Valerie duduk di sofa menghadap ke televisi layar datar raksasa dengan tatapan kosong. Dia tidak benar-benar menikmati tontonan dari sebuah drama luar negeri yang sedang ditayangkan. Dia sudah bersiap-siap untuk tidur dan sudah mengenakan pakaian tidurnya –sebuah kaus putih oversizes dengan bawahan celana pendek. Semua pikirannya teralih pada hal-hal yang dilakukannya bersama Emrys di hotel tadi malam. Tanpa sadar, dia malah mengigit-gigit remot di tangannya sambil terus membayangkan saat Emrys menyentuhnya. Lalu perlahan Valerie menoleh ke belakang tepat pada tempat tidur Emrys, lalu mengalihkan pandangannya pada tempat tidurnya yang berada di balik rak buku, begitu terus selama beberapa kali.“Apa aku akan tidur di tempat tidurnya?” gumam Valerie sendirian. Dia memutar tubuhnya agar bisa menatap dua tempat tidur itu lebih leluasa. “Seharusnya dia sudah mengizinkanku untuk menggunakan ranjangnya bukan? Tapi bagaimana kalau dia merasa privasinya terbatas?”Valerie mendesah. Emrys tida
Valerie tidur sangat lelap sehingga dia bangun dengan perasaan yang menggebu-gebu karena bahagia. Emrys sudah tidak ada lagi di tempat tidur. Dia melihat sebuah cacatan kecil yang diletakkan di atas nakas.[Aku pergi ke kantor. Jangan lupa untuk sarapan dan menungguku pulang.Emrys, suamimu.]Wajah Valerie memerah, senyumnya mengembang. Dia menggigit bibir bawahnya pelan sambil terus tersenyum. Rys sudah pindah tidur ke bawah tempat tidurnya. Anjing pintar itu rupanya membawa sendiri bantalan untuk lapis tempat tidurnya karena mungkin dia ingin tidur lebih dekat dengan Ibunya. Valerie turun dan menunjukkan catatan yang ditinggalkan Emrys pada Rys seolah Golden Retriever itu mengerti. “Lihat, ini pesan yang ditinggalkan suamiku untukku,” ujarnya penuh semangat pada Rys.Anjing itu membuka matanya, menatap Valerie seolah dia menilai, lalu kembali berbaring ke arah yang berlawanan. “Jangan mengejekku,” Valerie melangkah membuka tirai kamar. Emrys pasti sengaja tidak menyingkapnya karena
“Belle, kamu menangis?”Valerie menghampiri Isabelle yang duduk sendirian menatap aliran sungai. Keduanya duduk di atas rumput teki. Angin yang bertiup lembut sesekali menggoyang dahan-dahan pohon yang tumbuh berjejer, daun-daun menguning berjatuhan ke tanah. Di sekitar mereka terdapat beberapa pasangan muda mudi, tengah duduk menikmati suasana tenang dan nyaman.Gadis itu menoleh. Dan saat dia melihat Valerie, seluruh pertahanannya runtuh. Dia mendekap Valerie erat dan menangis sesenggukan dalam pelukannya. Valerie bingung, karena dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Isabelle. Dia hanya menerima pesan yang menyuruhnya menemui Isabelle di batas sungai, tidak tahu malah menemukan Isabelle menangis.“Ada apa? Apa yang terjadi?”Isabelle tidak menyahut. Dia masih menangis di pelukan Valerie dan Valerie memilih membiarkan Isabelle sejenak. Tadi memang Isabelle memberitahunya jika dia akan bertemu Zach, dan Valerie menduga Zach mengatakan sesuatu lagi. Apa dia menolak Isabelle?Ketika Is
“Dia masih saja seperti ini,” Emrys bergumam.Emrys menyelimuti tubuh Rick setelah mereka tiba di apartemen Rick. Dia duduk di sisi tempat tidur dan Valerie ada di dekatnya sementara Isabelle yang masih dipengaruhi oleh ciuman Rick berdiri di dekat jendela. Dia tidak mau mendekati Rick karena khawatir pikirannya akan kembali memutar adegan mengejutkan itu.“Seperti ini? Maksudnya?” Valerie penasaran.Emrys menunjuk kalender meja yang dilingkari oleh Rick. Valerie mendekat, mengangkatnya dan membaca apa yang ditulis oleh Rick di sana. Malam kepergian Mayu? Valerie menatap Emrys. Jadi itu sebabnya dia mabuk dan bertingkah konyol?“Mayu meninggal di pelukan Rick sekitar pukul tujuh malam. Setiap tahun, Rick selalu mabuk mulai pukul tujuh dan akan berakhir di sungai itu. Itu tempat favorit mereka berdua dulu,” terang Emrys.Valerie melirik Isabelle yang berdiri cukup jauh dari mereka. Terlihat rona wajah Isabelle berubah mendengar apa yang dikatakan Emrys. Dia mendadak tegang dan gusar, l
“Apa menurutmu Belle akan baik-baik saja?”Valerie dan Emrys berjalan beriringan menuju lokasi parkir di halaman depan apartemen Rick. Emrys hanya mengangguk, lalu bergumam, “Dia pria baik, dia juga mengenal Isabelle. Mereka akan baik-baik saja.”“Bagaimana kalau Rick tiba-tiba bangun dan salah mengenali Isabelle dengan Mayu?”“Tidak akan,” Emrys mendesah. “Jika saja semuanya semudah itu bagi Rick.”Tapi kenyataannya Rick sudah mencium Isabelle dan alasan di balik itu semua pasti karena Rick salah mengira jika Isabelle adalah Mayu. Seharusnya Emrys tahu seberapa berbahayanya kondisi mabuk karena dia pun pernah melakukan kesalahan dalam mabuknya. “Masuklah,” Emrys membuka pintu.Sekali lagi Valerie menengadah menatap ke atas apartemen Rick. Apakah Isabelle akan baik-baik saja? Walau dia mengatakan hal-hal untuk menyatukan keduanya, jika terjadi sesuatu saat Rick mabuk, maka itu tidak baik. Hal itu hanya akan menyakiti Isabelle dan merugikannya.“Bagaimana kalau kamu saja yang menemani
Setelah mandi dan mengenakan pakaian santai, Emrys duduk di balkon seraya menatap pemandangan pagi yang masih bergerimis. Tadi malam hujan turun dengan sangat lebat hingga membuat daun-daun tanaman di balkon menunduk dan nyaris mencium tanah. Di dalam kamar, Valerie sedang menerima telepon. Dia bilang itu dari teman Lissa, Ibunya. Sambil menghirup aroma kopi yang disajikan Valerie, Emrys menoleh sesekali ke dalam kamar di mana Valerie sedang bicara dengan serius.Tidak pernah terpikirkan dalam diri Emrys jika dia akan mencintai Valerie, gadis belia berusia sembilan belas, yang sebelumnya dia tolak mentah-mentah. Entah bagaimana gadis itu menggugah perasaannya dan merebut kembali kepercayaan dirinya untuk jatuh cinta. Dia menyukai cara Valerie bergerak, suaranya, rengekannya, aromanya. Dia menyukai semua hal tentang Valerie dan dia yakin bisa menghabiskan sepanjang waktu bersama gadis itu.“Ada apa?” Emrys menatap wajah Valerie yang terlihat gugup setelah dia selesai melakukan panggil
“Le-Leukimia? Maksudnya...”Dokter tersebut mengangguk, lalu melepas kaca mata yang menggantung di hidungnya. “Sebenarnya, Nyonya Lissa sudah mengetahui tentang penyakitnya ini sekitar lima bulan lalu. Namun dia menunda, bukan, lebih tepatnya menolak semua pengobatan yang Saya tawarkan. Dia bilang dia tidak ingin membebani anak perempuan satu-satunya yang baru saja menikah waktu itu.”Otak Valerie semakin kacau, berputar bagai pusaran tornado yang menyapu semua hal yang ada di sekitarnya.“Nyonya Lissa juga mengatakan jika dia hanya ingin bertemu suami dan anaknya lebih cepat. Jadi, Saya tidak punya pilihan lain selain mengabulkan permintaannya.”“Mom...”Namun, nama itu tersangkut di tenggorokan Valerie. Tidak ada suara yang sanggup keluar dari mulutnya. Tenggorokannya tersekat, seolah seutas tali mengikatnya dengat kuat dan erat. Valerie menunduk, tidak sanggup membayangkan apa yang baru saja didengarnya. Kenapa?Kenapa saat seperti ini dia baru tahu jika Lissa juga memperhatikanny
Keesokan harinya menjelang sore, Valerie baru bisa menemui Lissa di ruang perawatan. Betapa kagetnya Valerie ketika dia nyaris tidak mengenali Lissa lagi. Tubuhnya ringkih dan ceking hingga nyaris hanya menyisakan tulang. Tulang wajahnya terlihat menonjol dengan jelas, dalam sekejap mata perawakan Lissa mendadak seperti wanita lanjut usia.“Mom,” ujar Valerie pelan. Dia meraih pergelangan tangan Lissa lalu menaruhnya di atas tangannya. Dengan lembut Valerie mengelus tangan itu sembari menatap wajah Lissa yang belum menunjukkan tanda-tanda jika dia akan bangun. “Mom, maafkan aku.”“Kenapa menyembunyikan hal sebesar ini dariku, Mom? Kenapa tidak langsung memberitahuku lima bulan lalu? Kenapa menunggu hingga separah ini baru aku mengetahuinya? Mom, kamu membuatku menjadi anak yang tidak tahu terimakasih.” isaknya pelan.Valerie meletakkan kembali tangan Lissa, memasukkannya ke dalam selimut. Hatinya benar-benar sakit memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi. Dan melihat
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh