"Sulit untuk aku percaya pada perempuan sepertimu Aura. Kau saja masih mau berhubungan denganku, padahal kau sendiri tahu kalau aku adalah suami orang kan? Naah, kemungkinan lain kau bisa jadi berhubungan dengan laki-laki lain selama denganku juga kan? jadi bagaimana aku bisa percaya kalau itu adalah anakku?"Suasana menjadi tegang, saat Sandi memfitnah Aura. Perempuan yang tengah berbadan dua itu tak terima dengan tuduhan Sandi. Ia tak habis pikir dengan pemikiran Sandi yang sepicik itu."Hei! Kurang ajar kamu ya! Kalau bukan karena anakku, sudah ku hajar habis-habisan kau ini!" tiba-tiba suara seorang lelaki terdengar berteriak dari kejauhan. Ternyata ayah Aura kini sudah berada didepan rumah Aura. Saat mereka bersitegang, lelaki itu tak terima jika Sandi memfitnah dan memojokkan anaknya seperti itu.Sandi mundur beberapa langkah, dan menghela nafasnya berat. Ia khawatir lelaki setengah baya itu memukulnya karena emosi padanya.Lengan kekar dari ayahnya Aura kini menarik kuat kerah
Sandi mengerdilkan bahunya, dan menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu kenapa dia diperlakukan seperti seorang penjahat, yang tak punya pilihan lain selain menuruti apa yang diperintahkan oleh Pak Ardi."Kamu tak apa-apa Mas?" tanya Aura, mencoba melihat wajah Sandi yang merah, dengan beberapa bekas pukulan."Tak usah kasih aku perhatian, aku hanya ingin bebas darimu!" jawab Sandi dengan pelan. Ia masih berusaha menjaga perasaan Cinta, walaupun dia sangat marah terhadap Aura.Sandi mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia didekatnya. Ia menjatuhkan kepalanya di kursi tersebut, dan memejamkan matanya. Entah seperti apa lagi kehidupan yang akan dia hadapi setelah ini. Sandi benar-benar berada dalam kebimbangan.***Roda kehidupan memang berputar, dan itu benar adanya. Seperti Sandi yang dulu berada di atas angin, dengan semua keberuntungan dan dewi Fortuna yang berpihak padanya, namun sayang... kesempatan itu Sandi sia-siakan. Kini semua berbalik arah. Sandi sudah tak se gagah dulu, tak
Hanya butuh beberapa menit saja, kini Sekar sudah tiba dirumah Sandi. Rumah yang dulu menjadi tempat ia pulang kala lelah mengajar, rumah yang selalu ia bersihkan kala suami tercintanya bekerja, kini menjadi sebuah rumah yang nampak seperti rumah kosong.Tak ada kehangatan di dalamnya. Semenjak kepergian Sekar dan kedua anaknya, rumah itu menjadi tak terawat dan kehilangan kehidupannya."Eeh Bu Sekar ya? ya Allah bu kemana aja? Sudah seminggu saya enggak lihat ibu. Ibu sehat kan?" tanya seorang ibu yang tak lain adalah tetangga dekatnya.Sekar yang semula menatap dengan berat bangunan yang terpampang didepannya, kini menolah ke arah sumber suara."Eh bu Tono, Alhamdulillah bu saya sehat. Ibu sendiri bagaimana?" tanya Sekar kembali dengan keramahannya."Alhamdulillah saya juga sehat. Anak-anak kok Enggal ikut? Ibu ini sebenarnya kemana saja lo bu, sepi rasanya saya enggak punya tetangga kayak ibu," keluh bu Tono, merasa kehilangan sosok tetangga yang baik hati."Hemm, saya dirumah ibu
"Sudahlah Sekar...Apayang sebenarnya kau pikirkan? Kenapa kau begitu berharap kalau Sansi kembali padamu lagi? Kenapa kau berharap kalau lelaki yang sudah membuatmu patah hati itu bisa memperbaiki sikapnya? Bukankah jauh darinya lebih baik dan lebih tenang untukmu mu?" Sekar menasihati dirinya sendiri, walaupun sebenarnya hatinya masih dilema tentang perasaannya. Perlahan ia balikkan tubuh kurusnya, karena sang pemilik rumah ternyata tak ada disana.Dengan sejuta kecewa, Sekar pergi dari rumah Sandi tanpa membawa hasil apa-apa. Langkah-langkah kaki ramping itu kini membawa tubuhnya berada dipinggir jalan, menunggu kendaraan umum roda empat yang selalu setia menemaninya setiap berangkat berjuang.Pagi ini harusnya menjadi pagi yang indah dan cerah, karena Sekar akan memulai hidup barunya, maju selangkah dari star awal, dengan bertemu sang produser yang akan menaikkan cerita novelnya menjadi sebuh film. "Ya, aku harus fokus pada tujuan ku. Mas Sandi bukan lagi menjadi tujuan ku sekaran
"Ingat ya Sekar, besok jam 8 pagi!" teriak Aura lebih lantang. Sontak Sandi menutup mulut perempuan berambut panjang itu dengan cepat. Ia tak habiskan pikir kalau Aura bisa-bisanya bersikap norak seperti itu."Aura! Apa-apaan sih kamu? Tingkahmu itu memalukan sekali. Kalau kau memang mau mengundang Sekar, kenapa kau tak datang langsung saja ke rumahnya? Bukan berteriak seperti ini?" tanya Sandi kesal, dan lekas kembali berlari mengejar Sekar yang terlibat semakin jauh. Secepat apapun langkah seorang Sekar, tetap Sandi bisa mengejarnya."Sekar, tunggu dulu. Tolong dengarkan penjelasan Mas dulu. Kamu jangan salah paham dulu Sekar," ungkap Sandi, menggenggam tangan Sekar yang terasa dingin karena keringatnya."Lepas tanganmu Mas. Aku sudah bilang, kalau aku sudah tak peduli dengan apapun yang akan kau lakukan. Sebentar lagi juga hubungan kita akan segera berakhir, jadi kamu tak usah khawatir Mas," jawab Sekar, masih membuang muka, enggan memperlihatkan rasa sakit di dadanya."Kamu sudah
Sandi pasrah dengan keadaan yang saat ini menimpanya. Tak ada lagi elakan atau sangkalan seperti awalnya ia menolak keputusan keluarga Aura. Dengan tatapan kosong dan pasrah, Sandi hanya melengos dan masuk ke dalam rumah Aura."Mungkin ini sudah jalan takdirku, aku pasrah untuk semuanya. Lagi pula aku terlalu banyak melakukan kesalahan dan menyakiti hatinya, sehingga Sekar tak mau lagi kembali padaku. Aku terima takdir ini," batin Sandi yang tiba-tiba pasrah begitu saja. Terlalu sakit rasanya jika mengingat penolakan yang Sekar lakukan dalam pertemuan tadi. Pikirannya melayang memikirkan Sekar. Tak bisa dibohongi, hatinya masih terpaut erat dengan perempuan yang kini merajai pikirannya itu. Sampai kapanpun ia akan menjadi perempuan terindah baginya.Begitu kuat syaiton telah mempengaruhinya dulu, sehingga ia mampu meninggalkan Sekar dan kedua anaknya hanya demi perempuan seperti Aura, dan kini penyesalan sudah tiada lagi guna.sandi pejamkan matanya, terbayang senyum manis Sekar yang
Sandi semakin merasa yakin untuk meninggalkan Aura. Baginya, tak ada lagi alasan untuk mempertahankan perempuan macam Aura. Sifatnya yang kasar, egois, dan selalu mementingkan keinginannya sendiri, membuat Sandi semakin geram dengan tingkah Aura.BLUMMM... Suara dentuman pintu yang dibanting membuat jantung Sandi terasa bergetar dengan hebat. Sifat asli Aura yang baru terlihat aslinya, membuat Sandi menggelengkan kepalanya."Aku harus keluar dari neraka ini," batin Sandi semakin mantap. Sedangkan Aura, kini merebahkan tubuhnya diatas kasur miliknya. Nafsu makannya seketka hilang sekaligus, saat Sandi membandingkan dirinya dengan Sekar. Ia tutup mukanya dengan bantal ditangannya."Aku benci kau Sekar! Bahkan setelah Mas Sandi pergi meninggalkanmu saja, kau masih diingat. Apa kurangku? Hanya karena hal sepele seperti itu, Mas Sandi selalu membanggakanmu!" umpat Aura sambil marah-marah.***Jika Aura dan Sandi perlahan sedang merasakan karmanya, lain hal dengan Sekar yang kini sedang te
Sekar nampak berbahagia saat ini. Ia sedang duduk manis disebuah warung lesehan, dimana ia sudah membuat janji dengan kawannya dan prosedural film itu. Sesekali ia lirik jam di tangannya, karena sudah hampir 10 menit belum nampak juga batang hidung orang yang sedang ia tunggu."Lama juga mereka ya," ucap Sekar pelan. Ia ambil segelas es kelapa dingin di depannya, lumayan bisa membuat tenggorokannya yang kering sedikit membasah dan segar. Bola mata Sekar berputar, kala melihat sosok perempuan yang dia tunggu. Dari kejauhan nampak senyum ramahnya, menyapa Sekar "Hai Sekar! Maaf membuatmu lama menunggu," ucapnya, sembari menyodorkan pipi kanan dan kirinya, untuk bercipika- cipiki."Ah tak Apa. Aku juga belum lama kok," ungkap Sekar, menyambut kedatangan sahabatnya itu."Kamu sudah pesan makanan Sekar?" Sarah bertanya pada sahabatnya yang hanya meminum es kelapa muda, tanpa ada sepiring makanan didepannya. Sekar hanya menggelengkan kepalanya, karena memang ia juga belum lama disana, jadi
Sekar sedikit mendorong tubuh Sandi dengan lengannya saat ia berlalu meninggalkan Sandi yang mematung. Sandi hanya menelan saliva, kala ia mendapat perlakuan yang tak menyenangkan hatinya dari Sekar.ia kepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir mencuat dalam dadanya. Kemudian ia acak rambutnya dengan kasar, lalu kembali merapikannya. ia ingat kalau ada Nida yang sedang menunggunya.langkahnya ia perlambat saat ia mulai memasuki ruangan tamu. Ia tak berani menatap Andre dan Sekar serta anak sulungnya yang kali ini tengah tertawa melihat Nida yang mencoba menaiki mainan motor pemberian Andre."Ibu, aku kayak ibu ya, bisa naik motor sendiri," kata Nida dengan senangnya. Sekar hanya mengulas senyumnya, mendengar perkataan anak perempuannya itu."Kamu suka sayang?" tanya Sekar kembali. Nida tak membalas, ia hanya senyum. Senyum yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi seorang Ayah, kini hanya membawa luka bagi Sandi. Ia kini tengah berdiri diambang pintu, ingin berpamitan pada p
"Ayah, kenapa diam, ayo kita main lagi!" ajak Nida sambil menarik narik celana Sandi."Oh iya sayang. Ayo kita main lagi. Maaf ya, tadi Ayah istirahat sebentar. Ayah capek," Sandi berbohong. Mata teduh Nida kini menatap Ayahnya. "Ayah mau minum? Ayah haus ya, dari tadi pegangin sepeda Nida?" tanya Nida, dengan nada khas kekanakan nya. Sandi mengusap lembut rambut anaknya."Ayah enggak haus nak, Ayah cuma panas aja,""Panas Ayah?" tanya Nida kembali. Maksud Sandi adalah panas hatinya, bukan panas cuacanya. Nida mana tahu kalau Ayahnya sekarang sedang cemburu melihat Andre yang datang ke rumah dengan disambut baik oleh Ibunya."Ya sudah kalau Ayah panas, kita masuk saja yu yah. Nanti Ayah sakit kalau kepanasan," ajak anak sulungnya kembali. Sandi hanya mengangguk. Ia memang ingin masuk ke rumah itu, ingin bertegur sapa dengan Andre, yang saat ini tengah bersama Sekar."Assalamualaikum," sapa Sandi saat ia masuk ke ruangan tamu, sambil menggendong Nida. Andre yang tadinya tengah melamu
Mengapa jawaban yang Sekar berikan sangat menusuk tajam di hatinya. Bukankah kata-kata itu yang dulu sangat ia harapkan dari Sekar, agar ia bisa segera menikahi kekasihnya? Tapi pada saatnya, Allah maha mudah membalikkan hati hamba-nya. Sandi merasa tersiksa dengan kata-kata yang Sekar ucapkan."Saya permisi dulu Mas. Silahkan kalau Mas mau main lagi sama anak-anak," pamit Sekar, meninggalkan Sandi. Ia bergegas membersihkan diri, karena siang ini ia ada keperluan. Ya, uang dari sisa membeli motor akan ia belikan untuk membeli sebidang tanah yang kebetulan dijual di pinggir jalan. Daripada uangnya dipakai untuk hal yang tak jelas, ia pakai untuk membeli tanah, dan nantinya akan ia bangun rumah disana.Saat Sekar baru saja selesai mandi, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Nama Andre tertera disana. Sekar hanya mengernyitkan keningnya."untuk apa dia menghubungiku lagi? Ada perlu apa ya?" batin Sekar, dan segera mengangkat panggilan temannya itu."Iya, Wa'alaikumsalam Andre. Ada apa?
"Ia masih menarik seperti dulu. Aku masih menyimpan perasaan ini padanya. aku kira setelah semua ini aku tak akan lagi jatuh cinta padanya. Namun nyatanya, ia masih menjadi primadona di hatiku," batin Andre, memuji Sekar. Ia terus tersenyum mengingat pertemuan singkat barusan."Kamu kenapa Ndre? kelihatannya seneng banget?" Tanya Tio, temannya bekerja."Enggak ah. Aku lagi seneng aja. Mau tahu aja sih kamu?""Cie elah, Kamu ketemu perempuan cantik ya? Mana dong? sini aku mau tahu,""Iih apaan sih? Mau tahu urusan orang aja sih lu?""Nih, gua kasih tahu ya, jangan biarin perempuan yang lu cintai diambil orang buat kedua kalinya lagi, lu kejar! entar nangis lagi baru tahu rasa lu!" sumpah Tio, pada Andre."Bener juga kata lu. Entar deh, gua kasih jurus biar dia mau sama gue, hahaha!" canda Andre pada temannya. ***Sekar sangat menikmati perjalanan ini. Ia ingin kalau urusan keluarganya bisa segera selesai. sangat lelah rasanya batinnya, jika mengingat masalah ini semua.Teringat kemba
Sekar lantas menolehkan tubuhnya. Ia mencari keberadaan seseorang yang sudah memanggil namanya tadi. "Siapa yang sudah manggil aku ya, kok nggak ada orangnya?" batin Sekar sambil terus matanya menjelajah ke sana kemari. "Hhei aku di sini," suara seorang laki-laki mengagetkannya. Sekar hanya mengerutkan keningnya, ketika melihat laki-laki itu berjalan mendekatinya. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan pakaian seragam batik yang melekat di tubuh atletisnya."Hai apa kabarmu?" tanya laki-laki tersebut sambil menyodorkan tangannya. Bau wangi parfum tercium begitu sangat wangi karena jarak mereka tak terlalu jauh. "Sebentar, ini siapa ya?" tanya Sekar tak lantas menerima sodoran tangan dari laki-laki tersebut. Lupa-lupa ingat dengan sosok didepannya."Masa kamu sudah lupa sih, aku Andre teman kuliah kamu. Inget nggak?" Laki-laki itu mencoba mengingatkan Sekar pada masa kuliahnya beberapa tahun silam. Tiba-tiba Sekar tersenyum karena dia mulai mengingat kejadian apa saja yang terjadi
"Kamu masuk yuk! Jangan tidur diluar, nanti sakit. Udara diluar sangat dingin sekali," ajak Ibunya Aura, sembari memberikan sebuah selimut tebal pada mantunya itu."terimakasih banyak bu. Tapi Sandi disini saja. Ayah juga tak mengijinkan Sandi masuk,""Tak usah dengarkan apa kata Aura dan Ayah. Kamu masuk saja, ayo!" Ibu masih berusaha untuk membujuk Sandi agar mau masuk kerumah. Sangat tak tega rasanya melihat anak mantunya diperlakukan seperti itu.Usaha Ibu sama sekali tak membuahkan hasil. Sandi lebih memilih tidur diluar saja dari pada harus tidur didalam kamar bersama Aura."Aku lebih baik diam disini saja. Daripada aku harus tidur bersama perempuan yang tak aku cintai," ucap Sandi pelan. Ia kemudian tutupkan selimut itu pada seluruh tubuhnya.***Keesokan harinya, Sekar sudah bersiap untuk pergi. Tapi kali ini, bukan untuk pergi ke sekolah atau menjalankan bisnis yang lainnya, melainkan ia akan pergi ke pengadilan Agama. Baginya tak adalagi yang perlu dipertahankan dari Sandi.
"Lalu? Kamu tak sanggup membelikannya untuk Aura?" tanya Ayahnya Aura dengan sengit."Pak, bapak sendiri kan tahu, kalau saya sekarang tidak bekerja. Saya hanya pengangguran. Bagaimana saya bisa membelikan apa yang Aura mau?" keluh Sandi mengusap keringat di keningnya."Seharusnya kamu bekerja! Cari uang yang banyak!" timpal Ayahnya lagi. Sandi seperti seekor sapi yang diperah tenaganya. Baru sehari jadi suami Aura, dia diperlakukan dengan tidak baik oleh mereka. Sangat jauh dengan apa yang selalu ia dapatkan dari keluarga Sekar dulu. Dia selalu dihormati, diperlakukan dengan sangat baik. Tapi sekarang itu semua hanya tinggal kenangan. Semua berakhir karena kesalahannya sendiri. Sandi hanya bisa menyesali semuanya.Sandi berjalan masuk ke rumahnya. Namun tangan kekar mertuanya menghalalkan Sandi di gawang pintu."Siapa suruh masuk? Saya tak mengijinkan kamu masuk sebelum keinginan anakku kamu kabulkan!" ucapnya dengan datar."Apa? Yang benar saja ? Ayah kira mudah cari uang jutaan unt
Semua kerjasama sudah selesai.Sekar sudah mendapatkan bayaran untuk novelnya, dan Tuan Antoni akan segera memulai membuat film tersebut. Mereka kini pulang masing-masing ke tempat tujuan mereka sendiri.Serly hanya membuang mukanya, merasa tak suka jika Antoni bekerja sama dengan Sekar.Antoni yang tak paham akan hal itu, malah terus menerus menceritakan guru baik itu didepan istrinya."Mas. Apa kau tak ada lagi cerita lain selain cerita tentang Sekar?" tanya Serly yang merasa kupingnya panas mendengar cerita membosankan tentang Sekar."Lo, memangnya kenapa? Ada yang salah kalau Mas cerita tentang Sekar? Dia itu perempuan yang hebat. Mas acungkan jempol untuk perempuan mandiri seperti dia," puji Antoni lagi, untuk Sekar.Serly memutar bola matanya dengan malas. Sungguh rasa cemburu itu membuatnya merasa sangat tersiksa.***Sekar langsung pulang ke rumahnya. Ia rebahkan tubuhnya diatas ranjang keras yang terbuat dari kayu jati, milik ibunya.Rasanya hari ini begitu sangat melelahkan b
Antoni meninggalkan Serly bersama rasa kepenasarannya. Ia berlari mengikuti Antoni yang terus berjalan dengan cepat. Dunia seolah berubah bagi Serly. Dulu, dirinya lah yang selalu sibuk dengan semua urusannya. Seringkali Antoni meminta waktu untuk berdua, atau bertiga bersama anaknya, tapi Serly selalu menyibukkan dirinya. Dan saat ini, semu berbanding terbalik. Antoni kini sedang fokus pada bisnisnya. Ia sudah lupa bagaimana rasanya punya seorang istri."Mas. Tunggu aku. Jangan cepet-cepet Begitu dong jalannya!" teriak Serly dengan terengah.Tapi Antoni masih tetap berjalan meninggalkan istrinya yang kesusahan berjalan. Ia memasuki sebuah ruangan, dimana tak ada orang lain yang bisa masuk selain hanya yang berkepentingan saja."Stop bu. Jangan ikut masuk. Di dalam sedang ada rapat besar, jadi mohon ibu tak ikut masuk,""Apa? Kau berani melarang ku masuk? Kau satpam baru disini, jadi tak tahu siapa saya hah?""Tak penting bagi saya anda itu siapa. Tugas saya hanya mengamankan Bos saya