"Lihatlah pria itu, bahkan dia juga tidak perduli. Dia pergi begitu saja, sangat menjengkelkan!" gerutu Asih.Asih belum juga bisa meredam kemarahannya, apa lagi saat Barra memutuskan untuk pergi dengan begitu saja."Bilang aja kalau sebenarnya dia nggak sayang sama aku, nggak cinta. Dasar pria aneh!" kata Asih lagi yang kini sibuk berdebat dengan dirinya sendiri sambil memunggungi pintu.Tanpa sadar jika Barra berada di sana, dia kembali untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan di atas sofa. Sebuah laptop yang seharusnya dia bawa untuk memeriksa beberapa pekerjaan meskipun berada di dalam rumah.Namun, dia malah mendengar sesuatu yang sepertinya sangat lucu.Awalnya dia pikir sebuah pernyataan tidak perlu, karena mengingat sudah sama-sama dewasa.Bukankah perlakukan jauh lebih membuktikan?Baiklah, mungkin bagi seorang wanita seperti istrinya sedikit berbeda.Barra masih berdiri di sana, menggaruk alisnya sambil terus berpikir melihat istrinya yang sibuk berbicara sendiri menunggui d
Dua jam berlalu, Asih masih saja merasa tidak tenang.Penyebabnya pun masih saja sama, yaitu Barra.Hingga kini dia pun menjadikan meja sebagai tempat untuk menopang tubuhnya.Kedua tangannya mengetuk-ngetuk meja, dan tak mengerti harus bagaimana.Mungkin bagi orang lain itu bukan masalah rumit, hanya saja berbeda dengan Asih yang sedang mengandung dan agak sensitif.Mungkin saja karena hormon tersebut hingga sulit rasanya untuk mengendalikan pikiran.Huuuufff.Asih pun menarik napas saat melihat Nilam keluar dari ruangannya."Nilam!" seru Asih yang sedang tak ingin sendiri, dia ingin di temani, itu saja."Bentar, Mbak."Nilam tetap memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut.Lagi-lagi Asih menarik napas dan itu sudah untuk yang kesekian kalinya.Satu menit, dua menit, dua puluh menit kemudian."Mbak Asih, gimana kalau kita makan? Aku lapar," kata Nilam yang kini akhirnya kembali lagi setelah beberapa saat lalu keluar.Asih pun tersentak kaget, mendengar suara Nilam yang tiba-tiba.
Sampai saat ini akhirnya Barra hanya diam, antara bingung harus melakukan apa dan juga malu karena sudah bersikap seperti orang bodoh."Kok, Mas, diem?" tanya Asih karena sampai detik ini Barra masih saja diam sambil berdiri saling berhadapan dengan Asih.Asih juga penasaran apa yang kini dipikirkan oleh seorang Barra.Yang jelas semoga saja semoga saja suaminya itu tak bersikap lebih aneh, karena Asih sudah mulai tak bisa menahan tawa karena kelucuan ini."Hehehe," Barra pun menggaruk kepalanya, untuk hal seperti ini sungguh dia sangat sulit untuk meluapkannya."Oh, ya, Mas, itu contekannya jatuh," Asih menunjuk ada sebuah kertas kecil.Asih tau kertas tersebut ada tulisannya, contekan untuk mengungkapkan sebuah kalimat cinta yang barusan keluar dari bibir Barra.Ingin rasanya Asih tertawa lebar saat ini juga karena mengingat bertapa konyolnya Barra, namun sampai detik ini pun dia masih berusaha untuk menahan diri. Sekaligus menghargai usaha suaminya itu, bagaimana pun ini tak mudah
Barra memarkirkan mobilnya sesaat sampai di kediaman majikannya, karena dia dan Asih masih harus tinggal di sana.Tentunya selain karena pekerjaan juga, karena Nia yang menginginkan mereka masih tinggal bersama Asih."Kita pulang ke sini dulu, soalnya, Mas ada pekerjaan dengan, Tuan Dion. Kamu juga masih jadi orang kepercayaan, Ibu Nia. Tentu saja kita masih harus sama-sama di sini," kata Barra sambil melihat Asih yang duduk manis di sampingnya.Asih pun tersenyum, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut."Iya, Mas. Nggak papa, kok," kata Asih."Katanya sih rumah yang bersebelahan dengan rumah, Tuan Dion itu di jual. Rencananya, Mas mau beli. Supaya kamu juga bisa tinggal di rumah sendiri. Tapi, dengan jarak yang dekat dengan, Ibu Nia. Dan, pastinya akan sangat baik," jelas Barra."Tapi, rumah itu gede banget, Mas, pasti harganya juga mahal," Asih tahu rumah yang dimaksud oleh Barra, dan menurut Asih itu rumah yang sangat besar dan mewah.Meskipun tidak sebesar rumah
Makan malam bersama keluarga sungguh hal yang sangat menyenangkan, begitu pun dengan keluarga satu ini.Apa lagi ini adalah masakan Nia dan juga Kiara, Dion yang ingin makan malam ini dengan masakan istri tercintanya yang menurutnya tidak ada yang bisa menandinginya.Selain karena memang rempah-rempah yang di racik begitu tepat, Dion juga tahu istrinya itu memasak dengan penuh cinta.Benar-benar tidak ada yang bisa menandinginya."Mas, mau makan yang mana?" tanya Nia saat suaminya sudah duduk di kursi meja makan.Dion pun melihat banyaknya makanan yang di tata di atas meja makan."Ini semuanya kamu masak sendiri?" tanya Dion."Dibantu sama, Kiara," jawab Nia."Saya cuman ikut yang di suruh, Ibu, Tuan," jelas Kiara menimpali.Urusan memasak Kiara tidak terlalu pintar, selain karena saat di rumah selalu ada Ibunya yang memasak. Dia juga sangat tidak hobi memasak.Kiara memang seorang wanita yang cerdas dan punya ambisi untuk bisa membahagiakan Ibunya, tapi tidak dengan urusan dapur."Ma
Setelah dengan penuh keterpaksaan mendengarkan keinginan sang Mama, akhirnya Niko pun memutuskan untuk pergi lagi.Untuk menginap satu malam saja di rumah rasanya sangat tidak nyaman bagi dirinya, sehingga dia pun memutuskan untuk kembali ke rumah Dion.Seharusnya dia kembali ke apartemen, tempat selama ini dia tinggali. Namun, untuk kali ini sepertinya dia butuh sedikit hiburan, sehingga ke rumah Dion adalah pilihan tepat.Sebab, di rumah tersebut ada banyak penghuninya.Sehingga Niko tidak terlalu stress memikirkan masalah yang dia hadapi, secara tidak langsung dia juga berusaha untuk tetap waras.Tidak terjerumus pada minuman yang memabukkan dan obat-obatan terlarang untuk menenangkan sejenak pikirannya yang sangat kacau itu."Kenapa kau kembali?" tanya Dion saat melihat Niko memasuki ruang kerjanya.Niko memang bebas keluar masuk di rumahnya, bahkan sampai ruang kerja sekalipun.Begitu juga dengan saat ini.Niko langsung melemparkan tubuhnya pada sofa, tampak raut wajahnya yang se
"Sedang apa?" tanya Kiara saat melihat Raya berada di dapur.Setelah menidurkan Dila dia pun segera ke dapur karena ingin membuat secangkir teh hangat, setiap akan tidur dia merasa ingin minum teh hangat terlebih dahulu.Sebab, itu bisa membuat tidurnya lebih baik."Aku sedang membuat teh hangat," Raya pun menunjukan teh yang sedang dibuatnya."O, begitu," Kiara pun mengangguk mengerti."Ada pekerjaan yang aku bawa pulang, karena laporan ini harus selesai besok siang. Jadi, sepertinya aku akan begadang," jelas Raya lagi."Iya, tapi ngomong-ngomong soal pekerjaan. Kamu kok bisa dapat kerjaan di kantor, Tuan Dion? Aku juga butuh tempat magang. Kira-kira bisa nggak, ya aku masuk di sana?" tanya Kiara."Kamu masih kuliah?" tanya Raya yang tidak mengetahuinya."Iya.""Aku kira kamu cuma kerja aja," kata Raya lagi."Nggak, justru aku kerja buat nyari uang kuliah. Aku juga udah nganggur setelah selesai sekolah, karena harus ngumpulin biaya kuliah dulu," ujar Kiara."Wah, hebat ya, kamu. Mend
Maaf teman-teman semuanya, namanya Mama Dion dari Bunga berubah ke Sarah, kayaknya karena sempat libur nulis jadi kelupaan.Dan, revisi juga belum ada waktu, nulis juga harus nunggu bocil tidur dulu. Kadang kejar-kejaran sambil gendong bayi juga, jadi nama Bunga, di jadikan. Sarah Bunga melati aja, ya, hehehe, love you semuanya. Dan, selamat menantikan kisah cinta yang tak kalah menguras emosi juga air mata. Love you pembaca setia aku.***"Aku nggak ngerti kenapa coba, si tua itu terus ngejar-ngejar aku? Apa aku terlihat sangat tua juga seperti dia, sehingga dia merasa aku dan dia cocok? Jijik banget, sih."Kiara terus saja menatap tampilan dirinya pada pantulan cermin.Sejak tadi dia tak hentinya berbicara pada dirinya sendiri, semua itu karena Chandra Winata.Seorang pria aneh dan menurutnya sangat menjijikkan.Bagaimana bisa dia yang masih muda dan cantik malah di sukai oleh Om-om.Sampai saat ini pun Kiara belum juga bisa menerima itu semua, menurutnya sial sekali jika harus ber