“Rin, lo mau apa?”“Oh, gue mau ice americano.”Pandu mengangguk paham. “Mbak, saya pesan ice americano yang dingin ya.”Baru saja Miquel dan Rindu hendak berlalu. Tapi mendengar ucapan Pandu, keduanya otomatis berbalik lagi. Menatap barista dengan kikuk.“Maaf mas, maksud teman saya itu ice americano. Maklum ya, kadang kadar nutrisi di otaknya itu melebihi batas. Jadi agak gini emang modelannya,”ujar Rindu.“Maksud lo apaan sih? Kan ice americano itu dingin.”Pandu nyeletuk.“Ice americano sudah melambangkan dingin. Lo gak usah bilang kata dingin lagi,”jelas Miquel dan lekas mengikuti Rindu yang sudah pergi lebih dulu.Pandu terkekeh. Benar juga. Dia menatap kembali barista di depannya. “Ice americano yang dingin, 3 ya mbak.”Rindu dan Miquel menghela nafas. Sudah di bilangin tapi bebal. Ya sudahlah lah ya, Pandu itu memang seperti itu. Di kantin, ketiganya terbaring lemas karena begadang ikut operasi.“Rin, lo tau gak?”“Apa, Ndu? Nanya mulu deh dari tadi. Kayak lo gak capek apa?”“
Sejak Rindu di lamar di perayaan ulang tahun Ragata, semuanya berubah drastis. Dia pikir itu hanya lamaran biasa. Tapi keesokan harinya, Rindu dikejutkan dengan Ragata yang membicarakan pernikahan. Dan hampir menyentuh 3 minggu, Rindu berkecamuk dengan segala tetek bengek mengenai persiapan pernikahan.Disamping itu, Rindu juga heran, Ragata sangat antusias dengan pernikahan mereka. Tepat 2 jam lagi, acara akan dimulai. Hari ini, dia akan sah menjadi pemilik nama belakang Wijaya. Ini benar-benar di luar prediksi BMKG. Begitu kata Pandu saat menerima surat undangan.Sekarang Rindu berada di dalam ruangan. Dengan gaun putih yang sekarang dia kenakan. Pantulannya di cermin seolah tidak nyata. Rindu merasa jauh lebih cantik hari ini. Rindu tidak direpotkan sama-sekali. Dari mulai venue, dress, bahkan konsep pernikahan mereka. Di handle semua oleh Ragata. Tapi justru itu yang membuat Rindu gugup. Dia tidak siap memulai kehidupan yang baru.Baru saja dia lulus wisuda, sekarang masih dokter
Ragata tidak menyentuhnya.Well. Setidaknya itu membuat jantung Rindu masih aman. Dia menatap hamparan kota Singapura yang indah. Benar. Alasan Ragata tidak menyentuhnya, karena setelah pernikahan selesai, subuh-subuh mereka bergegas menuju bandara.Dan pagi ini, Rindu terbangun dengan pemandangan memanjakan mata dari atas hotel Marina Bay Sands. Rasanya mereka sedang berada di atas awan, karena ketinggian hotel yang tidak main-main. Jika berkunjung ke Singapura, tempat itu adalah salah satu destinasi yang dijadikan destinasi. Terlebih saat malam hari, maka pemandangannya terasa di dunia fantasi. Mereka baru beristirahat sekitar 3 jam. Rindu terbangun tadi karena kebelet pipis. Di pelan-pelan melepas rangkulan suaminya. Ini kejutan lain dalam hidupnya. Rindu bahkan tidak tahu Ragata diam-diam menyiapkan paspor, visa dan juga tiketnya dalam kurun waktu 3 minggu saja. Bahkan di atas ranjang mereka saat tiba subuh tadi, ada sepasang buket bunga besar, dan foto dirinya yang entah sejak
Rindu POVRagata tidak ada begitu aku membuka mata. Itu bagus, karena aku tidak tahu semalu apa aku jika harus bertemu dengannya pagi ini. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00. Dan well, tubuhku untungnya ditutupi oleh selimut tebal. Ingatan semalam. Oh Gosh. Pipiku memerah, dan semuanya bukan mimpi. Kami benar-benar melakukan itu. Arghhh…aku harus apa?Malu? Iya. Jelas. Gak usah ditanya.Meskipun sudah menjadi suami istri, tetap saja seperti tidak nyata. Begitu aku beranjak, bagian bawahku terasa sakit. Dan ada noda darah di atas ranjang. Shit. Ini benar-benar memalukan. Segera aku berjalan pelan ke kamar mandi. Berniat untuk membersihkan ranjang itu nanti setelah tubuhku terasa lebih segar.Tapi yang aku dapat, ranjang itu sudah diganti dengan yang baru begitu aku keluar dari kamar mandi. Jangan bilang! Dan benar. Ragata baru saja masuk ke dalam kamar, dia tersenyum menatapku. Tidak, pipiku. Apa dia sengaja memberiku ruang lebih dulu?Dia berjalan mendekat. Dia mengenakan celana pendek
Maunya Ragata, mereka liburan sampai satu tahun penuh. Agar dia bebas dari siksaan hidupnya. Tapi apalah daya, selama liburan di Singapura, dia tidak bisa ‘mantap-mantap’ dengan istrinya yang sedang kedatangan tamu tidak diundang. Apes banget kan? Dan pagi ini, pesawat mereka sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta untuk transit, lalu akan terbang menuju bandara Abdul Rahman Saleh, Malang. Karena ada urusan di rumah sakit. Padahal Ragata masih belum sah menjadi pemilik rumah sakit. Ayahnya yang masih berhak. Tapi dia sudah direpotkan saja. “Mas, kenapa sih? Dari kemarin perasaan cemberut mulu.”Nah. Masalah Ragata yang lain, istrinya itu a.k.a Rindu, kadang tidak peka. Tujuan utama, the one and only, dia itu honeymoon agar bisa…liburan sambil ‘enak-enak’. Ya begitulah. Sulit untuk dijabarkan bagaimana pengantin baru. “Gada.”Oke. Kali ini Rindu membiarkan Ragata ngambek. Capek jadi istrinya, padahal baru beberapa minggu menikah. Rindu tahu Ragata kesal karena dia itu sedang datang bul
2 Bulan KemudianRindu POVMenyingkirkan lengan Ragata, aku memungut pakaianku dan mengenakannya. Ragata benar-benar seperti maniak jika sudah bersangkut paut mengenai hubungan suami istri. Selain itu, dia juga pencemburu, dan panikan.Semalam, gara-gara ponselku habis batre dan tidak menjawab pesannya. Dia sudah bak orang gila mencariku sampai ke kantor polisi. Padahal aku hanya keluar dengan Pandu untuk makan malam. Dia benar-benar diluar prediksi BMKG.HuekIni sudah keberapa kalinya aku muntah di pagi hari. Sebenarnya, tadi malam itu aku juga ingin meminta saran dari Pandu. Mengenai alasan aku sering muntah akhir-akhir ini. Dia bilang agar aku cek kehamilan, bahkan membelikan test pack semalam.Benar-benar bersyukur punya teman seperti dia.Deg. Kepalaku terasa pusing. Test packnya 2 garis. Sebagai dokter, aku paham bahwa ini menunjukkan aku hamil. Air mataku menetes dan melihat perutku yang masih rata. Jujur, aku tidak siap jika harus hamil. Masih banyak kekurangan yang aku mili
5 bulan kemudianUsia kehamilan Rindu sudah memasuki bulan ke-5. Well, Ragata makin overprotective, dan semuanya diatur oleh dia. Rindu gak boleh makan sembarangan. Terlebih saat kejadian 2 minggu lalu, saat Rindu mendadak muntah, dan mual karena jajan sembarangan.Sejak itu, Ragata benar-benar lebih selektif. Lebih-lebih soal makanan.“Mau kemana, honey?”“Mau ke depan bentar.”Ragata mengangguk, lekas meletakkan laptopnya dan mengekori Rindu. Dia tidak ingin istrinya itu lecet.“Ishh, ngapain sih harus ikut-ikut, mas? Aku bosan seharian di rumah mulu.”Tercengir seolah tidak merasa berdosa. Ragata lekas mendekat dan merangkul pinggang istrinya itu. Mereka berjalan-jalan di taman rumah sejenak. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Ragata sampaikan, tapi sedikit tidak enak.Namun. Cepat atau lambat, dia harus mengatakannya juga.“Ada apa, mas? Kayaknya kamu kepikiran sesuatu deh akhir-akhir ini.”Dengan sigap Ragata mengeringkan kursi, memastikan itu kuat. Lalu menuntun Rindu untuk duduk
“Lo yakin mau ikut?”Miquel untuk sekali lagi memastikan bahwa Rindu memang ingin ikut. Sudah satu minggu sejak tidak ada Ragata, Rindu benar-benar kerja di rumah sakit terus. Jika tidak dalam keadaan hamil, sebenarnya tidak masalah. Tapi ini, Rindu sedang berbadan dua. Jadi tingkat kelelahannya itu sangat tinggi. Anggukan sang sahabat membuatnya tidak bisa menolak.“Tapi lo janji gak buat apa-apa ya, atau gak, lo gak usah ikut.”“Iya, janji.”“Bener?”“Iya loh, Miq.”“Okey, naik sekarang. Bentar, gue bantu.” Pandu menyetir pelan. Sesuai arahan dari Miquel. Kali ini mereka akan menuju ke panti asuhan, tempat biasa mereka melakukan pemeriksaan dan juga akan membagikan beberapa makanan gratis.Sebenarnya, Pandu dan Miquel tidak mau mengajak Rindu dan berniat untuk pergi sembunyi-sembunyi. Tapi…percakapan mereka malah di dengar oleh Rindu. Jadilah sosok yang ingin mereka hindari harus ikut. Bukannya menolak, tapi lihatlah perut buncit Rindu, melihatnya saja membuat Pandu takut menaikkan
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma