"Saya mendapat perintah untuk mnegetahui bagaimana keadaan Nyonya Navier, Tuan," ujar Felix.
"Kau pasti sudah tahu bagaimana jawabanku, Fel." Edgar bermuka masam.Dia tidak menyangka jika sang kakek terus menerus mengutus bawahannya untuk melihat Navier secara langsung.
Sudah satu bulan sejak kelahiran bayi mereka, Edgar tidak mengizinkan siapa pun untuk menjenguknya. Kecuali memang orang yang dipercayakan untuk menjaga Navier.
Bahkan sang kakek pun tidak dia izinkan.
Alasannya mudah. Hanya karena Jonathan tidak datang secara langsung, lantas Edgar tidak mengizinkannya.
"Mohon dimengerti, Tuan. Tuan Jonathan tidak bisa datang karena memang keadaan beliau yang memaksa. Anda pasti sudah tahu tentang semuanya, kan? Jadi, beliau hanya bisa mengutus saya untuk memastikan keadaan Nyonya secara langsung."
Felix tetap pada tujuannya, yakni melihat Navier secara langsung.
"Aku sudah memberikan laporan secara detail pada kakek. Lagi pula, kau ti
Akhirnya, Edgar mengetahui kalau Navier telah sembuh dan bisa berjalan, meski sedikit pincang. Hanya saja, mereka tetap belum menemukan keberadaan Henry dan Jeanne. Sudah dua hari berlalu. Dan sejak itu, Edgar beserta Navier bersikap kejam pada bawahannya. Navier seolah bisa mengimbangi Edgar. Edgar benar-benar tak pandang bulu. Bahkan, tubuh dan wajah Sean sudah memiliki banyak memar akibat dihajar. Semua hanya karena Sean belum bisa menemukan di mana posisi incarannya. "Jika kau masih tidak tahu di mana mereka Sean, maka kukembalikan kau pada kakekku. Kau telah gagal!" Dengan dikembalikannya Sean pada sang kakek, itu artinya dia sudah tidak berharga lagi. Sean akan dibuang, tidak dipedulikan, dan tidak akan lagi memiliki kehidupan seperti sebelumnya. "Tidak! Jangan lakukan itu, Tuan. Saya akan berusaha lebih keras lagi!" "Kalau begitu, cepat pergi!" Bruk!!! Bukannya berlari, Sean justru pings
Navier tak puas. Semua petunjuk yang dimiliki Edgar tentang keberadaan Jeanne, tidak ada yang tepat. Semua mengarah pada tempat kosong. Entah semua orang itu mengatakan omong kosong, atau memang mereka telah meninggalkan tempat itu, Navier tak tahu. Dia terlalu lelah. Berpisah dengan sang putra selama dua bulan lebih begitu membuatnya frustrasi. Akhirnya, Navier memilih untuk menyerah dan menyerahkan semuanya pada Edgar. "Kalau kau ingin mengatakan omong kosong lagi tentang anak kita, maka pergilah!" usir Navier. Dia memunggungi Edgar yang akan pergi. Navier tahu bahkan sebelum ria itu mengucapkan kalimat untuk mengajaknya. "Aku tidak berbicara omong kosong!" kilah Edgar. "Lalu apa namanya jika bukan omong kosong, kalau semua tempat itu sama sekali tidak memiliki tanda-tanda kehidupan. Jangan memberiku harapan kosong lagi!" Kali itu adalah di mana mereka bertengkar untuk pertama setelah pernikahannya. Hati Navier hancur. Dipisah secara pasrah bukan hal yang bagus. "Percayal
"Kalian semua kupekerjakan bukan untuk menjadi orang bod*h!!!" maki Edgar.Navier benar-benar pergi setelah pertengkaran mereka. Sayangnya, Edgar terlambat menyadari itu.Dia menyesal, karena tidak seharusnya pergi untuk kembali mencari Jeanne."Kalian harusnya mencegah Nyonya kalia pergi! Bukankah kalian tahu jika Navier sedang dalam masa pemulihan! Kalian seharusnya memakai otak kalian yang dun*u itu!!!"Edgar masih terus memaki.Dia melampiaskan semua amarah yyang dia pendam.Semua pengawal dan pelayan yang ada di rumah itu, kembali melihat amukan sang tuan rumah."Tapi, Tuan ...," sanggah salah satu pengawalnya, "kami juga dalam posisi yang sulit," ucapnya lirih. Keadaannya sudah tak berbentuk lagi. Wajah dan tubuhnya dipenuhi memar dan luka."Kalian bisa dikalahkan oleh seorang wanita lemah yang baru melahirkan!? Kalau begitu, apa gunanya pelatihan yang kalian lakukan selama ini!? Navier itu lemah! Sedangkan kalian, sama s
Belum pernah dalam hidup Edgar menjadi semenyebalkan ini. Segalanya menjadi kacau. Bahkan, Jeanne yang mulai mendapatkan tiik terang, kembali menghilang. Dia mengkhawatirkan nasib sang buah hati, yang tidak diketahui rimbanya, dan berada di tangan mereka semua. Apakah masih hidup atau sudah tinggal nama, Edgar tak tahu. Dia hanya mencoba berpikir rasional dan menyelesaikan semua hal satu per satu. Bukannya tak menyayangi Henry, putra pertama yang kini berusia hampir empat bulan. Hanya saja, dia lebih memprioritaskan sang istri untuk kembali ke sisinya. Jika Henry sudah tiada, akan lebih baik untuk mereka mengirimkan jasat padanya. Karena dengan begitu, Edgar dan Navier bisa terpecah. "Aku harap aku tidak salah langkah," monolog Edgar. Dia berusaha untuk menetralkan napasnya, setelah berlari dengan arak yang tak dekat. Hatinya membuncah saat Felix memberitahu jika Navier ada di apartemen mereka dulu. Tak
"D-dad?" Edgar mencoba mengerjapkan matanya saat melihat pemandangan yang tak jauh darinya. Setelah dia sadar, dia menoleh ke arah sang istri yang duduk di sampingnya. Keadaan Navier lebih parah. Air matanya mengalir deras, dengan tubuh yang mematung menatap pemandangan di depannya. "Dia putra kita, kan?" lirih Navier. "Ya, dia putra kita," jawab Edgar. Meski terpisah beberapa bulan, dia tak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah yang dia kagumi di setiap inchi-nya sebagai perwujudan kisah mereka. Wajah itu, Henry. Putra yang dia cari mati-matian sampai bertengkar dengan sang istri, kini tengah didekap kakeknya dan digoda sang nenek. "Apa selama ini Dad dan Mom yang mengasuhnya?" tanya Edgar. Raut wajahnya masih terasa syok dengan kenyataan yang dihadapinya. Jikka dipikir, Edgar tak akan berpikir untuk mencari keberadaan ayah dan ibunya yang telah bangkrut. Jadi, dia tak pernah menjan
"Jadi, bisa kalian jelaskan?" tukas Luois.Dia merasa jika dirinya tak tahu apa-apa tentang putranya.Sang putra yang menghilang selama satu tahun lebih, tanpa sedikitpun kabar.Tak hanya itu, pencariannya juga tak membuahkan hasil sama sekali.Sekalinya datang, Edgar membawa kejutan berupa cucu dan keadaan Navier yang membaik.Padahal, dia tahu dengan jelas jika berdasarkan hasil pemeriksaan, Navier dinyatakan mandul."Aku menutup diri dari semuanya. Termasuk Dad dan Mom," jawab Edgar singkat.Dia menatap wajah sang ayah lekat. "Aku ingin melindungi Navier dari kalian," lanjutnya.Luois mengepalkan tangannya, sedangkan Cassandra menunduk.Setelah dia mengetahui jika sang suami menutupi tingkah buruknya, Cassandra ingin berubah."Aku rasa, tak perlu kujelaskan pun, Dad tahu apa yang kumaksud."Luois dan Cassandra maaih terdiam.Mereka teramat tahu apa yang te
"Awalnya, kami kesulitan dalam segi ekonomi. Ibumu tidak terbiasa dengan keadaan yang kurang dan memilih untuk pergi ke rumah orang tuanya." Luois menjeda.Dia mengingat kembali awal mula mereka ada di kota kecil dan rumah sederhana yang kini mereka tempati."Tidak sepertimu yang beruntung memiliki istri yang bersedia mengikutimu ke mana saja, dan memberikan harta keluarganya yang tersisa untuk membantumu. Aku benar-benar memulai semuanya sendirian tanpa apa pun.""Aku bertengkar dengan Cassandra, dan tak kusangka dia kembali padaku setelah keluarganya menyuruhnya untuk kembali. Ternyata orang tua Cassandra juga tidak memiliki apa pun. Padahal, Cassandra telah banyak menyumbang harta untuk mereka," tutur Luois."Karena itu aku memilih untuk bekerja menjadi karyawan saja sambil mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, untuk nantinya kujaaadikan modal. Yah ... aku juga tak menlak saat tetangga kami menitipkan anak yang katanya, anak saudaranya di lur negeri
Karena ucapan Navier, Cassandra tidak bisa tenang. Di setiap malam dia tidak bisa tidur, dan hanya bisa tidur ketika benar-benar mengantuk. Selebihnya, dia masih mencari cara untuk menyingkirkan menantunya. Henry telah diambil paksa oleh Edgar, dan mereka meninggalkannya tanpa apa pun. Sejujurnya, Luois juga bingung menghadapi suasana yang begitu berubah. Bagaimana jika tetangganya kembali dan menanyakan keberadaan Henry? Tidak mungkin, kan, dia menjawab jika Henry teah diambil orang tuanya, yang adalah anak mereka sendiri. Bagaimana jika tetangganya itu melapor dan membawa masalah itu ke ranah hukum? Luois pasti tidak akan bisa mengelak dan lari dari tanggung jawab, karena semua telah memiliki kontrak yang jelas. "Kurasa akhir-akhir ini kau lebih banyak melamun," tegur Cassandra.Dia menghampiri suaminya yang termenung di teras rumah mereka."Aku memikirkan banyak hal," balas Luois.Wajah mereka