Besar pasak daripada tiang.
***
"Aku bukan orang jahat jadi tolong lindungi aku kali ini saja."
Rezan tidak terpengaruh, ia berniat membukakan pintu namun sekali lagi, Ratu menggagalkannya. Ia tarik tangan Rezan kemudian melingkarkan tangan pria itu ke tubuhnya, Ratu melompat cepat dan melilit pinggang laki-laki itu dengan kakinya. Ratu mencium paksa sang dokter yang masih terkejut, berusaha terus mendobrak pertahanan Rezan yang tampak ingin menyudahi ciuman mereka. Punggung Ratu membentur tembok, kini ia terkunci di sana dengan tubuh Rezan masih mengimpitnya dalam dekapan panas.
Rezan pun tampaknya mulai malas melakukan perlawanan, ia biarkan saja Ratu melakukan apa yang ia mau tanpa berniat melayani. Ratu mengecup leher pria itu dan kembali mencium bibir Rezan, apalagi ketika pintu berhasil dibuka, gadis itu semakin memperdalam ciumannya dan menyembunyikan wajahnya di balik wajah Rezan. Orang-orang yang membuka paksa ruangan itu langsung salah tingkah disuguhi pemandangan yang tidak senonoh. Rezan berbalik, menatap dingin orang-orang itu.
"Ada apa?" tanyanya.
***
Satu hari sebelumnya ...
Mulut Ratu menganga membaca laporan tagihan bulan ini yang melebihi ambang batas kemampuan dompetnya. Tidak seharusnya dia terlena dengan barang-barang yang sebenarnya tidak gadis itu butuhkan. Inilah kekurangan Ratu, dia suka kalap kalau sudah dipertemukan dengan tas, sepatu, pakaian, dan aksesoris yang menyilaukan matanya. Ratu tidak bisa tidur tenang jika tidak membawa pulang barang-barang yang melambai-lambai cantik ke arahnya sepanjang mata memandang. Alhasil, gadis itu lupa bahwa keadaannya sekarang sama sekali berbeda dengan keadaannya yang dulu.
Ratu sudah jatuh miskin, bisnis orang tuanya bangkrut sehingga menyisakan banyak hutang yang melilit gadis itu dan adiknya sampai sekarang. Terhitung sudah tiga tahun sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan gadis itu menjalani kehidupan sebagai orang serba kekurangan tapi jiwa sosialitanya tak kunjung padam. Ratu ingin mengubah kebiasaannya tapi ia tak sanggup, gadis itu selalu memegang teguh prinsip bahwa ia dilahirkan sebagai RATU dan akan tetap hidup seperti itu apa pun kondisinya. Prinsip yang sungguh tidak mawas diri memang tapi mau bagaimana lagi, Ratu benar-benar tidak sanggup meninggalkan gaya hidupnya yang dulu.
"Seratus juta? Gila, tagihan kartu kredit gue banyak banget. Bego, bego, bego! Gaji lo jadi bartender berapa sih, Ratu. Bisa-bisanya lo kalap di momen kayak gini."
Ratu menempel lembar tagihan itu ke permukaan jidatnya, beberapa detik kemudian kepala itu pun terjun membentur meja makan yang terbuat dari kayu. Gadis itu tidak meringis, sakit di keningnya tak seberapa dibanding rasa frustrasi yang tengah menyerang gadis itu saat ini. Bagaimana tidak frustrasi, hari ini adalah jatuh tempo tagihan hutang kedua orang tuanya. Ia harus mencicil warisan hutang itu sebesar 5 juta per bulan. Belum uang sewa rumah yang akan jatuh tempo empat hari lagi. Gadis itu memeriksa isi kulkasnya pun sudah tandas, ia harus segera belanja untuk persediaan satu bulan ke depan sedangkan sekarang, Ratu tidak memegang uang sepeser pun.
"Mati aja lo, Tu, mati!" gumam Ratu sambil terus menjedotkan kepalanya pada meja sampai keningnya memerah.
"Masa gue jual lagi sih tas yang baru gue beli, itu kan limited edition," galau Ratu sambil menimbang keputusan dalam kepalanya.
Jika dihitung-hitung, belanjaan Ratu kalau dijual kembali mungkin akan menghasilkan uang sebesar 50 juta. Sedangkan 50 juta lagi tidak akan kembali karena Ratu menghabiskannya untuk senang-senang. Sekali lagi, gadis ini adalah definisi dari manusia tidak tahu diri. Dia dan hedonismenya sungguh menyusahkan.
Tok tok tok!
Ratu terperanjat dari kursi lalu sembunyi di bawah meja sampai ia meringis tanpa suara karena tak sengaja lututnya terbentur kaki meja.
"Mampus, itu pasti si Bandot dan antek-anteknya. Astaga, kagak bisa apa bikin orang lega dikit. Hobi banget bikin gue jantungan."
Ratu memeluk lututnya sambil merapatkan bibir, ia tahan desakan ingin batuk yang mengusik kenyamanannya sampai mata gadis itu berair dan dadanya sesak. Keadaan ini sungguh menyiksa. Bagai buah simalakama, kalau Ratu batuk maka ia akan mati di tangan para lintah darat. Jika menahan batuk, mungkin gadis itu akan mati karena sesak napas. Mending yang mana? Mati di tangan rentenir atau mati karena menahan batuk? Oh, sungguh, keduanya bukan alasan elite untuk mengakhiri hidup. Tidak keren sama sekali, pikir Ratu.
"Kak, ini Nayla, kakak ada di dalam?" seru seseorang di luar sana.
Mendengar suara sang adik memanggil, Ratu pun bernapas lega lantas ia batuk-batuk keras. Segera gadis itu berlari membukakan pintu lalu menarik Nayla masuk dan mengunci kembali pintu berwarna cokelat itu. Dengan tergesa Ratu mendorong tubuh Nayla agar lebih masuk dan menyuruh adiknya duduk di kursi yang menghadap meja makan.
"Kenapa gelap banget, Kak?" tanya Nayla mendapati ruangan di sana gelap gulita, hanya sebuah lilin yang menyala terang di atas meja.
"Sengaja, biar disangka rumah ini kosong sama tetangga. Si Bandot pasti datang sebentar lagi."
Nayla terdiam, menyaksikan ekspresi panik kakaknya lekat dalam temaram cahaya lilin di sekitar mereka. Tiga tahun sudah Nayla melihat kakaknya kepanikan seperti ini, setiap akhir bulan maka Ratu kehilangan momen untuk bernapas lega. Seolah setiap detik ada peluru yang siap menembak isi kepalanya, dia begitu sigap, waspada, dan terkadang ketakutan. Nayla tidak tega.
"Hutang kita pada mereka seberapa banyak, sih, Kak? Sudah tiga tahun Kakak mencicil tapi belum lunas juga."
Sejak awal, Nayla memang tidak pernah diberitahu nominal hutang yang diwariskan orang tua mereka. Ratu selalu menanggungnya sendiri dan berkata bahwa hutang itu tidak terlalu banyak dan sebentar lagi akan lunas. Awalnya Nayla percaya, makanya dia tidak pernah terlalu ambil pusing masalah itu tapi akhir-akhir ini—seiring dengan seringnya para rentenir menagih ke rumah kontrakan mereka, Nayla mulai curiga bahwa hutang kedua orang tuanya tidak sekecil seperti apa kata Ratu.
"Setahun lagi lunas, Nay. Kamu enggak usah khawatir. Eh, kamu sudah makan?"
Nayla menggeleng lalu menyimpan kantung keresek yang dibawanya di atas meja.
"Aku beli nasi Padang buat kita berdua, kita makan sama-sama ya," kata Nayla lalu berdiri untuk mengambil alat makan.
"Nay, kakak kan sudah bilang, kamu jangan beliin jajanan apa pun buat Kakak. Itu uang jajan kamu, pakai buat keperluanmu, jajan yang enak dan mahal di kampus. Jangan terlalu irit kayak orang susah," ceramah Ratu benar-benar lupa diri. Nayla menanggapinya dengan senyum tipis.
"Aku cuma mau makan malam bareng Kakak aja. Sebentar lagi kan Kakak berangkat kerja, pulang subuh, terus paginya sudah kerja lagi sama kak Surya. Akhir-akhir ini kita jadi jarang ketemu karena kakak semakin sibuk. Jangan terlalu banyak ngambil kerjaan, Kak, kasihanilah tubuh Kakak."
"Yang penting kan sehat, toh selama ini kakak kuat-kuat aja, Kok."
"Tapi tetep aja Kak—"
"Udah, Nay, enggak apa-apa, kok. Kakak kuat. Gimana belajar kamu di kampus?"
"Biasa aja, Kak. Kerjaan Kakak gimana?"
"Ya, gitu-gitu aja."
"Inget ya Kak, jangan sampai—"
"Iyaaa ... jangan sampai membiarkan tamu mata keranjang bertindak kurang ajar sama Kakak, itu kan yang mau kamu bilang?"
"Iya, Nay khawatir banget sama Kakak. Bisa enggak, Kakak berhenti kerja di kelab malam?"
"Enggak bisa, Nay, kamu tenang aja. Kakak enjoy kok kerja di sana. Kamu tahu kan dari dulu Kakak suka clubing. Pokoknya kamu fokus aja sama kuliah kamu, belajar yang rajin dan jangan sampai beasiswa itu hangus karena nilai-nilai kamu turun. Inget ya, Nay, kamu satu-satunya harapan Kakak saat ini."
Nayla termangu diam, ia menatap kakaknya dengan pandangan menerawang. Pada akhirnya Nayla tersenyum tipis hingga ia mendapat elusan lembut di kepalanya.
Aku ingin membantumu, Kak.
***
"Kenapa itu muka sepet amat?" tanya Surya setelah menghampiri karibnya di konter bar. Pengunjung sedang agak sepi jadi gadis itu bisa sedikit santai sekarang. "Kepala gue mau meledak rasanya, Ya." "Lo cari penyakit sih, udah gue bilang jangan belanja banyak-banyak. Lo malah kalap kayak orang kesetanan, pening kan lo sekarang tagihan kartu kredit membengkak.” "Bukan cuma itu, Ya. Gue juga lagi dikejar-kejar rentenir selama satu minggu tetakhir. Belum bayar hutang bulan ini. Enggak ada proyekan lagi gitu yang bisa bikin gue dapet uang gede dengan cepat. Kagak apa-apa deh, gue rela menemani aki-aki mabuk juga. Nanti tinggal gue kasih obat tidur aja, selamat deh gue kayak biasanya."
“Aduhh, ini gue harus lari ke mana lagi? Mana mereka masih ngejar,”batin Ratu risau. Gadis itu baru saja melarikan diri dari UGD usai mendapati empat orang anak buah suruhan si Bandot mengejarnya. Beberapa saat lalu di kelab malam, Ratu dihadapkan pada seorang tamu yang meminta pelayanan plus-plus darinya, jelas gadis itu menolak karena sesuai kesepakatan kerja bahwa tugas Ratu di tempat itu adalah bartender. Dia tidak pernah menerima pekerjaan jenis itu sekalipun kelihatannya Ratu sangat lihai dalam hal tersebut. Penolakan yang Ratu berikan berbuah kemarahan besar dari sang tamu. Pria tua itu mengerahkan anak buahnya untuk menyerang Ratu, agar dia bisa merisak paksa dan mendapatkan apa yang dia mau dari gadis itu. Tentu Ratu tidak tinggal diam, dia melakukan perlawanan. Pertama, ia menendang kaki kedua orang yang memegangi tangannya. Kedua, ia tonjok wajah si pria tua genit yang berusaha mencium bibirnya. Ketiga, gadis itu melayangkan sebuah tendangan
Nayla melamun seorang diri di perpustakaan, sejak kuliah jam pertama dimulai gadis itu memang kehilangan sebagian konsentrasinya. Kepalanya dipenuhi berbagai hal tentang hutang keluarganya. Jika kemarin Nayla masih dibuat bertanya-tanya tentang nominal hutang yang tak kunjung dibeberkan Ratu, pagi ini akhirnya semua pertanyaan itu terjawab tuntas. Tiga milyar, selama ini Ratu menanggung beban hutang tiga milyar seorang diri. Mencicil sedikit demi sedikit namun hutang itu tak kunjung menipis karena setiap bulan bunganya juga bertambah. Nayla terpaksa mencari tahu masalah ini karena ia benar-benar tidak tega melihat sang kakak banting tulang siang malam. Belum lagi kemarin, Ratu pulang dalam keadaan terluka dan yang membuat hati Nayla semakin pilu adalah alasan dibalik hadirnya luka itu. Ratu nyaris dilecehkan pria yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa Nayla bayangkan apa
SesiliaAku sedang di apartemenmu. Ikuti permintaanku jika kamu ingin aku pulang. Rezan mendesah berat membaca pesan itu. Ia melepas jas putihnya, melirik arloji di tangan kiri, kemudian menyampirkan jas navy di tangan. Baru saja keluar dari ruangan kerjanya, pesan baru kembali hinggap di ponselnya. SesiliaThe Rosemary Restaurant, table number 15. Dont be late, Honey😘 Rezan melesakkan kembali ponselnya ke saku jasnya. Ia melenggang penuh wibawa menelusuri koridor. Tiba di depan lift, ketika lemari bergerak itu terbuka, beberapa orang yang ada di dalam sana tampak menyapa penuh hormat. Hanya sapaan tanpa kata yang orang-orang itu berikan, Rezan meresponsnya dengan anggukan pelan. Harum tubuh Rezan menguar di dalam lift itu, wanita-wanita yang ada di sana silih senggol tangan dan menggunjing Rezan dengan isyarat tertentu seperti lirikan dan senyum penuh arti. Pesona dokter 34 tahun itu sungguh
"Rezan!!!" teriak Sesilia saat wanita satu anak itu tiba di apartemen adiknya. Sesil mau meminta pertanggung jawaban Rezan atas tindakan tidak sopan pria itu pada sepupu kenalannya. "Geo, bantu Mami cari om Rezan, cari di kolong meja, di bawah karpet, atau di gorong-gorong kalau perlu!" "Kita mau cari om Rezan atau kecoak, Mi?" tanya Geovandi, usia 7 tahun, satu-satunya keponakan Rezan—setidaknya untuk saat ini. "Om kamu emang udah kayak kecoak, resek, bikin ilfil, nyebelin. Arggh, malu-maluin." "Huhh, tahu begitu tadi aku ikut Papi saja ke gym," gumam Geo yang sudah tidak terdengar maminya karena Sesilia sudah sibuk mencari keberadaan adiknya.
“Ratu Anayasa!!!” teriak Surya setelah menemukan keberadaan Ratu. Gadis itu baru keluar dari ruang ganti untuk memulai pekerjaannya malam ini. Penampilan Ratu terlihat menawan seperti biasanya. Rambut yang hitam lurus nan panjang itu diikat kuda, menggunakan topi berwarna senada dengan seragam yang dikenakannya. Untuk ukuran pakaian kerja di kelab, seragam Ratu lumayan tertutup. Memang pada dasarnya Ratu ini memiliki kelebihan pada fisiknya, sehingga apa pun pakaian yang dia kenakan terlihat cocok dan sempurna. Tingginya 165 cm, kulit kuning langsat, bulu mata lentik, bibir tipis, hidung mancung. Wajar apabila banyak pria yang mendambakannya. “Apa, sih, teriak-teriak udah kayak di hutan aja.” “Gue punya kerjaan bagus buat lo.”
"Sebentar, sebentar Mbak, otak aku lagi ngelag ini," kata Ratu meminta izin untuk ia menyesap minuman segarnya dulu. Apa yang ditawarkan perempuan di hadapannya ini sungguh membuat kepala Ratu pening. Lima miliar? Serius ada orang yang berani membayarnya semahal itu untuk sebuah misi yang menurut Ratu sangat cetek. Rasanya gadis itu masih sulit mempercayainya, apa jangan-jangan Surya sedang berusaha menjualnya? "Kenapa, kurang ya?" tanya wanita itu karena melihat lawan bicaranya temenung cukup lama. "Ah, enggak, enggak, itu udah gede banget Mbak. Aku cuma lagi heran aja, masa Mbak rela bayar aku semahal itu cuma buat menggoda pria." Wanita anggun berwajah tegas di hadapannya ini adalah klien yang diceritakan Su
Kaki Nayla terus bergetar begitu ia sudah memasuki kamar di salah satu hotel yang menjadi tempat janjiannya dengan klien pertama dari situs mateforyou.com. Gadis itu menangkup kedua lututnya lalu ditekan agar ia berhenti bergetar. Ini bukan pilihan yang mudah tapi Nayla benar-benar sudah kehabisan langkah dalam mencari jalan lain. Dia sepakat untuk melayani seorang pria yang dari data dirinya berstatus duda dan sudah cukup berumur. Nayla akan dibayar 200 juta untuk malam pertama ini, sungguh penawaran yang menggiurkan untuk amatir sepertinya. Nominal itu tidak seberapa jika dibanding dengan hutang kedua orang tuanya tapi setidaknya itu lebih besar daripada upah kerja paruh waktu yang selama ini gadis itu terima. Dengan uang itu Nayla bisa membayar tagihan 15 juta/bulan yang ditentukan pak Bandot. Jangan kira hanya karena N
"Ayo dong, mana suara tepuk tangannya? Kok sepi sekali, ini bukan pemakaman, kan?" ujar wanita itu lagi.Kali ini tepuk tangan menggema di setiap penjuru ruangan. Para wartawan bahkan sampai gagal fokus karena tindakansavageRatu barusan."Teman-teman wartawan, kalian jangan bingung, ya. Tadi itu kalian semua kena prank dari kakek Dermawan. Dia sengaja mengumumkan suamiku mau bertunangan dengan Caralyn untuk memberi kejutan pada kalian semua dan juga masyarakat di luar sana. Seperti yang sudah kalian lihat, Caralyn ini adalah gadis baik yang bisa menerima pasangan apa adanya. Usia tak menghalangi cinta mereka, Caralyn sudah mantap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius bersama kakek Dermawan. Mari kita doakan semoga cinta mereka abadi selamanya, amin.""Aminnn," koor seluruh tamu yang datang sembari bertepuk tangan meriah."Woahh ... RATU ANAYASA, LO YANG TERBAIK!" teriak Surya di tempatnya sambil tepuk tangan keras-keras.
Seperti dugaan Rezan, kejanggalan sikap Dermawan pada akhirnya membawa prahara baru yang seharusnya tak pernah muncul dalam kehidupan rumah tangga pria itu. Caralyn, apa maksudnya semua ini? Kenapa pula tiba-tiba saja perempuan itu muncul di depannya. Lantas dikenalkan sebagai calon istri kedua Rezandra Mahadewa di depan seluruh tamu undangan yang hadir ke pesta ulang tahun Derma Group.Ratu bahkan sampai tak mengedip mendengar pengumuman itu. Rezan menatap nyalang kakeknya dengan rahang mengeras. Tidak pernah mereka duga, acara keluarga yang semula diprediksi akan berjalan dengan baik dan lancar justru berlangsung dengan penuh kejutan begini."Oh-My-God!Itu aki-aki t
Masih di hari yang sama pasca Rezan dan Ratu sukses bermesraan di kamar tanpa gangguan Reyandra, siangnya kediaman keluarga Dermawan kedatangan tamu yang cukup mengejutkan seisi rumah. Terutama Rezan dan Ratu, mereka tidak pernah menyangka momen mencengangkan ini akan menimpa mereka. Tak sedikit pun terbersit di kepala keduanya bahwa Dermawan kenal baik dengan kakek Caralyn. Ya, dokter cantik yang mendambakan suami Ratu itu ternyata cucu dari kenalan Dermawan. Seorang pengusaha perusahaan minyak bumi yang cukup terkenal di Timur Tengah sana.Kakek Caralyn sedang melakukan perjalanan bisnis ke Indonesia, dia mendapat kabar bahwa kawan lamanya sedang tidak sehat makanya dia datang untuk menjenguk. Rezan tidak tahu kalau kakeknya sudah mengatur janji dengan kakek Caralyn sejak pria tua itu masih di rumah sakit. Pikiran buruk Rezan terhadap sang kakek kembali menggeliat. Meskipun berdasarkan keterangan Caralyn dia datang ke sana tanpa disengaja namun tetap saja terasa janggal bag
Ratu baru merasakan indahnya penerimaan setelah penolakan panjang yang Dermawan lakukan. Pasca hari itu, segala sesuatunya membaik tanpa ia sangka. Sikap Dermawan pada Ratu sangat baik, bahkan mereka sangat akrab belakangan ini. Ya, tidak terasa hampir satu bulan sudah Rezan dan keluarga kecilnya berada di Jakarta. Cuti yang semula dijadwalkan hanya dua pekan, terpaksa diperpanjang atas permintaan Ratu. Kebetulan Rezan belum pernah menggunakan jatah cutinya sama sekali sehingga ia bisa mengambil cuti panjang kali ini.Kondisi kakek Dermawan pun berangsur membaik, operasinya berjalan lancar dan dia sudah kembali ke rumah sejak pekan lalu setelah hampir sebulan penuh menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Selain menghabiskan waktu dengan keluarga suaminya, tak lupa Ratu pun meluangkan waktu untuk bertemu dengan Nayla, Geva, Genaya, dan Surya tentu saja. kurang lengkap rasanya kalau Ratu tidak bertemu dengan kawan gilanya, yang sekarang sudah agak sedikit waras. Masi
Ratu keluar dari ruang perawatan Dermawan dengan mata mengerjap beberapa kali. Perempuan itu tampak seperti orang bingung, Rezan yang sejak tadi harap-harap cemas lantas menghampiri sang istri. Dia menduga kakeknya kembali bicara yang tidak-tidak hingga membuat Ratu seperti itu."Kamu tidak apa-apa?" tanya Rezan cemas, dia sudah bertekad untuk kembali memboyong keluarganya ke New York. Negara ini memang sudah tidak cocok untuk keluarganya."Mas, aku mimpi enggak, sih?" tanya Ratu masih setengah sadar.Sontak kebingungan berpindah pada Rezan."Kakek berbicara hal yang buruk lagi padamu?"Ratu menggeleng sambil berujar, "Dia menerimaku, Mas."Ratu masih tidak percaya pada ucapannya sendiri. Rezan terkejut namun masih ingin menunggu kelanjutan cerita sang istri.Beberapa waktu lalu ..."Permisi Kek, ini aku,"
Rasanya seperti terkurung dalam ruangan yang menyatukan dua musuh bebuyutan. Keheningan yang tercipta terasa kian mencekam ketika hanya bunyi alat medis saja yang terdengar di sana. Sejak lima menit lalu Rezan diberi kesempatan untuk menghadap kakeknya lebih dulu. Tentu saja itu ide Sesilia, dalang di balik semua rencana konyol ini.Dermawan memperhatikan cucunya dari ranjang sambil berbaring. Rezan semakin tampan, tetap gagah dan berwibawa seperti biasanya. Tidak salah memang, darah Dermawan mengalir deras dalam diri Rezandra Mahadewa. Dia berhak menjadi pimpinan Derma Group, sayangnya pria itu tidak menyimpan ketertarikan pada dunia bisnis.Jauh di lubuk hati pria tua itu, dia sangat merindukan Rezan, ingin kembali akrab dan bercengkerama dengan hangat bersama sang cucu seperti dulu. Namun Rezan terlihat masih sangat marah padanya. Dia bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun sejak memasuki ruang rawat kakeknya.“Sampai kapan kamu akan mendiamkan kakek se
Perdebatan panjang sudah dilalui, menghasilkan satu keputusan yang tak pernah Rezan sangka akan ia ambil. Pria itu dan keluarga kecilnya sudah tiba di Indonesia. Disambut hangat oleh Sesilia, Nayla, dan keluarga yang lain. Setelah mendapat penyambutan yang cukup spesial di bandara, Sesilia tidak langsung mengajak Rezan dan Ratu ke rumah sakit. Berdasarkan penjelasan wanita itu, kakek Dermawan sudah berhasil melewati masa kritisnya. Jadi mereka bisa menjenguk kakek Dermawan nanti. Kediaman megah Dermawan, tempat itulah yang dituju oleh Rezan sekarang. Di sana dia disambut dengan senyuman dan pelukan hangat Restu—sang ayah. Orang tua itu tak henti menciumi pipi Reyandra, cucu yang selama ini hanya bisa dia lihat via panggilan video, akhirnya kini sudah bisa dipeluk langsung. “Kakek jangan cium-cium telus, Leyan geli tahuuu,” protes anak itu cemberut, tak ayal semua orang tertawa karenanya. “Kakek rindu kamu, Sayang, wajar dong kalau kakek cium pipi kamu kayak t
“Mas, tolong dengarkan aku dulu, kita harus pulang malam ini juga,” bujuk Ratu, berusaha meyakinkan suaminya tentang semua rencana yang sudah dia atur.“Kamu tidak bisa seperti ini, Ratu, aku tidak mau pulang ke Indonesia. Bagaimana dengan pekerjaanku di sini?” keras Rezan.Sebenarnya dia tidak begitu memikirkan pekerjaan, yang menjadi pertimbangan utama pria itu adalah perasaan sang istri saat menghadap keluarganya nanti atau lebih tepatnya ketika menghadap Dermawan. Lagi pula Rezan tidak yakin kalau Dermawan benar-benar kritis. Bisa saja berita sakitnya Dermawan adalah skenario yang disusun Sesilia dan kakeknya agar Rezan luluh dan mau pulang. Ingat, Dermawan adalah orang berkuasa yang bisa melakukan apa pun yang dia mau. Berkaca pada pengalaman itu, wajar kalau Rezan meragukan kondisi kakeknya saat ini.“Aku sudah menghubungi atasanmu perkara masalah cuti ini, hanya sebentar Mas. Lagi pula kepala medik juga mengizinkan kamu untuk
Keesokan harinya, Sesilia memasuki ruangan pribadi kakek Dermawan. Pria tua itu memang menjalani perawatan di rumah saja dengan cara memanggil dokter ahli ke rumahnya setiap tiga kali seminggu. Kondisi kesehatan Dermawan memang menurun drastis seperti yang dikabarkan Sesilia kemarin pada adiknya. Dia sangat ingin bertemu dengan cucu dan cicit terkasihnya yang kini tinggal jauh dari jangkauannya. Namun, masih sulit bagi pria tua itu untuk menerima Ratu. Baginya, perempuan itulah yang telah menghancurkan keharmonisan hubungannya dengan Rezan.“Bagaimana Sesilia, apa sudah ada jawaban dari adikmu?”“Dia masih belum menyerah, Kek, entahlah aku harus membujuknya sampai kapan agar dia mau pulang dan menjenguk Kakek.”“Mungkin Kakek harus mati dulu baru dia akan berkunjung ke sini. Kakek sudah tidak punya apa-apa, memangnya salah kalau Kakek ingin bertemu dengan cucu dan cicit kesayangan Kakek?”Sesilia mengela napas berat, ia