Hari ini Dila begitu bahagia karena sudah mendapatkan raport, dia berlari sambil berteriak dengan suara nyaringnya.Membuat seisi rumah menjadi gempar seketika mendengarnya.Akan tetapi itu bukan lagi masalah bagi mereka, sebab bocah itu memang demikian jika sudah pulang sekolah.Sedangkan Dion yang berjalan di belakang putrinya itu tampak tidak bersemangat, entah apa sebabnya."Mami, ini raport, Dila," Dila pun memberikan pada Nia.Nia yang tengah duduk di teras rumah sambil menemani kedua anaknya berjemur pun langsung menerimanya dengan antusias."Seharusnya, yang mengambil ini itu, Mami. Pasti, Mami tau bangganya, tadi," kemudian Dila pun melirik Dion, "ya, 'kan, Pi?" tanya Dila dengan giginya yang ompong."Dasar ompong!" kata Dion.Dila pun langsung menunjukan wajah masamnya, karena ini sudah untuk yang keseribu kalinya Dion mengatakan dirinya ompong.Ya kurang lebih begitu, bahkan bocah itu sampai menghitung jumlahnya."Sudah, sudah, tadi, Adek Dirga, sedikit rewel. Jadi, kalau p
Nia benar-benar mencarikan guru les untuk putrinya, dia tidak main-main dengan apa yang dikatakan.Karena, Dila sudah terlalu besar jika untuk bersikap demikian.Sebenarnya wajar jika Dila sedikit ketinggalan dari teman-temannya dalam hal pelajaran, karena selama ini bertahun lamanya Dila hanya fokus pada pengobatannya.Namun, untuk sekarang dan kedepanya Nia tidak boleh lagi diam.Sebab, Dila sudah sembuh total dari penyakit kangker yang di deritanya.Agar Dila bisa mengejar ketertinggalannya yang begitu jauh, bayangkan saja, saat ini Dila sudah duduk di bangku sekolah dasar dan berada di kelas empat.Tapi, lihatlah kelakukannya. Lebih seperti bocah TK."Mi, Dila nggak suka belajar terus," kata Dila.Berharap saat makan malam ini Nia bisa berubah pikiran untuk tidak mencairkan dirinya guru les.Nia pun melihat wajah Dila, tapi dia tetap melanjutkan makan malamnya."Mana bisa, guru lesnya sudah di cari," jawab Asih."Apaan sih, Mbak Asih, ikut aja ngomong!" kesal Dila.Entah kenapa ke
Selesai makan malam, Nia pun duduk di ruang keluarga.Nia benar-benar penasaran dengan apa yang sebelumnya di katakan oleh Dila, mengenai Asih dan juga Barra."Ngomong-ngomong, apa yang dikatakan oleh, Dila beneran nggak, sih? Aku kok penasaran, ya," kata Nia berharap bisa mendapatkan sedikit penjelasan dari Asih.Entah mengapa mendadak jiwa julitnya pun muncul dengan sendirinya, biasanya Dila yang demikian. Tetapi, kini berpindah pada Nia."Enak aja, kamu juga, Dila di dengar. Udah tahu itu bocah sableng!" jawab Asih dengan kesal."Tapi, Dila itu polos. Dia, tidak pernah bohong. Dia akan bicara sesuatu yang memang dia saksikan sendiri," ujar Nia dengan yakin, karena dia sangat tahu watak Dila."Jadi, maksud kamu aku yang bohong?" "Nggak gitu juga, makanya. Jawab, aja!""Aku nggak sengaja nabrak dia, itu juga gara-gara, Dila," kata Asih berikut dengan wajah masamnya.Sedangkan Nia menatap Asih dengan begitu serius, tampaknya ada sesuatu yang tengah di pikirkan oleh otaknya."Kamu ken
"Asih, kamu tidak ke toko?" tanya Bunga yang melihat Asih berada di dapur membantu Bik Minah."Enggak, Bu. Hari ini, karyawan di liburkan. Kata, Nia, biar sekali-kali mereka liburan, agar tidak bosan terus bekerja," jawab Asih.Asih pun melihat Bunga yang memegang keranjang tempat berbelanja sayuran."Begitu," kata Bunga, dia memang mengakui jika Nia adalah wanita yang begitu baik.Tidak serakah pada uang, lihat saja sampai berpikir memberikan satu hari waktu bagi karyawannya untuk beristirahat."Iya, Ibu mau ke mana?" "Mau ke pasar, kalau begitu kamu temani saya saja ke pasar, bagaimana?" tanya Bunga."Boleh, Bu."Asih pun segera mengambil alih keranjang belanja yang di pegang oleh Bunga, kemudian keduanya pun berjalan dengan beriringan."Barra, apa mobilnya sudah siap?" tanya Bunga."Sudah, Bu."Asih tampak begitu kesal saat tahu ternyata Barra yang akan menjadi supir mereka ke pasar."Bu, apa harus dengan dia ke pasar?" tanya Asih, sebab ada banyak supir. Jadi kenapa harus Barra,
"Sial sekali hidup ku, kenapa bisa aku kembali pada kehidupan yang seperti ini? Rasanya sangat melelahkan sekali, bagaimana kalau teman-teman ku melihat ini semua? Lihat aku sekarang? Menjijikkan!"Liana sangat membenci keadaannya saat ini, dia melihat penampilannya yang jauh dari kata mewah.Dia bahkan sudah sembuh total, sehingga sudah bebas bepergian kemana saja berjalan menggunakan kakinya.Hari ini dia ingin menjenguk Reza, tidak lupa untuk membawa makanan kesukaan anaknya tersebut.Beberapa tahun ke depan anaknya itu akan menjadi penghuni jeruji besi, bersama dengan banyaknya tahanan lainya.Yang hanya bisa dilakukan oleh Liana adalah berdoa, semoga saja ada keajaiban yang bisa membuat anaknya terbebas."Ini berapa?" tanya Liana pada pedagang dengan memegang sayuran di tangannya."Rp, 15000.""Mahal banget, sih!" gerutu Liana.Kemudian dia pun memilih untuk pergi ke pedagang lainnya dengan harapan dapat membeli beberapa barang dengan lebih murah."Ya, ampun. Bahkan, sekarang har
Tidak disangka ternyata pertemuan dengan Liana barusan adalah untuk yang terakhir kalinya, karena kini wanita itu sudah di makamkan.Reza pun di berikan kesempatan untuk melihat wajah Mamanya sebelum akhirnya di makamkan.Setelah itu dia kembali di bawa ke tahanan untuk melanjutkan hukuman yang masih harus di jalani.Semua anggota keluarga turut menghadiri acara pemakaman tersebut.Bahkan Bunga sekalipun, meskipun harus di bantu dengan kursi roda. Karena, keadaannya yang masih terlalu lemah.Setelah kejadian barusan Bunga mendadak terkena serangan jantung.Mungkin dia yang terlalu terkejut melihat semua itu.Chandra yang berjongkok di samping makam mendiang sang istri pun masih bisa mengingat dengan jelas seperti apa mereka pernah hidup bersama.Meskipun pada akhirnya akan terpisah oleh maut.Chandra sudah mengiklankan istrinya, hanya saja dia berharap semua kesalahan di masa lalu bisa mendapatkan kata maaf dari siapa saja yang sudah di sakiti oleh istrinya tersebut.Sadar terlalu bany
Sepulang dari pemakaman Asih pun ikut pulang, hanya saja dia bingung harus pulang dengan siapa.Karena, Bunga sudah ikut pulang dengan Nia dan Dion.Hanya tinggal Barra saja di sana, dia pun tak mungkin menumpang dengan mobil Dion karena ada janji bertemu dengan Sandy di taman kota."Barra!" Asih pun melihat Barra yang masuk ke dalam mobil.Perduli setan dengan permusuhan mereka yang sedang berlangsung saat ini, karena yang terpenting dirinya segera sampai di mana Sandy sudah menunggunya.Beberapa hari tidak bertemu ada rasa rindu yang terasah berat.Sebab, Sandy baru pulang dari luar kota karena ada pekerjaan di sana.Bahkan Asih sudah langsung saja masuk ke dalam mobil.Tanpa perduli ijin dari pria aneh itu, tak sabar mendapatkan oleh-oleh dari luar kota juga.Apapun hadiahnya jika sang pujaan hati yang memberikan tentu akan sangat membahagiakan buka?Itulah yang kini tengah dirasakan oleh seorang wanita yang sedang kasmaran bernama Asih."Aku numpang sampai ujung jalan sana aja, so
Asih merasa Barra sudah tersudut, mengerti posisi yang hanya seorang supir dari keluarga Nia.Jadi, tidak boleh belagu, sombong, apa lagi sampai sok berkuasa.Hingga akhirnya mobil pun menepi tepat di sisi jalanan sepi.Membuat Asih pun bingung dan bertanya-tanya apakah yang terjadi."Kenapa berhenti di sini?" Asih pun melihat sekiranya yang mulai gelap dan sangat sepi, hanya ada sesekali kendaraan yang lewat.Ah, Asih yang dari tadi bersantai seakan berhasil membuat Barra kesal terlalu sibuk memainkan ponselnya."Ini bukan jalan pulang, kau mau membawa aku ke mana?" tanya Asih dengan panik.Dia pun menyilangkan kedua tangannya di dada, pikirannya benar-benar buruk saat ini."Jangan bilang, kamu mau melecehkan aku!" tebak Asih."Halo," Barra pun memilih menghubungi seseorang lewat sambungan telepon seluler miliknya.Tidak perduli pada Asih yang begitu kesal padanya.Setelah selesai berbicara lewat sambungan telepon seluler, Asih pun kini mengerti mengapa bisa Barra menepikan mobilnya.