Asih yang sedang kesal pun terus saja mengerucutkan bibirnya."Asih, apakah kamu tidak ingin yang lain selain dari mangga milik tetangga itu?" tanya Barra lagi.Dari tadi dia berusaha untuk membujuk Asih agar tak meminta mangga milik tetangga.Karena itu rasanya sangat tidak mungkin, menimbang tetangga itu sangat pelit sekali. Siapa yang tidak mengetahui watak dari tetangga itu? Tidak ada, karena sudah begitu terkenal di kompleks perumahan tersebut.Belum lagi ada anjing yang diikat di bawah pohon tersebut.Untuk apa lagi?Tentu untuk menjaga agar buah mangga yang tidak ada hentinya berbuah dengan lebat itu tidak sampai ada yang mengambilnya.Tentu, siapa yang mau berhadapan dengan anjing galak.Sungguh rasanya sangat menyeramkan sekali, itu adalah hal yang jauh lebih horor dari pada film horor tentunya."Bilang aja nggak mau!" Asih pun memilih untuk segera keluar dari kamar, dia sangat kesal pada Barra."Asih, kamu mau kemana? Jangan pergi, ini sudah malam!"Barra pun segera menyus
"Bos, sepertinya Anda yang harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini," kata Barra.Sepertinya pria itu mulai merasa kesal pada pria keriput yang memiliki mangga tersebut.Sebab, hanya untuk sekedar berbicara saja tidak ada yang benar menurutnya."Kau saja terlebih dahulu, aku ingin melihat kemampuan mu," jawab Dion.Akhirnya Barra pun kembali lagi melihat wajah Kakek tua itu.Memberanikan diri untuk mengutarakan maksud dirinya."Kek--""--Bro! Panggil aku, Bro!" kata Kakek itu dengan suara tegas.Barra dan Dion pun dengan refleks saling menatap satu sama lainya, keduanya seakan begitu terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh pria itu.Bahkan sampai menahan tawa yang sebenarnya ingin pecah."Kalian mengejek saya?" tanya Kakek itu menyadari bahwa dua orang pria itu tampaknya sedang memikirkan sesuatu."Tidak, Kek, maksudnya. Bro, tidak, Bro," jawab Barra dengan cepat."Awas kalian kalau berani mengejek!"Barra pun mengangguk, kemudian dia pun kembali mengingat tujuan, "Bro, s
"BOS!" Barra terus saja memegang pagar dengan eratnya, dia sangat takut terjatuh.Karena itu bisa membuat tubuhnya di cabik-cabik oleh anjing sialan yang terus saja menggonggong di bawah sana.Sialnya saat Barra sudah sangat ketakutan dengan satu anjing saja, kini malah tampak anjing yang lainnya ikut terlepas dan ikut menggonggong Barra juga."Cepat naik, bodoh!" seru Dion.Barra tak mendengar apa yang dikatakan oleh Dion, karena dia terlalu fokus pada anjing-anjing yang terus saja menggonggong di bawah sana.Bahkan celananya masih saja di tarik, tentu itu sangat menyulitkan dirinya untuk bisa melarikan diri."Barra!" seru Dion lagi."Bos, celana ku. Aku bisa kehilangan masa depan ku juga, Bos," kata Barra yang semakin merasa terancam."Tidak perlu takut, semakin kau lama disana hanya membuat mu semakin terancam! Cepat naik dan meloncat!" kata Dion lagi."Celana ku, Bos?""Buka saja celana mu, berikan saja pada anjing sialan itu!""Buka celana?" tanya Barra.Bertapa shock dia menden
Barra yang memasuki kamar pun melihat Asih yang sedang berbaring di ranjang, dia pun segera ikut naik ke atas ranjang dan ingin berbicara pada istrinya tersebut.Akan tetapi dia juga bingung harus bagaimana, karena tak ingin Asih kembali marah padanya."Asih, kamu masih marah sama, Mas?" tanya Barra yang akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.Sedangkan Asih masih diam dengan memunggungi Barra.Dia mendengar pertanyaan Barra barusan dan memang dia sangat kesal pada Barra.Tetapi kini tidak lagi, sebab sudah mendapatkan buah mangga.Akan tetapi Asih memilih diam saja."Asih," panggil Barra lagi."Mendingan, Mas mandi, ganti baju dulu. Biar istirahat," jawab Asih.Barra yang mendengar suara istrinya itu pun segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Asih.Segera menuju kamar mandi dan kini sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai.Kemudian dia ikut berbaring di samping Asih."Kamu udah nggak marah sama, Mas?" tanya Barra yang ingin memecahkan keheningan di antara mer
"Asih!" pintu langsung saja terbuka, Asih dan Nilam pun dengan refleks melihat kearah pintu.Senyuman di bibir Asih menghilang begitu saja saat melihat wajah yang muncul di depan matanya.Sandi.Sandi yang tiba-tiba muncul, bahkan memasuki ruang pribadi yang seharusnya tak bisa dimasuki oleh sembarang orang.Yang hanya masuk yaitu orang-orang yang sudah benar-benar diijinkan, ataupun karyawan yang memang sudah di panggil ke sana.Dan Sandi tidak termasuk diijinkan untuk masuk, tetapi mengapa masuk ke ruangan itu."Kamu?" tanya Asih sambil berdiri dari duduknya."Nilam, permisi, Mbak.""Jangan pergi, tetap di sini!"Asih dengan cepat menahan Nilam, sebab dia tak mau hanya berdua saja dengan Sandi.Dia sadar sudah memiliki seorang suami, bahkan sedang mengandung juga.Tidak ingin membuat Barra kecewa, meskipun pria itu tidak tahu sama sekali keadaan saat ini."Asih, aku ingin bicara dengan mu. Kita bicara berdua saja," pinta Sandi dengan penuh harapan.Apa yang sebenarnya diinginkan ole
Asih masih saja menatap layar ponselnya terus-menerus, dimana masih tampak menyala dan itu adalah panggilan dari Barra.Hingga akhirnya panggilan pun terputus dan Asih pun mengusap wajahnya yang begitu basah karena air mata.Sejenak dia berpikir dengan perlakuan Barra padanya beberapa waktu kebelakang, rasanya perlakuan suaminya itu begitu hangat tanpa ada yang berbeda.Apakah itu semua karena ada maksud tertentu?Entahlah, Asih begitu pusing memikirkan hal seperti ini.Ini sangat membuatnya menjadi tidak bisa berpikir dengan jernih.Hingga sebuah pesan pun di terimanya, awalnya dia berpikir itu adalah Barra.Akan tetapi ternyata bukan, karena yang mengirimkan pesan justru seseorang yang baru saja menemuinya.Entah mengapa jari-jari Asih pun bergerak untuk membukanya.Mungkin dia penasaran atau hanya sekedar ingin tahu saja.[Aku masih menunggumu, sampai kapan pun. Pikirkan yang aku katakan tadi, jangan sampai kau tersakiti] Sandi.Asih pun menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, d
Akhirnya Asih pun dapat bernapas dengan sedikit lega, karena Nia menjawab panggilan tersebut.Hingga tanpa menunggu Nia bersuara sekalipun Asih sudah terlebih dahulu berbicara."Nia, aku mau kamu kasih tau resepsionis ini di mana, ruangan, Barra," kata Asih sambil melihat wanita di hadapannya itu dengan penuh kemarahan.Sebenarnya itu hanya sebagai dari alasan saja, karena yang penyebab sebenarnya adalah Sandi.Semuanya harus diselesaikan, begitu juga saat ini.Jika tidak, maka dia bisa mati berdiri karena memikirkan sesuatu hal yang sangat menguras pikirannya."Maksudnya, gimana?" tanya Nia yang sepertinya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Asih.Bagaimana dia akan mengerti, belum juga menjelaskan secara baik-baik sudah terkesan seperti sedang buru-buru tanpa arah dan tujuan yang jelas.Sedangkan Nia juga sedang tidak enak badan, jadi dia harus mendengar penjelasan perlahan sebelum mengetahui maksud Asih saat ini."Tolong katakan padanya, aku ingin bertemu, Barra," kata As
"Mohon maaf, rapat kita selesai untuk hari ini," Barra pun langsung saja bangkit dari duduknya, sedangkan Asih mengikut dirinya dari belakang.Perasaan Asih saat ini kacau, antara takut namun juga butuh sebuah pembuktian.Sudahlah, jangan terlalu banyak menimbang. Bagaimana pun juga dia butuh sebuah pembuktian untuk semuanya.Sampai akhirnya Barra pun masuk ke dalam ruangannya, sedangkan Asih pun masih saja mengikutinya.Barra pun berbalik badan dan melihat Asih yang kini berdiri di depan daun pintu yang sudah tertutup rapat.Lagi-lagi Asih hanya diam saja, tampaknya ada perasaan bersalah di dirinya.Dia sadar ini bukan dirinya, bersikap semaunya terhadap Barra sudah cukup lama dia tinggalkan.Tidak, Asih tak boleh lemah!"Mas, aku mau jalan-jalan!" kata Asih tanpa ingin di bantah sama sekali."Kemana?" tanya Barra.Sepertinya pria itu tidak banyak bertanya kepada Asih tentang keanehan Asih saat ini, mungkin dia juga berusaha untuk mengerti dengan kehamilan yang membuat suasana hati i