Keduanya terdiam. Setelah pangutan panas itu berakhir, masing-masing mengatur napas. Reina yang tertunduk, merasakan desakan dari pangkuan yang didudukinya. Gadis itu terhenyak, menyadari bahwa sesuatu pada diri Alex meminta lebih."Om ...?"Alex menggeleng pelan, membawa Reina ke pelukannya. Meski pada bagian bawah tubuhnya sedang didorong oleh sesuatu, Reina menurut. Pelukan Alex kali ini terasa begitu nyaman dan hangat. "Reina? Saya minta, kamu harus benar-benar menyelidiki Andre dan kesungguhannya terhadap kamu." Ucap Alex sembari mengelus rambut Reina. "Kalau dia benar-benar serius, setia, mungkin saya akan memikirkannya.""Memikirkan apa, Om?" tanya Reina parau.Alex tak membalas. Dipandanginya langit-langit ruangan tersebut dengan kecamuk perasaan yang tak mampu diuraikan. Alex sudah memikirkannya semalaman, saat memeluk Reina, mengendus aroma memabukkan sang istri yang hatinya tak dapat direngkuh."Bagaimana kalau ki—""Eh?"Kedatangan Yudis dan Maya membuat keduanya terkejut
"Apa? Kamu tau dari mana? Terus, apa om-om itu juga tau soal kamu yang mau dicelakai oleh orang yang sama itu?" Andre menggenggam tangan Reina begitu erat. Untuk beberapa detik, Reina terharu. Kekhawatiran yang terpancar dari wajah Andre sungguh tulus dari hati terdalam.Setelah menguasai diri, Reina memberi balasan berupa gelengan. "Om Alex nggak tau, aku juga nggak mau ngasih tau."Lebih tepatnya, Reina berada pada situasi yang tak memungkinkan untuk mengatakan keanehan yang dialaminya terhadap sang suami. Momen yang berlangsung di antara mereka tidak jauh-jauh dari sensasi mendebarkan nan menggelitik, sehingga gadis itu melupakan permasalahan yang sedang dipendamnya."Kenapa kamu nggak coba bilang sama om-om itu? Barangkali dia bakal nyuruh orang buat mengawasi kamu sama orang aneh itu sekalian kan?" celetuk Andre."Makanya itu, Ndre. Kalau aku bilang, aku bakalan diawasi dua puluh empat jam. Iya, aku tau pastinya bagus buat keamananku, tapi aku nggak bisa leluasa dong! Misalnya aj
"Gimana hubunganmu sama Reina, Ndre? Masih lancar?" tanya Sinta begitu berpapasan dengan Andre yang hendak pergi ke kantor papinya.Andre mengangguk sekilas. "Sejauh ini aman, Mi. Kayaknya Reina juga percaya-percaya aja sama perubahanku. Memang benar ya, kalau kita berubah kalem gitu, biasanya cewek-cewek langsung luluh. Apalagi yang modelan Reina, dia langsung percaya kalau aku udah nggak senakal sebelumnya.""Ya kalau bisa kamu serius juga ngejauhin cewek-cewek selinganmu itu dong, Ndre! Masa kamu mau kayak gitu terus sih? Semisal kamu beneran nikah sama Reina, memangnya kamu bakal pakai mereka lagi? Enggak kan?""Reina itu terlalu polos, Mi. Aku butuhnya yang energik." Tukas Andre, menyeringai. Sinta langsung menggeplak kepala putra satu-satunya itu. "Kalau di dalam pernikahan, perempuan polos kayak Reina pun bisa jadi liar pas udah waktunya, Ndre. Percayalah sama Mami! Pokoknya kamu harus jauhin cewek-cewek itu demi masa depan kamu, Ndre."Pemuda itu berdecak kesal. Dari dulu hing
"Re-reina ...."Alex berbalik membelakangi Reina, bergegas menyambar handuk yang tergantung di samping pintu kamar mandi untuk menutupi tubuh sang istri. Siapa yang mengira jika istri manjanya itu akan seberani ini? Melepas daster yang dikenakannya dalam sekejap, sehingga hanya menampakkan tubuh polos Reina tanpa sehelai benang pun."Om," Reina mengulum bibirnya, seluruh wajahnya memerah. Keringat mengalir di tengah dinginnya pendingin ruangan yang bekerja. Alex melilitkan handuk yang disambarnya kepada tubuh gadis itu. Meski sesuatu dalam dirinya sudah memberontak ingin disalurkan, Alex harus menahan diri. Belum waktunya."Reina, lihat saya! Tatap mata saya, Reina Sayang."Panggilan itu berhasil memengaruhi Reina. Entah mengapa, rasanya berbeda sekali saat Alex yang memanggilnya begitu. Lebih lembut dan penuh perhatian dalam bentuk lain yang tak sanggup Reina urai."Terima kasih. Terima kasih karena kamu sudah seberani ini, sudah bersedia mengizinkan saya untuk menggauli kamu sebagai
Reina bertanya-tanya setiba mendudukkan diri di salah satu sofa yang berada di ruang kerja sang suami. Gadis itu menghentikan sambungan teleponnya dengan Pak Pram sejenak. Dilihatnya sepasang manusia yang sibuk berdiskusi di meja kerja Alex dengan tatapan memindai.Sebuah pemandangan janggal yang tak pernah Reina lihat, atau memang pemandangan tersebut telah terjadi setiap harinya. Hanya saja Reina yang tak bisa memergoki lantaran tak pernah menemani Alex seperti saat ini.Dalam pengamatan Reina, entah sudah berapa kali Susan merapikan anak rambutnya untuk disematkan ke belakang telinga. Bahkan wanita itu bergonta-ganti posisi duduk, yang jujur saja agak menyesakkan bagi Reina dengan pakaian ketat yang dikenakan Susan tanpa beban.Sebenarnya sejak pertama kali Alex memanggil Susan dari sambungan telepon kantor, Reina sudah menanti-nanti reaksi macam apa yang akan Susan berikan. Tentu saja, wanita itu tersenyum lebar saat memasuki ruangan Alex. Namun senyumnya surut dalam beberapa deti
Ini sudah kelewatan. Reina tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari apa yang sedang dialaminya belakangan ini. Gadis itu memeluk lututnya, bersandar pada Alex di ruang kerja sang suami. Sementara itu, Tara tengah membeli minuman di kantin dan mengenai paket tadi diurus oleh Yohan."Om." Panggilnya setengah melamun."Hm? Kenapa? Kamu minta apa, Reina?"Reina menggeleng pelan. "Aku mau cerita, Om.""Cerita apa?" Alex menghadapkan posisi tubuhnya ke arah Reina. Entah apa yang hendak diceritakan oleh sang istri, Alex sudah mempunyai sedikit firasat.Akan tetapi, ditunggu lima menit kemudian, gadis itu tak kunjung berucap. Sepasang bola mata Reina bergerak gelisah. Jemarinya saling memainkan kuku, sesekali menggigit bibir bawah dan tertunduk. Reina tidak yakin akan sesuatu yang hendak dikatakannya."Ada apa, Reina? Nggak apa-apa, bicara saja, saya dengarkan."Finalnya, Reina menggeleng. Gadis itu memilih untuk mengatupkan bibirnya, membiarkan Alex tenggelam dalam asumsinya sendiri. Alex men
Malam itu terasa begitu panjang bagi Reina, sebab dia tidak bisa tidur. Gadis itu merutuki dirinya yang tak bisa bersikap tegas dan membiarkan diri terombang-ambing di antara dua pilihan. Kalau ada Tara, dapat dipastikan dirinya mendapatkan omelan panjang kali lebar beserta getokan pada kepalanya.Meski begitu, Reina mengharapkan kehadiran Tara untuk membantunya berpikir jernih. Semalaman, gadis itu memandangi langit-langit kamarnya sembari memikirkan kedua genggaman yang harus dilepas salah satunya atas dua manusia.Pagi harinya, Reina mendapatkan kecupan selamat pagi pada pipi kanannya dari Alex sesaat keluar kamar. Reina terperanjat, tapi merasakan adanya hawa dingin yang merambat dari kecupan tersebut.Reina duduk di samping Alex. "Om?""Hm."Dahi gadis itu berkerut heran. Balasannya hanya sekadar bergumam, tak menyahut dan tak meliriknya barang sedetik. Jika laki-laki itu mau berketus ria, kenapa harus memberinya kecupan selamat pagi segala?"Om, kayaknya Andre marah sama aku deh
Alex menutup pintu kamar Reina, setelah laki-laki itu sempat memastikan sang istri baik-baik saja. Begitu berbalik memandang meja makan, dia teringat dengan sosok tamu tak diundang yang telah pergi itu. Alex menghela napas lega. Setelah ini dia harus bersiap untuk pergi ke kantor. Sungguh sebuah pagi yang mengejutkan. Lantaran mengawatirkan kondisi Reina, Alex menghubungi dua sahabat istrinya dan berpesan untuk menemani Reina. Mengerti jika keduanya bekerja, Alex akan menyuruh Yohan untuk berbicara pada atasan masing-masing atas nama perusahaan Hindrawan. Tentu saja, hadiah berupa makan di salah satu restorannya secara cuma-cuma.Ajaibnya, Rendi dan Tara datang lima belas menit kemudian. Cepat sekali untuk ukuran orang yang akan bekerja di hari biasa. Di belakang keduanya, terdapat Yohan yang datang sembari menyampaikan tugasnya."Reina di mana, Om?" tanya Rendi, sembari membawa empat gelas kopi dingin dari kedai minuman yang ada. "Ada di kamarnya, yang dekat dapur itu ya! Oh ya, sa
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen