Khusus Dewasa dan setengah tua ya.
Elang Herlambang tidak ingat sudah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk memandangi keadaannya yang sangat memalukan ini. Saat kesadaran benar-benar pulih dan efek obat sudah hilang total, barulah lelaki itu merasa begitu bersalah pada Huri.Elang menutup wajahnya dengan telapak tangan dengan posisi kepala Huri masih berada di dadanya. Tubuh mereka begitu dekat dan intim. Elang hampir saja kehabisan napas, jika mengingat kejadian semalam. Ia terlalu terlena dengan hidangan halalnya yang begitu lezat. Diantara sadar atau setengah sadar, ingatan betapa perjuangannya memerawani istri sendiri. Air mata Huri yang menetes sempat tidak dia hiraukan karena napsu yang sudah di ujung kepala. Sekarang, semua telah terjadi. Mau tidak mau ia harus bertanggung jawab sepenuhnya pada Huri dan juga Kiya.Pergerakan yang dilakukan Elang, membuat Huri membuka matanya perlahan. Mata biru itu mengerjap beberapa kali, lalu menoleh ke kiri untuk melihat suami
“Bang, ada apa?” tegur Huri saat melihat suaminya menggeleng kepala dengan keras di depan nasi yang baru dua suapan masuk ke dalam mulutnya. Bayangan iatri pertama yang tiba-tiba memergokinya di rumah Huri membuat nafsu makannya menhilang.“Eh … ini … sepertinya saya sarapan di rumah saja. Pasti Kiya menunggu saya untuk sarapan,” ujar Elang sambil beranjak dari kursinya. Raut wajah Huri pun berubah sendu, tetapi ia mencoba untuk tetap tersenyum.“Kalau begitu dibawa saja nasinya sekalian untuk Teh Kiya,” ujar Huri seraya ikut berdiri hendak berjalan ke dapur untuk mengambil wadah.“Tidak usah, Ri, nanti Kiya malah curiga. Saya langsung balik saja ya, Ma, Bu. Ayo Ibu, mau ikut pulang gak? Biar sekalian saya antar.” Bu Latifah memandang besannya dengan tidak enak hati. Tampak sekali Elang ketakutan dengan Kiya, sehingga lelaki itu benar-benar tidak mau s
Edisi Malam Jum'atan. “Bang, semua badan Abang pada kenapa? Seperti penyakit kulit? Mengerikan!” Kiya pun bergidik ngeri. Ia berlari keluar kamar begitu saja, meninggalkan suaminya yang tercengang. Elang mengembuskan napas kasar, lalu tergelak di balik bibirnya yang terkatup. Di satu sisi ia bersukur bahwa Kiya tidak memakai kacamatanya sehingga tanda cinta ini dikira penyakit kulit. Untuk sementara ini adlah yang terbaik. Tidak apa dikira penyakit kulit, sehingga ia tidak perlu berbohong lebih banyak pada istri tuanya itu. dengan cepat Elang mengganti baju kausnya dan juga celana panjangnya. Kiya masuk kembali ke dalam kamar sambil membawa plastik hitam. Elang menoleh dan melihatnya dengan aneh. “Bang, baju Abang yang habis dipakai itu masukin sini, saya gak mau sampai terkna penyakit menular dari Abang. Baju dan celananya dibuang saja. Saya tidak mau mencucin
Dua Istri 20Hidangan makan malam kali ini terlihat lebih spesial. Sejak selesai Magrib sampai menjelang Isya, Huri sibuk menyiapkan makan malam untuk suaminya. Ini pertama kalinya Elang melewati malam bersamanya layaknya suami pada umumnya—ikan gurame goreng bumbu, sayur tumis kangkung dengan topping udang kupas, dan juga sayur acar kuning dengan hamparan cabai rawit setan di bagian atasnya. Karena belum pernah menghabiskan malam seperti ini, maka Huri sangat bersemangat membuat sesuatu yang spesial untuk suaminya.Elang turun dari lantai dua dengan wajah segar. Bu Rima mengedipkan sebelah matanya pada Bu Latifah. Kedua wanita paruh baya itu mengulum senyum di balik bibirnya dengan hati yang terasa sangat senang. Piyama yang dikenakan Elang sama persis dengan yang dipakai Huri. Piyama kapel kalau kata lidah orang tua.“Masak apa, Ri?” tanya Elang sambil menarik kursi makan, la
Telepon berdering, Huri tersentak dari tidurnya. Leher bekangnyan terasa begitu kaku. Ia baru menyadari jika semalamam ia tertidur di meja gambarnya. Udara Lembang yang begitu dingin membuat matanya selalu ingin terpejam. Jarum jam tepat berada di angka lima. Huri segera beranjak dari kursi dan berjalan setengah terhuyung menuju kamar mandi. Dengan jari telunjuknya ia merasa dinginnya air bak. Seluruh aliran darahnya bagai tersengat listrik saat merasai begitu dinginnya air. Tidak, ia tidak akan pernah mau mandi Subuh sejak sampai di Lembang.Siang hari adalah jadwalnya mandi dan itu pun hanya satu kali dalam sehari. Ia cuti dari kampus, sehingga bisa sejenak santai dari rutinitasnya. Sambil menenangkan hati setelah memutuskan untuk berpisah dari Elang.“Mama harus ke Jakarta, ada orang yang mau membeli rumah kita,” ujar Bu Rima membuka percakapan saat mereka tengah menikmati sarapan bubur kecang hijau.
Ketika kamu tidak bisa mengontrol dengan baik amarahmu, sebaiknya engkau pergi menjauh. Hal itu yang dilakukan oleh Elang. Ia tidak mungkin terus menjadi tontonan orang banyak saat bertengkar dengan Kiya. Selain rasa malu, ia juga tidak ingin sampai hatinya mendidih mendengarkan cecaran Kiya dalam setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.Ia baru sadar, seorang Huri terlalu baik untuk ia sakiti. Gadis itu mungkin hanya minta sedikit perhatian, tidak lebih. Bahkan jatah menginap tidak ada pun, ia tidak protes, lalu saat ini istrinya itu pergi meninggalkan dirinya. Bukan lagi hanya sekedar merajuk, tetapi juga menceraikannya.Elang melajukan motornya menuju kampus Huri. Lelaki itu tidak tahu harus ke mana lagi untuk mencari keberadaan istrinya. Ia mendesak Bu Latifah mengaku dan mengatakan di mana Huri kini, tetapi ibunya selalu mengatakan bahwa ia tidak tahu.Mungkin sebagian menganggapnya suami yang bodoh, karena benar-ben
Ternyata tidak semudah itu untuk melupakan lelaki bernama Elang Herlambang. Huri mulai kehilangan nafsu makan sejak kemarin. Mulutnya terasa pahit dan lidahnya terasa tebal. Semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya terasa hambar dan membuat perutnya merasa mual.Hari ini yang paling parah. Rasa mual itu tidak mau berhenti, padahal dia sudah membawa mata dan tubuhnya untuk beristirahat. Sore hari Huri terbangun dengan wajah sembab, karena tidur siang yang sangat lama. Kepalanya terasa begitu berat dan menyiksa."Non Huri, masih gak enak badan?" tanya Bik Upah yang menemaninya selama tiga hari ini."Iya, Bik. Saya mau dikerokin ya, Bik. Sepertinya masuk angin," kata Huri sambil menunjuk minyak kayu putih yang ada di meja dengan dagunya.Bik Ipah masuk ke dalam kamar Huri, lalu meraih botol minyak kayu putih dan mengambil uang koin dari dalam saku dasternya. Hur
Elang tiba lebih awal di pengadilan. Setelah mengonfirmasi kehadiran pada petugas, Elang duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Orang berlalu-lalang pun banyak. Bola matanya bergerak ke sana-kemari memperhatikan begitu banyak orang di tempat seperti ini.Ada yang membawa anak kecil, orang tuanya, mungkin temannya, dan juga ada yang membawa bayi. Sungguh kasihan anak sekecil itu sudah merasakan panasnya udara persidangan.Elang masih mencari keberadaan Huri dan ibunya. Sambil mengunyah potongan buah mangga yang ia bawa dari rumah, mata Elang tidak berkedip memantau gerbang masuk pengadilan."Masih pagi sudah makan mangga, Mas, perutnya gak sakit?" tanya seorang ibu yang baru saja duduk di sampingnya."Iya, Bu, saya tidak bisa makan apapun, rasanya eneg. Malah makan mangga seperti ini baru tidak mual," jawab Elang sambil memegang perutnya. Si Ibu tersenyum hangat, lalu berkata, "istrinya sedang hamil y