Navier duduk dengan angkuh di sebuah kursi, dan menopang dagu dengan tangan kirinya. Di depannya, sang kakek dan orang yang dia anggap ayah sedang duduk dan memegang sebuah map.
"Harusnya Kakek membiakan aku melenyapkan wanita itu!" ucap Navier dengan ketus. Dia hanya menatap lelah pada pria tua di seberang sana, tanpa pergerakan berarti.
"Aku tak tahu jika kau begitu tega untuk menghabisi nyawa ibu mertuamu sendiri, Nav," sela Eris, pria yang dulu pernah mencintai ibunya, dan digadang sebagai pengganti James mengelola bisnis bawahnya.
"Bukan dia, tetapi wanita satunya. Aku terlalu muak melihat wajahnya. Dia pikir, dengan perginya diriku bisa membuatnya menjadi nyonya di sana? Mimpi!"
Eris mengangguk paham. Semula dia mengira jika ingin menghabisi nyawa Cassandra, selaku ibu mertuanya. Namun, ternyata dia salah menduga. Mungkin wanita yang dituju Navier adalah Lissa.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang, Na? Kau tidak mungkin untuk kembali ke
Rasa kesal menggerogoti hati Navier. Dia pergi ke halaman belakang kastil, di mana ada arena untuk berlatih dan beradu tanding. Semua fasilitas dilengkapi oleh kakeknya. Jadi, dia merasa sayang jika tidak digunakan.Lagi pula, Navier sudah lama tidak berlatih dengan tenang. Kesibukannya mengasuh Henry hampir membuatnya tidak bisa bergerak dengan leluasa. Meski Henry juga berlatih, tentu dia tidak bakan mengerahkan semua kemampuannya di depan sang putra, apalagi memintanya untuk berlatih tanding.Ditambah dengan dia yang merawat Henry hampir setahun lamanya dan tidak keluar, semakin membuatnya bosan.Belum pernah Navier diperlakukan seketat itu, dan pelarian menghindari Edgar juga tidak serta merta membuatnya menemukan tempat yang sesuai hatinya."Apa mereka baik-baik saja?" monolog Navier.Dia terbayang Henry yang ditinggalan dengan semua hal yang tidak bisa dia percaya. Namun, saat mengingat ada Sean dan Edgar, dia bisa sedikit bernapas lega.
Navier menangis tersedu, meluapkan amarah dan emosi yang dia pendam pada semua yang dia temui. Tak peduli orang itu dikenalnya atau tidak.Orang-orang yang tidak bersalah di arena latihan pun tak luput dan menjadi korbannya. Separuh dari mereka bisa melarikan diri dan melapor ke Jamees. Separuhnya lagi bertarung dengan terpaksa, dan memiliki banyak jejak luka di tubuh mereka. Bahkan, ada dua yang kehilangan kesadaran.Mereka mungkin saja menahan diri karena melihat Navier yang seorang cucu pemimpin mereka, tetapi tidak dengan Navier.Wanita yang patah hati karena dipaksa meninggalkan suami dan anaknya itu tidak bisa menahan diri.Ada banyak luka kecil yang menghiasi tubuhnya, dan Navier tidak sadarkan diri beberapa waktu kemudian. Beruntung, James datang tepat waktu dan bisa segera mengambil tindakan.Para bawahannya langsung dilarikan ke klinik yang tersedia di kastilnya, dan Navier ditangani langsung oleh Eris, selaku keluarganya."Aku tid
Waktu berjalan dengan cepat, tak terasa jika Henry sudah memasuki usia remaja. Tahun ini dia sudah berusia dua puluh.Ayahnya masih setia sendiri, an tidak menghiraukan Lissa yang selalu menempeli seperti lem. Tak hanya itu, Cassandra juga masih betah memaksa Edgar meski anaknya sudah menolak dengan terang-terangan.Bagaimanapun, Edgar masih menyimpan satu nama di hatinya, dan tidak membiarkan hal itu lekang dimakan waktu.Dan seiring bertambahnya usia, Jonathan telah resmi mengundurkan diri, dan menyerahkan tampuk kekuasaan sepenuhnya pada Edgar, dengan dibantu Felix, tanpa memberi muka pada Luois sedikitpun.Meski sudah lebih berusia, Edgar tetap tidak kehilangan pesonanya."Ayah, wanita itu datang lagi," ketus Henry. Dia sudah terlampau hapal dengan Lissa yang selalu mengunjungi ayahnya di jam kerja."Biarkan saja," balas Edgar.Baginya, tidak ada guna meladeni orang yang bahkan tidak memiliki sedikitpun di ruang hatinya. Hanya aka
Henry berdiri di balkon kamarnya, sambil memandang pemandangan malam yang sunyi.Semenjak ditinggalkan Navier, Henry menjadi lebih pendiam jika menghadapi orang lain, berbeda jika menghadapi sang ayah. Mereka pikir, sifat Henry memang seeperti itu sejak lahir. Hanya Edgar yang tahu perubahan itu, tetapi tidak bisa berbuat banyak."Kalau kukatakan ingin bertemu denganmu, apa kau akan datang, Mama?" monolog Henry. Dia selalu ingin bertemu dengan ibunya sejak ditinggalkan. Bahkan, dia selalu berharap jika dia yang dibawa ibunya pergi, bukan dititipkan pada ayah dan paman-pamannya. Apalagi pada neneknya.Wanita tua itu selalu memarahinya jika menyinggung atau menyebut nama Navier.Hal itu membuat Henry merasa tidak nyaman jika bersama neneknya. Jika sang ayah akan menitipkannya pada Cassandra, HEnry selalu menolak dengan memberi berbagai alasan."Kata nenek, Mama pergi dengan pria lain. Pasti sudah memiliki keluarga baru, dan menolak keberadaanku
"Maaf, apa aku bisa meminta tolong?"Henry menoleh sekelilingnya, dan tidak mendapati siapa pun di sekitarnya kecuali satu orang. Yakni, wanita muda yang terlihat kesusahan membawa barang belanjaannya.Wanita yang memiliki penampilan berantakan dengan kacamata bulat hitam, dan rambut merah lurus yang diikat kuda poni, dengan anakan rambut yang membiangkai wajahnya yang bulat. Untuk sekilas, Henry terpesona, dan berharap bisa melihat wajah itu secara keseluruhan."Haallo? Apa kau bisa membantuku?" pintanya lagi.Henry yang sempat termenung karena terpesona pada wanita itu, mulai tersadar."A-ah, iya. Maaf. Aku bisa membantu. Harus kuapakan? Aku harus membantu apa?"Wanita itu terkekeh mendengar Henry yang terdengar gagap. Kemudian, wanita itu menunjuk barang belanjaannya.Dan hal itu, sontak membuat Henry kaget.Belanjan yang ditunjuk wanita itu amat banyak. Beberapa darinya tercecer karena kantong belanjaan yang rusak. Ji
"Apa Nona mau kuajak makan siang?" tanya Henry.Wajahnya sudah seperti kepiting rebus, dengan jantung yang berdebar kencang. Sebagai remaja, Henry tak perlu banyak berpikir untuk mengetahui apa yang terjadi lada dirinya."Split bill?" tanya wanita itu.Henry menggeleng keras.Jika itu dia yang mengajak, tentu sudah pasti membayarnya juga, bukan membayar masing-masing.Jujur saja, harga diri Henry terluka karenanya. Apa di pertemuan pertama mereka, dia seperti pria yang kekurangan uang?"Jika aku yang mengajak, maka itu artinya aku yang membayar," ucapnya."Tapi kita baru pertama kali bertemu. Dan ... kita juga bahkan belum tahu nama masing-masing."Henry ingin menepuk dahinya. Menyadari bahwa dia terlalu bodoh dan terkesan tidak dipikir sebelumnya."Menurutku, akan lebih baik jika kita membayar bagian masing-masing," ucap wanita itu. Kemudian, dia tersenyum kecil dan membuat wajah Henry kembali memerah.
"Kau sudah bertemu dengannya?" tanya James.Dia memang bertanya pada Navier, tetapi matanya sama sekali tidak beralih dari berkas-berkas yang menggunung di hadapannya."Tentu. Dan aku harap dia tidak mengenaliku di pertemuan berikutnya," lirih Navier.Dia masih berdiri tanpa ingin duduk, dan mengepalkan tanganya erat, hingga kuku-kukunya terasa akan menembus kulit begitu saja."Kau sudah berjanji untuk tidak menemuinya terlalu sering, Nav! Dia bisa curiga dan ingatannya bisa tergali. Kau mungkin mendengar jika dia tidak memiliki kenangan tentangmu lagi. Tapi, bukan berarti dia sama sekali tidak mengingatmu!"Navier ingin sekali menangis. Hanya saja, harga dirinya terlalu tinggi dan menahannya sekuat tenaga."Tetaplah seperti dulu lagi. Kau sudah memastikan jika dia baik-baik saja, kan? Maka dari itu, ayo! Kau tidak bisa terpaku pada masa lalu yang tidak bisa lagi kau raih. Ingat, Nav! Kau cucuku satu-satunya, dan tidak akan kubiarkan kau mel
"Dad, sepertnya aku sedang jatuh cinta!" Edgar hampir saja tersendak ludahnya jika tidak punya pengendalian diri yang bagus.Dia sangat yakn jika sebelum ini, sang putra sama sekali tidak pernah membicarakan masalah ini sebelumnya. "Dia mungkin terlihat sedikit lebih tua dariku, tetapi tidak masalah! Aku bisa menjadi sosok yang lebih dewasa nantinya. Tak hanya itu, aku juga akan bekerja lebih sungguh-sungguh lagi untuk menafkahinya. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh juga, dan menyelesaikannya dengan cepat. Aku tidak mau dia memandangku dengan sebelah mata. Dan, oh! Aku juga akan-" "Hen, cukup!" Kepala Edgar mendadak pusing mendengar putranya yang berceloteh ke sana kemari tanpa henti. Tak hanya itu, Henry juga menampilkan ekspresi yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Sudah sejak lama Edgar melihat espresi eperti itu. Ekspresi putranya yang tanpa tekanan. "Dad, aku akan melamarnya di pertemuan kami yang kedua. Karena itu