Frisca sejak semalam menjadi pendiam setelah memikirkan apa yang sempat dikatakan oleh Kakaknya, salah satunya tentang seorang anak. Ia diam memperhatikan suaminya yang tangan duduk di kursi kerjanya dan mengetikkan sesuatu pada laptopnya. "Kak Daniel," panggil Frisca dengan manja. "Ya, Sayang?" "Aku ingin bicara sesuatu dengan Kakak," cicit Frisca bangkit dari duduknya. Daniel tersenyum tipis dan menarik tangan istrinya untuk mendekat. Frisca pun tanpa diminta langsung duduk di pangkuan Daniel. "Ada apa, Sayang?" tanya Daniel menatap wajah cantik istrinya yang cemberut. "Emm... Kak Daniel siap tidak kalau menjadi seorang Papa?"Daniel mengerutkan keningnya. "Harusnya aku yang bertanya padamu." Laki-laki itu mengecup pipi Frisca dengan gemas. "Aku siap," lirih Frisca menggigit bibir bawahnya. "Akan jauh lebih siap kalau kau selesaikan kuliahmu dulu, lalu kita hadapi rumah tangga kita bersama-sama, itu baru bagus!" ujar Daniel melingkarkan kedua tangannya memeluk Frisca dengan
"Jangan sampai kau terlambat besok malam ya, Frisca!" Seruan Anastasia saat masuk ke dalam mobilnya seraya melambaikan tangannya pada Frisca. Frisca tersenyum lebar mengacungkan jempolnya pada sang sahabat. Gadis itu berdiri di depan gerbang kampus, hingga ia tersentak saat klakson mobil membuatnya terkejut. "Suamiku!" seru Frisca dengan nada lirih. Daniel tersenyum tipis. "Butuh tumpangan, Nona?" tanya laki-laki itu. "Ya, sangat membutuhkanmu." Frisca langsung masuk ke dalam mobil teraebut, dengan santainya ia duduk di samping Daniel. Sengaja Frisca pulang paling akhir karena kampusnya cukup sepi. "Kak Daniel mau ke mana? Ini kan bukan arah rumah kita?" Frisca menoleh ke kanan dan ke kiri, gadis itu menatap wajah suaminya dari samping sebelum ia mendekat dan mengecup pipinya saat Daniel membisu. "Kak Daniel, jangan diam... Ayo jawab!" pekik Frisca memukul lengan suaminya. "Jalan-jalan, aku sudah lama sekali tidak refreshing." Senyuman Frisca melebar, ia menunjuk papan di
"Kak Daniel tidak ada, baguslah! Aku akan pergi." Frisca berjalan pelan-pelan menuju ke pintu depan. Ia menutup pintu rumahnya dengan segera, menyadari suaminya pergi sejak tadi. Gadis itu berlari membuka gerbang rumahnya dan benar saja di depan sana sudah ada mobil milik Allana. "Wah, lama sekali kau ini! Jangan bilang kalau kau masih kabur dari Pak Daniel?!" pekik Anastasia yang buru-buru membuka pintu mobilnya. "Ya begitulah. Untungnya hari ini dia sedang ada meeting di kantornya, jadi aku bisa ikut kalian pergi party!" seru Frisca menaik turunkan kedua alisnya dengan ekspresi senang. "Dasar Frisca, kau ini sudah jadi istri, masih saja bandel!" omel Anastasia. "Biar saja! Meskipun wanita menjadi seorang istri, tapi wanita juga butuh kebabasan, asal di jalan yang benar!" "Tumben pintar," sahut Allana seraya mengemudikan mobilnya. Frisca berdecak kesal begitu sindiran Allana yang memang benar adanya. Jarang-jarang sekali untuk Alana berpikir semacam hal begini. Mereka bergeg
"Aku benci dengannya, kumohon bantu aku melupakan Brandon sialan itu! Suamiku jauh-jauh lebih baik darinya, ya... Suamiku terbaik!" Frisca meracau dan mengoceh sesuka hatinya disela mabuknya saat ini. Daniel menggendongnya membawanya masuk ke dalam rumah dengan ekspresi kesal. "Kak Daniel... Apa kau mabuk? Minuman itu pahit, tidak enak, Kak Daniel!" seru Frisca seraya tertawa dan mengusap pundak Daniel. "Diamlah Frisca," balas Daniel mengeratkan dekapannya. Daniel membuka pintu kamarnya dan menutupnya kembali. Laki-laki itu merebahkan Frisca di atas ranjangnya.Daniel melepaskan dasi Navy yang ia pakai dan melemparkannya sembarangan. Frisca sudah diam dan memejamkan kedua matanya dengan tenang. Daniel menatap atasan yang Frisca pakai basah dengan warna ungu minuman yang membuat istrinya itu mabuk. "Ck! Ada-ada saja! Dasar bodoh, kenapa kau bisa mau dibuat mabuk, Frisca!" omel Daniel kini melepaskan kancing blouse yang Frisca pakai. Laki-laki itu membuka lemari dan mengambil pak
"Aku ingin kita bertukar ponsel, kau mau?" Frisca menoleh cepat dan ternganga seketika saat Daniel memberikannya tawaran aneh. "Tidak mau! Nanti kalau rekan kerjamu menghubungi bagaimana?! Aku tidak segila itu, Kak Daniel!" pekik Frisca menolak. "Tapi aku curiga, jadi lebih baik aku yang membawa ponselmu!" jawab Daniel. Decakan lidah terdengar dari Frisca. "Curiga apa lagi?! Kau pikir aku ini wanita yang dengan mudahnya berselingkuh, begitu?!" Daniel menggeleng tanpa menghentikan melajukan mobilnya. Sengaja ia ingin memancing Frisca untuk tidak bermain ponsel lebih dulu. "Kalau begitu aku akan memberikanmu dua pilihan!" Daniel berseru."Apa itu?" "Berikan ponselmu padaku, atau beli ponsel baru?!" "Ya barulah!" pekik Frisca berbunga-bunga. "Aku mau baru ya, Kak Daniel. Yang keluaran terbaru, warna pink dengan cast unicorn! Okay... Bagaimana? Suamiku... Mau, ya, ya, ya?!"Daniel tersenyum kecil. "Kecup dulu, baru nanti pulang dari pertemuan kita beli!" "Yes! Asyik... Terima kas
"Aku tidak boleh takut dengan siapapun, aku harus beran menghadapi semuanya. Mungkin sudah saatnya mereka semua tahu antara aku dan Kak Daniel yang sesungguhnya." Frisca berucap lirih menatap lorong kampus yang kini masih sepi. Gadis itu berangkat jauh lebih awal dari biasanya bahkan ia juga meninggalkan Daniel di rumah sendirian. Kini Frisca berjalan ke arah tempat duduknya, ia baru saja duduk dan melihat banyak sekali barang dalam kotak hitam di dalam lorong bangku tempat duduk Firsca. "Apa ini?" ucap Fridca dengan wajahnya yang terkejut dan sangat tegang. Frisca membuka semua kotak yang ada di hadapannya, semuanya berisi surat-surat dengan ancaman yang mengerikan. "Kau benar-benar wanita yang berani macam-macam denganku, Frisca. Semua akan tersebar luas, antara kau dan dosen itu. Kau akan merasakan apa yang aku rasakan dan kau juga akan menikmati bagaimana rasanya dikucilkan dan semakin dibenci oleh Papamu!" Frisca melemparkan kertas yang baru saja ia pegang dengan kedua mat
"Aku khawatir dengan keadaan Frisca, hal ini bisa merusak mentalnya." Daniel memijit pelipisnya dengan kedua matanya yang terpejam pelan. Dante di hadapannya sudah uring-uringan sejak tadi. "Apa kau tidak mencari tahu hah?! Tidak mungkin ini semua ulah Brandon, dia sudah pergi jauh," ujar Dante menatap tegas pada Daiel. "Tapi ini semua juga bukan ulah Leon. Aku sudah menemuinya!" jawab Daniel. Dante memejamkan kedua matanya dan ia begitu berpikir keras-keras mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Mereka berdua tengah berada di kantor milik Dante. Sengaja Daniel tidak pergi ke mana-mana hari ini, ia ingin menjelaskan keadaan Frisca pada Dante. Apapun yang Daniel lakukan, ia tetap akan meminta persetujuan dari Dante, karena Daniel terlalu takut kalau saja tidakannya akan menyakiti Frisca. Dante menganggukkan kepalanya pelan. "Kita akan mencari tahu bersama-sama. Aku tidak yakin kalau Brandon yang melakukan hal ini, si sialan itu sekarang berada di Jerman. Papaku yang mengat
"Buang semua ini! Jangan sampai ada satu orang pun yang mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahku tanpa seizin dariku!" Daniel berteriak marah-marah pada penjaga depan setelah seseorang mengirimkan paket berisi banyak sekali foto-foto Frisca yang diedit dengan sangat menjijikkan dan banyaknya surat berisi ancaman untuk menghabisi Frisca. Frisca yang berdiri di bawah anak tangga hanya diam memperhatikan suaminya yang sangat tegas meminta semua orang menjaganya. "Bakar bunga-bunga dan semua barang yang ada dalam box itu!" perintah Daniel menatap Kevin, anak buahnya. "Baik Tuan." Kevin langsung membawa kotak-kotak itu keluar dari dalam rumah. Daniel menoleh pada Frisca yang menunjukkan wajah cemas, gadis itu berlari ke arahnya dan langsung memeluknya dengan sangat erat. Usapan lembut tangan Daniel di punggung Frisca membuat gadis itu mendongak menatapnya. "Tidak papa, jangan dipikirkan." Daniel mengecup pucuk kepala Frisca. "Tadi apa isinya? Surat-surat lagi?" tanya Frisca men
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just