“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.
Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat melihat Rania menanggung malu.Benar saja. Seluruh pasang mata tak berhenti berdecak heran saat melihat pakaian yang dikenakan Rania.Bagai kawanan lebah yang berdengung nyaring, gerombolan mahasiswa bahkan banyak yang terkikik melecehkan melihat tampilan Rania.Rasanya Rania ingin berlari. Tapi dia juga tidak sanggup untuk masuk ke ruang dosen dengan pakaian seperti itu.Sementara mobil Tama masih diam di tempat, seakan menunggu Rania masuk ke dalam gedung fakultasnya.Rania hanya ingin cepat menghilang. Atau setidaknya bangun dari mimpi. Dipamerkan di depan kolega Tama tidak ada apa-apanya dibanding dipermalukan di depan para mahasiswanya.Reputasi Rania pasti sudah hancur hari ini. Mungkin Pak Viktor akan menelepon dan memecatnya juga.Tanpa diduga, Vinko berlari dari dalam gedung dengan dua buah jaket besar di dua tangannya.Pria muda itu berlari kencang dengan wajah serius, lalu menyambar tubuh Rania. Dia menutupi badan Rania dengan satu jaket, dan jaket lainnya untuk diikatkan di pinggang Rania agar menutupi bagian bawah.“V-Vinko?” Hanya itu reaksi yang bisa keluar dari bibir Rania.Vinko tidak menjawab. Dia hanya bergegas membawa Rania pergi dari lingkup gedung itu, menuju tempat yang agak jauh.Sementara itu, Tama yang terus mengawasi dari dalam mobil tampak sangat terkejut dengan aksi nekad Vinko.“Siapa anak itu?” tanya Tama pada Arif.Arif melirik dari spion depan. “Sepertinya mahasiswa Rania. Kemarin mereka juga sempat bertemu,”“Apa? Jadi Rania sudah mengenalnya?”“Sepertinya begitu, Tuan,”Tama menopang dagu, dengan kaki yang terus bergerak-gerak. Dia tampak cemas, namun di satu sisi juga berpikir keras.“Buntuti mereka,”Vinko terus berjalan cepat, menggandeng tangan Rania mengarah kepada taman tempat mereka bertemu pertama kali.Sesampainya disana, Vinko menuntun Rania untuk duduk. Tak disangka dia mengantongi sebotol minuman kecil, yang dia buka dan sigap diberikan pada Rania.“Minumlah, Bu,” ucap Vinko.Rania menerima botol minuman itu, namun wajahnya masih keheranan. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya.“Bu Rania ingin makin dipermalukan?”“Bukan begitu,” Rania menggeleng cepat. “Tapi bisa saja mereka akan berpikir yang bukan-bukan,”“Berpikir seperti apa?” sahut Vinko. “Seperti … aku berpacaran dengan Bu Rania?”“Vin!” sentak Rania. “Ini tidak lucu,” Dia mengusap sisa air matanya.“Aku juga tidak melucu,” Vinko tenang saja. “Tapi aku hanya menyelamatkan harga diri wanita yang kusukai,” Vinko kelewat jujur. Sangat terbuka hingga membuat bulu kuduk Rania berdiri karena mendengarnya.“Kenapa Ibu berpakaian seperti ini ke kampus?” tambah Vinko. “Kalau aku sih suka aja, tapi aku nggak suka dilihat banyak orang,”“Vinko, kumohon, berhentilah bercanda,” Daya Rania untuk mengomeli mahasiswanya itu melemah. Dia memilih untuk bicara lebih pelan–berharap Vinko bisa mengerti.“Ngomong-ngomong, itu satu jaketnya Bram dan satu lagi jaketnya Aldo,” celetuk Vinko, tidak menanggapi ucapan Rania sebelumnya.“Vin … ““Tadi sebelum berlari ke bawah, aku sudah diatas. Dan sudah sempat memukul kepala Bram dan Aldo yang menatap Bu Rania jelalatan. Memang brengsek mereka berdua,” kelakar Vinko.Rania yang semula diam, perlahan mulai tersenyum. Bahkan dia tertawa pelan, mendengarkan cerita Vinko tentang kelakuan dua temannya itu.“Rif … “ panggil Tama, setelah diam mengamati gerak-gerik Rania dan Vinko di taman. “Apakah Rania sering melakukan ini dibelakangku?”“Melakukan apa, Tuan?”Tama melirik Arif kesal. Harusnya Arif tahu maksud Tama meski tidak dijelaskan. “Apakah aku perlu menjelaskannya?”Arif buru-buru menunduk. “Sepertinya baru kali ini Rania banyak mengobrol dengan mahasiswanya, Tuan,”Tama menggigit bibir dengan tangan terkepal, setelah mendengar penjelasan Arif.“Cari tahu siapa anak itu. Siapa namanya, dimana dia tinggal. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari cara untuk menghabisinya,” perintah Tama. “Malam ini juga,”“Vin, aku terlambat!” seru Rania, tiba-tiba bangkit berdiri. Kepalanya lurus menatap jam di tangan.Vinko menganga. “Ibu masih berani masuk kelas dengan baju mau manggung ini?”Lalu Rania tersadar. Otomatis dia memeluk tubuhnya dan terduduk kaku. “Kamu benar. Aku tidak mungkin masuk kelas dengan baju seperti ini,” timpal Rania.“Bu Rania belum menjawab pertanyaanku,”“Pertanyaan apa?”Vinko mengernyitkan dahi. “Kenapa Ibu memakai baju seperti ini?”Rania terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa suaminya yang menyuruh. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.“Jangan banyak bertanya,” hardik Rania. “Sedikit sopanlah pada orang yang lebih tua, apalagi aku dosenmu,”Vinko mencibir. “Tunggu disini, Bu. Aku akan segera kembali,” Dia berlari. Tak peduli meski Rania berteriak memanggilnya untuk kembali.Rania tidak punya pilihan selain duduk diam di taman itu. Namun pandangan matanya tetap waspada, barangkali ada mobil Tama terparkir di suatu tempat dan mengawasinya.“Bu Rania!” Vinko berteriak,
Vinko terus memberontak. Dia menendang ke segala arah, karena kini tangan dan mulutnya dikunci.Tiga orang pria besar itu berkali-kali mengumpat karena Vinko mengamuk secara membabi-buta. Tak mereka sangka jika pria muda seperti Vinko cukup energik hingga bisa terus melawan meski dibentak dan dipukul terus-menerus.Vinko bisa merasakan, saat mobil van hitam itu mulai memasuki suatu tempat. Mereka berhenti dengan kasar, dan mengeluarkan Vinko pun dengan cara yang kasar.Mereka membanting Vinko begitu saja.“Dimana aku?! Woi, dimana aku!!” teriak Vinko, karena sekarang matanya juga ikut ditutup.Ketiga pria itu saling tatap dan tak mau bertindak gegabah sebelum ketua mereka–yang bertugas mengemudi datang.Meskipun sudah tak sabar ingin menghajar Vinko, namun ketiga pria itu memilih untuk menunggu hingga ketua mereka turun dari mobil.Dan ketua mereka adalah Arif. Dengan gerakan lambat yang dramatis, Arif melempar tiga pasang sarung tangan pada anak buahnya. Seakan berusaha menghilangkan
“Kita harus bebaskan dia. Malam ini juga. Antar dia ke rumah sakit,” perintah Arif. Raut mukanya tampak menegang setelah memeriksa kondisi Vinko yang babak belur.“Tapi Bos, bukankah Tuan … ““Lakukan saja! Kalian hanya pesuruh, aku tidak butuh pendapat kalian,” sambar Arif, kesal karena anak buahnya itu tidak segera bergegas.Melihat kemarahan Arif, mereka bertiga tidak mau ambil resiko. Dua orang segera melepas tali yang melilit tubuh Vinko, dan satunya menyiapkan van hitam untuk membawanya ke rumah sakit.“Bawa ke rumah sakit milik Tuan. Apapun yang terjadi, jangan ada yang buka mulut,”Setelah ketiga anak buahnya–beserta Vinko pergi, Arif mulai memutar otak untuk mengatur strategi. Bagaimana pun, Tama tidak boleh terlibat. Dia harus menyelesaikan masalah Vinko seorang diri, karena bekerja di lapangan adalah tanggung jawabnya.Dan sampailah Vinko di UGD rumah sakit, dengan muka berlumuran darah dan tubuh sakit luar biasa akibat dipukuli.Dia sadar dia telah berada di tempat aman–ru
Tama memeluk erat bahu Rania. Seakan memberi peringatan pada Vinko, bahwa Rania adalah miliknya. Tama tersenyum licik. “Jika aku tahu, kita pasti sudah jadi teman baik, kan?” timpalnya.Vinko balas tersenyum. Rasa nyeri yang menjalar ke seluruh sisi wajahnya itu kini sudah tidak berasa. Tergantikan oleh perasaan marah, karena ternyata kakaknya yang membuat dia babak belur.“Kamu sangat mencintai istrimu, ya?” Vinko seperti sengaja memancing.“Tama, Vinko, kenapa jadi tegang begini?” Nita berusaha mencairkan suasana. Dia merangkul bahu Vinko, dengan senyum kikuk ke arah Tama. “Kamu sudah besar ya, Tama?” selorohnya berusaha membuyarkan ketegangan antara Tama dan Vinko.“Aku sudah dua puluh tahun saat kau menikah dengan Ayah,” sahut Tama culas.Nita salah tingkah. Dengan tawa paksa yang justru makin memperkeruh suasana, dia menarik pelan tangan Vinko untuk menjauhi Tama.Vinko tak bisa mengalihkan pandangannya dari Tama. Pun demikian dengan Tama. Mereka berdua seakan sedang bertikai me
"Laura, hentikan," Suara menggema dari Tuan Hadi, berhasil membungkam mulut Laura. Gadis itu–meski setengah sempoyongan memilih untuk mengalah dan pergi meninggalkan Dewi, ibunya.Hubungan Laura dengan ayah dan ibunya memang selalu tegang. Sebagai keluarga lintah darat yang paling berpengaruh di seluruh penjuru kota, sudah selayaknya jika Tuan Hadi lebih mengharapkan anak laki-laki hadir dalam kehidupannya. Selain bisa dia gunakan sebagai pewaris, anak laki-laki dianggapnya mampu untuk menjaga agar kekuatan internal keluarga Hadi tetap terjaga tanpa campur tangan orang luar.Maka Laura hidup sebagai sebuah beban, yang terus menghantuinya seumur hidup. Dia sadar, dia tidak diinginkan. Apalagi setelah tahu jika Nita, selingkuhan ayahnya juga memiliki seorang anak laki-laki. Namun Laura tidak berdaya. Dia tidak punya cukup nyali untuk memberontak dan pergi meninggalkan keluarga yang terus memberikan segala fasilitas paling mewah yang pernah ada."Lau … " Rani
Rania tak berkutik, ketika Tama menggenggam erat kedua bahunya dan menyuruhnya untuk menyingkir. Arif berdiri di samping Rania, tak bergeming meski Rania bisa merasakan bahwa pria itu juga sama tegang sepertinya."Ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" tanya Tama dengan nada berat, kepada Vinko. Tama sengaja membusungkan dada, demi memberi efek intimidasi pada Vinko.Namun sepertinya dia salah sangka. Vinko dan dirinya berbagi darah yang sama, sehingga bisa saja Vinko memiliki sifat yang sedikit banyak sama saja dengan Tama. Karena lelaki muda itu tampak tak gentar meski terus ditindas."Penjelasan seperti apa yang kamu mau?" tantang Vinko, dengan dagu diangkat.Tama menyunggingkan sebelah senyum. Merasa cukup tertarik dengan keberanian Vinko. Dia pun memasukkan satu tangan ke dalam saku celana, sembari berdehem."Apapun. Tentangmu–" Dia lalu menoleh ke arah Rania. "Dan tentang istriku,"Vinko balas tersenyum. Senyuman licik, dima
Tubuh Rania masih gemetaran, dengan kulit sedingin lantai marmer rumah mewahnya. Tama mulai bangkit berdiri, meraih piyama panjang yang telah dipersiapkan, dengan bola mata ke bawah–menghadap Rania. Segala pergerakan yang dia lakukan, seakan tak berarti karena fokus pikirannya hanya pada Rania yang ketakutan.Bibir Tama terkatup rapat, sedikit melengkung dengan wajah kejam yang selalu dia pasang ketika berhadapan dengan para pengutang kelas kakap. Kelas kakap dalam artian, berani meminjam dana besar namun enggan membayar bunga."Istirahatlah," pinta Tama. "Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan,"Sembari memeluk erat tubuhnya, lamat-lamat Rania mendongakkan kepala. Wajah putusnya tampak sangat jelas, saling berhadapan dengan kekejaman Tama."Kenapa?""Apa?" sahut Tama tak paham."Kenapa kamu menikahiku? Kalau pada akhirnya aku hanya kamu siksa seperti ini?"Tama terus memandang lurus ke bawah, pada Rania yang ma
"Apakah Nona Laura datang hari ini?" tegur Arif, setelah Rania masuk ke dalam mobil."Bagaimana kamu bisa tahu?" Kemudian Arif terdiam, dan memilih segera menyalakan mobilnya. "Tuan Tama memintanya datang untuk menemanimu,""Jangan bohong!" Rania tertawa sarkas. "Laura datang atas perintah ayahnya,""Dia tidak akan datang jika tahu Tuan Tama yang menyuruhnya," sambar Arif cepat.Giliran Rania yang diam. Benar kata Arif. Hubungan Tama dan Laura sudah lama tidak baik, apalagi semenjak Tuan Hadi memberikan seluruh warisan pada Tama. Segalanya menjadi lebih buruk ketika Tama menyarankan sang ayah untuk membawa Laura ke pusat rehabilitasi demi menyembuhkan kecanduannya pada alkohol. Laura berpikir, Tama sengaja ingin menyingkirkannya sejauh mungkin dan menjadi satu-satunya anak dari Tuan Hadi. Maka dari itu, kemunculan Vinko membawa angin segar bagi Laura.Menurut Laura, Vinko bisa menjadi pesaing berat untuk Tama. Membayangkan Tama
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng