Lepas Ashar, Anti membaca Al-Qur'an. Biasanya, dirinya pergi ke masjid. Namun, tidak dengan sore ini. Badan yang lelah setelah seharian dikejar berkas yang harus selesai hari itu juga, membuatnya memilih untuk melakukan ibadah wajib umat muslim di rumah.
Tepat jam setengah lima sore, dirinya telah selesai. Dilepaskannya mukena berwarna putih gading yang menutup seluruh auratnya, dan menggantungnya pada gantungan baju yang menempel di dinding.
Netranya menangkap dua foto yang ia pajang di atas meja.
Wanita itu mengambilnya kemudian duduk di tepi ranjang. Foto Bilal yang pertama kali ia ambil. Diusapnya pelan, pipi yang ada dalam bingkai.
"Kamu sudah besar, Nak. Berbeda wajahmu dengan yang dulu. Maafkan Ibu, Nak. Karena telah menelantarkanmu," ucapnya lirih. Dipeluknya pigura berbahan kayu dengan erat. Kembali, Anti menangis setiap mengingat anak yang telah ia buang.
Sesenggukan seorang diri, berteman dengan sepi. Memeluk segala lara sendiri tanpa ad
"Maaf," ucap Anti seolah tidak saling mengenal, kemudian kembali meneruskan langkah. Nadia berdiri mematung. Tidak disangka, akan bertemu dengan orang yang paling ia hindari. Namun, dirinya merasa aneh dengan sikap Sang Ibu. "Nad?" panggil temannya. "Eh, iya! Yuk, jalan," ajak Nadia kemudian. Anti dan Nadia berjalan berlawanan arah seperti orang yang tidak saling mengenal padahal, keduanya pernah menjadi satu tubuh selama sembilan bulan. Selesai rapat, Anti tidak bergegas pergi karena tidak mau berjalan berdesak-desakan dengan wali murid yang lain. Memilih tetap duduk sambil memainkan ponsel. Perasaannya masih sakit. Bertemu dengan anak kandungnya tapi, menyapa-pun tidak berani. "Anti!" Sebuah suara memanggil. "Mas Tohir!" ucapnya saat melihat sosok yang berdiri di barisan kursi depannya. "Kamu tidak sedang menghadiri undangan Nadi, 'kan?" "Jelas tidak, Mas! Aku hadir karena permintaan Ratri." "Baguslah
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi adalah sudah menjadi ketetapan dan skenario yang digariskan Allah. Tiada satu makhluk-pun berjalan tanpa kehendak Allah. Segala sesuatu yang terjadi sudah ada Sang Pengatur Kehidupan.Anti berangkat mengikuti kajian seperti biasa di hari Minggu.Saat ini, dirinya memang fokus memperbaiki diri. Tidak ada harapan apapun tentang masa depan kehidupannya. Karena merasa bahwa yang harus ia lakukan saat ini adalah berusaha melebur dosa yang telah ia lakukan dulu.Selesai mengikuti kajian, seperti biasa, Anti berbincang dulu dengan ustadzah yang dipanggilnya dengan sebutan Umi."Mbak Anti gak pengin gitu berpikir untuk menikah lagi?" tanya wanita berwajah teduh dengan jilbab lebar itu. Mereka berdua duduk di teras samping rumah menikmati hamparan sawah yang menghijau."Sementara belum kepikiran, Umi. Entah besok," jawab Anti dengan pandangan terus menatap tanaman padi yan
Anti menunduk. Berkali-kali berjumpa dengan pria itu, selalu berujung pada rasa sakit hati. "Kamu kenapa duduk di jalan sendiri?" tanya Agung lagi setelah pertanyaan sebelumnya tidak mendapat jawaban. "Bukan urusan kamu!" cetus Anti. "Ditanya itu dijawab!" Anti memilih diam lagi. "Kamu punya mulut, 'kan?" Anti bangkit dan segera bersiap menuntun kendaraannya lagi. Mata Agung awas pada ban motor Anti yang terlihat bocor. Pria itu turun dengan seketika dan mengejar Anti. Setelah dekat, direbutnya setang motor membuat Anti sedikit terhuyung. "Apaan sih?" teriak Anti tidak terima. "Bawa motorku!" perintah Agung sebelum akhirnya dirinya sedikit berlari mendorong motor Anti menuju bengkel. Anti bergeming, menatap kendaraan roda dua yang terparkir asal di pinggir jalan. Ada rasa enggan untuk menaikinya. Bagaimanapun cara Agung berusaha menolong hari ini, tetap saja, dalam hati ibu Nadia tersimpan rasa benci karena berkali-kali
Tanpa sepengetahuan Tohir, Erina mengajak Anti untuk bertemu. Karena menurut wanita itu, ada sesuatu hal yang harus diluruskan. Dalam hati tidak percaya kalau, Anti melakukan sesuatu hal yang tidak terpuji di pinggir jalan. Meskipun masa lalu ibu Nadia tidaklah baik tapi, Erina benar-benar melihat Anti telah berubah. Tidak hanya penampilan saja. Namun, perilakunya terlihat sangat berbeda.Mereka telah berjanji akan bertemu di masjid besar yang sebelah tempat wudhunya ada sebuah teras luas. Tempatnya sepi sehingga , sangat tepat untuk berbincang sesuatu yang rahasia.Erina telah lebih dulu sampai. Wanita itu duduk dengan kaki menjuntai ke bawah. Posisi teras yang tinggi dari halaman, membuatnya bisa leluasa melihat keadaan sekitar. Setelah lima belas menit menunggu, terlihat Anti berjalan dari tempat parkir. Seketika hati Erina merasa trenyuh. Menyaksikan dia yang dulu terlihat begitu sempurna penampilannya, kini berjalan dengan sedikit pincang.Dari jauh, Anti s
Siang itu, di rumah Tohir terjadi kepanikan. Seorang polisi mengabarkan kalau Nadia mengalami kecelakaan hingga harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Erina dan Saroh terus menerus menangis. Menunggu Tohir mengeluarkan mobil dari garasi. Mereka bertiga menaiki kendaraan roda empat menuju rumah sakit yang disebutkan oleh polisi. "Ini semua pasti gara-gara Anti! Dia yang menjadi penyebab Nadia jadi tidak fokus. Jadi kepikiran terus masalah kelakuan dia. Makanya, naik motor jadi seperti ini. Kami juga sih, Erina! Ngapain sih, waktu itu kamu suruh-suruh Nadia buat nemuin Anti? Kalau terjadi apa-apa sama Nadia, aku juga tidak akan memaafkan kamu!" omel Saroh sambil menangis. Erina mendadak semakin sesak dadanya. Setelah kejadian Nadia menemui Anti, seringkali ibu mertuanya memojokkan dirinya terus. Sehingga tak jarang, Erina memilih pulang ke rumah orangtuanya karena merasa tidak nyaman. Terlebih jika mengingat kata-kata yang diucapkan Anti t
Tohir terduduk lemas di kursi depan meja dokter."Bapak bisa berangkat mencari darah sekarang. Sebelum keadaan terlambat," ujar dokter membuat Tohir tersadar."I-iya, Pak. Berapa kantung yang dibutuhkan?" tanyanya gagap."iniPria itu berdiri dan melangkah dengan gontai keluar ruang. Di pintu, Tohir sudah dihadang dua anggota polisi yang sedari tadi menunggu."Pak, bisakah urusan ini kita selesaikan nanti? Saya harus mencari darah dulu. Anak saya kritis dan membutuhkan banyak darah," pinta Tohir memelas."Anggota keluarga lain, Pak?" tanya salah satu dua pria berseragam cokelat."Ada istri saya sedang menenangkan Ibu. Apa tidak bisa nanti, Pak? Saya mohon kebijaksanaannya. Toh saya tidak akan melarikan diri," ucap Tohir asal."Bukan seperti itu, Pak. Ini untuk laporan karena ada korban lain yang ditabrak anak Bapak." Tohir terkesiap. Sedari datang tadi memang belum tahu bila Nadia menabrak orang lain. Pun dengan kronologi kejad
"Motor anak Ibu sekarang sudah kami amankan di kantor polisi. Pihak keluarga bisa mengurus ke sana. Selain itu juga, Ibu dan keluarga harus siap dengan tuntutan yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban.""Baiklah, Pak. Seperti apapun nantinya yang akan kami hadapi, entah tuntutan ataupun proses apapun yang melibatkan pihak kepolisian, kami mohon tidak saat ini, Pak. Biarkan kami fokus dulu pada penanganan keselamatan anak kami. Setelah itu, pihak keluarga akan ada yang datang ke kantor polisi mengurus semuanya. Bapak bisa menghubungi kami setelah anak kami bisa melewati masa kritisnya bila kami belum juga datang ke sana," ucap Erina memberi keputusan. Pikirannya buntu. Hal yang ada dalam hatinya yang utama adalah keselamatan anak tirinya."Baiklah, Bu. Kami permisi kalau begitu. Nanti bila keluarga Ibu sudah siap mengurus, datanglah ke polres dan cari saya, bilang saja mau bertemu Pak Agung.""Iya, Pak," lirih Erina hampir tidak terdengar.Sepenin
“Tapi tidak mudah cari yang sama seperti golongan darah yang Nadia miliki, Bu,” ujar Tohir seperti berharap ibunya akan sedikit melunak hatinya.“Tidak akan pernah Ibu ijinkan wanita itu datang ke sini. Masih banyak cara untuk dapat darah yang sama untuk Nadia. Kita bisa bayar orang untuk itu!” kekeh Saroh.“Ya sudah kalau seperti itu, Ibu coba yang cari pendonor yang darahnya sama seperti Nadia. Aku benar-benar tidak sanggup.” Tohir menyerah.“Bu, maaf. Tidakkah bisa Ibu membedakan situasi yang genting dengan yang tidak? Tidakkah Ibu lebih memikirkan keselamatan cucu Ibu daripada rasa sakit hati karena masa lalu? Ini keadaan yang darurat, Bu ...,” tambah Erina geram. “Hanya Mbak Anti yang bisa kita mintai tolong saat ini. Dan juga, jika kita bilang sama dia Nadia butuh darah, tentu tidak perlu meminta ataupun memohon, Mbak Anti sudah paham,”“Erina! Lancang kamu membantah apa