“Apa dia gak mau jawab?”Lelaki dengan jaket kulit itu menggeleng. Namanya Ale, seorang polisi berusia 30 tahun. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari Ragata. Kulitnya sawo matang. Dia keturunan Arab. Mengenal baik Ragata yang kini ada di hadapannya.“CCTVnya udah gue amanin juga. Dan memang motifnya dia sengaja mau nabrak gadis ini”Tangan Ragata terkepal. Pantas saja Rindu segugup itu, karena memang kejadiannya sangat dadakan. Bahkan jika Miquel tidak berbalik dan mendorong Rindu, bisa saja kekasihnya itu sudah cedera parah.“Pelakunya adalah lelaki berusia 40-an. Tubuhnya gemuk, dan berperilaku aneh. Dari catatan kepolisian, lelaki tadi sudah pernah dipenjarakan 2 kali karena kasus pemerkosaan dan tabrak lagi. Dari pengamatan kami, dia adalah pesuruh orang. Aku tidak tahu kenapa manusia seperti ini masih di keluarkan dari penjara. Seharusnya dia dikurung saja di kandang harimau sampai mati.” Ale ikut geram saat membaca berkas di hadapannya.“Jika begitu, jadi besar kemungkinan orang y
“Silahkan, letakkan di sini saja. Apa semua barangnya sudah masuk?”“Sudah dok. Ini nota barang yang masuk hari ini.”Sulis menerima selembaran kertas kuning itu, lalu mengangguk. Semua barang sudah masuk, dan begitu juga dengan obatnya.“Dok…apa obatnya sudah masuk?” seseorang berbisik pelan. Takut bahwa perkataan mereka akan didengar oleh orang lain.“Sudah. Pastikan obat itu digunakan untuk operasi Ragata. Dia harus diberi pelajaran. Terlebih dia akan mengoperasi sosok yang penting.”“Siapa? Sepertinya kau tahu banyak hal juga.”“Cukup lakukan perintahku saja, dokter Hans.”Hans mengangguk. “Tapi…apa kau yakin kita tidak akan ketahuan?”“Dokter Hans, cukup lakukan perintahku. Lagian bukan kita yang akan dicurigai jika operasi itu gagal.” Sulis menatap Hans. “Apa kau tidak senang mendapatkan mobil baru itu? Oh iya, aku juga lupa jika kau sudah pindah ke apartemen baru bukan?”Helaan nafas Ragata terdengar jelas. Penawaran yang diberikan oleh Sulis memang di luar ekspektasinya. Mobil
Hari yang Ragata cemaskan pun tiba. 4 jam dari sekarang dia akan melakukan operasi. Perasaannya berdebar, dan tidak siap. Satu-satunya hal yang Ragata takutkan adalah, mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya.“Hey…kamu kelihatan cemas. Ada apa?” Rindu duduk, meletakkan secangkir kopi. Dia tidak sengaja melihat Ragata sedang melamun di pantry. Karena kebetulan dia baru selesai dari LAB, Rindu memutuskan untuk mampir sejenak.“Aku takut.”“Takut? Karena operasi 4 jam lagi?”Ragata menghela nafas, dan menatap wajah Rindu dalam diam. Menikmati pemandangan indah yang memberinya ketenangan.Kening Rindu saling bertautan. Kenapa harus takut dengan mengoperasi? Padahal Ragata itu adalah pentolan di rumah sakit. Mustahil jika seorang Ragata takut dalam keadaan seperti ini.“Apa takut karena….”“Bukan. Ada satu rahasia besar yang mungkin nanti akan aku ceritakan padamu. Sekarang duduk saja di sini, itu membuatku jauh lebih baik.”Rindu patuh. Dia menatap lurus ke luar jendela. Kursi di seb
Christian tidak berhenti menangis. Sejak sang ayah dinyatakan meninggal semalam. Sekarang dia mengepalkan tangannya, dan menatap sosok Ragata yang ada di depannya. Lelaki itu sudah sadar, dan langsung menemuinya.“Kau bilang akan menyelamatkan ayahku.”“Maaf.”Nafas Christian mulai tidak stabil. Dia membuang muka berusaha untuk mengalahkan rasa marah di dalam hatinya.“Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ayah bisa seperti itu, sebelum operasi kau jelas bilang bahwa keadaan ayah baik-baik saja. Apa maksudmu berengsek, kau….”Christ menarik kerah baju Ragata yang hanya diam saja. Dia menerima kemarahan dari sepupunya. Itu wajar. Sebab Ragata juga merasa ada yang janggal.“Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi…sepertinya Tuhan lebih menyayangi paman, Christ.”Tangan Christian turun. Dia jatuh terduduk mengepalkan kedua tangannya keras. Mereka berdua sedang berada di atap rumah sakit. Sebentar lagi acara pemakaman ayahnya akan dimulai, dan Chris tidak rela. Dia tidak mau memakamkan
Cahaya membuat Hans memejamkan matanya. Dia baru sadar sekitar 10 menit lalu. Dia menatap ke atas, dimana sorot lampu berasal dari sana. Sialnya cahaya itu hanya tertuju padanya, sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas seisi ruangan. Namun ada suara langkah yang mendekat.Sulis berjalan dengan angkuh, menatap Hans yang terlihat mengenaskan dengan lilitan tali yang membuat tubuhnya tidak bisa kabur. Wajah Hans dipenuhi dengan lebab. Menarik kursi, Sulis duduk tepat di hadapan Hans yang terikat. Sorot mata lelaki itu membuatnya bersemangat.“Kau biadap, lepaskan aku berengsek.”Hans berteriak begitu kain yang menyumpal mulutnya di lepaskan. “Kau benar-benar jalang, LEPASKAN AKU.”“Well…kau yang memulai lebih dulu. Kenapa kau tidak mematuhi perintahku di ruangan operasi? Jika kau menurut, maka kau tidak akan berada di sini. Kau tahu?” Sulis menyentuh wajah Hans, lalu mencengkram rahang lelaki itu keras, “aku benci pendusta sepertimu. Padahal saldo di rekeningmu sudah aku isi 3 digit.
Sudah beberapa hari ini Rindu menghilang, bukan hilang, lebih tepatnya menghindar. Ragata berdecak tidak suka melihat pesan singkat yang dibalas oleh Rindu. Bahkan tadi pagi, mereka tidak sengaja berpapasan di LAB Biofarmaka. Baru saja Ragata hendak bertanya, namun gadis itu lebih dulu kabur dan pergi.Ini rasanya seperti dilambungkan tinggi, langsung terjun bebas. Ini namanya PHP alias pemberian harapan palsu. “Ga, sepertinya ada yang aneh di ruangan operasi.”Perhatian Ragata teralihkan dari ponselnya begitu Angga yang sedang sibuk di layar komputernya bicara. Segera Ragata berjalan ke sana, dan menatap lembaran daftar obat yang mereka gunakan ketika operasi. Semuanya kelihatan aman, kecuali satu.Kening Ragata beberapa kali mengerut, dan menatap jenis obat itu. Dia tidak yakin bahwa itu adalah jenis yang biasa mereka gunakan.“Gue rasa ini obat baru. Tapi kok bisa langsung dimasukkan ke ruang operasi?”“Tapi izinnya sudah ada.”Ragata menatap lisensi obat itu dengan helaan nafas. “
Rindu akhirnya menginap lagi. Ragata menolak untuk mengantarnya, dan Tika juga menahannya. Bintang-bintang memenuhi malam hari. Rindu termenung menatap benda-benda itu bergerak cepat, namun sangat pelan jika dilihat dari bumi. Dia baru tersadar akan kehadiran seseorang, saat sebuah mantel bulu dipasangkan padanya.Sosok dengan sweater putih berada tepat di sebelahnya. Ikut menatap ke arah langit.“Kamu sudah lebih baik?”Rindu mengangguk. “Ga…maaf.”“Hmm?”“Beberapa hari ini aku sengaja menghindarimu.”Akhirnya. Ragata menghela nafas. Dia menunggu Rindu membicarakan hal ini juga. Dia menatap Rindu yang berada di sebelahnya.“Kenapa?”“Aku…aku terlalu banyak bergantung padamu. Mulai dari tugas, sampai ujian. Kalo kamu gak bantu, mustahil prof mau ngasih kesempatan buat ujian lagi.”“Lalu?”Helaan nafas Rindu, dan wajah gadis itu membuat Ragata mulai bertanya-tanya. Kenapa Rindu selalu berusaha menjadi gadis yang mandiri. Padahal ada dia, tinggal minta saja akan Ragata kabulkan. Apapun
“Sulis, apakah kau sibuk?”Langkah Sulis berhenti. Menatap Ragata yang baru saja menyapanya lebih dulu, dan menahan tangannya.“Ada apa?”“Ikut aku.”Ragata lebih dulu melangkah menjauh. Meski kesal, Sulis tetap mengikutinya. Mereka berhenti di ruang auditorium. Setelah memastikan semuanya aman, barulah Ragata menutup pintu membuat Sulis sedikit gugup.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sulis mulai kewalahan, dan akhirnya dia mengalihkan pandangannya. Tidak kuat jika harus ditatap sedalam itu.“Ada apa?”Ragata mendekat. Mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Maaf.”“Maksudmu?”“Maaf karena sudah mengabaikanmu setelah tiba di sini.”Wajah Sulis memerah. Tidak mengerti dengan perubahan Ragata yang mendadak. Dia tahu bahwa Ragata itu sedikit licik, jadi Sulis hanya menanggapi dengan senyuman miring. Biar apapun yang terjadi, dia tidak akan goyah dengan mudah atau Erick akan membunuhnya.Dia di sini untuk menjatuhkan rumah sakit ini, dan akan mendapatkan apa yang dia inginkan.
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma