Ragata POVKami sudah berada di mobil dan bersiap untuk pergi. Sebelum sebuah pesan dari Rindu membuatku berhenti.“Ada apa?” tanya Angga, melihat ponselku.Jika ingin dia selamat. Datanglah ke alamat yang aku berikan, bawa surat yang aku perintahkan kepadamu. Ingat, kau dengan kakimu sendiri yang harus datang. Jangan bawa siapapun, atau nyawa gadis ini akan melayang.—Erick.Satu baris kalimat itu membuat seluruh tubuhku panas dingin. Pikiranku mendadak dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Kenapa bisa Rindu berada di tangan mereka? Jelas sekali tadi aku mengantarnya dengan aman.Kapan para manusia sialan itu beraksi?“Ragata, apa yang dia maksud? Rindu dimana?”Andreas ikut bertanya. Situasi di dalam mobil lengang. Otakku tidak bisa bekerja dengan baik. Kini aku berpaling, menatap semua yang ada di dalam mobil. Tidak ada yang menunjukkan sosok yang akan menghianatiku di saat seperti ini. Tatapan semua orang tidak menunjukkan tanda-tanda itu. Tidak…selain sesuatu yang terpasang di kursi
Rindu POVAku terbangun dengan kepala pusing. Semalam…aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi seseorang mengirimiku pesan, aku pikir itu adalah abang gojek yang mengantar pesananku—lapar di tengah malam. Namun begitu tiba di bawah, lelaki itu menarikku ke dalam sebuah mobil. Bahkan tidak sempat aku berteriak.Ruangannya asing—jelas. Karena yang aku lihat saat ini adalah ruangan putih dengan banyak alat yang tidak aku ketahui fungsinya. Pakaianku putih, tidak seperti semalam. Kedua tanganku di ikat di masing-masing sisi ranjang, begitu juga kakiku.“Sudah bangun?” suara seseorang dari sebelahku. Dia? Tunggu dulu, aku rasa lelaki itu tidak asing. “Benar…aku adalah Erick. Kau pasti mengenalku, mengingat kau adalah titik lemah Ragata. Well…singkat saja.”Dia bangkit dari kursinya. Aku memperhatikan berbagai jenis alat suntik yang ada di atas meja. Sepertinya aku baru sadar, bahwa kepalaku dipasang beberapa sensor.“Apa yang kau inginkan?”Bukannya menjawab, dia malah tersenyum. Berjalan ke
Ragata POVBrugh—penjaga terakhir tumbang. Anak buah Christian sudah masuk lebih dulu ke dalam bangunan. Sesuai dengan planning kami, Christian masuk lebih dulu. Jika aku bertemu dengan si berengsek itu, tidak akan aku maafkan dirinya. Sejak tadi jantungku berdebar kencang, dan satu-satunya nama yang aku pikirkan adalah Rindu.Aku takut, bahwa ucapan Hans benar adanya. Erick lebih gila daripada ayahnya.Flashback“Hans, apa yang direncanakan oleh Erick?”“Dokter Ragata, saya…saya benar-benar minta maaf. Tapi demi apapun, saya menyesal di detik operasi saat itu.”Begitu sadar, Hans tidak berhenti mengucapkan kata maaf. Aku sedikit kasihan, seluruh tubuhnya benar-benar hancur. Dari hasil pindai CT, bagian tulang belakangnya patah. Tidak berbeda jauh dengan kakinya. Namun yang paling mengerikan, sistem respon sarafnya mulai berkurang sejak 2 jam lalu.Jelas itu bukan kabar baik.“Sudah selesai mengintrogasinya, Raga? Kau harus baca ini, ada sesuatu yang lebih penting dan mendesak untuk
Rindu POVAku terbangun saat merasakan dingin di seluruh tubuhku. Hal pertama yang aku lihat adalah ruangan putih. Tidak ada perbedaan, aku masih di ruangan penuh dengan manusia-manusia aneh itu. Bedanya, aku tidak terbaring. Tapi berdiri, dengan penyangga di masing-masing sudut tanganku. Rasanya sangat lemas. Seluruh tubuhku terasa sakit.Bahkan aku tidak bisa mengendalikan pergeranganku. “Dia luar biasa, Erick. Cairan yang kita gunakan bahkan sudah tingkat tinggi, dan dia masih bisa sadar. Otaknya tidak terganggu, hanya saja sistem sarafnya masih membutuhkan waktu untuk merespon dengan baik. Tidak kau lihat, betapa berharganya dia?”Itu suara prof. Dia sedang berbicara dengan Erick di balik layar kaca yang menjadi pembatas. Kabel sensor masih melekat di kepalaku. Beberapa kali gelombang magnet itu membuatku bergetar hebat. Kepalaku terasa di setrum dan itu terjadi berulang kali. Tes.Aku menatap darah yang luruh ke lantai. Kepalaku sangat pusing, dan penglihatanku mulai kabur. Bi
Ragata POV“Rindu!”Aku menahan nafas. Berjuang untuk bangkit di saat seluruh energiku sudah melemah. Peluru menembus bahuku, darah bercucuran keluar. Suara ribut dari luar terdengar. Entah apa yang akan terjadi setelahnya, tapi aku butuh menyelamatkan Rindu.“Hey…”Dia tersenyum dengan lemah. Ya Tuhan, kenapa aku harus melibatkannya dalam masalah ini? Sekuat apapun aku membantunya berdiri, itu tidak kunjung berhasil. Aku jatuh karena pukulan dari belakang. Ku lihat air mata Rindu sudah membasahi wajah cantiknya.BrughSatu pukulan dari Erick berhasil lolos, membuatku terjatuh ke samping. Jelas dia akan menang telak daripada aku. Energiku sudah terkuras habis. Belum lagi dengan darah yang tidak berhenti keluar dari bahuku. Dia menarik kerah bajuku.“Kau pikir dengan cara ini kau bisa membawanya pergi?” tatapan mata Erick menunjukkan sedalam apa dendamnya. Aku terkekeh—menyulut emosinya. “Lalu, kau pikir aku tidak bisa?”See? Dia semakin marah. Tangannya melayang, hendak memberiku pu
Ragata POVTidak pernah aku membayangkan, bahwa dalam satu tindakan, tujuan hidupku akan berbeda. Dulu, semuanya terasa tenang, seperti air mengalir. Laksana aku berjalan di atas aspal yang sudah ditempa oleh ayah, tanpa tahu darimana bebatuannya di ambil.Bahkan tidak ada pemikiran bahwa aku menjadi seorang tokoh utama dalam kehidupan seseorang. Namun, melihat Rindu, gadis yang mampu memberikan kehidupan dan pengalaman baru. Aku jadi sadar, bahwa hidupku juga berarti bagi orang lain.“Ragata, gue rasa lo butuh ngeliat sesuatu deh.”Itu suara Angga. Dia berjalan ke arahku, dengan tablet yang berisi dokumen yang aku perintahkan padanya. Kami sedang berkutat dengan layar masing-masing sejak tadi. Sibuk dengan urusan masing-masing. “Semuanya udah gue telusuri, dan ini daftar pegawai kita yang ternyata menjadi suruhan Erick. Oh ya, Sulis juga mengkonfirmasi hal ini. Untuk sementara kita akan memanfaatkan dia. Sampai nanti tidak ada lagi informasi yang kita butuhkan, barulah…disana kita
Rindu POVSetelah tahu mama sudah tiba di hotel yang jelas dipesankan oleh Ragata, aku segera meluncur ke sana malam harinya. Melepas perasaan rindu yang sejak beberapa tahun ini aku tahankan. Aku tahu mama pasti akan banyak pertanyaan nantinya, termasuk fasilitas yang didapatkan. Besok ada hari wisudaku, hari yang aku nanti-nantikan. “Kau kelihatan senang sekali.”Ah iya. Aku bahkan lupa jika Ragata yang menemaniku saat ini. Dia mengenakan sweater setelah sejak tadi aku adu argumen dengannya. Bisa-bisanya dia ingin mengenakan jas? Yang benar saja, Ragata bukan ingin bertemu orang penting. Hanya mama dan mbak saja.“Terima kasih.”Dia menoleh. Lalu kembali fokus menyetir. Bahkan melihatnya dari samping saja bisa membuatku berdebar. Aku beruntung bisa sedekat ini dengannya. Yeah, meskipun aku takut mama tidak akan setuju mengingat perbedaan umur kami saat ini. Ragata sudah hampir menginjak kepala tiga. Sedangkan aku? Hanya gadis yang beranjak dewasa. Masih bau kencur. Belum tahu garam
Sudah pukul tujuh lewat 15 menit. Rindu dibalut dengan kebaya berwarna biru muda terlihat menawan. Pantulannya sempurna terlihat di cermin. Mbak Ati tersenyum, mereka mengenakan pakaian yang sama. Dia berjalan mendekat, membenarkan anak rambut sang adik.“Kamu cantik banget.”pujinya tulus. “Oh ya, jangan lupa masukin toga kamu ke ransel, nanti ketinggalan, kan agak lain ceritanya.”“Oh iya, hampir saja kelupaan. Mama di mana, dari tadi perasaan lama banget dandanya.”Ati hanya terkekeh. “Itu, sudah selesai. Oh iya, kita dijemput pacar kamu?”Rindu mengangguk. Tersenyum malu-malu. Tidak lama Maudy—mama mereka—muncul dengan balutan kebaya yang sama. Sangat indah, dan anggun. Kecantikan luar biasa terpancar dari dalam. Tidak kenal usia.“Putri mama cantik banget.”“Mama juga cantik.”puji Rindu. Memeluk sang mama dengan wajah bahagia. Semalam setelah menghabiskan malam bersama, Rindu memilih untuk menetap. Sedangkan Ragata pulang.“Oh iya, nak. Mama mau nanya satu hal sama kamu.” Maudy me
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma