Mata Chana berkabut saat dia mengerutkan keningnya. Pemandangan di hadapan matanya sungguh indah. Seluruh tubuhnya yang panas sangat menggangu dan membuat kulitnya menjadi sangat sensitif, menghadirkan rona merah muda di pipi putihnya. Dan tanpa sengaja, pria di bawahnya bergerak pelan membuat tubuhnya mendesah pelan.
Pria itu menyadari ada yang salah, sejak dia mendengar desahan tertahan wanita di atasnya, dia menjadi diam dan tak berani bergerak. Instingnya jelas memberi peringatan bahwa ada yang salah dengan tatapan wanita di atas tubuhnya. Rona merah yang hadir, sedikit malu dengan tatapan sayu, itu tampak sedikit menyedihkan. Tapi dia melihat kelaparan panjang di dalam mata wanita tersebut. Jelas wanita ini tidak normal.
"Nona, perlahan, menyingkir dari atas tubuhku." Perintahnya dingin.
Chana tak bergerak dan terhipnotis dengan suara berat nan serak. Matanya meneliti pria di bawah tubuhnya dengan hati-hati. Rahang tegas dengan bibir tipis yang melengkung sempurna. Hidung menjulang dengan sorot mata tajam dibingkai dua alis lebat yang kuat. Dari itu semua, pria di bawahnya ini seperti keindahan langka yang tak bisa dibandingkan bahkan dengan semua pria yang dia kenal. Benar-benar tampan bagai lukisan dari sebuah karya yang sangat memuaskan. Kecuali perintah dingin itu, dia sama sekali tak menyukainya.
"Nona, aku memperingatkanmu. Menyingkir dari atas tubuhku!"
Perintah itu kian dingin, pria itu menatap tak suka saat merasa dirinya diperhatikan sedemikian rupa. Dia sudah menyelamatkan wanita ini, berpikir wanita ini akan bunuh diri tapi siapa yang menyangka bahwa wanita yang dia selamatkan justru terlihat seperti penggoda yang akan melahap dirinya. Benar-benar tak beruntung.
"Nona, aku akan menghitung tiga kali, jika kau tak juga enyah, jangan salahkan aku jika sedikit kejam."
Dalam hidup ini, dia terkenal sangat dingin dan menjaga diri dari semua wanita yang mendekati. Tak peduli apa pun, dia tak akan jatuh dalam trik kotor setiap wanita yang melemparkan tubuh padanya. Dia sangat baik dalam pertahanan diri, juga sama sekali tak tertarik dengan wanita cantik mana pun yang pernah dia kenali. Tapi entah kenapa, dia merasakan bahaya dari tatapan wanita di atas tubuhnya. Membuatnya tak nyaman juga sedikit ketakutan.
"Oho, bibir indah ini kenapa mengeluarkan perintah tidak sopan!"
"Apa?" Pria itu terkejut, tapi kian waspada saat melihat senyum di bibir Chana. "Menyingkirlah sekarang!"
Chana sama sekali tak mendengarkan peringatan yang dia dengar. Dia hanya melihat bagaimana keindahan di bawah tubuhnya tampak sangat mempesona. Membuat seluruh tubuhnya bergetar dengan telunjuk tangan yang perlahan bergerak menyentuh kulit halus di bawahnya. Mulai dari pipi, bibir, leher lalu turun ke dada dan pada otot-otot perut yang terbuka.
"Kurasa kau harus diberi pelajaran! Kedepannya bibir indah ini, harus mengeluarkan suara yang lembut dan patuh. Mengerti?" tanya Chana dengan suara seakan memimpin.
Pria itu menegang, matanya menatap waspada saat kulitnya terasa tersentuh oleh ujung jari yang lembut. Membuat jiwanya memberontak pelan dengan mata berkabut perlahan. Terlebih sanggahan juga peringatan tentang pelajaran untuk tubuhnya. Semua ini benar-benar tidak masuk akal.
"Nona, menyingkir dari- mmpph ...,"
Chana sama sekali tak dapat menguasai tubuhnya. Saat ini dia sangat lepas kendali hingga tak bisa menahan diri untuk tidak menikmati bibir indah yang terus saja mengeluarkan larangan. Dia tak suka juga merasa sangat tidak nyaman pada seluruh tubuhnya. Hanya instingnya, dia hanya menyerahkan semua pada insting wanitanya.
"Oh, sial!" Umpat pria tergoda. Dia bisa merasakan bagaimana ciuman wanita di atasnya sangat berantakan dan sama sekali tak berpengalaman. Dia bahkan harus membimbing dan mengetahui bahwa wanita di atasnya jelas telah diberikan obat. Hanya saja, hanya dengan ciuman seluruh tubuhnya bergetar dan jiwanya memberontak kuat. Membangkitkan jiwa binatangnya yang tak seharusnya bangun.
Saling menggoda dan akhirnya semua berakhir dalam malam yang panjang. Desahan tertahan dan geraman pelan dengan seluruh ruangan kamar yang berantakan menunjukan betapa panas malam yang mereka lewati. Hanya saat menjelang pagi, keduanya kelelahan dan akhirnya terlelap dalam satu selimut di ruangan yang gelap.
Keesokan harinya saat matahari mulai tinggi, Chana mulai tersadar dengan sakit kepala hebat. Dia menggerakkan tubuhnya dan mengernyit saat merasakan seluruh tubuhnya remuk terasa tak bertulang. Juga sakit di bagian bawah sana. Mencoba mengingat sesuatu dengan setengah sadar dia di sadarkan dengan sebuah suara berat di ujung telinganya.
"Kau bangun?"
Sontak Chana terbelalak dan langsung menghindar sejauh mungkin. Matanya menatap nyalang pria malas di sampingnya dengan postur menyandarkan kepalanya di ujung kepala ranjang.
"Si-siapa anda? Dan ini ... ahkk!"
Chana berteriak saat dia menyadari sejak dia menjauh, dia tak mengenakkan pakaian apa pun.
Pria itu menutup telinganya. "Terlalu berisik!"
Chana langsung diam dengan tangan meraih selimut di ujung kakinya. "An-an-da, saya bisa menuntut anda atas perbuatan tidak-"
"Yah, kau bisa membuat laporan. Bahwa kau menodai kepolosanku," potong pria itu datar.
"Y-ya? Apa maksud-" Chana tak melanjutkan kata-katanya, dia tersenyum sumbang saat ingatan demi ingatan menyadarkannya dari ujung ketidaksadaran. Sontak hal itu membuat seluruh wajahnya merah padam.
"Telepon ada di sini. Kau bisa mulai menelepon polisi. Mungkin, aku akan memudahkan laporanmu dengan menjadi saksi yang baik." Pria itu tersenyum malas, melonggarkan jubah mandinya sedikit, memperlihatkan tulang selangka yang kokoh dengan jejak merah yang terlihat mencolok. Juga sedikit dada bidang yang juga penuh dengan jejak tak senonoh.
Melihat hal itu Chana membelalakkan matanya. Matanya terpaku pada jejak-jejak merah yang tertinggal. Tanpa sadar, dia menelan air ludahnya dan mengutuk dalam hati. "Oh sial, apa itu semua perbuatan dari bibirku yang beretika? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku melakukan itu semua. Huaaaaa,"
Pria itu melihat raut wajah Chana dan kian tertawa. Dengan sengaja dia menaikkan satu kakinya, membuat belahan jubah mandinya tersingkap. "Juga mungkin kau mau melihat, ada jejak yang sama di bagian-"
"Tua-tuan, hentikan." Larang Chana cepat. Dia tak akan membiarkan pria di depannya menampilkan hal yang tak seharusnya dia lihat. Itu benar-benar memalukan! "Ahahahaha, tuan, itu, laporan itu, ahahahaha, aku tak akan melakukannya." Terangnya dengan tawa tak biasa.
Mata pria itu berbinar, tanpa sadar dia beringsut mendekat hingga wajahnya begitu dekat dengan wajah Chana. "Benarkah? Lalu, bagaimana kau akan bertanggung jawab atas hilangnya kepolosanku?"
"Apa?" Chana tertegun saat aroma shampo tercium dari ujung rambut yang setengah basah di depannya. Matanya bertemu dengan mata tajam yang menatapnya jenaka. Pria ini pasti ingin mempermainkannya.
"Kataku, bagaimana kau akan bertanggung jawab atas hilangnya satu-satunya hal yang penting bagiku, hmn? Juga aku yang tak lagi polos karena merasakan sesuatu yang-"
Huh, sungguh lucu! batin Chana memberontak. Namun jari telunjuk tangannya bergerak tanpa sadar menutup bibir pria di depannya. "Ahahahaha, apa yang kau bicarakan tuan? Hal itu, bukankah aku yang harus mengatakannya?"
Kedua alis pria itu tertaut membentuk satu garis yang hampir lurus. "Oh, apa kau lupa? Kau melompat dan menggodaku. Kau menunggangik- hmmpp,"
"Ahahahaha, tuan cukup. Aku ingat, aku ingat semuanya." Potong Chana frustasi menahan malu.
Pria itu menyingkirkan tangan Chana dari bibirnya. Menarik senyum licik nan menggoda. "Jadi, bagaimana kau akan bertanggung jawab?"
"Y-ya?"
"Kau tak berniat melarikan diri setelah menikmatiku kan?"
Menikmati? Chana ingin membanting kepalanya setiap pria ini mengucapkan kata-kata yang tak pantas. Oh sungguh, dia sangat malu. Ini adalah hari yang paling memalukan seumur hidupnya.
"Oh itu, tidak, tidak, tidak. Jadi tuan, bisakah kita melupakan semuanya? Maksudku, ini juga pertama kalinya bagiku. Tak bisakah kita menganggap semua ini menjadi one night stand saja?"
"Apa?"
Chana menggigit bibirnya saat melihat raut ramah di wajah pria itu menghilang dan tergantikan dengan ekspresi dingin menusuk tulang. Membuatnya salah tingkah hingga tak berdaya.
"Beraninya kau meminta sesuatu yang penting bagiku menjadi one night stand saja. Setelah menikmati tubuhku dengan puas kau berniat lari? Aku akan memastikan kau bertanggung jawab atas hilangnya kepolosanku," geram pria itu pelan.
Chana memperhatikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan ekspresi pria di hadapannya. Dia bukanlah gadis yang bodoh, oh mungkin terlalu sombong untuk mengatakan hal tersebut karena faktanya, di masa depan dia akan mati karena kebodohannya. Namun setidaknya, dia telah menikah dan bukanlah gadis polos seperti yang seharusnya. Sesuatu seperti keperawanan bukanlah hal penting yang harus dia pikirkan. Saat ini ada banyak kerumitan dalam pikirannya, dan dia harus segera menyingkir dari pria di hadapannya. "I-itu, tu-tuan, aku akan memberimu kompensasi."Wajah pria di hadapannya tertarik minat. "Kompensasi?"Chana mengangguk. "Y-ya," "Uhm, kompensasi seperti apa yang akan kau berikan? Apakah itu seperti sebuah pelajaran lagi yang akan kau berikan?" "Pelajaran? Seperti apa?" tanya Chana tak mengerti. Pria itu menganggukkan kepalanya, tampak berpikir sesaat. "Yah, kau telah memberiku pelajaran semalam. Mungkin lebih dari sekedar mendisplinkan bibirku atau mungkin kita bisa mengulanginya lag
Saat perintah pria tampan itu turun, hotel dan perusahaan Axion Company meledak dalam satu kabar. Tidak hanya tidak hadir dalam rapat penting tanpa kabar terlebih dahulu, bahkan telepon pertama yang tuan muda mereka perintahkan adalah mencari data seorang wanita yang telah berhasil melarikan diri dari kamar hotel tuan muda mereka. "Tuan muda memerintahkan untuk mencari seorang wanita? Seorang wanita? Benarkah itu?""Tidak, apakah akhirnya tuan mudaku bukan petapa? Ya Tuhan, ini berita besar.""Pada akhirnya, wanita itu, apakah dia akan mati? Atau akan dilempar? Ini adalah kamar hotel. Kamar hotel tuan muda kita, wanita itu, apakah mereka menghabiskan malam bersama?""Diamlah, dan cari data wanita ini! Kalian terllau banyak bicara!""Tunggu, dari pada itu, tuan muda terlihat sangat kesal. aku yakin akan mendengar berita kehancuran suatu keluarga.""Kita harus mencari tahu semuanya agar jelas. aku yakin ada sesuatu."Beberapa orang mulai sibuk dalam pekerjaaan karena perintah ini, na
Elden terhenyak saat kata-kata Chana jatuh. Melihat putrinya menangis dengan tatapan bingung hatinya yang mendingin terengut. Dia baru saja akan angkat bicara sebelum putrinya kembali bersuara. "Ayah, apakah karena ibuku tidak di sini hingga aku harus dipukuli untuk kesalahan yang tak kuperbuat? Apakah ayah lupa? Aku juga putri Ayah. Aku tak tahu ibu akan pergi meninggalkan kita, mulai sekarang aku akan berusaha mencarinya. Tapi kini, untuk saat ini, aku merasa lelah." Tatapannya yang berkaca- kaca membuat wajah Chana menyedihkan. Dia membalikkann badan seakan semua tak pernah terjadi. "Ayah, hari ini aku sangat lelah." Mendengar itu mata Elden memanas. Kepergian istri pertamanya, mungkin dia membencinya tapi ini bukanlah suatu alasan yang harus membuat putrinya menderita. Dia menatap punggung putrinya yang menjauh lalu beralih pada Mesya secara ganas. Putrinya dipukuli? Kenapa dia tak tahu? Selama ini dia selalu merasa putrinya ini sangat di luar batas hingga sangat bodoh lalu juga
Kemuraman Chana membuat emosi Logan tersulut. Saat Chana menghempas tangannya, dia menyadari tatapan Chana yang seakan tak peduli pada keberatannya. "Chana,""Itu bukan urusanmu!" "Bagaimana kau bisa mengatakan itu?" Kekecewaan tercetus tanpa bisa dicegah, Logan ingin tertawa seakan tak percaya pada wanita di hadapannya. Benarkah wanita ini adalah orang yang sama dengan orang yang selalu mengatakan mencintainya?Angin berhembus cukup kencang dari pintu balkon kamar yang terbuka. Tirai bergoyang perlahan, membuat suasana menjadi sunyi untuk sesaat. "Bagaimana tentang dirimu, bukan menjadi urusanku?" ulang Logan menekan setiap kata yang keluar.Chana menatap Logan yang menunduk dengan kepalan tangan erat. Dia bisa merasakan amarah Logan yang tak biasa. Dia harusnya berlari memeluk kekasihnya lalu menangis meminta maaf atas semua hal yang terjadi padanya. Dia harusnya tersedu dalam pelukan Logan lalu Logan yang kecewa akan menghempaskan tubuhnya dan dia berlutut memohon pengampunan. D
Logan melangkahkan kakinya dengan berat tanpa menoleh sedikitpun meski suara Chana terdengar jelas. Ini cukup aneh baginya karena dia berpikir Chana akan mengejar dan segera meraih tangannya. Tapi nyatanya, pintu kamar itu tertutup dan tak terbuka sama sekali meski dia menunggu sosok Chana keluar menghampirinya."Logan,"Logan menoleh, mendapati Chassy yang tersenyum lembut padanya."Apakah kakak tidak ada di dala-""Tidak," potong Logan cepat menegaskan bahwa dia tak ingin mendengar apa pun saat ini tentang Chana. Kemuraman kian terlihat jelas saat dia mengingat Chana yang sangat jauh berubah. "Dia hanya lelah. Aku akan kembali."Chassy melihat raut kecewa yang dalam dengan jelas. Tanpa sadar dia meraih tangan Logan yang baru saja melangkah untuk pergi. "Logan, ada apa? Apakah kalian bertengkar? Kau tahu bahwa kakak mungkin melakukan kesalahan karena dia sedikit bodoh tapi aku akan membuatnya untuk meminta maaf padamu."Logan tak menjawab, namun menarik tangannya dari tangan Chassy.
Chana turun saat seorang pelayan memanggilnya untuk makan malam bersama keluarga. Dia tak memiliki pakaian yang pantas, namun dia juga telah mengambil keputusan bulat untuk tidak menutupi semuanya. "Pakaian apa yang kau kenakan?" Tegur Mesya dingin saat melihatnya baru saja duduk dengan patuh. Elden yang sedari tadi menikmati kopi dari gelas di hadapannya sebelum acara makan di mulai mengangkat wajahnya lurus. Matanya jatuh pada jejak merah yang terlihat mencolok di antara kulit seputih salju. "Aku tak memiliki pakaian lain," "Chana!" Bentak Elden tak tertahankan bahkan Chassy yang baru saja tiba berjangkit kaget. "Kau! Jejak apa yang ada di tubuhmu! Apa yang telah terjadi!"Mesya yang sedari tadi diam kini mulai meneliti tubuh Chana dan matanya tiba-tiba membulat. "Oh, Chana, bagaimana bisa kau - tidak, sayang ini tidak mungkin. Itu adalah jejak-""Siapa yang melakukannya?" Potong Elden tak menutupi amarahnya. Mendengar itu Chana sama sekali merasa tak terganggu. Dia hanya menat
"Chana,"Chana, yang sedang melangkahkan kakinya di halaman luas keluarga Oswald dengan menundukkan kepalanya terhenti saat sepasang sepatu hitam itu berhenti tepat di bawah kakinya."Kemana kau pergi?"Suara yang sangat familiar, dengan intonasi acuh tak acuh, memperjelas sikap dingin pemiliknya. Tanpa sadar, Chana mendongak dan menemukan wajah tampan yang menatapnya lekat."Agraf," suara Chana lemah, penuh keterkejutan, dengan mata membulat tak percaya. Bukankah dia baru akan datang? Kenapa sekarang sudah ada di kota ini? Tidak, jika aku tak salah, dia tak seharusnya kembali di bulan ini. Harusnya ...."Chana,"Teguran dingin itu kembali terdengar, Chana seakan tersadar dengan langkah mundur sedikit ketakutan."Apa sekarang kau tuli- tunggu, ada apa dengan tubuhmu?"Sebuah tangan hangat terulur menyentuh ujung kulit leher Chana sebelum Chana berjengkit menjauh. Membiarkan tangan Agraf di udara dengan canggung. Tatapan mereka bertemu, namun kedinginan di hati Chana menyebar dengan sa
Pagi menyambut dengan cahaya kekuningan yang mulai berpendar melewati pepohonan. Tapi Chana masih di sana, di tempat yang sama sejak dini hari ia terbangun dan tak bisa tidur lagi. Matanya meneliti jalanan dan tertegun saat melihat Rolls-Royce terparkir di pinggir jalan. Dia tak mengingat bahwa pengguna apartemen murah di sekitar sini memiliki mobil mahal seperti jenis yang dia lihat. Atau, apakah dia yang memang tak tahu bahwa mungkin saja ada miliader yang bersembunyi di antara apartemen di sini? Axel yang menyadari bahwa Chana menatap mobilnya tersenyum samar. Dia bisa melihat wajah putih Chana yang tampak segar dan terlihat baik-baik saja. Merasa lega dia akhirnya melihat jam di pergelangan tangannya. "Dom, kita berangkat sekarang," Dominic yang tengah berada di belakang kemudi mengangguk patuh. Dia adalah asisten yang menangani semua masalah Axel juga merupakan orang kepercayaan Axel. Saat ini dia hanya tak mengerti, kenapa tuan mudanya tiba-tiba melakukan semua ini. "Tuan, p
Chana membuka pintu kamarnya dan teringat dengan flashdisk yang dia terima. Rasa ingin tahunya meningkat pesat namun dia juga sadar bahwa dia tak memiliki laptop di rumah ini. Menyelinap ke ruang kerja ayahnya, dia membawa dua flashdisk yang dia dapatkan dengan tangan gemetar karena pertama kalinya menyelinap ke ruang kerja ayahnya. Awalnya dia sangat bimbang untuk memilih flashdisk mana yang akan dia buka dulu. Tapi ketika mengingat wajah tampan Richard, dia pun memutuskan untuk membuka flashdisk yang Richard berikan terlebih dahulu. Mata Chana terfokus pada layar monitor yang mulai menampilkan gambar. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada setelah memilih salah satu video dari tiga video yang ada. Namun setelah beberapa detik layar monitor itu tetap gelap. Kesunyian mendominasi kecuali suara gemerincing besi yang sesekali terdengar. "Apa ini. Video ini dalam ruangan yang gelap. Apakah Richard ingin mempermainkan aku?" Tapi kemudian Chana terpana saat ruangan gelap dalam video i
Chana merasakan aneh karena tiba-tiba Oscar menjauh seolah menjaga jarak. Tanpa sadar dia mengikuti arah pandang Oscar yang jatuh pada pria tinggi yang mulai datang menghampirinya. Entah kenapa, rasa tak peduli hadir saat dia mengingat kejadian yang dia temukan di kantor Axel. Axel berdiri di tengah pintu cukup lama, matanya mengedar pelan dan pandangannya jatuh pada peti mati lalu Chassy dan Elden yang masih menangis berpelukan. Rion adalah orang yang memberitahu dirinya tentang kematian Agraf saat mereka baru saja berkumpul bersama malam ini. Tapi dia juga tak menyangka bahwa akan melihat Oscar begitu dekat dengan Chana. Keduanya tampak sangat akrab dengan pembicaraan yang terlihat serius. Tapi hal yang mengusik pandangannya adalah tatapan Oscar pada istrinya begitu menganggu. Axel tak menyukainya. Saat melihat Oscar menjauh, dia sedikit lega, tapi dia tak menyangka akan mendapatkan tatapan acuh tak acuh dari istrinya. Tatapan yang mengatakan bahwa kehadirannya menganggu dan dia t
Damon membanting pintu ruangan kerjanya lalu mengunci rapat. Meletakkan tubuh Chelsea ke lantai dingin tanpa perasaan. Matanya menyala melihat wajah cantik di depannya tengah mengigit jari lentik dengan menjulurkan lidah secara sensual. Tanpa sadar, tangannya terulur, menarik stoking tipis yang Chelsea gunakan. Robekan yang terjadi membuat pemandangan menjadi semakin indah. Chelsea terlihat sangat cantik dengan pakaian yang tak lagi utuh, kulit paha yang mulus dengan rambut panjang berwarna pirang yang tergerai acak. "Nona, kau sangat cantik." Pujian itu tulus, Di mata Damon kecantikan yang sempurna akan lebih nyata jika wanita di depannya tak mengenakan pakaian apa pun. Sebagai pria dia memiliki gairah yang normal. Dan di depannya, seorang wanita dengan sengaja menggoda dirinya secara terang-terangan. "Tuan, dari mana kita akan mulai?" Chelsea kehilangan seluruh kesadarannya. Ingatannya hanya berputar pada malam-malam panjang penuh jeritan kenikmatan yang pernah dia lalui sebulan
Damon menyeret Chelsea kasar memasuki sebuah lift yang terletak di balik kamar ruang pribadi Axel di Axion Company. Axel hanya menatap datar saat tubuh ramping Chelsea mencoba memberontak dan melambaikan tangan padanya. Kemudian sudut bibir Axel terangkat tipis, dia melihat secangkir teh yang dipaksakan Damon untuk Chelsea minum. Meski menolak, nyatanya wanita gila itu meminumnya meski tak semuanya. "Tidak, Axel, Axel, tidak. Aku tak ingin kembali. Axel," "Nona, diam dan patuhlah. Atau tuan muda akan marah." "Lepaskan, lepaskan tanganku. Aku harus menamparnya karena berani mengusirku dan menikahi wanita lain!" Damon tak bereaksi dan tetap menyeret tangan Chelsea. Meski Chelsea terjatuh di lantai, Damon tetap menarik tangan kurus itu tanpa memperdulikan cakaran yang bersarang di tangannya. Mendengar kata-kata Chelsea, sudut bibir Axel tertarik. Minatnya tiba-tiba bangkit saat dia melirik cangkir teh yang telah kosong. "Damon, lepaskan dia." Damon terhenti, dia berbalik. "Tuan mud
Chana tersenyum tipis. "Aku tidak peduli." Lebih tepatnya dia pura-pura tak peduli. Karena dia tak ingin menjadi sejata bagi orang lain. Semua orang disekitarnya hari ini selalu membahas Axel. Pria itu tak terkejut. Dia meraih tangan Chana secara tiba-tiba lalu meletakkan sebuah flashdisk di genggaman tangan Chana. "Aku tahu kau tak peduli, tapi alangkah baiknya jika kau mengetahui suamimu dengan baik." Chana menatap flashdisk di tangannya. "Apa tujuanmu?" Chana tidak bodoh. Berdiri sebagai Tuan muda Axion, Axel jelas memiliki banyak musuh. Dia hanya sedikit waspada, meski dia sendiri juga melihat Axel memeluk seorang wanita, lalu Alice yang telah memperingatkannya. Kini seorang pria asing yang bahkan tak dia kenali datang memberikan informasi. Mungkin Alice hanya ingin dia hati-hati tapi pria ini, pasti memiliki tujuan pasti. Dia tak akan terseret dengan mudah. "Membawamu pulang ke keluarga Aster," jujur pria itu terbuka. "Kakek ingin melihat salah satu cucunya yang tak pernah di
Chana mempercepat langkahnya saat telepon Oscar terhubung. Untuk sesaat, semua hal tentang Axel yang dia pikirkan hampir setengah hari terlupakan begitu saja. "Nona, ibu nona mengunjungi rumah utama Oswald." Wajah Chana sedikit panik. "Siapa yang menyambutnya?" "Itu ... Nona Chassy yang ada di rumah utama. Sedangkan tuan besar masih belum kembali." "Apakah ibu baru berangkat atau sudah di sana?" "Kemungkinan sudah tiba di rumah utama." "Bagaimana dengan kakek?" "Ketua akan kembali lusa.""Baiklah. Aku akan segera bergegas." Chana menutup telepon yang tersambung dan segera kembali. Sedangkan di rumah utama Oswald, Kelsyana masih berdiri saat pintu rumah utama Oswald terbuka. Chassy berdiri di tengah pintu dengan wajah muram. "Kami tak menerima tamu," Kelsyana yang baru menjalani operasi pita suara dua minggu lalu tersenyum. Suaranya kembali meski belum begitu normal. "Aku bukan tamu." Chassy terbelalak, tangannya bergerak untuk menutup pintu tapi tertahan saat tangan Kelsyan
Jika Chana masih merenungkan kata-kata Alice, di Axion Company, Axel sangat terkejut dengan kedatangan Chana untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya dia tak pernah berpikir bahwa suatu hari istrinya akan datang berkunjung. Masalahnya, kenapa istrinya datang di saat yang tak tepat. Hal ini membuatnya gusar. "Chana," gumam Axel cukup jelas. Dia mendorong tubuh wanita yang memeluknya hingga terjatuh. Kepanikan terlintas sesaat di mata hitamnya. "Chelsea, menjauh dariku!" Dia bergegas mengejar Chana namun tertahan saat tangan Chelsea menahan kakinya yang baru melangkah. "Axel, jika kau berani mengejarnya maka jangan salahkan aku jika kakek mempercepat pernikahan kita." Langkah Axel terhenti, dia berbalik menatap wanita cantik yang telah merapikan pakaiannya. Tatapan matanya menghujam dalam, dia meraih rahang Chelsea tanpa belas kasihan. "Ulangi sekali lagi." Chelsea tersenyum, dia menatap mata Axel tanpa takut. "Kita akan menikah." Axel tersenyum lembut. Sangat lembut hingga orang meng
"Axel aku merindukanmu, sangat merindukanmu." Tatapan Chana terpaku pada dua orang yang berpelukan erat. Seluruh tubuhnya kaku, dan sesuatu yang berat menghantam sudut egonya. Sesuatu dalam dirinya seolah menertawakan dirinya sendiri, yang entah bagaimana bisa sampai di tempat ini. "Axel," ujarnya lirih. Dia ingin sekali tertawa saat kilas masa depan terbayang sekilas. Penghianatan!Sesuatu yang menjijikkan terasa merayap di atas kulitnya. Menggelitik namun sangat menyakitkan. Akhirnya matanya terbuka jelas. Sesuatu seperti ini memang tak cocok untuknya. Tidak, dia tak akan tertipu dan jatuh pada lubang yang sama. Hal seperti ini, dia harus menyingkirkannya. Langkahnya sangat ringan, berbalik meninggalkan ruangan yang terbuka lebar. Satu sudut bibirnya tertarik sinis. "Kau mengejarku layaknya seorang pria tak tahu malu tapi kau memeluk wanita lain di belakangku. Axel, kau sangat luar biasa." Hatinya yang mati kini seolah tersiram racun yang lebih mematikan. Seluruh darah di tubu
Paris, Perancis. Kota A. Bangunan tinggi yang merupakan perusahaan terbesar di kota A, Axion company, tampak sangat tenang siang ini. Di sebuah ruangan yang sunyi, Axel duduk memeriksa tumpukkan dokumen penting sedangkan Dominic baru saja masuk."Tuan muda," Axel menoleh sesaat dan kembali fokus pada dokumen di tangannya."Apa kau mengawasi mereka?" Dominic mengangguk. Dia menghela napas sesaat lalu menyuarakan laporannya. "Tuan Muda, Nona Chassy tidak keluar dari kediaman Oswald selepas pemakaman ibunya dua minggu ini. Tuan Agraf terlihat sangat sibuk memunguti sisa-sisa bisnisnya yang dapat diselamatkan. Namun itu adalah hal yang sia-sia. Karena orang kita telah melenyapkan semuanya." "Bagaimana dengan keadaan di sekitar istriku?""Nyonya Chana menemui ketua Oswald yang telah kembali dan tinggal di Villa barat kota A. Lalu akhir-akhir ini, seorang pria asing dari negara Inggris, kota G, sering mengunjungi ibu nyonya." Axel mendengarkan laporan Dominic dengan seksama. Dia menge