Kedua mata Frisca malas terbuka saat cahaya hangat menyinari wajahnya. Gadis itu menarik selimutnya dan menyembunyikan wajahnya hingga aroma maskulin selimut putih itu membuat Frisca tersadar akan suatu hal.
Kali ini ia benar-benar membuka lebar kedua matanya menyadari dirinya berada di dalam sebuah kamar, milik Daniel."Harusnya aku menikah dengan Brandon," lirih Frisca mencengkeram erat selimutnya, "Brandon, tega sekali kau padaku. Kau menjanjikan banyak hal padaku, tapi saat menikah kenapa kau malah hilang?"Frisca menangis saat bayangan bahagia bersama kekasihnya muncul dalam benaknya. Tanpa beranjak ia menangis di sana, malah dirinya kini menjadi istri dari laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya, laki-laki yang tidak terlalu ia sukai karena Daniel yang sengak dan dingin."Brandon, kau ke mana?" lirih Frisca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis kuat menyadari kesedihannya datang di akhir penantian kebahagiaan yang ia impikan.Tangisan Frisca pelahan terhenti, ia merasakan seseorang menyentuh pucuk kepalanya dengan sangat lembut, Frisca membuka tangannya yang menutup wajah cantiknya.Manik mata biru milik Daniel menatapnya dengan lekat dan penuh arti. Daniel yang kini sudah berbalut kemeja biru laut dan celana bahan hitam, ia sangat rapi dan laki-laki itu tersenyum tipis padanya, Daniel mendekati wajah Frisca dan mengecup keningnya dengan lembut."Kenapa menangis Frisca? Ini masih pagi, kau harusnya semangat di pagi hari," ujar Daniel.Frisca mencekal lengan Daniel dan melanjutkan menangisnya."Tidak pernah sedikit pun terpikir kalau Brandon meninggalkan aku," lirih Frisca memejamkan kedua matanya."Laki-laki kurang ajar sepertinya apa masih kau berikan maaf, hem?" tanya Daniel menatap hangat wajah sedih istri kecilnya.Frisca menggeleng kuat, "tidak akan. Tidak akan aku maafkan lagi," jawabnya.Perlahan Daniel mencekal kedua pundak Frisca dengan pelan. Ia membantunya bangun hingga mereka saling tatap untuk beberapa detik. Telapak tangan Daniel yang hangat membingkai wajah Frisca dengan mesra."Semua orang tahu statusmu sebagai seorang istri saat ini. Meskipun pernikahanmu hanya dihadiri oleh orang-orang penting, tanpa tahu siapa sosok suamimu yang sebenarnya. Semua orang mengira kalau aku, suamimu yang sesungguhnya," ujar Daniel mengusap air mata Frisca."Kalau Brandon tidak kabur, aku juga tidak akan memintamu menjadi suamiku," seru Frisca memukul lengan Daniel."Tapi ini takdir. Bagaimanapun keadaannya, kau tetap istriku, dan aku tetap suamimu saat ini. Penawaran perpisahan setelah menikah hanya untuk menutupi statusmu, tidak aku terima. Aku tidak pernah menceraikanmu, paham!" Daniel tersenyum mengusap wajahnya lembut pipi Frisca.Gelengan kepala diberikan oleh Frisca, tangisannya semakin nenjadi-jadi. Ia mencengkeram lengan Daniel dengan kuat."Tapi... Tapi aku tidak mencintaimu, aku tidak akan pernah bisa cinta padamu!" pekiknya menolak."Urusan cinta tidaknya kau padaku, itu urusan Tuhan. Yang penting aku memperlakukanmu sebagai istriku, dan....""Aku tidak mau ada orang yang tahu kalau kau suamiku!" pekik Frisca.Daniel menaikkan kedua alisnya, "heem, baiklah kalau itu maumu. Aku juga tidak keberatan sama sekali."Daniel bangkit perlahan dan bersedekap menatap istrinya. Kasihan juga ia menatap Frisca yang merasa sedih atas apa yang dirasakannya."Sudah, jangan menangis lagi. Percuma juga kau tangisi, air matamu tidak bisa membalikkan waktu," ujar Daniel beranjak ke arah pintu kamar dan keluar meninggalkannya.Frisca terdiam menatap cermin di depan sana. Jelas nampak betapa kacaunya ia saat ini."Kak Daniel benar, menangis pun tidak akan bisa membalikkan waktu," lirih Frisca mengusap air matanya, "Frisca, ayolah... Jalani apa yang ada saat ini, jangan menyerah!"Tidak ada yang bisa Frisca lakukan selain menyemangati dirinya sendiri dan mencoba untuk bertahan dengan status barunya.**"Sepi, ke mana Kak Daniel?"Frisca turun ke lantai satu beberapa menit usai ia berendam di dalam kamar mandi selama beberapa jam yang lalu.Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Langkah Frisca kini menuju ke ruang belakang di mana para pelayan yang tengah menyiapkan sarapan."Selamat pagi Nyonya," sapa mereka berempat kompak."Pa... Pagi," balas Frisca dengan nada kikuk."Nyonya silakan sarapan, Tuan Daniel meminta kami menyiapkan bubur ayam untuk Nyonya," ujar Bi Ressi menarik kursi."Sekarang di mana dia, Bi?" tanya Frisca duduk meraih sendok yang sudah disiapkan."Tuan sudah berangkat ke kampus," jawab wanita itu ramah."Kampus?!" pekik Frisca.Bi Ressi menganggukkan kepalanya polos. Frisca terdiam, ia menatap sarapan yang tertata di atas meja. Sangat banyak dengan beberapa menu makanan di sana.Sepertinya laki-laki itu tidak sarapan, Frisca meletakkan kembali sendoknya dan bangkit."Aku mau ke kampus juga Bi," ujar Frisca mundur perlahan."Loh tadi kata Tuan, Nyonya diminta untuk istirahat. Tuan akan pulang jam sepuluh nanti. Lebih baik Nyonya sarapan saja dulu, kalau Nyonya telat makan dan sakit, bisa-bisa Tuan akan marah pada kita," ujar Bi Sophi baru saja muncul, ia meminta Frisca duduk kembali."Tapi... Tapi dia belum sarapan kan Bi?""Tuan bisa makan di luar Nyonya, jangan khawatir."Mau tidak mau, Frisca sarapan seorang diri. Ia menikmati sarapannya untuk kali pertama di rumah Daniel, suaminya.Betapa perhatiannya seorang Daniel padanya. Sarapan untuknya, menenangkannya, mau menjadi suami pengganti untuknya dan enggan untuk berpisah.Beberapa jam berlalu, Frisca asik mengelilingi rumah megah Daniel sejak pagi hingga kini langkahnya terhenti di sebuah ruangan di lantai dua.Ruangan besar di mana hanya ada sepasang sofa besar dan beberapa foto besar di dinding. Foto keluarga Daniel, benar-benar ruangan yang sangat megah dengan hiasan mahal di beberapa tempat."Wah, apa ini orang tua Kak Daniel?" lirih Frisca menunjuk foto laki-laki dan perempuan, mereka dengan pakaian formal dan berwibawa tanpa ekspresi."Kalau ini Daniel Sombong Emmanuelle," kekeh Frisca terhenti di depan foto besar milik Daniel.Senyumannya perlahan redup saat manik matanya beralih menatap foto seorang gadis cantik berambut cokelat terang yang sangat indah. Entah siapa gadis itu, hanya ada satu fotonya di samping tepat foto Daniel.Frisca memiringkan kepalanya dan terdiam. Menimbang-nimbang mencoba menebak siapakan wanita itu."Cantik sekali, siapa wanita ini? Apa pacarnya Kak Daniel yang ke selusin?" cicit Frisca begidikkan bahunya."Dia Sarasita!"Suara tegas maskulin membuat Frisca menoleh ke belakang, seorang Daniel entah sejak kapan ia di sana. Laki-laki itu mendekatinya dan berdiri di samping Frisca menatap foto wanita yang membuat Frisca bertanya-tanya."Kok sudah pulang?" tanya Frisca."Harusnya kan aku libur, hari pertama menikah aku meninggalkan istriku di rumah sendirian. Tidak adil, bukan?" jawab Daniel membungkam Frisca.Sebisa mungkin Frisca mengelaknya, ia berdehem pelan dan menggeleng pelan kembali menatap foto gadis di hadapannya."Siapa ini? Sarasita itu siapa? Pacarmu ya?" tanya Frisca dengan nada sedikit tidak mengenakkan. Dari banyak baju perempuan di lemari kamarnya hingga foto wanita, Frisca menebak kalau laki-laki ini pasti buaya darat."Adikku. Dia meninggal kecelakaan saat berusia tujuh belas tahun, di Manhattan."Terkejut Frisca mendengarnya, spontan ia membalikkan badannya menatap Daniel. Baru tahu ia kalau Daniel ternyata memiliki seorang Adik meskipun sudah tiada."Dia... Dia sudah tia...."Ucapan Frisca terhenti saat Daniel membalikkan badan Frisca dan mendekapnya dari belakang, meletakkan dagunya di pucuk kepala Frisca, menatap foto gadis cantik yang berada di dinding tepat di hadapan mereka berdua."Aku sangat menyayangi Sarasita, kehilangan dia membuatku gila, Sayang. Sampai akhirnya aku kenal dengan Kakakmu, melihatmu dan Dante membuat aku rindu dengan Sarasita." Daniel menunduk dan menatap wajah Frisca dari sisi wajah gadis itu, "itulah alasan mengapa aku sangat menginginkanmu, Frisca. Lebih dari rasa sayang dan cinta biasa, aku ingin kau menggantikan sesuatu berharga milikku yang sudah tiada. Hanya kau yang bisa, Sayang."Deg...Jantung Frisca berdetak lebih cepat. Ia merasakan debaran dada Daniel yang kini mendekapnya hangat."A... Aku?"Daniel mengangguk antusias."Heem, hanya kau dan tidak ada yang lain. Jadi kau, jangan pernah berharap pergi selagi kau berada dalam naunganku, Sayang."Setelah tiga hari menikah dengan Daniel, Frisca kembali memutuskan untuk berkuliah seperti biasa. Ia yakin dua sahabatnya pasti menunggunya dari liburan pernikahan. Frisca sudah berada di kampus saat ini, terpaksa ia berangkat lebih pagi, bahkan saat Daniel masih bersiap-siap, Frisca sudah mengendap-endap pergi. "Frisca! Oh my gosh!" Suara teriakan melengking membuat langkah Frisca terhenti seketika. Ia menoleh ke belakang di mana Anastasia dan Allana berdiri melambaikan tangannya. Senyuman Frisca mengembang saat kedua sahabatnya itu berlari dan langsung memeluknya dengan erat. "Kangen," seru Allana merengek. "Sama, aku juga kangen banget sama kalian," ujar Frisca menatap mereka berdua. "Oh ya, happy wedding ya bestie, semoga bahagia selalu, meskipun kau tidak mengundangku!" seru Anastasia dengan wajah kesalnya. Ekspresi Frisca langsung berubah detik itu juga, ia menggaruk pelan tengkuk lehernya dan mengangguk saja. Sebisa mungkin ia bersandiwara kalau tidak terjadi apapun da
"Aku mau dua, boneka Unicorn dua! Yang pink dan biru!"Frisca tersenyum manis menenteng dua paper bag besar, semantara Daniel sibuk memeluk dua boneka besar yang baru saja Frisca ambil.Senyuman Frisca mengembang, benar apa yang Kakaknya bilang kalau Daniel itu sangat kaya raya, dan kebetulan Frisca sangat menyukai yang namanya hadiah."Sekarang sudah, ayo kita pulang," ajak Daniel menoleh pada Frisca."Em, apa kau tidak ingin mengajak aku makan?""Tidak! Makan di rumah lebih baik, makanan di luar belum tentu menjaga kesehatanmu!" jawab Daniel ketus.Frisca terkekeh mendengarnya, ia hanya ikut saja dengan apa yang suaminya katakan. Bersama Daniel, rasa yang Frisca alami saat ini sama halnya ia bersama dengan Dante.Frisca merasa semua kesedihannya dapat tertutupi dengan baik. Mereka berdua keluar dari dalam mall. Daniel membawa dua boneka Unicorn milik Frisca ke dalam mobil."Kak Daniel," panggil Frisca pelan saat mobil mereka sudah melaju."Heem, mau beli apa lagi?""Tidak. Aku tidak
Daniel berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya usai Dante pulang sejak beberapa menit yang lalu. Laki-laki itu membuka pintu kamarnya perlahan. Tatapannya tertuju pada Frisca yang sudah tertidur di atas ranjang."Gadis ini," lirih Daniel mendekatinya.Daniel meraih selimut dan menutupkan pada tubuh istrinya. Ditatapnya wajah Frisca yang tenang dan ia meninggalkan satu kecupan manis di pipi dan kening istri kecilnya."Jangan bandel, Sayang," bisik Daniel mengusap punggung tangan Frisca. "Lupakan dia dan mulailah semuanya denganku, Frisca. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan selagi aku bisa menggapainya."Satu kecupan lagi di punggung tangan Frisca sebelum perlahan Daniel berjalan tanpa suara mendekati lemari pakaian dan segera bergegas membersihkan dirinya.Butuh beberapa menit Daniel mandi hingga ia kembali masuk ke dalam kamarnya saat Frisca yang sudah duduk di atas ranjang dengan wajah mengantuk menoleh ke kanan dan ke kiri kebingungan."Hei, ada apa?" tanya Daniel men
"Sejujurnya, aku menikah dengan Pak Daniel, tidak dengan Brandon.""What?!"Pekikan keras dan ekspresi tidak percaya terlihat di wajah Anastasia. Gadis berambut cokelat itu langsung membungkam bibirnya dan menatap Frisca seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Ba... Bagaimana bisa Frisca?!" pekik lirih Anastasia seraya menggenggam satu tangan sahabatnya.Frisca mendengus pelan. "Saat hari pernikahan, Brandon pergi sejak subuh. Papaku marah besar padaku, tamu undangan sudah datang dan dia tidak ingin malu. Hanya Pak Daniel yang aku rasa bisa membantuku, meskipun aku tahu kalau dia juga tidak akan bersikap buruk padaku," jelas Frisca."Dia kan menyukaimu Frisca, dia juga sahabatnya Kak Dante Kan?"Frisca mengangguk, ia kembali menatap sedih pada Anastasia dengan wajah melas."Ana, aku mohon padamu jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini. Pernikahanku dengan Pak Daniel, aku tidak mau ada orang yang tahu," pinta Frisca.Anggukan dan senyuman manis diberikan oleh Anastasia hingga ia la
Daniel menuruti keinginan Frisca untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Laki-laki itu tidak mau membuat Frisca sampai kecewa karena satu permintaan sepele yang tidak dituruti.Kini mereka sudah berada di kediaman kedua orang tua Frisca, bahkan Dante juga berada di rumahnya."Kalian kenapa baru ke sini sekarang, Mama sudah menunggu kalian dari kemarin-kemarin!" Tarisa memeluk Frisca seraya menatap Daniel yang duduk bersama Dante."Kak Daniel Ma yang ngelarang!" sahut Frisca dengan cepat."Ya bagus, jangan sering-sering ke sini," sahut Johan beralih duduk di samping Frisca di hadapan Dante dan Daniel.Mendengar perkataan Papanya membuat Frisca sedikit sakit hati. Gadis itu cemberut, ia tahu kalau Papanya tidak terlalu menyayanginya seperti dia menyayangi Dante.Daniel memperhatikan ekspresi Frisca, ia tahu banyak kesedihan di dalamnya. Sering dibanding-bandingkan dengan Kakaknya membuat Frisca menjadi sosok yang gampang putus asa."Sebenarnya bisa saja kalau saya mengajak Frisca ke si
Daniel benar-benar mengajak Frisca pergi bersama dengannya. Frisca pun juga telihat sudah terbiasa dengan Daniel yang selalu di sampingnya.Mereka kini berada di sebuah toko perhiasan, Daniel membeli cincin sepasang untuk dirinya dan Frisca."Pilihlah mana yang kau sukai, jangan diam saja. Apa kau ingin yang lainnya? Pilihlah, aku akan membelikannya untukmu," ujar Daniel menatap Frisca.Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak ada, aku tidak terlalu menyukai perhiasan," jawab Frisca seraya mengalihkan perhatiannya.Daniel merangkul pundak Frisca, mereka menatap seorang pegawai yang mendekatinya dan membawa kotak perhiasan berisi dua cincin untuk mereka."Ini cincin yang sudah Nyonya dan Tuan pilih, pembayarannya juga sudah selesai," ujar pegawai itu."Terima kasih," ucap Daniel.Daniel tidak memasang cincinnya langsung, melainkan ia mengajak Frisca untuk pergi bersamanya."Kau tidak ingin membeli sesuatu, Sayang?" tanya Daniel menggenggam tangan Frisca dan mengajaknya berkelil
“Welcome, dan selamat datang!”Frisca tersenyum manis membalikkan tanda ‘Open’ di toko miliknya. Bahkan seorang gadis manis bernama Alisa, dia adalah karyawan baru di toko milik Frisca.Kini keduanya berdiri di depan toko dan nampak sangat bahagia. Frisca yang memeluk Alisa, padahal mereka baru saja kenal beberapa jam yang lalu.“Aaa... Akhirnya mimpiku terkabul juga, Alisa!” pekik Frisca lompat-lompat kesenangan.“Aku juga sangat bahagia, Bu Boss!” Alisa memeluk Frisca dan mengusap punggungnya.Frisca cemberut menoleh pada Alisa.“Apa kau tidak bisa berhenti memanggilku Bu Boss?! Aku ini bukan Boss-mu Alisa. Panggil saja aku Frisca, hanya Frisca saja, okay?!”Gadis itu langsung memeluk Alisa, mereka kembali masuk ke dalam toko. Frisca langsung menata kembali beberapa bunga-bunga yang ada di depan pintu hingga satu, dua, tiga pembeli yang mulai berdatangan.Frisca sengaja diam, sebelumnya Daniel memintanya untuk memperhatikan Alisa, karena Alisa lebih dulunya sudah bekerja di toko bun
Sudah dua harian lebih Frisca tidak menghubungi Kakaknya, gadis itu sengaja melakukannya karena ia masih kesal pada Dante.Kini Frisca baru saja sampai di kampusnya dan ia selalu datang lebih awal. Namun saat Frisca hendak masuk ke dalam kampus, langkahnya terhenti saat ia melihat Kakaknya yang berdiri di depan kampusnya dan Dante tengah menanti-nantinya."Kakak," lirih Frisca berjalan mendekati Dante.Dante langsung tersenyum manis begitu adiknya berdiri di hadapannya dengan tatapan manyun."Ke mana saja dua hari kau tidak menghubungi Kakak, hem?" tanya Dante menatap adiknya dengan hangat."Aku kerja," jawab Frisca tak semangat."Hah? Kerja?!" seru Dante melebarkan kedua matanya sebelum ia tertawa pelan, "ke... Kerja? Sayang, kau kerja apa?""Suamiku membelikan aku toko bunga, toko maianan, jadi aku bekerja setelah pulang kuliah. Nanti kalau sudah malam aku pulang, setelah itu makan malam, belajar dan....""Hah?! Apa katamu barusan? Belajar?!" pekik Dante sedikit meninggikan nadanya.
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just