“Hei … jangan begitu! Aku ‘kan Papamu,” kata Bowo. Ia menelan saliva, dan mulai curiga mungkinkah seseorang akan berubah secepat ini? baginya sang putri tiri sangat berbeda, seperti bukan Arra.“Syukurlah kamu sehat, beberapa saat yang lalu Tuan Jiwa dan istrinya mencarimu. Kenapa kamu harus kabur kalau bisa hidup enak?” Bowo mencoba mengalihkan perbincangan. Matanya terus fokus ke tangan Aldi, takut pria itu mengeluarkan sebuah senjata api.“Berapa uang yang Papa terima?”Ayuda berhasil membuat Aldi kaget, pria itu menundukkan pandangan untuk menatap ekspresi wajah sang nona. Ia tidak salah dengar ‘kan? Ayuda baru saja memanggil Bowo dengan sebutan ‘papa’.“I … tu.” Bowo tak bisa langsung menjawab, uang ratusan juta yang diberikan oleh Jiwa sudah habis dia pakai untuk membayar hutang dan berjudi. “Banyak, bisa buat beli mobil,” jawab pria itu pada akhirnya.Ayuda pun menyeringai, dia mencondongkan badan ke arah Bowo dan bertanya,”Apa Papa mau uang?”“A-apa? uang? Kamu menawariku uang
Sudah cukup lama Aldi menghentikan mobil di depan gerbang rumah Ramahadi, ini karena permintaan Ayuda sendiri yang tidak ingin diantar sampai masuk ke dalam. Pria itu enggan membangunkan sang atasan, terlihat Ayuda sekarang sedang tidur dengan kepala meneleng ke kiri. Aldi memilih untuk bersandar pada kursi sambil bermain ponsel, hingga beberapa menit kemudian Ayuda bangun dalam kondisi kaget. “Sudah sampai?” tanyanya yang membuat Aldi bergegas mengunci layar benda pipih ditangannya. “Baru saja.” Aldi menoleh ke Ayuda, dia mendapati gadis itu memandang keluar jendela lalu mengedip. “Terima kasih hari ini Al, sampai bertemu besok,” ucap Ayuda dengan suara lengket. Ayuda keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju gerbang rumah. Terdengar suara mobil masuk saat dia baru beberapa langkah menapaki halaman, Ayuda tak peduli dengan siapa yang datang, karena sudah tahu itu pasti salah satu anggota keluarga Ramahadi yang dia benci. Benar saja, Jiwa keluar dari dalam mobil. Pria itu bahkan
“Jangan mimpi!” ketus Jiwa. “Pergi dari kamar ini sebelum aku selesai mandi, jika kamu masih ada di sini, aku akan menyeretmu keluar,” ancamnya.Ayuda hanya tersenyum tanpa menjawab perkataan Jiwa. Alih-alih melakukan apa yang pria itu perintahkan, Ayuda malah duduk di tepian ranjang sambil menyisir sekeliling. Satu sudut bibirnya tertarik melihat foto pernikahan wangi dan Jiwa.“Wangi apa? namanya tidak sesuai dengan kelakuannya,” cibir Ayuda.Kening Ayuda mengernyit saat mendapati walk in closet yang ada di kamar itu. Tanpa permisi gadis itu masuk dan melihat-lihat. Matanya terfokus pada deretan lingerie milik Wangi yang tergantung rapi di lemari kaca. Seketika ide gila muncul di benak Ayuda, dia mengambil salah satu lingerie berwarna merah menyala dengan bahan satin dan langsung mengganti setelan kerjanya dengan baju tipis itu.Ayuda mematut dirinya di depan cermin lalu bergumam di dalam hati,”lihat saja kamu akan menyeretku keluar atau tidak!”__Beberapa menit kemudian, Jiwa kel
Tatapan mata dan ucapan Ayuda membuat jiwa membeku. Beruntung dia tersadar dan langsung menjauhkan badan. Pria itu memunggungi ranjang hingga tak menyadari Ayuda mengembuskan napas lega.“Pergi dari kamar ini sebelum aku benar-benar menyeretmu!” ancam Jiwa.“Kamu tidak mungkin berani menyeretku, banyak CCTV di rumah ini. Aku yakin kamu mulai menyadari kalau aku adalah musuh yang sepadan denganmu,” kata Ayuda. Ia menegakkan badan masih menatap punggung Jiwa.“Apa kamu memegang proyek tender pembangunan rumah subsidi dari kementerian? Jika iya bersiaplah menghadapiku, aku akan memenangkan proyek itu,” ucap Ayuda dengan penuh percaya diri.Jiwa pun menoleh, membahas soal pekerjaan sepertinya membuat pria itu tertarik. Ia tersenyum mencibir, karena tahu kalau wanita itu pasti belum berpengalaman dengan pekerjaan semacam ini.“Kamu masih anak kemarin sore, aku tidak takut dengan tantanganmu.”Jiwa menarik salah satu sudut bibirnya setelah berucap, seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Mel
“Kenapa bisa begitu? Apa kamu tidak mau lapor ke polisi?”Pak Asman baru saja mendengarkan cerita Dira. Gadis itu datang ke rumahnya malam-malam untuk meminta izin besok pagi tidak bekerja, dan kalau boleh Dira ingin bersembunyi di rumah Pak Asman.“Bagaimana aku melapor Pak, mereka orang kaya, artis, pengusaha. Yang ada aku yang akan masuk ke penjara Pak,” kata Dira. Ia menunduk dengan mata merambang. Di dunia ini keadilan memang selalu tak berpihak pada kaum lemah.“Ya sudah, kamu bisa di sini selama shuting itu berlangsung, tapi Bapak masih nggak percaya lho, artis yang namanya Wangi itu jahat sekali.”Pak Asman geleng-geleng, dia juga memiliki putri seorang artis dan penyanyi, ngeri juga memikirkan bahwa kepopuleran bisa digunakan untuk menindas orang sesuka hati.“Sudah! sudah, jangan takut, besok Bapak akan bilang ke karyawan yang lain kalau Bapak minta kamu ke kota buat cek harga kain,”imbuh pria paruh baya itu.Dira mengangguk, kata terima kasih terus dia ucapkan ke Asman. Set
Dira berada di rumah Pak Asman. Ia memilih untuk membantu pria itu membersihkan rumah dan bahkan mencuci baju. Ini Dira lakukan karena tidak ada hal lain yang bisa dia kerjakan. Meski jarak rumah Pak Asman dan toko batiknya bisa dibilang cukup lumayan jauh, tapi seperti kijang yang diburu singa Dira tetap was-was.“Aku harus mengumpulkan banyak uang, aku tidak bisa kembali sebelum uangku banyak, agar bisa menyewa pengacara jika Pak Jiwa dan Bu Wangi menuntut,” gumam Dira, setelahnya dia berkata lagi, “Aku doakan semoga Pak Jiwa segera memiliki anak.” Tujuan Dira jelas, tentu saja agar dia tidak dipaksa mengandung anak pria itu lagi.Dira mengibaskan kaus Pak Asman yang baru saja dicuci, menggantungnya dan buru-buru masuk ke dalam rumah lagi. Dira takut jika ada yang mengenali, padahal Pak Asman sudah berkata dia pergi.Sementara itu, semua kru yang datang untuk pengambilan gambar sudah nampak mempersiapkan diri. Wangi duduk di kursi yang sudah disediakan, di mana sang asisten yang ter
Permintaan bernada tantangan dari Raga membuat Jiwa tertawa. Ia mendekat lalu berbisik di telinga sang adik.“Kamu tidak akan pernah bisa memiliki, apa yang sudah sejak awal menjadi milikku.”Jiwa menyeringai, setelah itu meninggalkan Raga masuk ke dalam ruangan Ramahadi. Sedangkan Raga hanya bisa tergelak ironi. Ia sudah menebak jawaban dari Jiwa, tapi tetap saja hatinya mencelos mendengar kalimat sombong kakaknya.“Awas dia! Dia pikir menyombong ke siapa,” gerutu Raga.__Malam ini, tepat dua hari Wangi pergi. Ayuda menatap lingerie wanita itu yang kemarin dipakainya, dia berniat mengembalikannya ke tangan Wangi sendiri. Jelas tujuan Ayuda hanya satu, dia ingin memantik api kesalahpahaman di antara Wangi dan Jiwa.Maka, Ayuda sengaja tidak tidur sebelum Wangi pulang. Ia memilih menuju mini bar yang ada di rumah Ramahadi, dia duduk setelah mengambil satu kaleng bir dari dalam lemari pendingin.“Nona, apa Anda butuh sesuatu?”Ayuda menoleh mendengar suara pelayan yang membantunya mer
“Sudah! hentikan, keluar kamu dari sini!” bentak Jiwa ke Ayuda.Namun, Ayuda tetap tak mau bergerak, hingga pria itu menarik tangannya dan menyeretnya pergi. Sedangkan Wangi, hati wanita itu panas melihat apa yang baru saja diperbuat oleh sang madu.Jiwa membuka pintu kamar Ayuda cepat, dia masuk ke dalam dan hendak memperingatkan istri keduanya itu, tapi Ayuda lebih banyak akal darinya. Secepat kilat gadis itu mengunci pintu lalu mencabutnya. Ia berlari ke arah jendela dan melempar kunci itu dari sana.“Apa yang kamu lakukan?” pekik Jiwa melihat kelakuan Ayuda yang sama sekali tak terduga.“Mengunci diri di kamar berdua denganmu. Membuat Wangi semakin resah di luar sana,” jawab Ayuda dengan santainya.“Kamu benar-benar wanita gila!” Jiwa berucap sambil mendekat ke arah pintu. Ia mencoba menggoyangkan gagang pintu dengan kencang dan menggedor.“Gedor saja sampai ada yang lewat, salah sendiri memberiku kamar di paling ujung.” Ayuda mengedikkan bahu, dia duduk di tepian ranjang sambil l
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng