joe, sementara Joe merangkul Rara. Mereka sama-sama larut pada adegan demi adegan dalam film tersebut. Tiba-tiba, ponsel Joe berdering. Terlihat Clay meneleponnya berkali-kali, namun Joe enggan menjawabnya. Joe bahkan mematikan ponselnya, kemudian kembali fokus pada film. Rara menghela nafas, dia merasa sedikit bersalah pada Clay. “Berhenti menonton, aku mengantuk,” ucap Rara sambil beranjak pergi. “Masih pukul 8, benarkah kamu sudah mengantuk?” tanya Joe yang mengikuti R
Joe kembali ke ruangannya dan melihat Clay tertunduk lesu di kursi. Dia mendengus pelan, lalu berjalan menghampiri Clay. Joe pun duduk dihadapan Clay, lalu mengusap pipinya lembut. Clay menatap Joe sendu, “Joe, apa kamu akan meninggalkanku?” “Tentu tidak, Clay. itu tidak akan pernah terjadi.” “Lalu kenapa kamu sulit sekali dihubungi? Kamu bahkan meninggalkanku untuk mengejar Rara barusan.” “Sayang, Rara sedang sedih karena baru saja kehilangan janinnya. Keadaannya belum stabil, aku harus lebih sering menemaninya.” “Apa sekarang kamu mulai mencintainya?” tanya Clay dengan mata berkaca-kaca. Joe menatap Clay sendu, dia tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan. “Joe? Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Clay sekali lagi. “Clay, berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Aku masih mencintaimu, akan selalu begitu.” Entah apa yang harus dikatakan Joe untuk menenangkan Clay. Saat ini, Joe hanya bisa memeluk dan meyakinkannya bahwa perasaan Joe tidak akan pernah berub
Joe baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Clay yang sedang memengang ponsel miliknya. “Sayang? Kamu sedang apa?” tanya Joe. “Ah, aku hanya melihat-lihat isi galerimu,” jawab Clay berbohong. “Kemari Joe, aku ingin memelukmu.” Joe tersenyum gemas, lalu memeluk kekasihnya. “Kenapa kamu manja sekali, sih?” “Kenapa? Kamu tidak menyukainya?” “Suka, kok. Aku menyukai apapun yang ada padamu.” Clay tersenyum manis, lalu menyentuh kedua pipi Joe dengan tangannya. Dia menatap mata Joe lekat, lalu mencium bibir Joe dengan sekali kecupan. Joe tersenyum senang, kemudian mulai mencium Clay. Dia mengulum bibir ranum milik kekasihnya, lalu menggendong Clay menuju kamar tanpa melepas ciumannya. Joe menidurkan Clay di ranjang, lalu menahan tubuh mungil kekasihnya di bawah kungkungannya. Dia mencium Clay dengan intens, dan mulai turun ke leher hingga dada Clay. Tanpa sadar, Clay mulai melenguh pelan. Disaat yang bersamaan, Joe mendengar ponselnya terus berdering. Joe langsung m
Dokter menjahit telapak kaki Clay yang robek, sedangkan Joe dengan sabar menenangkan Clay yang masih meringis kesakitan. Tak henti-hentinya Joe menggenggam tangan Clay dan mengusap lembut kepalanya.Setelah selesai, mereka lalu pulang ke rumah Clay. Sesampainya di sana, Joe segera menggendong Clay masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di ranjang. "Aku akan pulang sebentar untuk mandi dan mengganti pakaian. Setelah itu, aku akan kembali sebelum berangkat ke kantor dan membawakan sarapan untukmu," ujar Joe sembari mengusap halus pipi Clay. "Baiklah, Joe. Aku akan menunggu."Joe pun beranjak dan melajukan mobilnya untuk pulang. Sepanjang perjalanan, Joe sangat frustasi memikirkan tentang bagaimana dirinya akan mengurus Clay selama dia sakit. Joe tidak mungkin berkata jujur pada Rara, lalu membuatnya terluka lagi.Tak lama kemudian, Joe pun sampai di rumah. "Joe? Kamu dari mana?" tanya Rara yang melihat Joe masuk. "Ah, tadi aku sedang ada sedikit masalah. Jadi aku pergi u
Joe baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Clay yang sedang memengang ponsel miliknya. “Sayang? Kamu sedang apa?” tanya Joe. “Ah, aku hanya melihat-lihat isi galerimu,” jawab Clay berbohong. “Kemari Joe, aku ingin memelukmu.” Joe tersenyum gemas, lalu memeluk kekasihnya. “Kenapa kamu manja sekali, sih?” “Kenapa? Kamu tidak menyukainya?” “Suka, kok. Aku menyukai apapun yang ada padamu.” Clay tersenyum manis, lalu menyentuh kedua pipi Joe dengan tangannya. Dia menatap mata Joe lekat, lalu mencium bibir Joe dengan sekali kecupan. Joe tersenyum senang, kemudian mulai mencium Clay. Dia mengulum bibir ranum milik kekasihnya, lalu menggendong Clay menuju kamar tanpa melepas ciumannya. Joe menidurkan Clay di ranjang, lalu menahan tubuh mungil kekasihnya di bawah kungkungannya. Dia mencium Clay dengan intens, dan mulai turun ke leher hingga dada Clay. Tanpa sadar, Clay mulai melenguh pelan. Disaat yang bersamaan, Joe mendengar ponselnya terus berdering. Joe langsung m
Joe kembali ke ruangannya dan melihat Clay tertunduk lesu di kursi. Dia mendengus pelan, lalu berjalan menghampiri Clay. Joe pun duduk dihadapan Clay, lalu mengusap pipinya lembut. Clay menatap Joe sendu, “Joe, apa kamu akan meninggalkanku?” “Tentu tidak, Clay. itu tidak akan pernah terjadi.” “Lalu kenapa kamu sulit sekali dihubungi? Kamu bahkan meninggalkanku untuk mengejar Rara barusan.” “Sayang, Rara sedang sedih karena baru saja kehilangan janinnya. Keadaannya belum stabil, aku harus lebih sering menemaninya.” “Apa sekarang kamu mulai mencintainya?” tanya Clay dengan mata berkaca-kaca. Joe menatap Clay sendu, dia tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan. “Joe? Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Clay sekali lagi. “Clay, berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Aku masih mencintaimu, akan selalu begitu.” Entah apa yang harus dikatakan Joe untuk menenangkan Clay. Saat ini, Joe hanya bisa memeluk dan meyakinkannya bahwa perasaan Joe tidak akan pernah berub
Sudah satu minggu Joe menemani Rara. Dia benar-benar menepati janjinya, meluangkan banyak waktu untuk Rara dan mengerjakan semua pekerjaan kantornya di rumah. Bahkan, Joe membuat sekertarisnya harus mondar-mandir dari kantor ke rumah Joe, untuk menyerahkan berkas penting atau sekedar meminta tanda tangan darinya. Selama di rumah, Joe benar-benar berubah. Dia sangat perhatian pada Rara, dan mencurahkan semua waktunya untuk Rara.Hari sudah mulai petang, Rara dan Joe sedang menonton film. Rara bersandar pada bahu Joe, sementara Joe merangkul Rara. Mereka sama-sama larut pada adegan demi adegan dalam film tersebut. Tiba-tiba, ponsel Joe berdering. Terlihat Clay meneleponnya berkali-kali, namun Joe enggan menjawabnya. Joe bahkan mematikan ponselnya, kemudian kembali fokus pada film. Rara menghela nafas, dia merasa sedikit bersalah pada Clay. “Berhenti menonton, aku mengantuk,” ucap Rara sambil beranjak pergi. “Masih pukul 8, benarkah kamu sudah mengantuk?” tanya Joe yang mengikuti R
Rara terbangun dari tidurnya. Aroma obat-obatan dan suasana rumah sakit masih harus Rara rasakan hari ini. Dia belum diperbolehkan untuk pulang, karena dokter bilang Rara kekuarangan cairan yang membuatnya harus diinfus lebih lama.Pintu ruang inap Rara terbuka, terlihat seorang perawat yang masuk membawakan Rara sarapan. “Selamat pagi, Bu. Sarapannya segera dimakan, ya,” ucap perawat dengan ramah. “Baik, sus. Terimakasih,” Rara membalas senyumannya, lalu perawat tadi meninggalkan ruangan Rara.Tak lama, pintu kembali terbuka. Kali ini Brian yang datang. Dia bergegas menghampiri Rara, saat melihat Rara sedang berusaha meraih gelas yang terletak di nakas. “Biar aku bantu,” ucap Brian. “Terimakasih, Brian. Kamu tidak pergi ke kantor?” “Aku akan pergi ke kantor setelah memastikan kamu menghabiskan sarapanmu dan meminum obatmu.” “Aku bukan anak kecil!” seru Rara sembari berdecak kesal.Brian tertawa dan mengusap kepala Rara gemas. Brian menemani Rara makan sambil sesekal
Brian menggendong Rara masuk ke dalam mobilnya, lalu segera memacu mobil menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Brian mencoba menghubungi Joe, namun sama sekali tidak ada jawaban.Sampai di rumah sakit, Rara segera ditangani oleh Dokter. Brian menunggu di depan ruangan dengan perasaan cemas. Setelah menunggu beberapa saat, Dokter keluar dan memanggil Brian. “Apakah anda suami dari Ibu Rara?” tanya Dokter yang menangani Rara. “Bukan, Dok. Saya adalah kerabatnya.” “Dimana suaminya? Saya harus segera berbicara dengannya.” “Suaminya belum bisa datang karena ada yang sedang diurus, Dok. Bisakah Dokter berbicara pada saya?” “Baiklah. Silahkan ikut ke ruangan saya.”Brian mengikuti dokter ke ruangannya, lalu berbincang dengan beliau. Wajahnya tampak serius mendengarkan setiap perkataan dokter. “Apa tidak ada jalan lain, Dok?” tanya Brian. “Untuk saat ini, yang saya katakana tadi adalah jalan keluar terbaik, Pak.”Setelah mendapat penjelasan tentang kondisi Rara, Brian
“Joe! Tolong jangan kasar!” teriak Clay yang sekarang sudah berada di dalam mobil Joe.Joe tidak menanggapi perkataan kekasihnya, lalu segera memacu mobilnya. “Kita mau kemana?” tanya Clay. “Ke rumahku!” “Apa kamu sudah gila, Joe? Bagaimana dengan Rara?” “Biar aku yang menjelaskan padanya!”Clay hanya diam dan pasrah. Dia tidak mengatakan apapun, sampai mereka tiba di tempat tinggal Joe dan Rara. Joe segera menarik Clay dan membawanya masuk ke dalam. “Joe! Lepaskan!” rintih Clay, “Tolong, bicaralah baik-baik!” “Baiklah. Jelaskan! Siapa pria tadi?” “Dia teman dekatku, namanya Sean.” “Teman dekat? Kenapa aku tidak pernah tahu bahwa kamu memiliki teman dekat?!” “Joe, sudahlah! Dia hanya temanku!” “Teman macam apa? Kenapa kalian berada di rumahmu malam-malam begini?! Apa yang kalian lakukan?!” “Dia hanya mampir setelah pulang kerja, Joe. Kami tidak melakukan apa-apa.” “Jangan bohong. Kamu tidur dengannya, kan?!PLAK!! Clay menampar pipi Joe dengan sanga
Hari ini Rara bertemu dengan Brian. Mereka bertemu saat makan siang di dekat perusahaan milik papa Joe. “Hai, Ra,” sapa Brian saat melihat Rara yang sudah duduk menunggunya. “Kamu naik apa ke sini?” “Tadi aku naik taksi, Brian.” “Ah, Joe memang benar-benar tidak berguna, ya.” “Dia tidak seburuk itu, kok.” “Iya, iya... tidak perlu membela suamimu terang-terangan di depanku,” Brian tersenyum sembari menggeleng pelan, “Kenapa mengajakku bertemu?” “Karena kamu temanku satu-satunya,” ucap Rara sambil tertawa. “Kita benar-benar tidak bisa lebih dari sekedar teman, ya,” balas Brian menggoda Rara. “Brian! Hentikan atau kamu akan kuhajar habis-habisan!” Rara mencubit lengan Brian dan mereka tertawa bersama.Saat sedang bercanda, ponsel Rara berdering dan tertulis nama Joe di layarnya. “Halo, Joe. Ada apa?” “Kamu sudah makan siang?” tanya Joe diujung telepon. “Aku sedang makan siang sekarang, bersama Brian.” “Brian? Kamu sedang bersamanya?” “Iya, Joe. Aku
“Yang benar, Dok? Istri saya hamil?” “Benar, Pak. Usia kandungan Istri anda baru menginjak tiga minggu. Selamat, ya, Bapak dan Ibu,” dokter memberikan hasil pemeriksaan pada Joe dan Rara, “Karena ini adalah kehamilan pertama dan usia kandungan masih sangat muda, tolong lebih berhati-hati dan jangan sampai kelelahan, ya.” “Terimakasih banyak, Dok,” ucap Rara sembari tersenyum. Joe tampak sangat bahagia, dia segera memeluk Rara setelah keluar dari ruangan Dokter. “Terimakasih, Ra. Terimakasih karena kamu memberikan hadiah yang sangat berharga untukku,” ucap Joe yang masih memeluk Rara. “Joe...” Rara memanggil Joe lembut. “Hmm?” Joe melepas pelukannya dan menatap Rara sembari tersenyum. “Aku tidak akan lagi memintamu untuk meninggalkan Clay. Tapi, bisakah kamu setidaknya meluangkan lebih banyak waktu untukku?” “Tentu saja,” Joe tersenyum lembut dan membelai rambut Rara. Saat hendak pulang dari rumah sakit, Joe segera menelepon Mamanya dan memberi kabar bahwa Rara s