Part 17“Mas ….” Iyan mendengar seseorang memanggilnya saat tengah mendorong gerobak.Ia menoleh. “Panggil saya?” tanyanya.“Iya. Bisa mundur? Saya mau pesan banyak,” kata wanita berambut lurus dengan wajah yang ramah.“Bisa, Mbak, saya mundur ya?” Iyan menarik gerobaknya mundur. “Mau pesan berapa?” tanyanya saat sudah sampai di depan rumah wanita yang memanggilnya itu.“Mas, saya pesan mie ayamnya lima belas ya?”“Iya, Mbak. Mau pakai mangkuk atau pakai plastik?”“Pakai mangkuk saja, soalnya mau saya bawa buat karyawan saya,” jawabnya. “Mas, saya masuk ambil uang dulu, ya?” tanya dia lalu masuk ke dalam.Iyan dengan cekatan memasukkan mie ke dalam plastik.“Berapa semuanya, Mas?”“Seratus lima puluh ribu saja, Mbak.”“Ok.” Wanita itu mengulurkan uang dua lembar pecahan seratus ribuan.“Walah, Mbak, saya belum dapat uang buat kembalian,” kata Iyan.“Ya sudah, ambil saja.”“jangan dong, Mbak! Lima puluh ribu itu banyak lho,” kata Iyan menolak.“Gak papa. Itung-itung perkenalan. Lagian,
Part 18 Han membelokkan mobilnya ke sebuah rumah yang kecil tetapi asri. Seorang wanita berusia tujuh belas tahun langsung keluar dari dalam dan menyambutnya. Pagar rumah yang tinggi dan selalu tertutup membuat rumah itu aman dari sorotan warga sekitar. Terlebih terletak di sebuah perumahan dengan penjagaan yang sangat ketat. “Dari mana saja?” tanya Sely sambil bergelayut manja. “Pasti habis jenguk Cika, ya?” “Iya.” “Kok sekarang jadi sering jenguk sih?” “Soalnya dia maksa pengen ketemu Ines.” “Ya diajak saja lah, Yang istri kamu itu. Masa seorang ibu jahat banget gitu? Atau, aku saja yang jadi ibunya?” tanya Sely dengan tatapan nakal. “Kita buat saja yang baru,” kata Han, lalu merengkuh tubuh wanita yang berkulit putih itu dan membawanya ke dalam pelukan. Menghujaninya dengan ciuman yang bertubi-tubi. “Kamu ganas banget banget sih, yank?” “Habisnya kangen banget. Kamu sering menggodaku di telepon. Tapi gak mau diajak video call.” “Gak mau lah, kalau cuma video call. Aku ma
Part 19Malam, aku hanya bisa memelukmu dengan tangis yang menganak tanpa henti.Rindu, aku hanya bisa menelan pahit rasa itu seorang diri.Lara, adalah gambaran yang sulit untuk ku ungkapkan sedalam apakah itu.Dan sepi, adalah teman abadi dalam hidupku.Sebait puisi ditulis Cika dan menempel pada pintu lemarinya.Sudah dua minggu, ayahnya belum juga datang menjemput untuk pulang. sebuah tas yang dipersiapkan Cika teronggok di sudut ruangan yang kosong. Satu per satu baju yang semula sudah tertata rapi, diambilnya untuk digunakan kembali. Tak jarang temannya bertanya kapan ia akan pulang.Hati, jangan pernah berharap! Hidup hanya untuk sebuah kesunyian.Cika menulis lagi dalam buku diary nya.“Aku lelah, aku ingin pulang. Pulang yang sebenarnya. Jika harus pulang ke pangkuan Ilahi pun, aku mau,” kata Cika sambil memeluk lutut.Ia sudah membuang jauh harapan itu dan berusaha membuka mata, bahwa dia hanya hidup seorang diri di bumi ini.Saat bangun, tatapan mata Cika berhenti pada soso
Part 20Cika mematung. Ingin berlari memeluk wanita yang menampakkan wajah sendu terhadapnya itu, tentu saja ia tidak bisa. Ia bahkan tidak mengenal sama sekali sifat seorang Ines.Ines mendekat. “Apa kabar?” tanyanya dingin.“Ba-baik,” jawab Cika duduk.“Dimana kita bisa duduk?” tanya Ines lagi.“Sa-sana.” Cika menunjuk sebuah tempat.“Ayo, kita kesana,” ajak Ines.Cika mengikuti langkah kaki Ines menuju sebuah sudut dimana di sana terdapat meja lesehan. Ines langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Meluruskan kaki dan menggerakkan kepalanya berulang kali. Terlihat sekali kalau ia sangat lelah mengendarai mobil dengan jarak tiga jam.“Mau minum apa?” tanya Cika menawarkan.“Tidak usah. Aku bawa minum di mobil.”Untuk kali pertamanya dalam hidup, Cika merasa begitu dekat bahkan bisa berbincang dengan wanita bergelar ibu itu. Mereka saling diam, canggung dalam kebisuan.“Ada perlu apa Mama kemari?” tanya Cika. “Maaf memanggilmu Mama, karena aku hanya mengenal panggilan itu saja s
Part 21Ines melajukan mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun di tengah perjalanan, ia menghentikannya. Menangis di balik kemudi sesenggukan dengan perasaan yang beragam. Ia lalu menelpon anak laki-lakinya.“Halo, Vin. Carikan Mama rumah baru. Mama ingin pindah,” katanya.“Mama mau pindah kemana?”“Kemana saja yang penting tidak satu rumah dengan ayahmu. Mama sudah tidak kuat,” kata Ines lalu menangis.“Baik. Tapi gak bisa sekarang ya, Ma.”“Iya, gak papa. Tapi dalam bulan ini ya?”Ines menutup teleponnya lalu menangis. “Sampai kapan aku menyembunyikan semua ini? Jika Cika sudah besar, dia bisa saja tahu semua,” katanya lalu membanting kepala di atas kemudi. Menangis lama sampai matanya sembab, barulah ia beranjak dari tempat itu. Pulang menuju rumah yang dirasa sudah tidak ada kehangatan lagi di sana.Mobil sedan milik Ines memasuki pekarangan rumahnya yang luas. Dua pilar besar ada di depan teras ruang tamu. Rumah mewah tetapi terasa sunyi karena penghuni di dalamnya tid
Part 22Sejak sebuah ide itu muncul, Cika sering mencari kesempatan untuk bisa dekat dengan Aira. Anak yang sudah bisa hidup di pondok dengan betah dan nyaman itu, kini menjadi incaran Cika untuk dapat menggaruk harta ayahnya.Hari itu Cika sangat berbeda sekali sikapnya. Tidak lagi murung dan menanyakan banyak hal termasuk ibunya. Han justru uriga dengan perubahan sikap tiba-tiba Cika.“Mama kamu datang kesini kemarin?” tanya Han.“Ines maksudnya? Dia bukan ibu aku ah, Yah,” kelakar Cika.Han tgersentak mendengar candaan yang dilontarkan oleh Cika. “Kamu bicara apa, Cika?” tanyanya kaget.“Kenapa Ayah kaget? Atau memang benar kalau Ines bukan ibuku? Kok Ayah kayak ketakutan gitu sih? Padahal aku bercanda lho.”Han menarik napas lega. Setiap ekspresi yang keluar dari wajah lelaki itu selalu menjadi pengamatan Cika. Mata gadis itu mencoba mencari tahu arti dari setiap tatapan yang Han beri saat berbicara.“Aku bercanda Ayah. Atau jangan-jangan kau juga bukan ayahku?”“Cika, bercanda ka
Part 23"Kenapa kamu masih berdiri di sana?" ucap Han ketus pada Aini yang masih berdiri menggandeng tangan Aira. "Kamu seorang santri 'kan? Kenapa kamu tidak tahu adab sama sekali? Punya malu sedikit," katanya lagi. Kali ini lebih tinggi suaranya dari yang tadi. Han memiliki tubuh yang atletis. Tinggi, putih dengan rahang yang sangat kokoh. Bermata tajam dan memiliki bibir yang tipis. Ia sangat tampan, tetapi Aini sangat membenci wajah tampan itu. "Ai, Mbak Aini tunggu di kantor pengurus ya? Kalau ada apa-apa, kamu teriak panggil Mbak Aini," kata Aini pada Aira. "Cika, kamu tolong jagain Aira, ya? Mbak Aini tunggi di sana." Kali ini ia bicara lagi pada Cika. Kedua anak itu mengangguk secara bersamaan.Aini tidak tahu jelas, kapan kedua anak itu duduk berhadapan dengan Han. Kali ini, ia benar-benar berdiri di samping jendela karena tidak mau jika Aira dibawa pergi oleh Han dengan alasan jalan-jalan. Entah mengapa, ia memiliki firasat yang tidak baik terhadap ayah Cika itu. Ada ras
Part 24Aira berjalan berdampingan dengan Cika. Meski mereka tidak saling bicara, tetapi tidak terlihat saling membenci seperti sebelumnya. Cika yang membenci, sementara Aira lebih kepada merasa takut saja.Aini menatap sengit pada Han yang ada di dalam mobil. Ia masih berdiri memandang lelaki yang ada di balik kemudi. Matahari yang terik menjelang sore tidak dihiraukannya. Keselamatan Aira lebih penting dari rasa panas itu sendiri. Ia berpikir keras bagaimana cara menjauhkan Aira dari sana.Han yang melihat Aira berjalan keluar dari aula, segera membuka pintu mobilnya. Takut kalau Aini akan meracuni otak anak itu lebih dulu lalu mengajaknya kembali ke dalam pesantren.Aini menoleh dan melihat Aira dan Cika yang berjalan mendekat."Mbak Ai mau ikut?" tanya Aira sumringah."Aira mau kemana?" tanya Aini."Aku mau diajak jalan-jalan sama ayahnya Mbak Cika. Mbak Ai ikut yuk," ajak Aira.Sementara itu, Cika terlihat enggan mengajak Aini ikut serta."Aira, Ayah inginnya kita berdua saja," k