Akhirnya, Edgar mengetahui kalau Navier telah sembuh dan bisa berjalan, meski sedikit pincang. Hanya saja, mereka tetap belum menemukan keberadaan Henry dan Jeanne.
Sudah dua hari berlalu. Dan sejak itu, Edgar beserta Navier bersikap kejam pada bawahannya.Navier seolah bisa mengimbangi Edgar.Edgar benar-benar tak pandang bulu. Bahkan, tubuh dan wajah Sean sudah memiliki banyak memar akibat dihajar. Semua hanya karena Sean belum bisa menemukan di mana posisi incarannya."Jika kau masih tidak tahu di mana mereka Sean, maka kukembalikan kau pada kakekku. Kau telah gagal!"Dengan dikembalikannya Sean pada sang kakek, itu artinya dia sudah tidak berharga lagi. Sean akan dibuang, tidak dipedulikan, dan tidak akan lagi memiliki kehidupan seperti sebelumnya."Tidak! Jangan lakukan itu, Tuan. Saya akan berusaha lebih keras lagi!""Kalau begitu, cepat pergi!"Bruk!!!Bukannya berlari, Sean justru pingsNavier tak puas. Semua petunjuk yang dimiliki Edgar tentang keberadaan Jeanne, tidak ada yang tepat. Semua mengarah pada tempat kosong. Entah semua orang itu mengatakan omong kosong, atau memang mereka telah meninggalkan tempat itu, Navier tak tahu. Dia terlalu lelah. Berpisah dengan sang putra selama dua bulan lebih begitu membuatnya frustrasi. Akhirnya, Navier memilih untuk menyerah dan menyerahkan semuanya pada Edgar. "Kalau kau ingin mengatakan omong kosong lagi tentang anak kita, maka pergilah!" usir Navier. Dia memunggungi Edgar yang akan pergi. Navier tahu bahkan sebelum ria itu mengucapkan kalimat untuk mengajaknya. "Aku tidak berbicara omong kosong!" kilah Edgar. "Lalu apa namanya jika bukan omong kosong, kalau semua tempat itu sama sekali tidak memiliki tanda-tanda kehidupan. Jangan memberiku harapan kosong lagi!" Kali itu adalah di mana mereka bertengkar untuk pertama setelah pernikahannya. Hati Navier hancur. Dipisah secara pasrah bukan hal yang bagus. "Percayal
"Kalian semua kupekerjakan bukan untuk menjadi orang bod*h!!!" maki Edgar.Navier benar-benar pergi setelah pertengkaran mereka. Sayangnya, Edgar terlambat menyadari itu.Dia menyesal, karena tidak seharusnya pergi untuk kembali mencari Jeanne."Kalian harusnya mencegah Nyonya kalia pergi! Bukankah kalian tahu jika Navier sedang dalam masa pemulihan! Kalian seharusnya memakai otak kalian yang dun*u itu!!!"Edgar masih terus memaki.Dia melampiaskan semua amarah yyang dia pendam.Semua pengawal dan pelayan yang ada di rumah itu, kembali melihat amukan sang tuan rumah."Tapi, Tuan ...," sanggah salah satu pengawalnya, "kami juga dalam posisi yang sulit," ucapnya lirih. Keadaannya sudah tak berbentuk lagi. Wajah dan tubuhnya dipenuhi memar dan luka."Kalian bisa dikalahkan oleh seorang wanita lemah yang baru melahirkan!? Kalau begitu, apa gunanya pelatihan yang kalian lakukan selama ini!? Navier itu lemah! Sedangkan kalian, sama s
Belum pernah dalam hidup Edgar menjadi semenyebalkan ini. Segalanya menjadi kacau. Bahkan, Jeanne yang mulai mendapatkan tiik terang, kembali menghilang. Dia mengkhawatirkan nasib sang buah hati, yang tidak diketahui rimbanya, dan berada di tangan mereka semua. Apakah masih hidup atau sudah tinggal nama, Edgar tak tahu. Dia hanya mencoba berpikir rasional dan menyelesaikan semua hal satu per satu. Bukannya tak menyayangi Henry, putra pertama yang kini berusia hampir empat bulan. Hanya saja, dia lebih memprioritaskan sang istri untuk kembali ke sisinya. Jika Henry sudah tiada, akan lebih baik untuk mereka mengirimkan jasat padanya. Karena dengan begitu, Edgar dan Navier bisa terpecah. "Aku harap aku tidak salah langkah," monolog Edgar. Dia berusaha untuk menetralkan napasnya, setelah berlari dengan arak yang tak dekat. Hatinya membuncah saat Felix memberitahu jika Navier ada di apartemen mereka dulu. Tak
"D-dad?" Edgar mencoba mengerjapkan matanya saat melihat pemandangan yang tak jauh darinya. Setelah dia sadar, dia menoleh ke arah sang istri yang duduk di sampingnya. Keadaan Navier lebih parah. Air matanya mengalir deras, dengan tubuh yang mematung menatap pemandangan di depannya. "Dia putra kita, kan?" lirih Navier. "Ya, dia putra kita," jawab Edgar. Meski terpisah beberapa bulan, dia tak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah yang dia kagumi di setiap inchi-nya sebagai perwujudan kisah mereka. Wajah itu, Henry. Putra yang dia cari mati-matian sampai bertengkar dengan sang istri, kini tengah didekap kakeknya dan digoda sang nenek. "Apa selama ini Dad dan Mom yang mengasuhnya?" tanya Edgar. Raut wajahnya masih terasa syok dengan kenyataan yang dihadapinya. Jikka dipikir, Edgar tak akan berpikir untuk mencari keberadaan ayah dan ibunya yang telah bangkrut. Jadi, dia tak pernah menjan
"Jadi, bisa kalian jelaskan?" tukas Luois.Dia merasa jika dirinya tak tahu apa-apa tentang putranya.Sang putra yang menghilang selama satu tahun lebih, tanpa sedikitpun kabar.Tak hanya itu, pencariannya juga tak membuahkan hasil sama sekali.Sekalinya datang, Edgar membawa kejutan berupa cucu dan keadaan Navier yang membaik.Padahal, dia tahu dengan jelas jika berdasarkan hasil pemeriksaan, Navier dinyatakan mandul."Aku menutup diri dari semuanya. Termasuk Dad dan Mom," jawab Edgar singkat.Dia menatap wajah sang ayah lekat. "Aku ingin melindungi Navier dari kalian," lanjutnya.Luois mengepalkan tangannya, sedangkan Cassandra menunduk.Setelah dia mengetahui jika sang suami menutupi tingkah buruknya, Cassandra ingin berubah."Aku rasa, tak perlu kujelaskan pun, Dad tahu apa yang kumaksud."Luois dan Cassandra maaih terdiam.Mereka teramat tahu apa yang te
"Awalnya, kami kesulitan dalam segi ekonomi. Ibumu tidak terbiasa dengan keadaan yang kurang dan memilih untuk pergi ke rumah orang tuanya." Luois menjeda.Dia mengingat kembali awal mula mereka ada di kota kecil dan rumah sederhana yang kini mereka tempati."Tidak sepertimu yang beruntung memiliki istri yang bersedia mengikutimu ke mana saja, dan memberikan harta keluarganya yang tersisa untuk membantumu. Aku benar-benar memulai semuanya sendirian tanpa apa pun.""Aku bertengkar dengan Cassandra, dan tak kusangka dia kembali padaku setelah keluarganya menyuruhnya untuk kembali. Ternyata orang tua Cassandra juga tidak memiliki apa pun. Padahal, Cassandra telah banyak menyumbang harta untuk mereka," tutur Luois."Karena itu aku memilih untuk bekerja menjadi karyawan saja sambil mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, untuk nantinya kujaaadikan modal. Yah ... aku juga tak menlak saat tetangga kami menitipkan anak yang katanya, anak saudaranya di lur negeri
Karena ucapan Navier, Cassandra tidak bisa tenang. Di setiap malam dia tidak bisa tidur, dan hanya bisa tidur ketika benar-benar mengantuk. Selebihnya, dia masih mencari cara untuk menyingkirkan menantunya. Henry telah diambil paksa oleh Edgar, dan mereka meninggalkannya tanpa apa pun. Sejujurnya, Luois juga bingung menghadapi suasana yang begitu berubah. Bagaimana jika tetangganya kembali dan menanyakan keberadaan Henry? Tidak mungkin, kan, dia menjawab jika Henry teah diambil orang tuanya, yang adalah anak mereka sendiri. Bagaimana jika tetangganya itu melapor dan membawa masalah itu ke ranah hukum? Luois pasti tidak akan bisa mengelak dan lari dari tanggung jawab, karena semua telah memiliki kontrak yang jelas. "Kurasa akhir-akhir ini kau lebih banyak melamun," tegur Cassandra.Dia menghampiri suaminya yang termenung di teras rumah mereka."Aku memikirkan banyak hal," balas Luois.Wajah mereka
"Edd, kumohon! Tolong izinkan aku untuk belajar ilmu beladiri," pinta Navier. Kini, dia tengah menggendong sang putra dan terus merengek pada Edgar di kamarnya.Semenjak putra mereka ditemukan, Navier menjadi ebih banyak berkspresi, terutama selalu merengek pada Edgar.Pria itu hitung, permintaan ini adalah kali ke lima belas setelah dia selalu menolak lagi dan lagi."Apa aku tak cukup kuat untuk melindungi kalian?" tanya Edgar.Dengan permintaan Navie ryang seperti itu, Edgar merasa dia tidak berguna. Sebagai kepala keluarga dia merasa gagal sampai-sampai sang istri harus meminta untuk berlatih sendiri."Kau cukp kuat, hanya saja aku ingin berguna untukmu."Sejak perdebatannya dengan Cassandra, Navier mengerti satu hal, yakni bahwa dia sama sekali tidak memiliki kemampuan apa pun untuk bersanding dengan sang suami.Jadi, dia berniat untuk memantaskan dirinya dengan Edgar, melalui berbagai hal.Karena dari yang dia tahu, Edgar
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur