“Le-Leukimia? Maksudnya...”Dokter tersebut mengangguk, lalu melepas kaca mata yang menggantung di hidungnya. “Sebenarnya, Nyonya Lissa sudah mengetahui tentang penyakitnya ini sekitar lima bulan lalu. Namun dia menunda, bukan, lebih tepatnya menolak semua pengobatan yang Saya tawarkan. Dia bilang dia tidak ingin membebani anak perempuan satu-satunya yang baru saja menikah waktu itu.”Otak Valerie semakin kacau, berputar bagai pusaran tornado yang menyapu semua hal yang ada di sekitarnya.“Nyonya Lissa juga mengatakan jika dia hanya ingin bertemu suami dan anaknya lebih cepat. Jadi, Saya tidak punya pilihan lain selain mengabulkan permintaannya.”“Mom...”Namun, nama itu tersangkut di tenggorokan Valerie. Tidak ada suara yang sanggup keluar dari mulutnya. Tenggorokannya tersekat, seolah seutas tali mengikatnya dengat kuat dan erat. Valerie menunduk, tidak sanggup membayangkan apa yang baru saja didengarnya. Kenapa?Kenapa saat seperti ini dia baru tahu jika Lissa juga memperhatikanny
Keesokan harinya menjelang sore, Valerie baru bisa menemui Lissa di ruang perawatan. Betapa kagetnya Valerie ketika dia nyaris tidak mengenali Lissa lagi. Tubuhnya ringkih dan ceking hingga nyaris hanya menyisakan tulang. Tulang wajahnya terlihat menonjol dengan jelas, dalam sekejap mata perawakan Lissa mendadak seperti wanita lanjut usia.“Mom,” ujar Valerie pelan. Dia meraih pergelangan tangan Lissa lalu menaruhnya di atas tangannya. Dengan lembut Valerie mengelus tangan itu sembari menatap wajah Lissa yang belum menunjukkan tanda-tanda jika dia akan bangun. “Mom, maafkan aku.”“Kenapa menyembunyikan hal sebesar ini dariku, Mom? Kenapa tidak langsung memberitahuku lima bulan lalu? Kenapa menunggu hingga separah ini baru aku mengetahuinya? Mom, kamu membuatku menjadi anak yang tidak tahu terimakasih.” isaknya pelan.Valerie meletakkan kembali tangan Lissa, memasukkannya ke dalam selimut. Hatinya benar-benar sakit memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi. Dan melihat
“Sudah makan?”Emrys melepas long coat hitamnya dan meletakkannya di sofa. Dia mendekati Valerie yang berjaga sejak kemarin di rumah sakit, mencium kepala gadis itu lembut lalu mengelus punggungnya. Valerie hanya menggeleng. Dia menatap Emrys sendu. Matanya bengkak dan merah karena dia terus menangis.“Mom akan baik-baik saja,” Emrys tersenyum, membawa Valerie ke dalam pelukannya. Valerie tidak menyahut. Dalam pelukan Emrys, matanya terus tertuju pada Lissa, menunggu siapa tahu jika Lissa tiba-tiba membuka matanya. “Ky sudah menunggumu di parkiran,” ujar Emrys tiba-tiba.Valerie menegakkan tubuhnya, melepas diri dari pelukan Emrys. “Menungguku? Untuk apa?”“Malam ini aku yang akan menjaga Mom. Kamu kembali dan istirahat dengan baik, besok pagi kamu boleh kembali ke sini.”“Tapi Emrys..”“Jangan membantah Valerie. Aku tidak ingin kamu sakit karena kelelahan. Lagipula Mom belum sadar, kamu juga tidak terlalu perlu berada di sini. Ada perawat yang memantau keadaannya selama dua puluh e
Pagi-pagi sekali Valerie langsung pergi meninggalkan rumah walau tadi malam dia dan Isabelle sudah berjanji akan ke rumah sakit bersama-sama. Tapi begitu Emrys mengabarinya jika Lissa sudah sadar, dia mendadak lupa dengan Isabelle. Pusat perhatian Valerie hanya Lissa seorang. Dan dia sangat ingin bertemu dengannya –dan bertanya tentang banyak hal.Di rumah sakit, Emrys menyibak tirai yang menutupi jendela. Dia membiarkan cahaya matahari masuk, menaikkan sandaran tempat tidur Lissa hingga ke posisi yang nyaman, lalu menyajikan sarapan yang baru saja diantar oleh perawat ke ruangan Lissa. Lissa sendiri langsung menatap ke luar jendela setelah Emrys membuka tirai, seolah dia hendak terbang ke luar, namun tidak kuasa karena tubuhnya yang tak bertenaga.“Mom, makan dulu.” Emrys menyodorkan sendok dan garpu pada Lissa.“Maksudmu, Valerie mengetahuinya?” gumam Lissa, pandangannya masih tertuju ke luar.Emrys hanya mengangguk. “Panggilan mengenai pingsannya Mom tertuju ke ponselnya. Aku tidak
Setelah bicara banyak hal dengan Lissa, Valerie sesekali melirik ke arah pintu. Apakah Emrys masih di luar? Apa dia menunggu? Atau, apakah dia sudah pergi?“Maafkan aku, Nak,” gumam Lissa tiba-tiba, membuyarkan lamunan Valerie tentang keberadaan Emrys.“Untuk apa lagi Mom?”Valerie mengatakannya bukan tanpa alasan. Sejak tadi Lissa terus meminta maaf padanya, dan Valerie sudah meyakinkan Ibunya itu bahwa dia tidak berada dalam posisi yang salah. Sebaliknya, Valerie justru menemukan dirinya selama ini tidak terlalu berbakti. Seharusnya dia memahami kesepian Lissa dan penderitaannya. Seharusnya dia membantunya.“Kamu dan Emrys bertengkar karena aku, bukan?”Valerie meraih sebuah apel dan pisau kecil dari laci nakas. Dia berdiri membawa apelnya ke wastafel lalu mencucinya. Setelah itu dia kembali, duduk santai di tepi tempat tidur Lissa dan mengupasnya.“Aku yang memintanya merahasiakan penyakitku darimu, Nak. Jadi..”Kening Valerie mengernyit, dia berhenti mengupas apel di tangannya. “T
Isabelle tiba di rumah sakit dengan membawa sebuket bunga mawar segar. Dia berjalan menuju lift, tidak sadar jika Rick juga berjalan menuju lift yang sama bersama rekan dokternya yang lain. Isabelle sedang asyik memainkan ponselnya saat dia mendengar suara wanita yang mengatakan, “Dokter Rick, apakah nanti malam jadwalmu kosong? Kalau tidak, aku ingin mentraktirmu makan malam. Aku baru saja mendapat promosi jabatan dan aku pikir kamulah orang pertama yang harus ku traktir makan.”Isabelle menoleh sekilas, mendapati Rick berdiri di belakangnya lengkap dengan setelan jas putihnya. Di sebelahnya berdiri wanita semampai, dengan tubuh langsing berisi, kulit yang bersih dan dandanan yang sangat menarik. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai dan dengan jas putih yang membalut tubuhnya, dia terlihat sangat bersahaja. Dan tentu saja, dia berniat menggoda Rick.Saat matanya bertemu dengan tatapan Rick, dengan cepat Isabelle menatap lurus ke depan. Dia bersiul kecil sembari menunggu lift terbuka,
Valerie terus memperhatikan Lissa yang sedang sibuk mengacak-acak rak kamarnya. Setelah Lissa mendesak dokter agar mengizinkannya pulang, dengan berat hati dokter mengabulkan permintaan Lissa. Mereka tiba di rumah saat matahari mulai menghilang di balik awan. Rona merah keemasan tertinggal di batas awan, menciptakan suasana sore yang hangat dan mempesona.“Apa yang sebenarnya kamu cari, Mom?” ujar Valerie dari tepi tempat tidur Lissa.“Tunggu saja.”Lissa melarangnya ikut mencari sesuatu yang katanya sangat berharga itu, dan Valerie menurutinya. Dia sesekali mengintip dan ikut penasaran saat Lissa menemukan satu buah kotak yang terbuat dari aluminium. Lissa terlihat bahagia. Dia duduk di samping Valerie lalu menyerahkan kotak itu padanya.“Ini apa Mom?” tanya Valerie bingung.“Bukalah. Anggap saja ini kado pernikahanmu yang terlambat ku berikan.”Valerie mendesah. Lagi-lagi dia langsung memikirkan Emrys saat Lissa menyebut pernikahannya. Namun dia buru-buru menepis bayangan Emrys. Sat
Setelah memastikan Lissa istirahat, Valerie keluar kamar dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi apa pun. Dia menatap seluruh ruangan rumahnya yang terasa sangat sepi dan hampa. Saat hendak duduk di sofa, ponselnya kembali bergetar. Valerie tahu jika itu panggilan dari Emrys. Pria itu sudah puluhan kali menghubunginya, namun puluhan kali pula Valerie mengabaikannya.[Aku di depan rumah. Tolong buka pintunya.]Sebuah pesan masuk dari Emrys. Valerie menghela nafas, lalu membalas.[Tidak perlu. Lagipula Mom butuh istirahat.]Tak lama kemudian,[Akan ku jelaskan semuanya. Apa pun yang ingin kamu tanyakan.]Valerie menarik nafasnya. Kamu sudah memikirkan semua jawaban dari semua kemungkinan pertanyaan yang akan ku tanyakan? Apa lagi yang akan kamu katakan? Kebohongan mana lagi yang hendak kamu pertontonkan?[Maaf, aku sibuk. Aku mungkin tidak pulang selama beberapa waktu ini. Ku harap kamu memberiku izin.]Emrys membaca pesan yang dikirim Valerie sebagai balasan. Dia menatap bangunan
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh