“Sudah! hentikan, keluar kamu dari sini!” bentak Jiwa ke Ayuda.Namun, Ayuda tetap tak mau bergerak, hingga pria itu menarik tangannya dan menyeretnya pergi. Sedangkan Wangi, hati wanita itu panas melihat apa yang baru saja diperbuat oleh sang madu.Jiwa membuka pintu kamar Ayuda cepat, dia masuk ke dalam dan hendak memperingatkan istri keduanya itu, tapi Ayuda lebih banyak akal darinya. Secepat kilat gadis itu mengunci pintu lalu mencabutnya. Ia berlari ke arah jendela dan melempar kunci itu dari sana.“Apa yang kamu lakukan?” pekik Jiwa melihat kelakuan Ayuda yang sama sekali tak terduga.“Mengunci diri di kamar berdua denganmu. Membuat Wangi semakin resah di luar sana,” jawab Ayuda dengan santainya.“Kamu benar-benar wanita gila!” Jiwa berucap sambil mendekat ke arah pintu. Ia mencoba menggoyangkan gagang pintu dengan kencang dan menggedor.“Gedor saja sampai ada yang lewat, salah sendiri memberiku kamar di paling ujung.” Ayuda mengedikkan bahu, dia duduk di tepian ranjang sambil l
Wangi bergegas keluar kamar, dia ingin melabrak Ayuda. Selain kesal karena masalah semalam, dia juga ingin mencegah madunya itu mengadakan pesta di rumah sang mertua.Karena kunci kamar Ayuda masih menempel di luar, Wangi pun dengan mudah masuk ke dalam, dia membuat Ayuda yang sedang berdiri di depan cermin kaget dan menoleh.“Tidak tahu sopan santun, kenapa tidak mengetuk pintu? Mengagetkan saja,” kata Ayuda.“Lebih tidak tahu sopan santun siapa? aku atau wanita jalang yang memakai baju wanita lain tanpa izin.”“Jalang yang kamu sebut itu siapa? aku tidak menggoda Jiwa, dia ‘kan juga suamiku.” Ayuda mendekat ke Wangi, melipat tangan ke depan dada lalu tersenyum meremehkan. “Dia itu juga milikku, jangan serakah ingin memilikinya sendiri. Aku berniat mengandung anaknya sesegera mungkin.”Wangi terbungkam, hal yang tidak akan pernah dia menangkan dari Ayuda adalah jika sudah membahas perihal anak. Ia memang belum bisa mengandung saat ini, tidak mau.“Aku tidak ingin membahas hal itu, ad
Hari yang ditunggu Ayuda tiba, dia benar-benar akan berpesta malam itu di rumah sang mertua. Bahkan Linda tak berkutik sama sekali. Ia takut Ayuda akan membongkar perihal kebiasaannya bermain judi.Wangi tak bisa tenang, dia bahkan memilih untuk mengosongkan jawdal kerjanya di pagi hari itu untuk memantau apa yang dilakukan oleh Ayuda. Seperti tak sabaran, wanita itu memburu sang mertua, meminta Linda melakukan sesuatu agar madunya gagal melakukan pesta di rumah.“Ma, kenapa Mama diam saja, dia secara tidak langsung menginjak harga diri keluarga kita,” ujar Wangi. Ia mencoba mempengaruhi Linda yang sedang sibuk membaca majalah di teras balkon lantai dua rumah.“Mama harus bagaimana? Papa mertuamu saja mengizinkan,” jawab Linda tanpa menoleh ke Wangi. “Lagi pula, semua ini salahmu, kenapa kamu tidak mau hamil, dasar! Kamu itu harusnya tidak egois, mementingkan karir. Kamu pikir Mama tidak tahu apa? untung ya Jiwa sangat mencintaimu, apa kamu tidak takut dia nanti jatuh cinta ke Ayuda?”
Aldi memang layak dipuji, pekerjaannya membuat Ayuda tak henti berdecak kagum. Wanita itu berdiri di halaman samping dengan gaun silver belahan tinggi sebatas paha. Ayuda memandangi venue pestanya, di mana beberapa lilin nampak mengapung di tengah kolam renang. Ia juga melihat pelayan catering sudah mulai bersiap melayani tamu-tamu bayarannya, bibir Ayuda tersenyum tipis kala Aldi mengirimkan biodata para tamu bayaran itu via aplikasi berbalas pesan.Tak berselang lama beberapa tamu mulai berdatangan. Mereka jelas sudah diberi arahan oleh Aldi, tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hingga Raga yang ikut berpesta pun terkecoh, menganggap orang-orang itu memang teman Ayuda.Raga tersenyum dengan gelas kristal di tangan. Cairan berwarna merah keunguan yang ada di dalamnya itu, baru dia tenggak setengah. Mata Raga terus mengekori Ayuda, wanita tercantik dan teranggun di pesta itu.Sementara di salah satu sudut rumah sedang diadakan acara, Ramahadi dan Linda memilih berdia
Tak tinggal diam hanya dengan mendengar ucapan Ayuda, tamu bayaran yang sudah sering mondar-mandir di dunia entertain itu mendekati Ayuda. Ia memperkenalkan diri bernama Selly. Ayuda yang merasa bahwa wanita itu sepertinya tahu tujuannya, memilih mengajak berbicara dengan menjauh dari kerumunan. Ayuda tak peduli meski melihat jelas mata Raga terus mengekori.“Bagaimana aku harus memanggil, kakak atau …. “ Selly merasa sungkan karena dia tahu di sana dia dibayar.“Panggil saja Ayuda.”Keduanya lantas berjabat tangan, saling melempar senyum sebelum Selly dengan berani menanyakan tujuannya menyewa tamu bayaran. Mendengar pertanyaan dari wanita itu, Ayuda hanya tersenyum. Ia jelas sengaja agar misi menghancurkan keluarga Ramahadi segera terlaksana, dan Wangi adalah sasaran pertama Ayuda. Selain karena dia begitu membenci wanita itu, sebagai dalang perbuatan keji yang menimpanya, ini juga karena latar belakang pekerjaan Wangi yang seorang figur publik. Menghancurkan atau setidaknya membuat
Jiwa kembali ke kamar, hingga malas mendapati ponsel yang dia tinggalkan di atas ranjang berkedip. Nama Wangi terpampang di sana, pekerjaan istrinya sebagai artis lama kelamaan membuatnya merasa diabaikan.“Ada apa?” tanya Jiwa dengan nada lemah menjawab panggilan Wangi.“Sudah aku bilang awasi dia, apa kamu tahu di group chat para artis dan kru tersebar berita bahwa suamiku menikah lagi, banyak wartawan yang mulai menghubungi untuk mengkonfirmasi,” cerocos Wangi.Jiwa tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa mengusap kening lalu mukanya dengan kasar. Jiwa bingung harus bagaimana, karena dia sama sekali tidak berpikir hal seperti ini akan terjadi.“Sudah buat saja konferensi pers dan sanggah semua itu.”Jiwa memutus panggilan itu sepihak, lantas melempar ponselnya. Ia benar-benar dibuat tak habis pikir. Siapa yang harus disalahkan jika pernikahan poligami ini sampai ke publik, dan hatinya tiba-tiba menyebut nama Wangi.“Aku bisa gila,” gumam Jiwa. Bukannya tidur untuk mengistirahatkan tub
“Jangan bicara sembarangan! jika sampai itu terjadi aku akan tertawa dan membiarkanmu mati tenggelam betulan,”ketus Jiwa.“Tapi, bagaimana jika kamu yang jatuh cinta padaku lebih dulu?” tantang Ayuda.“Aku akan melompat dari rooftop gedung RG Group.”“Bagus, setidaknya Wangi akan menjadi janda dan aku akan tertawa di atas kuburanmu.”Jiwa bergidik ngeri mendengar ucapan Ayuda. Ia menjauhkan badan setelah mengancam istri ke duanya itu. “Dengar dan ingat ini! Aku tidak segan membunuh orang.”Ayuda terbeku, dia membiarkan Jiwa pergi dari kamar setelah membanting pintu. Tangannya mengepal di sisi badan. Dadanya seperti terbakar, dia pun tersenyum sinis, bersiap membuat kekacauan yang lebih parah dari ini.__Wangi diam di dalam mobil van mewah yang membawanya pulang ke rumah pagi-pagi. Semalaman dia sibuk shuting, sedangkan sang manager sibuk menjawab pertanyaan wartawan, juga klien yang menggunakan jasanya sebagai brand ambassador.“Bagaimana hal ini bisa terjadi? siapa Ayudara Affandi,
Saat Linda sampai di dapur, wanita itu melihat Ayuda baru saja melepas celemek dan tersenyum puas. Ayuda ternyata tidak memasak seperti apa yang sedang dia bayangkan, untuk semua keluarga. Menantunya itu hanya membuat sarapan untuk dirinya sendiri.Mendapati sang mertua yang mematung di dekat pintu dapur, Ayuda pun mengerutkan dahi. Bibirnya tak sungkan menyindir Linda. Ia berkata,”Ada angin apa Ibu Suri masuk dapur?”Terang saja Linda kesal, giginya bergemerutuk karena sindiran sang mantu barusan. Ayuda mengangkat piring berisi omelet dengan salad buatannya. Berjalan melenggok dan berhenti tepat di depan Linda.“Kamu pasti sudah melihat berita. Semua ini rencana busukmu ‘kan?” Linda langsung menuduh, tak peduli ada telinga pembantu yang mendengar ucapan itu.“Berita apa? aku bahkan tidak memiliki televisi di kamar, bagaimana bisa aku melihat berita?” jawab Ayuda. Ia lewati Linda menuju meja makan dan wanita itu mengeram sambil meremas udara di depan mukanya.Ayuda meletakkan piring d
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng