"Aku mau dua, boneka Unicorn dua! Yang pink dan biru!"
Frisca tersenyum manis menenteng dua paper bag besar, semantara Daniel sibuk memeluk dua boneka besar yang baru saja Frisca ambil.Senyuman Frisca mengembang, benar apa yang Kakaknya bilang kalau Daniel itu sangat kaya raya, dan kebetulan Frisca sangat menyukai yang namanya hadiah."Sekarang sudah, ayo kita pulang," ajak Daniel menoleh pada Frisca."Em, apa kau tidak ingin mengajak aku makan?""Tidak! Makan di rumah lebih baik, makanan di luar belum tentu menjaga kesehatanmu!" jawab Daniel ketus.Frisca terkekeh mendengarnya, ia hanya ikut saja dengan apa yang suaminya katakan. Bersama Daniel, rasa yang Frisca alami saat ini sama halnya ia bersama dengan Dante.Frisca merasa semua kesedihannya dapat tertutupi dengan baik. Mereka berdua keluar dari dalam mall. Daniel membawa dua boneka Unicorn milik Frisca ke dalam mobil."Kak Daniel," panggil Frisca pelan saat mobil mereka sudah melaju."Heem, mau beli apa lagi?""Tidak. Aku tidak meminta apapun lagi padamu. Aku... Aku kangen Mama," lirih Frisca.Daniel menoleh, ia tersenyum kecil dan mengusap pucuk kepala Frisca dengan lembut.Gadis manja sepertinya terasa bodoh kalau sudah menikah. Itulah yang Daniel rasakan atas Frisca."Kita pulang, Kakakmu ada di rumahku.""Kak Dante?!" pekik Frisca berbinar memegang lengan Daniel."Ya Cintaku," jawab Daniel Romantis."Asik... Aku tidak sabar menargetnya! Uang ke salon, uang shopping, uang jajan, dan uang...."Cerocosan Frisca terhenti saat Daniel berdecak. Seketika ia cemberut dan menatap sengit pada suaminya.Tidak tahu alasan pasti dari Daniel. Kebiasaan Frisca yang selalu meminta jatah uang jajan pada Kakak kandungnya. Karena gadis manja sepertinya tidak bisa apapun, selalu menjadi princess."Kak Daniel, tadi maksudku....""Stop minta jatah ke Kakakmu!" seru Daniel tegas."Hah? Kenapa begitu?!" pekik Frisca tidak terima. "Kak Dante itu Kakakku! Jadi suka-suka Frisca dong!""Tapi aku itu suamimu Frisca! Semua kebutuhanmu adalah tanggung jawabku. Sekecil apapun yang ingin kau beli, lebih baik kau meminta padaku daripada kau harus meminta pada Kakakmu! Dia akan mengira kalau aku tidak bertanggung jawab atas dirimu! Paham!" Daniel menjelaskan panjang lebar.Seketika Frisca langsung menyembunyikan wajahnya dalam boneka Unicorn yang ia peluk. Gadis itu cemberut kesal, tapi ada benarnya dengan apa yang Daniel katakan barusan."Tapi Kak Dante itu lebih tahu tentang aku, aku tidak mau terlalu merepotkanmu," cicit Frisca.Detik itu juga mobil Daniel langsung terhenti, cengkeraman tangan Frisca kian kuat pada bonekanya.Ia tidak berani menatap Daniel, paling tidak ia akan ditendang keluar dari dalam mobil ini."Kenapa kau sangat menyebalkan, huh?! Aku ini suamimu! Kau tidak pernah merepotkanku, Frisca! Kalau kau merasa semua ini aku merepotkanmu, buang saja siluman kuda jelek ini!" amuk Daniel meraih boneka di bangku belakang."Jangan!" teriak Frisca menarik lengan suaminya."Makanya patuh!" tegas Daniel.Frisca diam tidak menjawab, ia marah dengan kekesalan Daniel. Sikap menyebalkan tak asing lagi bagi Frisca dari suaminya ini. Gadis itu menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan pun ia enggan berkata apapun pada Daniel.Hingga beberapa menit berlalu kini Daniel dan Frisca sudah sampai di rumah.Frisca langsung turun dari dalam mobil dan berlari masuk ke dalam rumah saat ia melihat ada mobil milik sang Kakak di pekarangan rumah suaminya."Kak Dante!" pekik Frisca keras-keras begitu ia melihat sosok Dante yang duduk di sofa ruang tamu."Halo sayangku!" Dante tersenyum lebar memeluk Frisca yang berlari ke arahnya.Adik manjanya yang begitu erat memeluknya dan menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Dante.Rindu, Dante sangat merindukan adik kecilnya. Semenyebalkan apapun Frisca, ia tetap sangat menantikannya setiap waktu."Kenapa menangis, Princess?" bisik Dante merasakan adiknya menangis. "Apa si gila Daniel menyakitimu, hem?"Frisca mengangguk, "Kak Daniel membentakku.""Aishhh... Tenanglah, dia akan aku beri nasehat panjang lebar nanti," ujar Dante, laki-laki itu menarik Frisca dari pelukannya dan menangkup kedua pipi chuby Frisca.Dante tersenyum manis menatapnya, "Sayang, Daniel adalah suamimu, kau harus patuh padanya, okay?""Aku mau pulang saja," pinta Frisca memegang lengan sang Kakak dan memeluknya.Helaan napas panjang terdengar dari Dante, bersamaan dengan seorang Daniel yang masuk ke dalam rumah membawa paper bag dan dua boneka Unicorn raksasa milik Frisca."Wow! Sejak kapan kau suka kuda poni?" tanya Dante terkekeh menatap Daniel tanpa melepaskan pelukannya pada sang adik."Aku akan membuat peternakan setan Unicorn di rumah ini!" jawab Daniel sengit.Tawa Dante menggelegar melihat sahabatnya sebucin ini pada sang adik. Mungkin Frisca saja yang belum terbiasa dengan Daniel yang sejatinya begitu jatuh cinta padanya.Frisca melepaskan pelukannya pada Dante, gadis itu menyandarkan kepalanya di dada bidang dang Kakak yang berbalut tuxedo hitam."Jangan menangis, Frisca...." Dante mengecup pucuk kepala sang adik."Begitulah kalau masih bocah akal-akalan nikah! Cengeng, lemah, ada apa-apa nangis nomor satu!" sahut Daniel duduk menyadarkan punggungnya."Kalau kau tidak siap merawat adikku, aku bisa membawa Frisca ikut pulang bersamaku, Sialan!" maki Dante pada Daniel.Daniel berdehem pelan, ia menggelengkan kepalanya."Tidak, kau salah paham."Frisca mengembuskan napasnya pelan, ia menarik satu lengan boneka poninya dan menatap Dante lagi.Seburuk dan sejahil apapun Dante, dia tetap pahlawan bagi Frisca. Laki-laki itu menyilakkan rambut Frisca dengan rapi."Sudah sayang, sana masuk ke kamar dan istirahat. Jangan lupa makan, hem?" ujar Dante mengusap pipi adiknya.Frisca mengangguk, ia langsung bangkit dari duduknya dan menjulurkan lidahnya saat lewat di hadapan Daniel.Kekehan pelan Dante membuat Daniel menoleh padanya. Sahabatnya menjadi Kakak iparnya, cukup lucu dan menarik."Apa kau benar-benar tidak tahu di mana Brandon?" tanya Daniel mengambil satu batang kecil rokok dan menyalakannya."Mustahil aku tidak tahu, aku yang menyuruhnya pergi." Dante menjawabnya santai."Oh sialan, apa maksudmu?" Daniel terkejut.Dante menuangkan minuman berwarna ungu ke dalam gelasnya."Aku tidak mau Frisca sampai sakit hati di tengah pernikahannya. Brandon, dia laki-laki beristri dan sudah punya dua anak, kau tahu!" seru Dante bernada kesal."What! Ka... Kau serius?!" pekik Daniel menatapnya tajam.Dante mengangguk dengan sangat yakin."Heem, aku tahu hal ini sejak lama, saat Frisca aku minta meninggalkan laki-laki bengis itu, dia malah marah padaku."Daniel sadar betapa sayangnya Dante pada Frisca. Ia tahu bagaimana rasanya kalau tahu adik kesayangannya dikhianati.Mungkin lebih baik kalau Frisca tidak tahu alasan sesungguhnya dari pada Frisca akan semakin membenci keadaan ini semua, termasuk Dante."Aku titipkan Frisca padamu, Niel. Baik buruknya Adikku, dia memang manja dan menyebalkan," ujar Dante menatap Daniel."Jangan khawatir, aku akan menjamin kebahagiaan Frisca.""Apa jaminanmu, huh?"Daniel tersenyum tipis, "hidupku!"Daniel berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya usai Dante pulang sejak beberapa menit yang lalu. Laki-laki itu membuka pintu kamarnya perlahan. Tatapannya tertuju pada Frisca yang sudah tertidur di atas ranjang."Gadis ini," lirih Daniel mendekatinya.Daniel meraih selimut dan menutupkan pada tubuh istrinya. Ditatapnya wajah Frisca yang tenang dan ia meninggalkan satu kecupan manis di pipi dan kening istri kecilnya."Jangan bandel, Sayang," bisik Daniel mengusap punggung tangan Frisca. "Lupakan dia dan mulailah semuanya denganku, Frisca. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan selagi aku bisa menggapainya."Satu kecupan lagi di punggung tangan Frisca sebelum perlahan Daniel berjalan tanpa suara mendekati lemari pakaian dan segera bergegas membersihkan dirinya.Butuh beberapa menit Daniel mandi hingga ia kembali masuk ke dalam kamarnya saat Frisca yang sudah duduk di atas ranjang dengan wajah mengantuk menoleh ke kanan dan ke kiri kebingungan."Hei, ada apa?" tanya Daniel men
"Sejujurnya, aku menikah dengan Pak Daniel, tidak dengan Brandon.""What?!"Pekikan keras dan ekspresi tidak percaya terlihat di wajah Anastasia. Gadis berambut cokelat itu langsung membungkam bibirnya dan menatap Frisca seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Ba... Bagaimana bisa Frisca?!" pekik lirih Anastasia seraya menggenggam satu tangan sahabatnya.Frisca mendengus pelan. "Saat hari pernikahan, Brandon pergi sejak subuh. Papaku marah besar padaku, tamu undangan sudah datang dan dia tidak ingin malu. Hanya Pak Daniel yang aku rasa bisa membantuku, meskipun aku tahu kalau dia juga tidak akan bersikap buruk padaku," jelas Frisca."Dia kan menyukaimu Frisca, dia juga sahabatnya Kak Dante Kan?"Frisca mengangguk, ia kembali menatap sedih pada Anastasia dengan wajah melas."Ana, aku mohon padamu jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini. Pernikahanku dengan Pak Daniel, aku tidak mau ada orang yang tahu," pinta Frisca.Anggukan dan senyuman manis diberikan oleh Anastasia hingga ia la
Daniel menuruti keinginan Frisca untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Laki-laki itu tidak mau membuat Frisca sampai kecewa karena satu permintaan sepele yang tidak dituruti.Kini mereka sudah berada di kediaman kedua orang tua Frisca, bahkan Dante juga berada di rumahnya."Kalian kenapa baru ke sini sekarang, Mama sudah menunggu kalian dari kemarin-kemarin!" Tarisa memeluk Frisca seraya menatap Daniel yang duduk bersama Dante."Kak Daniel Ma yang ngelarang!" sahut Frisca dengan cepat."Ya bagus, jangan sering-sering ke sini," sahut Johan beralih duduk di samping Frisca di hadapan Dante dan Daniel.Mendengar perkataan Papanya membuat Frisca sedikit sakit hati. Gadis itu cemberut, ia tahu kalau Papanya tidak terlalu menyayanginya seperti dia menyayangi Dante.Daniel memperhatikan ekspresi Frisca, ia tahu banyak kesedihan di dalamnya. Sering dibanding-bandingkan dengan Kakaknya membuat Frisca menjadi sosok yang gampang putus asa."Sebenarnya bisa saja kalau saya mengajak Frisca ke si
Daniel benar-benar mengajak Frisca pergi bersama dengannya. Frisca pun juga telihat sudah terbiasa dengan Daniel yang selalu di sampingnya.Mereka kini berada di sebuah toko perhiasan, Daniel membeli cincin sepasang untuk dirinya dan Frisca."Pilihlah mana yang kau sukai, jangan diam saja. Apa kau ingin yang lainnya? Pilihlah, aku akan membelikannya untukmu," ujar Daniel menatap Frisca.Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak ada, aku tidak terlalu menyukai perhiasan," jawab Frisca seraya mengalihkan perhatiannya.Daniel merangkul pundak Frisca, mereka menatap seorang pegawai yang mendekatinya dan membawa kotak perhiasan berisi dua cincin untuk mereka."Ini cincin yang sudah Nyonya dan Tuan pilih, pembayarannya juga sudah selesai," ujar pegawai itu."Terima kasih," ucap Daniel.Daniel tidak memasang cincinnya langsung, melainkan ia mengajak Frisca untuk pergi bersamanya."Kau tidak ingin membeli sesuatu, Sayang?" tanya Daniel menggenggam tangan Frisca dan mengajaknya berkelil
“Welcome, dan selamat datang!”Frisca tersenyum manis membalikkan tanda ‘Open’ di toko miliknya. Bahkan seorang gadis manis bernama Alisa, dia adalah karyawan baru di toko milik Frisca.Kini keduanya berdiri di depan toko dan nampak sangat bahagia. Frisca yang memeluk Alisa, padahal mereka baru saja kenal beberapa jam yang lalu.“Aaa... Akhirnya mimpiku terkabul juga, Alisa!” pekik Frisca lompat-lompat kesenangan.“Aku juga sangat bahagia, Bu Boss!” Alisa memeluk Frisca dan mengusap punggungnya.Frisca cemberut menoleh pada Alisa.“Apa kau tidak bisa berhenti memanggilku Bu Boss?! Aku ini bukan Boss-mu Alisa. Panggil saja aku Frisca, hanya Frisca saja, okay?!”Gadis itu langsung memeluk Alisa, mereka kembali masuk ke dalam toko. Frisca langsung menata kembali beberapa bunga-bunga yang ada di depan pintu hingga satu, dua, tiga pembeli yang mulai berdatangan.Frisca sengaja diam, sebelumnya Daniel memintanya untuk memperhatikan Alisa, karena Alisa lebih dulunya sudah bekerja di toko bun
Sudah dua harian lebih Frisca tidak menghubungi Kakaknya, gadis itu sengaja melakukannya karena ia masih kesal pada Dante.Kini Frisca baru saja sampai di kampusnya dan ia selalu datang lebih awal. Namun saat Frisca hendak masuk ke dalam kampus, langkahnya terhenti saat ia melihat Kakaknya yang berdiri di depan kampusnya dan Dante tengah menanti-nantinya."Kakak," lirih Frisca berjalan mendekati Dante.Dante langsung tersenyum manis begitu adiknya berdiri di hadapannya dengan tatapan manyun."Ke mana saja dua hari kau tidak menghubungi Kakak, hem?" tanya Dante menatap adiknya dengan hangat."Aku kerja," jawab Frisca tak semangat."Hah? Kerja?!" seru Dante melebarkan kedua matanya sebelum ia tertawa pelan, "ke... Kerja? Sayang, kau kerja apa?""Suamiku membelikan aku toko bunga, toko maianan, jadi aku bekerja setelah pulang kuliah. Nanti kalau sudah malam aku pulang, setelah itu makan malam, belajar dan....""Hah?! Apa katamu barusan? Belajar?!" pekik Dante sedikit meninggikan nadanya.
Frisca merasa sangat tidak nyaman saat ini, karena tidak seperti yang ia duga di awal kabar kedekatannya dengan Daniel mampu tersebar. Gadis itu kini duduk di dalam kelasnya dan tidak keluar sama sekali sejak datang pagi tadi."Frisca!" Seruan Anatasia membuat Frisca menoleh cepat ke arah sang teman. Anastasia yang datang bersama dengan Adam langsung duduk di hadapan Frisca. "Fris, kenapa ada kabar yang beredar seperti itu hah?!" pekik Anastasia menatap wajah sedih Frisca. "Aku tidak tahu Anastasia. Mungkin itu semua ulah Feli," jawab Frisca. Adam berdecak pelan. "Memang ya, Feli itu paling berbahaya!" Frisca mengembuskan napasnya pelan, ia langsung bangkit dari duduknya dan menyahut tas miliknya di atas meja. "Mau ke mana?" tanya Anastasia. "Pulang. Aku tidak ikut jam Pak Daniel," jawab Frisca malas. Gadis itu melangkah keluar dari dalam kelasnya. Banyak yang menatapnya dengan tatapan aneh dan berbisik-bisik. Sejujurnya hal inilah yang sangat Frisca takutkan, namun ia selal
Daniel mengajak Frisca untuk pulang, gadis itu takut keluar dari dalam kamar kalau bertemu dengan Papanya. Namun sebagai suami, Daniel terus membujuknya dengan kesabaran. Mereka berdua keluar dari dalam kamar dan berjalan menuruni anak tangga. Di sana, Johan dan Tarisa yang berada di ruang tamu terus menatap Frisca, termasuk Johan yang begitu sengit. "Ma, Pa, aku pamit bawa Frisca pulang," ujar Daniel. "Ya, bawa pulang saja dia. Kalau ada masalah diselesaikan sendiri! Jangan malah nangis di rumah orang tua, dari dulu membawa masalah terus!" seru Johan. "Papa!" Dante menatap Papanya dengan tajam. Daniel tersenyum tipis. "Ya Pa, maaf kalau aku gagal mendidik Frisca. Mungkin karena hal lain yang membuat Frisca jadi begini," ujar Daniel."Mana ada! Tidak ada yang membuatnya menjadi buruk selain dia mengacaukan keadaannya sendiri, Daniel!"Frisca mencengkeram erat kemeja yang Daniel pakai dan menyembunyikan wajahnya. "Ayo pulang Kak," bisik Frisca. Daniel merangkulnya dan mengangguk
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just