Ragata sedang sibuk dengan ponselnya. Sesekali menggulir layar ponsel, menatap tiket pesawat yang bisa dia pesan dalam waktu cepat.Dia sudah mempertimbangkan semuanya. Segala kemungkinan dan resiko yang nanti dia tempuh. Syarat dari mama Rindu sederhana, tapi rumit. Sejenak Ragata berhenti memainkan ponselnya, dan bergantian dengan rebahan. Badannya terasa sakit akhir-akhir ini. Semua pembicaraannya dengan Ny Maudy kembali terputar di ingatannya.“Jadi…kamu memang serius dengan putriku, nak Ragata?”“Jika Anda memberi restu, saya berniat melamar Rindu di hari wisudanya, bu.”Maudy tersenyum. Dia tidak expect bahwa Rindu yang akan sold lebih dulu daripada sulungnya–Ati. Tapi selama semuanya berjalan dengan baik, dia tidak akan mempermasalahkannya. Mau siapa yang dulu menikah. Asal bahagia saja syaratnya.Tapi, Maudy sadar Rindu tidak akan sepenuhnya menjadi diri sendiri karena masa lalu. Maudy selalu merasa bersalah. Andai saja dulu dia mendengar kata hatinya, maka mungkin semuanya ak
Setelah mama dan mbak Ati pulang dan setelah Rindu bekerja di rumah sakit kurang lebih 1 minggu. Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari apartemen. Miquel merekomendasikan satu unit apartemen dekat tempatnya. Harganya murah sekali. Tapi karena kata Miquel itu karena harga diskon khusus, jadilah Rindu setuju. Dia mau pindah dari kosan lama, karena jaraknya cukup jauh jika harus pulang pergi ke rumah sakit. Dan tindakannya ini, tanpa sepengetahuan Ragata. Bukannya bermaksud menyembunyikannya, tapi Rindu tidak mau terkesan apa-apa minta Ragata. Benar lelaki itu pacarnya, tapi karena dia itu independen alpha women, jadi harus terbiasa sendiri. Kali ini pun, proses pindahannya di bantu dengan Pandu dan Miquel. Meskipun Pandu hanya sebatas menatapnya saja. Tidak berniat membantu sama-sekali. Teman laknat emang. “Udah belom? Lama banget sih, mindahin itu aja kayak nenek-nenek.”Rindu berhenti memasukkan kotak karton itu ke dalam mobil saat Pandu misuh-misuh dari teras kosannya. Look.
“Dok, tolong selamatkan ayah saya, Dokter. Saya mohon, berapapun biayanya akan saya tanggung.”Ragata mengangguk. Dia baru saja turun ke lobby dan membantu perawat membawa lelaki yang dia tebak berusia 60 tahunan. Seorang lelaki belia yang sepertinya berusia 20 tahun menangis sejak tadi. Seolah berat hati melihat sang ayah di bawa pergi.“Sepertinya dia harus segera dioperasi, Dokter Ragata. Saya sudah memeriksa keadaannya tadi, dan itu tidak baik. Beliau sudah punya catatan penyakit kanker, dan itu…stadium akhir.”“Ayah…kanker?” Ezha membeku di tempatnya. Dia kelihatan syok dengan berita itu. Selama ini Ezha tahu ayahnya sakit, tapi tidak pernah ada kata-kata itu keluar dari bibir sang ayah. “Ma…ayah kanker?”Wanita berusia 50 tahunan itu mengangguk lemah. “Dok…saya akan mengurus semua berkas yang diperlukan untuk operasi. Apakah bisa hari ini suami saya di operasi? Saya mohon, selamatkan dia.”Ragata menarik nafas dalam sambil membaca catatan medis lelaki itu. Dan untuk beberapa sa
Rindu POVTidak. Ini tidak benar. Tanganku bergetar, nafasku lebih hangat dari biasanya. Mataku masih berkaca-kaca. Aku terlihat kacau dari pantulan cermin di kamar mandi. Ini sungguh berat, kenapa, kenapa harus sekarang?“Hey.”Suara Ragata dari ambang pintu mengalihkan perhatianku. Dia tersenyum. Tulus sekali. Aku berhambur ke dalam pelukannya. Operasi ayah sudah selesai dengan segala ketegangan selama 8 jam. Dan aku bahkan tidak berpindah dari kursi tunggu. Tidak semenitpun. Bahkan membatalkan janjiku dengan Pandu dan Miquel.Selama itu aku duduk dengan Ezha dan wanita itu. Perasaanku hancur. Sungguh.“Om akan baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir. Ya meskipun beberapa kali aku tidak yakin saat di ruang operasi. Tapi satu hal, ini adalah mukjizat, sayang.”Tangan Ragata mengelus punggungku dengan lembut. Dia sangat sabar membujukku untuk memberikan restu pada operasi ayah. Dan dia berhasil. Ragata berhasil meluluhkan tembok kebencian yang selama ini terbentuk.“Dan satu hal,” d
Rindu POVSekarang aku berdiri di ambang pintu. Di depan ruangan ayah di rawat. Usai aku memaafkan wanita itu dan Ezha, perasaanku jauh lebih plong. Seolah bebanku mendadak di angkat. Dan kini, tinggal hal ini. Aku kembali menarik nafas dalam. Hatiku masih belum sepenuhnya siap.Tanganku hendak membuka pintu itu. Namun urung. Aku kembali berperang dengan hatiku. Dan aku memutuskan untuk berbalik. Tapi sosok yang berdiri di belakangku mengurungkan niatku.Ragata? Sejak kapan dia ada di sini?Tapi sebelum aku mengeluarkan satu kata pun, dia mengambil tanganku. Mengelusnya. Tersenyum dan menganggukkan kepala.“Ini kesempatanmu, sayang. Jangan menunda lagi.”“Tapi….”“Kamu saja bisa memaafkan mereka, dan kali ini, kamu pasti jauh lebih kuat. Aku akan menunggumu di depan pintu, masuklah.”Dia mengelus puncak kepalaku. Genggaman tangannya mengerat, dan itu memberikan kekuatan untukku. Aku kembali berbalik, dan membuka ruangan itu. Sosok di dalam ruangan itu menatapku. Air matanya sudah luru
“Rin, lo mau apa?”“Oh, gue mau ice americano.”Pandu mengangguk paham. “Mbak, saya pesan ice americano yang dingin ya.”Baru saja Miquel dan Rindu hendak berlalu. Tapi mendengar ucapan Pandu, keduanya otomatis berbalik lagi. Menatap barista dengan kikuk.“Maaf mas, maksud teman saya itu ice americano. Maklum ya, kadang kadar nutrisi di otaknya itu melebihi batas. Jadi agak gini emang modelannya,”ujar Rindu.“Maksud lo apaan sih? Kan ice americano itu dingin.”Pandu nyeletuk.“Ice americano sudah melambangkan dingin. Lo gak usah bilang kata dingin lagi,”jelas Miquel dan lekas mengikuti Rindu yang sudah pergi lebih dulu.Pandu terkekeh. Benar juga. Dia menatap kembali barista di depannya. “Ice americano yang dingin, 3 ya mbak.”Rindu dan Miquel menghela nafas. Sudah di bilangin tapi bebal. Ya sudahlah lah ya, Pandu itu memang seperti itu. Di kantin, ketiganya terbaring lemas karena begadang ikut operasi.“Rin, lo tau gak?”“Apa, Ndu? Nanya mulu deh dari tadi. Kayak lo gak capek apa?”“
Sejak Rindu di lamar di perayaan ulang tahun Ragata, semuanya berubah drastis. Dia pikir itu hanya lamaran biasa. Tapi keesokan harinya, Rindu dikejutkan dengan Ragata yang membicarakan pernikahan. Dan hampir menyentuh 3 minggu, Rindu berkecamuk dengan segala tetek bengek mengenai persiapan pernikahan.Disamping itu, Rindu juga heran, Ragata sangat antusias dengan pernikahan mereka. Tepat 2 jam lagi, acara akan dimulai. Hari ini, dia akan sah menjadi pemilik nama belakang Wijaya. Ini benar-benar di luar prediksi BMKG. Begitu kata Pandu saat menerima surat undangan.Sekarang Rindu berada di dalam ruangan. Dengan gaun putih yang sekarang dia kenakan. Pantulannya di cermin seolah tidak nyata. Rindu merasa jauh lebih cantik hari ini. Rindu tidak direpotkan sama-sekali. Dari mulai venue, dress, bahkan konsep pernikahan mereka. Di handle semua oleh Ragata. Tapi justru itu yang membuat Rindu gugup. Dia tidak siap memulai kehidupan yang baru.Baru saja dia lulus wisuda, sekarang masih dokter
Ragata tidak menyentuhnya.Well. Setidaknya itu membuat jantung Rindu masih aman. Dia menatap hamparan kota Singapura yang indah. Benar. Alasan Ragata tidak menyentuhnya, karena setelah pernikahan selesai, subuh-subuh mereka bergegas menuju bandara.Dan pagi ini, Rindu terbangun dengan pemandangan memanjakan mata dari atas hotel Marina Bay Sands. Rasanya mereka sedang berada di atas awan, karena ketinggian hotel yang tidak main-main. Jika berkunjung ke Singapura, tempat itu adalah salah satu destinasi yang dijadikan destinasi. Terlebih saat malam hari, maka pemandangannya terasa di dunia fantasi. Mereka baru beristirahat sekitar 3 jam. Rindu terbangun tadi karena kebelet pipis. Di pelan-pelan melepas rangkulan suaminya. Ini kejutan lain dalam hidupnya. Rindu bahkan tidak tahu Ragata diam-diam menyiapkan paspor, visa dan juga tiketnya dalam kurun waktu 3 minggu saja. Bahkan di atas ranjang mereka saat tiba subuh tadi, ada sepasang buket bunga besar, dan foto dirinya yang entah sejak
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma