Lanjutannya lewat tengah malam
“Sulis kenapa? Perutnya kenapa?” Wira berjongkok di depan kursi yang ditempati Sully. Orang yang ikut berkumpul pada saat itu pasti fokus pada wajah pucat Sully dibanding wajah Wira yang tak kalah pucat. Tangannya sampai bergetar ketika meraba perut Sully ke sana kemari. “Ini telepon dari siapa?” Wira mengambil ponsel dari tangan Sully dan melihat nama ‘Bu Dahlia’ di layar. Setelah mengucapkan beberapa kata soal kondisi Sully, Wira menyimpan ponsel dan kembali mengusap-usap perut istrinya. Tak peduli dengan orang-orang yang mulai semakin ramai mendekati mereka.“Perutku sakit. Padahal tadi enggak apa-apa. Kayaknya aku kaget karena telepon Ibu. Ibu bilang Ayah masuk rumah sakit. Aduh ….” Sekarang tangan Sully meraba pinggangnya.“Apa mungkin mau lahiran? Sakit mau lahiran?” Entah siapa yang bisa ditanya Wira dalam kondisi itu. Keluarga mereka belum ada yang tampak di lokasi acara.“Kayaknya enggak. Kan, belum cukup umur. Mungkin cuma kram aja. Perutnya tegang.” Sully bicara dengan nada
Sebenarnya banyak sekali yang harus dilakukan Wira hari itu. Acara peresmian pabrik bahkan belum sepertiganya dijalankan. Harusnya ada sesi peninjauan pabrik yang akan dilakukannya bersama investor. Harusnya juga ada proses cicip-mencicipi gula aren hasil olahan pabrik PT. Putra Pertiwi yang dilakukan oleh petinggi dan investor. Semuanya harus dilewatkan Wira. Sully dan bayi kembarnya tidak bisa menunggu lagi.“Sudah…sudah. Urus istrimu dulu, Gus. Yang penting pitanya sudah dipotong. Aku bakal menjalankan semua urutan acara seperti di awal. Pak Martin juga menyanggupi buat mendampingi. Pokoknya kamu bisa tenang.” Saptono menjajari langkah Wira saat menuju mobil.“Aku bisa ikut bantu-bantu Sulis. Aku ikut!” Oky berlari kecil menyusul Sully. Sampai ia tiba di dekat Sully yang sudah duduk bersandar. “Aku duduk di depan aja,” kata Oky ketika melongok jok belakang yang sudah berisikan Ajeng, Kartika dan Saraswati. Ketiganya sudah duduk mapan hendak mendampingi Sully ke rumah sakit."Duduk
Sewaktu turun dari mobil tadi Pak Gagah ikut bingung. Harus melakukan apa? Bisa membantu apa?Bagus Prawira; putra bungsu yang rasa-rasanya tak pernah takut terhadap apa pun pagi itu ikut memucat. Mungkin karena pengalamannya yang sedikit soal rumah sakit dan selalu membawa berita tak enak, membuat Wira resah bukan kepalang.Mungkin juga baru kali itu para staf rumah sakit, perawat termasuk dokter yang membantu kelahiran cucu kembarnya melihat serombongan keluarga pengantar berdandan apik bak hendak ke pesta. Seakan, keelokan penampilan mereka hari itu memang khusus ditujukan buat menyambut si kembar.Keresahan yang tengah dirasakan Wira hari itu seakan ikut dibaginya ketika pintu ruang bersalin ditutup. Dengan tubuh tinggi kurusnya, Pak Gagah ikut mondar-mandir di luar. Lupa kalau tas perlengkapan bayi berwarna cerah dengan motif lucu sedang berada di tangannya. Ia meminta tas itu dari Ajeng agar tangannya tak terasa terlalu kosong.“Duduk aja, Pak. Bayinya Bagus pasti lahir sehat da
Berdamai dan sepakat dengan diri sendiri adalah hal yang diminta Wira pada Sully untuk memulihkan kesedihan karena tak bisa ‘sama’ dengan kondisi ibu baru lainnya. Namun, di hari kedua usai melahirkan Sully belum bisa menyusui anaknya. Air susunya sedikit dan Sully kembali menangis karena hanya menghasilkan 10 ml dari hampir satu jam mencoba memompa ASI. Air mata Sully yang bertetesan saat mengumpukan sedikit demi sedikit ASI-nya. Wira hanya bisa mengatakan, “Sudah...sudah jangan nangis lagi. Nanti kamu sakit. Bisa pakai susu formula. Pertumbuhan si kembar pasti sama dengan bayi lainnya. Kalau ibunya nangis terus begini bayinya juga pasti kerasa.” Kata-kata Wira bukan hanya sekedar hiburan untuk Sully. Aslinya ia orang yang tidak terlampau pintar menghibur. Wira mengatakan itu sebagian besar untuk dirinya sendiri. Hatinya ngilu melihat Sully terus menangisi keadaan bayi mereka. Wanita yang awalnya terlihat pecicilan itu ternyata sangat keibuan. Setiap pagi Sully mendatangi ruang ba
Sully hampir setengah melompat mendengar kedua putranya diperbolehkan pulang. Matanya berembun dengan cepat karena haru. Pelukannya terlepas dari Pak Anwar lalu kembali berlabuh pada Wira. Dengan kebiasaan yang terbentuk belakangan hari ini, Wira tidak terlalu sungkan ketika Sully bergelayut memeluk pinggangnya. Wira ikut membalas pelukan Sully dengan mata yang juga mengembun karena bahagia.“Pak…Pak, kenalin ini ayahnya Sulis. Namanya Pak Anwar. Ini istrinya, Bu Dahlia namanya.” Sully membawa kedua orang tuanya di kiri kanan.“Macam mana cara Sulis mengenalkan orang tua. Kok, begitu?” Pak Anwar protes beberapa langkah sebelum tiba di dekat Pak Gagah.“Enggak apa-apa …. Tidak ada yang salah. Sulis anak perempuan yang enggak pernah macam-macam.” Pak Gagah tersenyum ramah memandang Pak Anwar.“Anak perempuan yang enggak pernah macam-macam ya …” Pak Anwar sudah berdiri berhadapan dengan Pak Gagah. Ia juga tersenyum lebar membalas senyum besannya itu. Sambil membayangkan pujian besan terha
Bisa dibilang bahwa saat itu Wira membangun rumah yang amat berbeda dibanding kebanyakan rumah bergelar paling mewah di Desa Girilayang.Rumah di Girilayang yang disebut mewah biasanya dicat lebih dari satu warna. Bisa dua, tiga atau bahkan empat warna. Sedangkan rumah yang disebut Wira sebagai ‘Rumah Sulis’ hanya diwarnai satu warna. Putih. Semuanya berwarna putih. Wira tak pernah memikirkan soal kemungkinan mengecat rumahnya dengan warna kesukaan Sully; merah. Pernah Saptono memberi ide untuk memadukan warna putih dan merah. Wira tetap menolak dengan alasan ia tak mau rumahnya terlihat seperti Kantor Kepala Desa.Rumah Sully berada di ujung jalan buntu, menghadap jalan. Berbeda dengan rumah Pak Gagah yang letaknya di samping jalan, menghadap bagian samping rumah Subardi. Rumah putih Sully berdiri tegak dan kokoh di belakang rumah Pak Gagah. Perpaduan antara tradisional dan modern yang berada dalam satu pekarangan.“Benar kamu enggak pernah lihat ke belakang?” Sari menjajari langkah S
“Bagaimana perjalanan dari rumah ke Girilayang? Pasti seru ya, Pak?” Pak Gagah mengawali perbincangan bersama besannya dengan topik pembicaraan paling umum. “Memang seru. Meriah dan seru,” tegas Pak Anwar seraya terkekeh-kekeh. Matanya menyapu empat wanita yang duduk tak jauh darinya. Bu Dahlia, Utami, Dwi dan Sari berpura-pura tak acuh akan perkataannya. Suasana selama perjalanan tadi masih sangat terasa. Tenggorokannya kering karena rasanya tiap menit harus menjelaskan ini-itu yang ditanya anak perempuannya. Sah-sah saja kalau sekarang ia menyesal karena terlalu perhitungan mengajak empat anak perempuannya jalan-jalan. Bisa dibilang Sully adalah satu-satunya anggota keluarga Pak Anwar yang paling berpengalaman dalam hal menginap di luar rumah. Atau sebut saja kalau Sully satu-satunya anak yang merantau; pergi jauh dari orang tuanya. Cukup unik karena Sully disebut-sebut sebagai anak bungsu paling manja dan paling disayang. Kenyataannya, Sully adalah anak yang berhasil membuktikan k
Wira sempat tertegun sejenak. Bayangan soal sosok Sully yang tertidur kelelahan dengan selebar daster menguap begitu saja. Sully memang mengenakan daster, tapi jauh dari rupa seorang yang kelelahan. Rambut Sully yang masih basah tergerai ke bahu. Kulit wajahnya sedikit mengilap, begitu pula bibirnya yang mengilap dan kemerahan. Sully sedang berdiri di depan meja ganti bayi dan berbicara lirih dengan bayi yang sedang pakaikannya kaus kaki. Wira mendekati Sully.“Anak siapa ini cakep banget? Pasti anak Bu Sulis, ya? Gemesin ...." Sully baru selesai dengan Bima. Sedangkan Sakti sejak masuk ke kamar tadi masih tidur pulas.“Anak Pak Bagus juga ….” Wira mendekati Sully dari belakang. “Saking asyiknya sampai enggak dengar Mas buka pintu.” Kedua tangannya melingkari pinggang Sully.Sully memang tak mendengar suara apa pun. Fokusnya hanya pada jemari putih, mungil dan lembut milik Bima yang sedang ia pijat. Tanpa terkejut, Sully menoleh sebentar ketika mendengar suara Wira. “Lihat ini … aku u
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak