Samar, Chana membuka pelan kedua matanya dan dia mendapati sebuah kamar redup nan asing. Ia mengerutkan keningnya saat udara terasa membawa banyak debu untuk dihirup. Mencoba bangun dengan meraba saklar lampu di samping tempat tidur lalu menghidupkanya. Matanya menatap setiap sudut kamar yang suram dengan jaring laba-laba yang menumpuk. Ada seekor kecoak, lalu tikus yang merayap di lantai dan tampak tak terganggu meski dia ada di sana. Dia tak takut atau pun jijik akan keduanya jadi hal itu bukanlah masalah untuknya. Bergeser ke sisi lain, dia mendapati sebuah pintu coklat tertutup yang ia yakini sebagai kamar mandi. Lalu ada dua lemari besar tampak kusam dengan debu tebal hingga kaca di daun pintunya tak terlihat.
Hati-hati dia duduk dan terhenyak saat mengetahui kamar yang ia tempati sama sekali tak ia kenali. Ini bukan kamar di rumah miliknya juga bukan kamar apartemennya apa lagi kamar di rumah keluarganya. Lalu di mana dia sekarang? Rasa sakit pada bagian belakang kepalanya menyadarkan akan suatu kejadian dan dia tercenung saat meraba kepalanya yang sakit. Sebuah bayangan melintas hingga dia tanpa sadar menahan amarahnya yang akan meledak. Kini kejadian beberapa saat lalu tercetak jelas.
Flashback.
"Logan, lepas." Pinta Chana saat ia merasakan tarikan rambut di kepalanya kian kuat.
"Kak, kau tak berpikir akan bisa keluar lalu mengadu semua hal yang kau lihat kan?" Ungkap Chassy tersenyum. Gerakanya sangat anggun, dia memakai pakaiannya yang tercecer di lantai lalu memeluk tubuh Logan dari belakang. "Aku takut dia membahayakan hubungan kita."
Logan mengangguk. "Chana, maaf. Aku tak ingin melakukan ini tapi kau sangat tahu bahwa saat ini karakter baikku di depan publik sangat penting. Pemilihan penerus keluarga yang akan mewarisi semua kekayaan keluarga besarmu, aku tak ingin pandangan kakek buruk padaku. Saat ini, aku harus mengurungmu agar semua hal yang kau lihat tak tersebar keluar."
Chana menangis. "Logan, kau bajingan! Lepaskan aku! Logan, Logan, Logan!"
Chana hanya bisa memberontak sebelum akhirnya dia tak sengaja membenturkan kepalanya terlalu keras hingga pingsan. Logan menangkap tubuhnya dengan riak kekhawatiran karena tahu istrinya tengah hamil. Dia menggeletakkan Chana ke atas tempat tidur dan sempat akan memanggilkan dokter, namun suara lembut di belakangnya menegurnya.
"Kak Logan, apa kau benar-benar akan memanggilkan dokter untuknya?"
"Dia tak sadarkan diri."
"Dan kau akan membiarkannya mengadu pada semua orang? Jangan lupa, dia tahu lebih cepat sebelum rencana kita berhasil. Lagi pula, dia hanya pingsan bukan mati. Memindahkan dan menyembunyikannya adalah hal penting sekarang."
Logan tersadar namun dia cukup ragu. "Apakah bayinya tak akan menemui masalah?"
"Itu akan baik-baik saja. Percaya padaku. Sekarang kita harus menyembunyikannya sampai saat waktu yang tepat."
"Tapi Chassy,"
"Kak, apakah kau benar-benar mencintaiku?" Potong Chassy merajuk. "Kupikir kau sangat mencintaiku hingga ingin hidup bersamaku. Sepertinya aku salah,"
"Chassy, bukan seperti itu." Bujuk Logan memeluk tubuh Chassy. "Kau sangat tahu betapa aku ingin selalu bersamamu dan ingin segera menikah lalu memberi tahu dunia bahwa kita adalah pasangan yang bahagia. Tapi Chana, bagaimana pun juga dia tengah hamil. Dan aku tak bisa membiarkannya begitu saja."
"Jika bayinya ternyata bukan darah daging kakak, maka kakak harus siap dengan kenyataan terburuk," Balasnya memberi balasan pelukan.
Logan mengangguk. Tentu saja, jika bayi itu lahir dan ternyata tak memiliki garis darah yang sama dengannya, maka Chana bukanlah apa-apa untuknya. Dia bahkan tak bisa membayangkan hukuman apa yang pantas untuk istrinya karena telah menghianatinya selama pernikahan beberapa tahun ini. Tapi yang pasti, dia akan memilih Chassy dan memastikan Chana mendapatkan hal yang setimpal. Dia tak akan melepaskan Chana dengan mudah karena telah berani memainkan dirinya.
"Sekarang, bukankah kita harus mengamankannya?" Ingat Chassy lagi. "Dia akan segera bangun, dan sulit bagi kita untuk selanjutnya."
Logan lagi-lagi mengangguk setuju. Di mengangkat tubuh Chana dan mereka berdua segera meninggalkan apartemen menuju sebuah mansion tua milik keluarga Chana yang tak lagi terpakai. Sebuah mansion yang sangat megah namun penuh dengan cerita berdarah terkait perkembangan sebuah keluarga besar nan tua. Dan kini, Logan dengan sangat ringan meletakkan tubuh Chana dalam sebuah kamar di mansion tersebut.
"Ayo kita pergi," tarik Chassy segera saat melihat wajah Logan tampak enggan meninggalkan istrinya. Dia tahu rasa khawatir dan tak tega di hati Logan membuat pria yang dia cintai itu lemah. Ada rasa cinta yang tak kecil di hati Logan pada kakak tirinya dan hal itu membuatnya iri tak terkendali. Logan adalah kekasih idamannya, dan dia tak akan menyerah dengan mudah. Walau harus menghancurkan kakak tirinya, dia tak lagi peduli.
"Chassy-"
"Kak Logan!"
Logan memejamkan matanya saat melihat Chassy cemberut. Dia menurut dan Akhirnya mereka berdua keluar dari mansion setelah mengunci pintu utama mansion rapat-rapat.
"Kakak tak perlu khawatir, aku akan memastikan semua kebutuhan kakak terpenuhi dengan baik. Juga mengirimkan pelayan untuk menemaninya," Terang Chassy menggandeng lengan Logan.
"Hmn, pastikan dia tak ketakutan. Dia benci gelap dan dia akan berlari saat hujan besar dengan petir. Juga, kau harus menjauhkan makanan seafood darinya, dia alergi seafood. Lalu dia selalu menggunakan selimut yang nyaman karena terlalu sering mengeluh kedinginan. Ah, satu lagi, dia benci-"
"Kakak," potong Chassy tak tahan. Ada semut yang menggigiti hatinya saat mendengar semua kata-kata Logan untuk kakak tirinya. Pria ini tahu banyak tentang Chana yang artinya, Logan masih memiliki sebuah cinta yang nyata. Dan dia tak terima. "Kau masih sangat mencintainya,"
"Ah, Chassy, maaf. Aku tidak, itu hanya hal-hal yang kuingat darinya. Apa kau marah?"
"Apa kakak akan memperlakukanku dengan baik di masa depan? Melebihi kak Chana?"
"Tentu saja. Aku sangat mencintaimu."
"Oh, kakak ...." sebuah senyum yang sangat lebar di bibir Chassy namun hatinya penuh dengan keinginan. Dia tak akan membiarkan Chana menjalani hari dengan mudah. Tidak, dia akan membuat Chana mengalami hal luar biasa dan dia akan membuat keadaan sesuai keinginannya. Ya, harus. Logan haruslah menjadi miliknya.
Flashback off.
Chana tertawa miris dengan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh hatinya. Dia berjalan dengan sangat hati-hati dan mulai menuruni tangga untuk melihat keadaan sekitar. Ruangan luas dengan berbagai kain putih untuk menutupi semua perabotan mahal yang tertinggal. Dia membuka beberapa dan harus menutup hidungnya saat aroma debu tebal menyambut. Berjalan mencapai sisi pintu utama, sekuat tenaga dia mencoba untuk membuka pintu tersebut namun nyatanya pintu itu tetap kokoh tak terbuka. Dia terkurung! Tidak, Logan dan Chassy pasti yang mengurungnya.
"Logan, Logan, Chassy, buka pintunya. Aku ingin keluar. Logan, Logan, Logan!"
Dia berpikir bahwa mungkin saja Logan dan Chana ada di luar sana. Tapi saat sunyi menjadi jawaban atas kerisauan hatinya, dia tahu bahwa dia sendiri, di rumah sebesar ini. Seketika ketakutan akan gelap merayap di hatinya. Dia bergegas mencari saklar lampu dan mencoba menghidupkan namun nyatanya lampu itu tak menyala. Menghampiri berbagai saklar dan melakukan hal yang sama, dia tertegun saat tahu akan sendirian dalam gelap.
"Tidak, kumohon, menyalalah. Sesuatu, aku harus mencari sesuatu,"
Hal yang bisa Chana lakukan adalah menyusuri rumah besar itu dan memasuki ruangan satu persatu. Saat mencapai dapur, dia hanya menemukan satu lilin dan sebuah pemantik api yang sangat usang. Semua berdebu dan dia sedikit lega meski tak pernah berpikir bahwa hujan besar akan datang membawa petir yang menyambar. Ketakutannya, akan kah sirna?
Hujan lebat dengan petir yang menyambar. Mansion besar itu tampak terlihat sangat suram dengan hanya cahaya lilin yang hampir padam. Setengah mati, Chana menangis, berkali kali memeluk lututnya yang dingin. Gelap yang senyap, petir yang menyambar, dengan suara deritan beberapa pintu yang rusak. Semua kian menakutkan hingga Chana bahkan tak berani beranjak. Dalam gelap yang tak berujung, suara langkah seseorang yang mendekat membuat Chana menoleh. Dia cukup waspada dengan tangan memegang perutnya yang membesar. Gerakan pelan dalam perutnya cukup menyadarkannya bahwa ia lapar dan harus makan. Namun kini, dia hanya bisa duduk ketakutan dan kian bergetar saat sebuah bayangan hitam mendekat dan langsung memeluk tubuhnya dari belakang. "Oh, Nona Chana ...," Chana terkesiap saat tangan asing memeluk tubuhnya dari belakang. Dia menolak, bergeser dan memberontak namun tangan itu kian kuat memeluknya. "Nona kau sangat harum." Rasa jijik merambat hingga membuat Chana memberontak kian keras.
Melihat kepergian Logan, tawa Chassy pecah. Sedangkan Chana merangkak berusaha keluar dan mengejar Logan. Namun sesuatu dalam perutnya tampak tidak baik-baik saja. Tentu, semua awalnya masih bisa ia tahan sebelum Chassy bergerak mendekat, dan entah sejak kapan sebuah botol telah ada di depan matanya."Kak, kupikir kau haus." Chana yang merangkak berhenti dan mendongak. Menatap wajah cantik Chassy yang tersenyum. Saudara perempuannya itu duduk berjongkok dan dengan mudahnya, meraih botol di depannya lalu membukakan tutupnya. "Aku sudah membukanya, sekarang kakak bisa meminumnya."Chana menggeleng. "Aku tidak haus," kembali menyeret tubuhnya sambil mendesis merasakan sakit di perutnya yang kian kuat. Chassy tertawa, melihat usaha Chana yang mencoba mengejar Logan. Dia menarik sesuatu dari dalam saku celananya, lalu melemparkan tepat di hadapan Chana. "Bagaimana? Apakah kemampuanku sangat bagus? Kak Logan bahkan mempercayainya. Tidak, sejak pernikahan kalian Kak Logan tak lagi memperc
"Tidakkk...!" Teriak Chana sangat keras. Tubuhnya memberontak dengan sangat kuat hingga peluh membanjiri tubuhnya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya dengan kilasan bayangan nyata yang dia alami jelas masih terpahat di seluruh ingatannya. Tempat tidur itu tampak sangat berantakan karena gerakannya yang liar. "Arrgghh...!" Teriakan keras kedua diiringi tangisan terdengar memilukan. Mata hitam coklat itu terbuka lebar kemudian tertutup lagi. Napas yang memburu dengan dada naik turun dan detak jantung yang berpacu cepat memperjelas kepanikan Chana yang yang langsung duduk di atas tempat tidur dengan kedua tangan meremas perutnya kuat. Seluruh tubuhnya terasa sakit bagai tersayat dengan rasa panas bagai terpanggang dalam bara api yang masih membara. Tangisnya pecah dengan desisan rasa sakit yang tak terkira. "Putraku, dia kesakitan," batin Chana lemah. "Dan aku berakhir dengan sangat mengenaskan.""Apa yang terjadi? Nona apakah ini akan baik-baik saja?" "Apa yang terjadi pada jalang itu? K
Mata Chana berkabut saat dia mengerutkan keningnya. Pemandangan di hadapan matanya sungguh indah. Seluruh tubuhnya yang panas sangat menggangu dan membuat kulitnya menjadi sangat sensitif, menghadirkan rona merah muda di pipi putihnya. Dan tanpa sengaja, pria di bawahnya bergerak pelan membuat tubuhnya mendesah pelan. Pria itu menyadari ada yang salah, sejak dia mendengar desahan tertahan wanita di atasnya, dia menjadi diam dan tak berani bergerak. Instingnya jelas memberi peringatan bahwa ada yang salah dengan tatapan wanita di atas tubuhnya. Rona merah yang hadir, sedikit malu dengan tatapan sayu, itu tampak sedikit menyedihkan. Tapi dia melihat kelaparan panjang di dalam mata wanita tersebut. Jelas wanita ini tidak normal."Nona, perlahan, menyingkir dari atas tubuhku." Perintahnya dingin. Chana tak bergerak dan terhipnotis dengan suara berat nan serak. Matanya meneliti pria di bawah tubuhnya dengan hati-hati. Rahang tegas dengan bibir tipis yang melengkung sempurna. Hidung menju
Chana memperhatikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan ekspresi pria di hadapannya. Dia bukanlah gadis yang bodoh, oh mungkin terlalu sombong untuk mengatakan hal tersebut karena faktanya, di masa depan dia akan mati karena kebodohannya. Namun setidaknya, dia telah menikah dan bukanlah gadis polos seperti yang seharusnya. Sesuatu seperti keperawanan bukanlah hal penting yang harus dia pikirkan. Saat ini ada banyak kerumitan dalam pikirannya, dan dia harus segera menyingkir dari pria di hadapannya. "I-itu, tu-tuan, aku akan memberimu kompensasi."Wajah pria di hadapannya tertarik minat. "Kompensasi?"Chana mengangguk. "Y-ya," "Uhm, kompensasi seperti apa yang akan kau berikan? Apakah itu seperti sebuah pelajaran lagi yang akan kau berikan?" "Pelajaran? Seperti apa?" tanya Chana tak mengerti. Pria itu menganggukkan kepalanya, tampak berpikir sesaat. "Yah, kau telah memberiku pelajaran semalam. Mungkin lebih dari sekedar mendisplinkan bibirku atau mungkin kita bisa mengulanginya lag
Saat perintah pria tampan itu turun, hotel dan perusahaan Axion Company meledak dalam satu kabar. Tidak hanya tidak hadir dalam rapat penting tanpa kabar terlebih dahulu, bahkan telepon pertama yang tuan muda mereka perintahkan adalah mencari data seorang wanita yang telah berhasil melarikan diri dari kamar hotel tuan muda mereka. "Tuan muda memerintahkan untuk mencari seorang wanita? Seorang wanita? Benarkah itu?""Tidak, apakah akhirnya tuan mudaku bukan petapa? Ya Tuhan, ini berita besar.""Pada akhirnya, wanita itu, apakah dia akan mati? Atau akan dilempar? Ini adalah kamar hotel. Kamar hotel tuan muda kita, wanita itu, apakah mereka menghabiskan malam bersama?""Diamlah, dan cari data wanita ini! Kalian terllau banyak bicara!""Tunggu, dari pada itu, tuan muda terlihat sangat kesal. aku yakin akan mendengar berita kehancuran suatu keluarga.""Kita harus mencari tahu semuanya agar jelas. aku yakin ada sesuatu."Beberapa orang mulai sibuk dalam pekerjaaan karena perintah ini, na
Elden terhenyak saat kata-kata Chana jatuh. Melihat putrinya menangis dengan tatapan bingung hatinya yang mendingin terengut. Dia baru saja akan angkat bicara sebelum putrinya kembali bersuara. "Ayah, apakah karena ibuku tidak di sini hingga aku harus dipukuli untuk kesalahan yang tak kuperbuat? Apakah ayah lupa? Aku juga putri Ayah. Aku tak tahu ibu akan pergi meninggalkan kita, mulai sekarang aku akan berusaha mencarinya. Tapi kini, untuk saat ini, aku merasa lelah." Tatapannya yang berkaca- kaca membuat wajah Chana menyedihkan. Dia membalikkann badan seakan semua tak pernah terjadi. "Ayah, hari ini aku sangat lelah." Mendengar itu mata Elden memanas. Kepergian istri pertamanya, mungkin dia membencinya tapi ini bukanlah suatu alasan yang harus membuat putrinya menderita. Dia menatap punggung putrinya yang menjauh lalu beralih pada Mesya secara ganas. Putrinya dipukuli? Kenapa dia tak tahu? Selama ini dia selalu merasa putrinya ini sangat di luar batas hingga sangat bodoh lalu juga
Kemuraman Chana membuat emosi Logan tersulut. Saat Chana menghempas tangannya, dia menyadari tatapan Chana yang seakan tak peduli pada keberatannya. "Chana,""Itu bukan urusanmu!" "Bagaimana kau bisa mengatakan itu?" Kekecewaan tercetus tanpa bisa dicegah, Logan ingin tertawa seakan tak percaya pada wanita di hadapannya. Benarkah wanita ini adalah orang yang sama dengan orang yang selalu mengatakan mencintainya?Angin berhembus cukup kencang dari pintu balkon kamar yang terbuka. Tirai bergoyang perlahan, membuat suasana menjadi sunyi untuk sesaat. "Bagaimana tentang dirimu, bukan menjadi urusanku?" ulang Logan menekan setiap kata yang keluar.Chana menatap Logan yang menunduk dengan kepalan tangan erat. Dia bisa merasakan amarah Logan yang tak biasa. Dia harusnya berlari memeluk kekasihnya lalu menangis meminta maaf atas semua hal yang terjadi padanya. Dia harusnya tersedu dalam pelukan Logan lalu Logan yang kecewa akan menghempaskan tubuhnya dan dia berlutut memohon pengampunan. D
Chana membuka pintu kamarnya dan teringat dengan flashdisk yang dia terima. Rasa ingin tahunya meningkat pesat namun dia juga sadar bahwa dia tak memiliki laptop di rumah ini. Menyelinap ke ruang kerja ayahnya, dia membawa dua flashdisk yang dia dapatkan dengan tangan gemetar karena pertama kalinya menyelinap ke ruang kerja ayahnya. Awalnya dia sangat bimbang untuk memilih flashdisk mana yang akan dia buka dulu. Tapi ketika mengingat wajah tampan Richard, dia pun memutuskan untuk membuka flashdisk yang Richard berikan terlebih dahulu. Mata Chana terfokus pada layar monitor yang mulai menampilkan gambar. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada setelah memilih salah satu video dari tiga video yang ada. Namun setelah beberapa detik layar monitor itu tetap gelap. Kesunyian mendominasi kecuali suara gemerincing besi yang sesekali terdengar. "Apa ini. Video ini dalam ruangan yang gelap. Apakah Richard ingin mempermainkan aku?" Tapi kemudian Chana terpana saat ruangan gelap dalam video i
Chana merasakan aneh karena tiba-tiba Oscar menjauh seolah menjaga jarak. Tanpa sadar dia mengikuti arah pandang Oscar yang jatuh pada pria tinggi yang mulai datang menghampirinya. Entah kenapa, rasa tak peduli hadir saat dia mengingat kejadian yang dia temukan di kantor Axel. Axel berdiri di tengah pintu cukup lama, matanya mengedar pelan dan pandangannya jatuh pada peti mati lalu Chassy dan Elden yang masih menangis berpelukan. Rion adalah orang yang memberitahu dirinya tentang kematian Agraf saat mereka baru saja berkumpul bersama malam ini. Tapi dia juga tak menyangka bahwa akan melihat Oscar begitu dekat dengan Chana. Keduanya tampak sangat akrab dengan pembicaraan yang terlihat serius. Tapi hal yang mengusik pandangannya adalah tatapan Oscar pada istrinya begitu menganggu. Axel tak menyukainya. Saat melihat Oscar menjauh, dia sedikit lega, tapi dia tak menyangka akan mendapatkan tatapan acuh tak acuh dari istrinya. Tatapan yang mengatakan bahwa kehadirannya menganggu dan dia t
Damon membanting pintu ruangan kerjanya lalu mengunci rapat. Meletakkan tubuh Chelsea ke lantai dingin tanpa perasaan. Matanya menyala melihat wajah cantik di depannya tengah mengigit jari lentik dengan menjulurkan lidah secara sensual. Tanpa sadar, tangannya terulur, menarik stoking tipis yang Chelsea gunakan. Robekan yang terjadi membuat pemandangan menjadi semakin indah. Chelsea terlihat sangat cantik dengan pakaian yang tak lagi utuh, kulit paha yang mulus dengan rambut panjang berwarna pirang yang tergerai acak. "Nona, kau sangat cantik." Pujian itu tulus, Di mata Damon kecantikan yang sempurna akan lebih nyata jika wanita di depannya tak mengenakan pakaian apa pun. Sebagai pria dia memiliki gairah yang normal. Dan di depannya, seorang wanita dengan sengaja menggoda dirinya secara terang-terangan. "Tuan, dari mana kita akan mulai?" Chelsea kehilangan seluruh kesadarannya. Ingatannya hanya berputar pada malam-malam panjang penuh jeritan kenikmatan yang pernah dia lalui sebulan
Damon menyeret Chelsea kasar memasuki sebuah lift yang terletak di balik kamar ruang pribadi Axel di Axion Company. Axel hanya menatap datar saat tubuh ramping Chelsea mencoba memberontak dan melambaikan tangan padanya. Kemudian sudut bibir Axel terangkat tipis, dia melihat secangkir teh yang dipaksakan Damon untuk Chelsea minum. Meski menolak, nyatanya wanita gila itu meminumnya meski tak semuanya. "Tidak, Axel, Axel, tidak. Aku tak ingin kembali. Axel," "Nona, diam dan patuhlah. Atau tuan muda akan marah." "Lepaskan, lepaskan tanganku. Aku harus menamparnya karena berani mengusirku dan menikahi wanita lain!" Damon tak bereaksi dan tetap menyeret tangan Chelsea. Meski Chelsea terjatuh di lantai, Damon tetap menarik tangan kurus itu tanpa memperdulikan cakaran yang bersarang di tangannya. Mendengar kata-kata Chelsea, sudut bibir Axel tertarik. Minatnya tiba-tiba bangkit saat dia melirik cangkir teh yang telah kosong. "Damon, lepaskan dia." Damon terhenti, dia berbalik. "Tuan mud
Chana tersenyum tipis. "Aku tidak peduli." Lebih tepatnya dia pura-pura tak peduli. Karena dia tak ingin menjadi sejata bagi orang lain. Semua orang disekitarnya hari ini selalu membahas Axel. Pria itu tak terkejut. Dia meraih tangan Chana secara tiba-tiba lalu meletakkan sebuah flashdisk di genggaman tangan Chana. "Aku tahu kau tak peduli, tapi alangkah baiknya jika kau mengetahui suamimu dengan baik." Chana menatap flashdisk di tangannya. "Apa tujuanmu?" Chana tidak bodoh. Berdiri sebagai Tuan muda Axion, Axel jelas memiliki banyak musuh. Dia hanya sedikit waspada, meski dia sendiri juga melihat Axel memeluk seorang wanita, lalu Alice yang telah memperingatkannya. Kini seorang pria asing yang bahkan tak dia kenali datang memberikan informasi. Mungkin Alice hanya ingin dia hati-hati tapi pria ini, pasti memiliki tujuan pasti. Dia tak akan terseret dengan mudah. "Membawamu pulang ke keluarga Aster," jujur pria itu terbuka. "Kakek ingin melihat salah satu cucunya yang tak pernah di
Chana mempercepat langkahnya saat telepon Oscar terhubung. Untuk sesaat, semua hal tentang Axel yang dia pikirkan hampir setengah hari terlupakan begitu saja. "Nona, ibu nona mengunjungi rumah utama Oswald." Wajah Chana sedikit panik. "Siapa yang menyambutnya?" "Itu ... Nona Chassy yang ada di rumah utama. Sedangkan tuan besar masih belum kembali." "Apakah ibu baru berangkat atau sudah di sana?" "Kemungkinan sudah tiba di rumah utama." "Bagaimana dengan kakek?" "Ketua akan kembali lusa.""Baiklah. Aku akan segera bergegas." Chana menutup telepon yang tersambung dan segera kembali. Sedangkan di rumah utama Oswald, Kelsyana masih berdiri saat pintu rumah utama Oswald terbuka. Chassy berdiri di tengah pintu dengan wajah muram. "Kami tak menerima tamu," Kelsyana yang baru menjalani operasi pita suara dua minggu lalu tersenyum. Suaranya kembali meski belum begitu normal. "Aku bukan tamu." Chassy terbelalak, tangannya bergerak untuk menutup pintu tapi tertahan saat tangan Kelsyan
Jika Chana masih merenungkan kata-kata Alice, di Axion Company, Axel sangat terkejut dengan kedatangan Chana untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya dia tak pernah berpikir bahwa suatu hari istrinya akan datang berkunjung. Masalahnya, kenapa istrinya datang di saat yang tak tepat. Hal ini membuatnya gusar. "Chana," gumam Axel cukup jelas. Dia mendorong tubuh wanita yang memeluknya hingga terjatuh. Kepanikan terlintas sesaat di mata hitamnya. "Chelsea, menjauh dariku!" Dia bergegas mengejar Chana namun tertahan saat tangan Chelsea menahan kakinya yang baru melangkah. "Axel, jika kau berani mengejarnya maka jangan salahkan aku jika kakek mempercepat pernikahan kita." Langkah Axel terhenti, dia berbalik menatap wanita cantik yang telah merapikan pakaiannya. Tatapan matanya menghujam dalam, dia meraih rahang Chelsea tanpa belas kasihan. "Ulangi sekali lagi." Chelsea tersenyum, dia menatap mata Axel tanpa takut. "Kita akan menikah." Axel tersenyum lembut. Sangat lembut hingga orang meng
"Axel aku merindukanmu, sangat merindukanmu." Tatapan Chana terpaku pada dua orang yang berpelukan erat. Seluruh tubuhnya kaku, dan sesuatu yang berat menghantam sudut egonya. Sesuatu dalam dirinya seolah menertawakan dirinya sendiri, yang entah bagaimana bisa sampai di tempat ini. "Axel," ujarnya lirih. Dia ingin sekali tertawa saat kilas masa depan terbayang sekilas. Penghianatan!Sesuatu yang menjijikkan terasa merayap di atas kulitnya. Menggelitik namun sangat menyakitkan. Akhirnya matanya terbuka jelas. Sesuatu seperti ini memang tak cocok untuknya. Tidak, dia tak akan tertipu dan jatuh pada lubang yang sama. Hal seperti ini, dia harus menyingkirkannya. Langkahnya sangat ringan, berbalik meninggalkan ruangan yang terbuka lebar. Satu sudut bibirnya tertarik sinis. "Kau mengejarku layaknya seorang pria tak tahu malu tapi kau memeluk wanita lain di belakangku. Axel, kau sangat luar biasa." Hatinya yang mati kini seolah tersiram racun yang lebih mematikan. Seluruh darah di tubu
Paris, Perancis. Kota A. Bangunan tinggi yang merupakan perusahaan terbesar di kota A, Axion company, tampak sangat tenang siang ini. Di sebuah ruangan yang sunyi, Axel duduk memeriksa tumpukkan dokumen penting sedangkan Dominic baru saja masuk."Tuan muda," Axel menoleh sesaat dan kembali fokus pada dokumen di tangannya."Apa kau mengawasi mereka?" Dominic mengangguk. Dia menghela napas sesaat lalu menyuarakan laporannya. "Tuan Muda, Nona Chassy tidak keluar dari kediaman Oswald selepas pemakaman ibunya dua minggu ini. Tuan Agraf terlihat sangat sibuk memunguti sisa-sisa bisnisnya yang dapat diselamatkan. Namun itu adalah hal yang sia-sia. Karena orang kita telah melenyapkan semuanya." "Bagaimana dengan keadaan di sekitar istriku?""Nyonya Chana menemui ketua Oswald yang telah kembali dan tinggal di Villa barat kota A. Lalu akhir-akhir ini, seorang pria asing dari negara Inggris, kota G, sering mengunjungi ibu nyonya." Axel mendengarkan laporan Dominic dengan seksama. Dia menge