Jingga keluar dari ballroom yang mulai sepi. Ia mengayunkan langkahnya menghampiri lift dan melihat punggung dua wanita yang cukup dikenalinya. Lucy dan... Rachel. Kedua wanita itu tengah mengobrol dan tertawa bersama sembari menunggu pintu lift terbuka. Jingga bukan orang yang akan merasa nyaman berdiri satu ruangan dengan seseorang yang tidak akrab dengannya—apalagi membencinya—seperti Lucy, meskipun wanita itu adalah mertuanya sendiri. Maka dari itu, Jingga memutuskan untuk berbalik arah, tapi ia terlambat karena Rachel tiba-tiba menengok ke belakang. “Oh, Jingga? Mau naik juga?” tanya Rachel seraya tersenyum ramah. Jingga balas tersenyum, mengangguk. “iya,” jawabnya pada akhirnya. Sudah terlambat untuk menghindar. Lucy menoleh. Jingga sedikit menganggukkan kepala sambil tersenyum untuk menyapa sang ibu mertua. Tak ada senyuman balasan sama sekali di wajah Lucy. Jingga berusaha menahan napas sejenak, merasakan atmosfer yang tiba-tiba menjadi tegang. Lucy hanya menatapnya ta
Mendengar pertanyaan Jingga, Davin seketika terdiam. Kemudian menghela napas panjang dan menangkup pipi istrinya itu. “Kita mandi dulu, ya. Aku gerah,” ucap Davin pada akhirnya. “Setelah mandi, aku janji akan menceritakan semuanya padamu, Sayang.” Kening Jingga berkerut dalam. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang serius dengan pembahasan mengenai Rachel. Karena jika tidak, Davin tidak akan menunggu nanti-nanti. Namun, Jingga tidak ingin berspekulasi sendiri. Ia akhirnya mengangguk mengiakan keinginan Davin. “Ya sudah. Mau mandi bareng?” tawar Jingga seraya melepaskan diri dari pelukan pria itu. Davin menelan saliva. Tawaran itu sangat menggiurkan. Lebih menggiurkan dari tawaran kerjasama antar perusahaan. Davin memandangi tubuh sang istri dari belakang, yang baru akan menghapus make up. Lalu Davin mendekat, memeluknya dari belakang. “Nggak, Sayang. Kita mandi gantian saja, ya,” ucap Davin dengan berat hati. Jingga menoleh ke arah Davin seraya mengulum senyum. “Tumben?”
Pagi itu Jingga terbangun sendirian. Ia tidak menemukan Davin maupun Oliver di sampingnya. Seprai yang kusut itupun terasa dingin, pertanda bahwa kedua lelaki itu sudah cukup lama meninggalkan kasur.Jingga memaksa dirinya untuk bangkit duduk. Overthinking yang menderanya membuat Jingga baru bisa memejamkan mata hampir pukul tiga dini hari. Penjelasan Davin tadi malam mengenai Rachel, benar-benar mengganggu pikirannya.Saat Jingga akan melangkah ke kamar mandi, matanya menemukan sebuah notebook berlogo hotel yang terbuka di atas nakas, ada bolpen di sebelahnya. Dan terlihat tulisan tangan Davin di notebook tersebut.Jingga mengernyitkan dahi. Merasa penasaran dengan tulisan tangan itu, ia lantas mengambil notebook tersebut dan membaca pesan yang ditinggalkan suaminya.*Sayang, maafkan aku kalau tadi malam penjelasanku membuatmu khawatir dan mungkin overthinking. Aku sudah bicara pada Mami pagi ini, menjelaskan bahwa aku nggak akan mengikuti keinginannya. Aku sudah punya keluarga yang
Jingga tidak bisa melupakan kata-kata yang diucapkan Lucy pagi itu. Ucapan tajam ibu mertuanya selalu terngiang-ngiang. Membuatnya tak berselera makan. Tak bisa tidur nyenyak. Semakin kuat Jingga berusaha melupakannya, semakin keras pula suara Lucy terngiang di telinga. Jingga tidak menceritakan pertemuannya dengan Lucy kepada Davin. Ia memendamnya seorang diri. Sebab, Jingga yakin, jika Davin tahu mengenai apa yang Lucy ucapkan padanya, Davin akan marah besar pada ibunya. Jingga tidak mau membuat Davin bersikap tak wajar pada ibunya sendiri. Ponsel Jingga berdering, membuyarkan lamunannya. Jingga mengalihkan pandangannya dari makanan di hadapannya yang belum ia sentuh sama sekali—karena selera makannya benar-benar buruk, ke arah ponsel yang tergeletak di samping gelas. Panggilan dari Davin. Jingga tidak bisa menahan senyumnya kala membaca nama pria itu terpampang di layar. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” sapa Jingga sambil beranjak dari meja makan. “Sayan
Setelah dokter pribadi keluarga Davin—yang telah selesai memeriksa kondisi Jingga, menyarankan agar Jingga segera diperiksa oleh dokter spesialis kandungan, maka sore itu juga Davin membawa Jingga ke rumah sakit dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan. Selain demam, Jingga juga mengeluh perutnya sakit dan badannya lemas. “Kandungan Bu Jingga terlihat baik, tapi saya melihat ada sedikit tanda-tanda stres pada janin. Apa belakangan ini Bu Jingga merasa cemas atau stres berlebihan?" tanya Dokter Kartika sesaat setelah ia selesai memeriksa kondisi kandungan Jingga. "Stres?" Jingga terkejut mendengar dokter kandungan itu dapat menebak bahwa akhir-akhir ini ia merasa cemas dan mungkin bisa dibilang stres berlebih. Tak bisa dipungkiri, kata-kata ibu mertuanya tempo hari membuat pikiran Jingga semrawut. Namun, Jingga tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa ia stres di depan Dokter Kartika dan Davin. Jingga lalu menoleh pada suaminya, yang tampak cemas dan khawatir.
Davin benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Jingga bed rest, ia memperlakukan Jingga dengan penuh perhatian. Selain cuti dari pekerjaannya, Davin juga benar-benar membiarkan Jingga istirahat sepenuhnya, ia juga mengurus Oliver dari pagi hingga malam. Ketika waktu sarapan dan makan siang, Davin membawakan makanan Jingga ke kamar dan menyuapinya, memastikan Jingga makan dengan benar meski terkadang Jingga menolak karena selera makannya masih belum membaik.Lalu siang ini, Davin berhasil menidurkan Oliver. Ternyata tidak sulit membuatnya tertidur, pikir Davin. Sebab anak itu pasti mengantuk jika waktu tidur siangnya sudah tiba. Setelah merebahkan Oliver di atas kasur yang sama dengan Jingga, Davin lantas beralih ke sisi kasur yang lain, duduk bersandar di headboard seraya menarik Jingga ke dalam pelukannya. “Sayang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Davin seraya menyusupkan jari jemarinya di rambut Jingga dan mengusap-usapnya lembut. Jingga menyandarkan pipinya di dada Davin, menga
“Maaf, Pak. Saya bukan Satria. Saya Mas Yanto. Bapak nggak lihat tulisan di sana, ya? Ini ‘Pecel Mas Yanto’.”Davin menoleh ke arah spanduk yang menggantung di depan gerobak, yang ditunjuk oleh seorang pria tua keriput yang bernama Yanto itu.Davin menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, kalau begitu. Apa Bapak, maksud saya Mas Yanto tahu di mana pecel yang dijual oleh Satria?” tanya Davin dengan ragu-ragu.Yanto mengerutkan keningnya, ia menelengkan kepala, menatap Davin dengan heran. “Mana saya tahu, Pak. Saya nggak pernah menghapal nama-nama tukang pecel. Coba Bapak cari di perempatan sana.” Yanto menunjuk ke sembarang arah, lalu ia sibuk menyajikan pecel pada pelanggannya.Setelah mengucapkan terima kasih, Davin lantas meninggalkan tempat tersebut dan masuk ke dalam mobilnya.Ia menyugar rambut yang sudah sedikit acak-acakan. Mas Yanto adalah penjual pecel ke tujuh yang Davin temui sore ini. Setelah sebelumnya yang Davin temui adalah Udin, Sultan, Sura, Harja, Ilham, dan D
Lucy menyeruput teh hangatnya, seraya mendengarkan penjelasan dari asisten pribadinya mengenai hukuman untuk Chelsea dan Emran yang sudah diputuskan oleh pihak pengadilan siang ini.“Pak Emran dan Chelsea telah dinyatakan bersalah atas percobaan pembunuhan. Hakim memberikan hukuman yang cukup berat untuk mereka berdua,” ujar seorang wanita berusia 30-an sambil membuka berkas di tangannya.Lucy mengangguk perlahan. “Berapa lama mereka dijatuhi hukuman?”“Chelsea dijatuhi hukuman 15 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Sedangkan Pak Emran, karena perannya yang sedikit lebih kecil, mendapat hukuman 10 tahun penjara, juga tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.”Lucy terdiam mendengarnya. Tangannya mengepal. Ia sudah menganggap Chelsea sebagai anak sendiri, tapi berakhir dikhianati. Meski Lucy yakin bahwa sasaran utama Chelsea adalah Jingga, tapi Lucy tidak bisa memaafkan siapapun yang sudah berusaha melukai putranya.“Tapi... apa ada kemungkinan mereka bisa mengajukan ba
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah