Daniel berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya usai Dante pulang sejak beberapa menit yang lalu. Laki-laki itu membuka pintu kamarnya perlahan. Tatapannya tertuju pada Frisca yang sudah tertidur di atas ranjang.
"Gadis ini," lirih Daniel mendekatinya.Daniel meraih selimut dan menutupkan pada tubuh istrinya. Ditatapnya wajah Frisca yang tenang dan ia meninggalkan satu kecupan manis di pipi dan kening istri kecilnya."Jangan bandel, Sayang," bisik Daniel mengusap punggung tangan Frisca. "Lupakan dia dan mulailah semuanya denganku, Frisca. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan selagi aku bisa menggapainya."Satu kecupan lagi di punggung tangan Frisca sebelum perlahan Daniel berjalan tanpa suara mendekati lemari pakaian dan segera bergegas membersihkan dirinya.Butuh beberapa menit Daniel mandi hingga ia kembali masuk ke dalam kamarnya saat Frisca yang sudah duduk di atas ranjang dengan wajah mengantuk menoleh ke kanan dan ke kiri kebingungan."Hei, ada apa?" tanya Daniel menatapnya bingung."Mama mana?" tanya Frisca pelan."Mama?" Daniel menaikkan salah satu alisnya.Ia terkekeh pelan berjalan mendekati istrinya.Kedua mata Frisca terbuka lebar menatap sosok suami tampannya yang duduk di hadapannya hanya dengan balutan bathrobe putih, rambut hitam Daniel yang basah dan mata birunya yang segar, laki-laki ini kadang membuat jantung Frisca begitu berdebar. Contohnya saat ini."Kau mimpi apa, hem?" tanya Daniel merapikan rambut cokelat Frisca yang berantakan."Mama," jawabnya pelan.Daniel mendekatinya dan merangkul pundak Frisca. "Kau merindukan Mama, hem?""Heem, kau melarangku ke sana kan, kau kan laki-laki yang tega," cicit Frisca cemberut."Tidak Frisca. Besok, pulang kuliah kita bisa ke rumah Mama.""Kakak janji!" Frisca tersenyum manis.Daniel mengangguk yakin, "janji, Cintaku."Kata manis singkat itu membuat Frisca membeku di tempat. Daniel hanya tersenyum dan berlalu mengganti bajunya. Frisca segera berbaring menarik selimut menutup sekujur tubuhnya dan memejamkan kedua matanya erat-erat."Ya Tuhan, kenapa dengan jantungku! Aaa... Frisca bodoh!" maki Frisca pada dirinya sendiri.Ia membuka selimutnya perlahan saat merasakan ranjangnya bergerak, Daniel sudah berada di sampingnya.Laki-laki itu menatap sofa besar di depan sana. Ada tiga boneka Unicorn di kamarnya, Pink, biru, dan ungu. Tidak ia sangka kamar minimalis, maskulin akan goyah dengan siluman kuda milik istrinya."Boneka jelekmu....""Namanya Pangeran Unicorn kalau kau lupa!" maki Frisca menyela."A... Ah ya, kenapa kau taruh di sana sayang? Kau bisa menyimpannya di ruangan sebelah atau....""Biar saja di sana, lucu kan?" Frisca tersenyum menatap tiga boneka itu.Daniel tidak menjawab, ia memilih berbaring dan memejamkan kedua matanya. Menanggapi Frisca sama saja ia memancing emosinya sendiri.Merasa diabaikan oleh Daniel yang menyebalkan, hal itu membuat Frisca langsung menoleh menatap suaminya."Kak Daniel, kalau aku sudah sarjana, aku mau kerja di kantor milik Papa ya?" pinta Frisca ikut berbaring dan memeluk bantal pembatas antara ia dan Daniel."Tidak usah, aku tidak mengizinkanmu.""Heum, kenapa?""Kau di rumah pun aku bayar, Frisca!" jawab Daniel."Bohong!"Daniel membuka kedua matanya, sengaja ia langsung memiringkan tubuhnya dan membuang bantal pembatas antara ia dan Frisca."Kak Daniel....""Kau harus belajar, Frisca," bisik Daniel.Kedua mata Frisca melebar mendengarnya."Be... Belajar? Belajar untuk apa?!" pekik gadis itu menggelengkan kepalanya."Terbiasa dalam pelukanku," jawab Daniel.Pipi Frisca benar-benar terasa panas saat Daniel memeluknya, melingkarkan kedua tangannya mendekapnya dengan sangat hangat dan erat.Entah apa yang merasukinya, gadis itu pun membalas pelukan Daniel dan meletakkan dagunya di pundak sang suami."Hanya peluk saja, tidak boleh yang aneh-aneh," cicitnya."Aneh-aneh apa, hem?" lirih Daniel menggodanya."Ya... Yang aneh-aneh pokoknya!" pekiknya memukul kepala Daniel dengan sengaja.Daniel mendekapnya erat menyembunyikan wajah Frisca dalam ceruk lehernya. Frisca benar-benar merasa hangat dan tenang."Kalau sakit, biasanya aku dipeluk seperti ini," ujar Frisca."Oleh Brandon?""Bukan, mana pernah dia memelukku. Tentu saja Kak Dante."Senyuman mengembang di kedua sudut bibir Daniel."Kau harus terbiasa dengan pelukan ini dariku sayang, kau paham?!"Anggukan diberikan oleh Frisca, seperti nasehat Dante padanya kalau Daniel adalah laki-laki yang baik asal Frisca patuh padanya.Patuh pada Daniel membawanya dalam kebahagiaan, membantah Daniel hanya akan menyusahkan dirinya sendiri. Frisca harus terbiasa, untuk bersama Daniel.**"Semua tugas-tugas dari Pak Daniel sudah kau kerjakan, Frisca?!"Suara Allana membuyarkan lamunan Frisca. Gadis itu tersentak saat Allana memukul pelan lengannya hingga Frisca menoleh cepat dan menggeleng."Belum, aku tidak mengerjakan apapun.""Frisca sangat hobi dihukum," sahut Bella, gadis berambut merah yang kini duduk merapikan beberapa kertas di hadapannya."Aku tidak peduli soalan apapun saat ini. Kalian tahu, aku sangat pusing," ujar Frisca menutup kepalanya dengan cape hoodie biru langit yang ia pakai."Jangan bilang kalau Brandon KDRT!" sahut Celina, gadis dengan dress hijau yang menegang segelas minuman matcha."Kalian menyinggungku," sahut Anastasia cemberut hingga Bella langsung memeluknya.Frisca berdecak, "kalian! Tidak, bukan itu yang aku pikirkan!" pekik Frisca."Lalu apa, Frisca?!" seru Lovyna.Frisca terdiam, mungkinkah ia bercerita pada mereka semua antara dirinya dan juga Daniel?Tapi mungkin mereka semua akan terkejut dan bisa jadi mereka akan menjauhi Frisca.Celina beralih duduk di hadapan Frisca. "Apa yang kau pikir, Frisca? Sepertinya... Kau tidak bahagia dengan pernikahanmu ya?""Pak Daniel!" pekik Frisca."What?! Pak Daniel?!" pekik kelima gadis itu bersamaan.Frisca kembali berdecak mengusap wajahnya dan berdiri menunjuk ke arah pintu."Kalian lihat! Itu ada Pak Daniel!" pekik Frisca dengan wajahnya kesal.Mereka semua menoleh menatap Daniel yang memasang wajah datarnya. Laki-laki itu langsung berjalan mendekati meja dan semua penghuni kelas duduk rapi di tempat masing-masing.Tatapan Daniel tertuju pada istri kecilnya, duduk di belakang, menyembunyikan wajahnya pada lipatan kedua tangannya dan lesu."Selamat siang semuanya," sapa Daniel membuka map merah berisi materi yang ia siapkan."Siang Pak," balas semua seisi kelas."Tugas dua hari yang lalu, saya ingin semua mengumpulkannya. Bagi yang tidak mengerjakan silakan maju ke dapan!" tegas laki-laki itu.Sebagai dosen yang mengawal semua mahasiswanya ke bidang bisnis, Daniel sangat bersemangat dan satu-satunya dosen killer yang sangat disiplin dalam segala hal."Siapa yang belum mengerjakan tugas dari saya?!" seru Daniel menaikkan nada suaranya.Seisi ruangan hening sebelum seorang Frisca bangkit dari duduknya dan menatapnya lekat."Saya Pak!""Oh, Frisca... Maju!"Gadis ini sudah terbiasa dengan hal ini, ia yakin Daniel akan memberikannya hukuman tugas lima kali lipat.Frisca mendekat dengan wajah lesu dan pucat, Daniel menatapnya dan tiba-tiba saja ia menyentuh kening Frisca hingga seisi kelas terkejut melihatnya."Kau sakit, Frisca?" tanya Daniel."Habis malam pertama dia Pak!" teriak seorang anak laki-laki di belakang sana.Daniel menoleh dan menatap sengit. "Diam kamu! Jangan menyela saya!" teriak Daniel.Hening seisi kelas seketika, Frisca lagi-lagi mendengar godaan itu lagi. Daniel mengembuskan napasnya pelan."Anastasia, tolong temani Frisca ke ruang kesehatan!" perintah Daniel."Baik Pak!" Gadis itu bersemangat.Frisca menatap Daniel dari dekat. Ia tidak tahu kenapa Daniel tidak menghukumnya, biasanya Daniel sudah menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh."Kak Daniel," cicit Frisca lirih.Daniel tersenyum tipis, "istirahatlah Sayang," bisik Daniel.Frisca membalas senyumannya, "terima kasih, suamiku."Segera Frisca berjalan keluar di mana Anastasia sudah menunggunya. Frisca terlihat fresh begitu ia keluar dari dalam kelas.Anastasia sudah menduga hal itu, "mahir dalam bersandiwara," seru gadis itu."Harus dong, mana tega Pak suami menghukum istrinya sendiri," jawab Frisca asal.Langkah Anastasia langsung terhenti."Tunggu! Apa katamu barusan? Pa... Pak Suami?! Kau... Dan Pak Daniel....""Sejujurnya, aku menikah dengan Pak Daniel, tidak dengan Brandon.""What?!"Pekikan keras dan ekspresi tidak percaya terlihat di wajah Anastasia. Gadis berambut cokelat itu langsung membungkam bibirnya dan menatap Frisca seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Ba... Bagaimana bisa Frisca?!" pekik lirih Anastasia seraya menggenggam satu tangan sahabatnya.Frisca mendengus pelan. "Saat hari pernikahan, Brandon pergi sejak subuh. Papaku marah besar padaku, tamu undangan sudah datang dan dia tidak ingin malu. Hanya Pak Daniel yang aku rasa bisa membantuku, meskipun aku tahu kalau dia juga tidak akan bersikap buruk padaku," jelas Frisca."Dia kan menyukaimu Frisca, dia juga sahabatnya Kak Dante Kan?"Frisca mengangguk, ia kembali menatap sedih pada Anastasia dengan wajah melas."Ana, aku mohon padamu jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini. Pernikahanku dengan Pak Daniel, aku tidak mau ada orang yang tahu," pinta Frisca.Anggukan dan senyuman manis diberikan oleh Anastasia hingga ia la
Daniel menuruti keinginan Frisca untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Laki-laki itu tidak mau membuat Frisca sampai kecewa karena satu permintaan sepele yang tidak dituruti.Kini mereka sudah berada di kediaman kedua orang tua Frisca, bahkan Dante juga berada di rumahnya."Kalian kenapa baru ke sini sekarang, Mama sudah menunggu kalian dari kemarin-kemarin!" Tarisa memeluk Frisca seraya menatap Daniel yang duduk bersama Dante."Kak Daniel Ma yang ngelarang!" sahut Frisca dengan cepat."Ya bagus, jangan sering-sering ke sini," sahut Johan beralih duduk di samping Frisca di hadapan Dante dan Daniel.Mendengar perkataan Papanya membuat Frisca sedikit sakit hati. Gadis itu cemberut, ia tahu kalau Papanya tidak terlalu menyayanginya seperti dia menyayangi Dante.Daniel memperhatikan ekspresi Frisca, ia tahu banyak kesedihan di dalamnya. Sering dibanding-bandingkan dengan Kakaknya membuat Frisca menjadi sosok yang gampang putus asa."Sebenarnya bisa saja kalau saya mengajak Frisca ke si
Daniel benar-benar mengajak Frisca pergi bersama dengannya. Frisca pun juga telihat sudah terbiasa dengan Daniel yang selalu di sampingnya.Mereka kini berada di sebuah toko perhiasan, Daniel membeli cincin sepasang untuk dirinya dan Frisca."Pilihlah mana yang kau sukai, jangan diam saja. Apa kau ingin yang lainnya? Pilihlah, aku akan membelikannya untukmu," ujar Daniel menatap Frisca.Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak ada, aku tidak terlalu menyukai perhiasan," jawab Frisca seraya mengalihkan perhatiannya.Daniel merangkul pundak Frisca, mereka menatap seorang pegawai yang mendekatinya dan membawa kotak perhiasan berisi dua cincin untuk mereka."Ini cincin yang sudah Nyonya dan Tuan pilih, pembayarannya juga sudah selesai," ujar pegawai itu."Terima kasih," ucap Daniel.Daniel tidak memasang cincinnya langsung, melainkan ia mengajak Frisca untuk pergi bersamanya."Kau tidak ingin membeli sesuatu, Sayang?" tanya Daniel menggenggam tangan Frisca dan mengajaknya berkelil
“Welcome, dan selamat datang!”Frisca tersenyum manis membalikkan tanda ‘Open’ di toko miliknya. Bahkan seorang gadis manis bernama Alisa, dia adalah karyawan baru di toko milik Frisca.Kini keduanya berdiri di depan toko dan nampak sangat bahagia. Frisca yang memeluk Alisa, padahal mereka baru saja kenal beberapa jam yang lalu.“Aaa... Akhirnya mimpiku terkabul juga, Alisa!” pekik Frisca lompat-lompat kesenangan.“Aku juga sangat bahagia, Bu Boss!” Alisa memeluk Frisca dan mengusap punggungnya.Frisca cemberut menoleh pada Alisa.“Apa kau tidak bisa berhenti memanggilku Bu Boss?! Aku ini bukan Boss-mu Alisa. Panggil saja aku Frisca, hanya Frisca saja, okay?!”Gadis itu langsung memeluk Alisa, mereka kembali masuk ke dalam toko. Frisca langsung menata kembali beberapa bunga-bunga yang ada di depan pintu hingga satu, dua, tiga pembeli yang mulai berdatangan.Frisca sengaja diam, sebelumnya Daniel memintanya untuk memperhatikan Alisa, karena Alisa lebih dulunya sudah bekerja di toko bun
Sudah dua harian lebih Frisca tidak menghubungi Kakaknya, gadis itu sengaja melakukannya karena ia masih kesal pada Dante.Kini Frisca baru saja sampai di kampusnya dan ia selalu datang lebih awal. Namun saat Frisca hendak masuk ke dalam kampus, langkahnya terhenti saat ia melihat Kakaknya yang berdiri di depan kampusnya dan Dante tengah menanti-nantinya."Kakak," lirih Frisca berjalan mendekati Dante.Dante langsung tersenyum manis begitu adiknya berdiri di hadapannya dengan tatapan manyun."Ke mana saja dua hari kau tidak menghubungi Kakak, hem?" tanya Dante menatap adiknya dengan hangat."Aku kerja," jawab Frisca tak semangat."Hah? Kerja?!" seru Dante melebarkan kedua matanya sebelum ia tertawa pelan, "ke... Kerja? Sayang, kau kerja apa?""Suamiku membelikan aku toko bunga, toko maianan, jadi aku bekerja setelah pulang kuliah. Nanti kalau sudah malam aku pulang, setelah itu makan malam, belajar dan....""Hah?! Apa katamu barusan? Belajar?!" pekik Dante sedikit meninggikan nadanya.
Frisca merasa sangat tidak nyaman saat ini, karena tidak seperti yang ia duga di awal kabar kedekatannya dengan Daniel mampu tersebar. Gadis itu kini duduk di dalam kelasnya dan tidak keluar sama sekali sejak datang pagi tadi."Frisca!" Seruan Anatasia membuat Frisca menoleh cepat ke arah sang teman. Anastasia yang datang bersama dengan Adam langsung duduk di hadapan Frisca. "Fris, kenapa ada kabar yang beredar seperti itu hah?!" pekik Anastasia menatap wajah sedih Frisca. "Aku tidak tahu Anastasia. Mungkin itu semua ulah Feli," jawab Frisca. Adam berdecak pelan. "Memang ya, Feli itu paling berbahaya!" Frisca mengembuskan napasnya pelan, ia langsung bangkit dari duduknya dan menyahut tas miliknya di atas meja. "Mau ke mana?" tanya Anastasia. "Pulang. Aku tidak ikut jam Pak Daniel," jawab Frisca malas. Gadis itu melangkah keluar dari dalam kelasnya. Banyak yang menatapnya dengan tatapan aneh dan berbisik-bisik. Sejujurnya hal inilah yang sangat Frisca takutkan, namun ia selal
Daniel mengajak Frisca untuk pulang, gadis itu takut keluar dari dalam kamar kalau bertemu dengan Papanya. Namun sebagai suami, Daniel terus membujuknya dengan kesabaran. Mereka berdua keluar dari dalam kamar dan berjalan menuruni anak tangga. Di sana, Johan dan Tarisa yang berada di ruang tamu terus menatap Frisca, termasuk Johan yang begitu sengit. "Ma, Pa, aku pamit bawa Frisca pulang," ujar Daniel. "Ya, bawa pulang saja dia. Kalau ada masalah diselesaikan sendiri! Jangan malah nangis di rumah orang tua, dari dulu membawa masalah terus!" seru Johan. "Papa!" Dante menatap Papanya dengan tajam. Daniel tersenyum tipis. "Ya Pa, maaf kalau aku gagal mendidik Frisca. Mungkin karena hal lain yang membuat Frisca jadi begini," ujar Daniel."Mana ada! Tidak ada yang membuatnya menjadi buruk selain dia mengacaukan keadaannya sendiri, Daniel!"Frisca mencengkeram erat kemeja yang Daniel pakai dan menyembunyikan wajahnya. "Ayo pulang Kak," bisik Frisca. Daniel merangkulnya dan mengangguk
"Kak Daniel, kau curang! Ini tidak libur namanya... Huhh, aku ngantuk sekali." Frisca bergelung di bawah selimutnya seraya memasang wajah lesunya pada Daniel yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Laki-laki itu terawa pelan dan berjalan mendekati Frisca. "Siapa suruh memancingku, hem? Tapi itu sebagian dari tugasmu, Sayang." Daniel mengecup singkat bibir Frisca. "Ayo bangun, mandi, dan ayo mencari makan malam di luar." Frisca menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku rasanya ingin mengurung diri di dalam rumah saja. Tidak ada yang menarik di luar sana," jawab Frisca duduk perlahan dan bersandar. Gadis itu menatap lekat wajah Daniel seraya tersenyum manis mengulurkan tangannya mengusap pipi suaminya dengan lembut. Menatap Daniel membuat Frisca merasa dirinya menjadi gadis yang bandel karena mengingat kegiatan apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. "Kak Daniel," lirih Frisca mengulurkan tangannya pada sang suami. Daniel memeluknya dengan erat. "Kau tidak harus takut p
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just