Hari ini ada rapat besar di rumah sakit. Semua dokter spesialis, beserta petinggi dari masing-masing departemen ikut hadir. Salah satunya adalah Ragata dan kawan-kawan. Jika biasanya mereka hanya bertiga, kali ini ada tambahan satu personil. Sulis. Gadis itu langsung sok akrab dengan Angga, dan juga Andreas.Sedangkan Ragata hanya memasang wajah flat. Seperti biasanya.“Wah, jadi kamu dekat juga dengan mereka, dokter Sulis?” dokter Juliana yang baru saja masuk lekas bergabung di tempat yang kosong.Dia duduk sejajar dengan Sulis, dan juga Ragata.“Iya dok, kebetulan dulu saya dan dokter Ragata itu satu angkatan. Jadi cukup kenal lama.”“Benarkah? Aku baru tahu jika dokter Ragata bisa punya teman secantik anda. Kalian juga serasi, kenapa tidak mencoba menjalin hubungan saja?”Sulis merona. Sedangkan Ragata sama-sekali tidak menanggapi. Hanya diam dan menatap lurus ke depan.“Yah, kok sama Ragata sih dok? Sama saya saja nih, kebetulan saya masih melajang.” Justin langsung bergabung. Meng
Malamnya Rindu sudah berada di rumah Ragata. Menghabiskan waktu bersama, dan itu rasanya sangat menyenangkan. Apalagi Lia yang begitu menyukai Rindu. Dia juga sudah diperingati oleh Ragata soal Sulis. “Kak, kalo misal aku ambil matkul radiologi di semester ini, menurut kakak gimana sih?”Rindu mengalihkan pandangannya dari cheese cake yang baru saja dihidangkan di atas meja makan. Dia tersenyum, paham betul bahwa Lia juga sama sepertinya.“Saran aku, kalo emang kamu mau cepet lulus, ya ambil aja. Tapi kalo kamu sambil ikut organisasi, ambil di semester depan aja. Jangan terpengaruh sama temen kamu, intinya sekarang bagaimana kamu enjoy dalam belajar.”“Benarkah? Jadi kalo misal Lia gak ngambil, gak masalah kan kak?”Anggukan Rindu membuat Lia senyum. Dia senang banyak bicara dengan Rindu, apalagi soal dunia perkuliahan. Dia sangat mengagumi Rindu, tidak hanya dia sih, tapi Lia adalah salah satunya. Bahkan dosen saja memuji seorang Rindu Senja. Jadi itulah kenapa gadis itu sangat ter
Rindu tidak bisa menahan rasa bahagianya saat Ragata memberinya kesempatan untuk ikut operasi kraniotomi atau istilah lainnya adalah bedah otak. Ini adalah kesempatan baginya untuk belajar. Semalam penuh dia sudah belajar, agar setidaknya tidak terlalu kaku saat di ruang operasi.Dan saat ini Rindu sudah berdiri di belakang meja operasi bersama dengan beberapa dokter residen tahun ke-2.“Hey nak, kau dokter KOAS?”“Iya dok, nama saya Rindu.”“Kau beruntung bisa ikut operasi ini, dulu aku harus KOAS di tahun kedua baru bisa ikut secara langsung.”“Hey…kau dan dia itu sudah berbeda.” Suara Sulis mendadak muncul. Rindu sedikit was-was. Dia sudah diperingatkan Ragata untuk berhati-hati dalam menghadapi Sulis.“Wah, anda juga ikut operasi ini dokter Sulis? Saya tidak melihat nama ada ada di daftar tadi.” Suara dokter residen tadi langsung berubah. Tidak secuek tadi. Rindu menaikkan bahu tidak peduli, lagian dia tidak membuat masalah dengan mereka.“Ya, kan kalau punya kenalan pasti diizink
Lagi-lagi hujan. Dan Rindu terjebak di dalam toserba depan rumah sakit bersama Miquel. Keduanya duduk sambil menikmati sebungkus onigiri rasa tuna mayo, ditemani sekotak susu coklat. Hujannya sangat deras, dan jalanan yang tadi sangat ramai kini sudah sepi. Hanya mobil yang masih lalu lalang.Mereka berdua juga tidak membawa payung.Diam-diam Miquel tersenyum. Dia justru senang bisa terjebak berdua dengan Rindu. Mereka semua sudah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Jarak berkumpul, atau sekedar keluar di malam hari seperti dulu.“Miq, lo kenapa?”Wajah Miquel langsung berubah datar.“Gak papa. Gue cuman ngerasa kalo kita bertiga udah makin sibuk dengan urusan masing-masing. Ternyata benar, semakin dewasa, semakin tidak punya banyak waktu.”Rindu diam. Memperhatikan Miquel yang fokus menatap ke arah depan. Sifat Miquel tidak berbeda jauh dengan Ragata. Ada sifat lembut yang disembunyikan di balik wajah datar dan tidak berekspresi itu. Dan apa yang barusan Miquel ucapkan, membuat
“Apa dia gak mau jawab?”Lelaki dengan jaket kulit itu menggeleng. Namanya Ale, seorang polisi berusia 30 tahun. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari Ragata. Kulitnya sawo matang. Dia keturunan Arab. Mengenal baik Ragata yang kini ada di hadapannya.“CCTVnya udah gue amanin juga. Dan memang motifnya dia sengaja mau nabrak gadis ini”Tangan Ragata terkepal. Pantas saja Rindu segugup itu, karena memang kejadiannya sangat dadakan. Bahkan jika Miquel tidak berbalik dan mendorong Rindu, bisa saja kekasihnya itu sudah cedera parah.“Pelakunya adalah lelaki berusia 40-an. Tubuhnya gemuk, dan berperilaku aneh. Dari catatan kepolisian, lelaki tadi sudah pernah dipenjarakan 2 kali karena kasus pemerkosaan dan tabrak lagi. Dari pengamatan kami, dia adalah pesuruh orang. Aku tidak tahu kenapa manusia seperti ini masih di keluarkan dari penjara. Seharusnya dia dikurung saja di kandang harimau sampai mati.” Ale ikut geram saat membaca berkas di hadapannya.“Jika begitu, jadi besar kemungkinan orang y
“Silahkan, letakkan di sini saja. Apa semua barangnya sudah masuk?”“Sudah dok. Ini nota barang yang masuk hari ini.”Sulis menerima selembaran kertas kuning itu, lalu mengangguk. Semua barang sudah masuk, dan begitu juga dengan obatnya.“Dok…apa obatnya sudah masuk?” seseorang berbisik pelan. Takut bahwa perkataan mereka akan didengar oleh orang lain.“Sudah. Pastikan obat itu digunakan untuk operasi Ragata. Dia harus diberi pelajaran. Terlebih dia akan mengoperasi sosok yang penting.”“Siapa? Sepertinya kau tahu banyak hal juga.”“Cukup lakukan perintahku saja, dokter Hans.”Hans mengangguk. “Tapi…apa kau yakin kita tidak akan ketahuan?”“Dokter Hans, cukup lakukan perintahku. Lagian bukan kita yang akan dicurigai jika operasi itu gagal.” Sulis menatap Hans. “Apa kau tidak senang mendapatkan mobil baru itu? Oh iya, aku juga lupa jika kau sudah pindah ke apartemen baru bukan?”Helaan nafas Ragata terdengar jelas. Penawaran yang diberikan oleh Sulis memang di luar ekspektasinya. Mobil
Hari yang Ragata cemaskan pun tiba. 4 jam dari sekarang dia akan melakukan operasi. Perasaannya berdebar, dan tidak siap. Satu-satunya hal yang Ragata takutkan adalah, mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya.“Hey…kamu kelihatan cemas. Ada apa?” Rindu duduk, meletakkan secangkir kopi. Dia tidak sengaja melihat Ragata sedang melamun di pantry. Karena kebetulan dia baru selesai dari LAB, Rindu memutuskan untuk mampir sejenak.“Aku takut.”“Takut? Karena operasi 4 jam lagi?”Ragata menghela nafas, dan menatap wajah Rindu dalam diam. Menikmati pemandangan indah yang memberinya ketenangan.Kening Rindu saling bertautan. Kenapa harus takut dengan mengoperasi? Padahal Ragata itu adalah pentolan di rumah sakit. Mustahil jika seorang Ragata takut dalam keadaan seperti ini.“Apa takut karena….”“Bukan. Ada satu rahasia besar yang mungkin nanti akan aku ceritakan padamu. Sekarang duduk saja di sini, itu membuatku jauh lebih baik.”Rindu patuh. Dia menatap lurus ke luar jendela. Kursi di seb
Christian tidak berhenti menangis. Sejak sang ayah dinyatakan meninggal semalam. Sekarang dia mengepalkan tangannya, dan menatap sosok Ragata yang ada di depannya. Lelaki itu sudah sadar, dan langsung menemuinya.“Kau bilang akan menyelamatkan ayahku.”“Maaf.”Nafas Christian mulai tidak stabil. Dia membuang muka berusaha untuk mengalahkan rasa marah di dalam hatinya.“Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ayah bisa seperti itu, sebelum operasi kau jelas bilang bahwa keadaan ayah baik-baik saja. Apa maksudmu berengsek, kau….”Christ menarik kerah baju Ragata yang hanya diam saja. Dia menerima kemarahan dari sepupunya. Itu wajar. Sebab Ragata juga merasa ada yang janggal.“Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi…sepertinya Tuhan lebih menyayangi paman, Christ.”Tangan Christian turun. Dia jatuh terduduk mengepalkan kedua tangannya keras. Mereka berdua sedang berada di atap rumah sakit. Sebentar lagi acara pemakaman ayahnya akan dimulai, dan Chris tidak rela. Dia tidak mau memakamkan
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma