Semenjak tahu apa yang dibicarakan Erina malam itu, sikap ibu Tohir sedikit berbeda.
Lebih banyak diamnya. Bahkan terkesan menghindar. Sesekali hanya menanggapi pertanyaan Erina dengan kata-kata singkat.
Istri Tohir sadar bahwa, ini adalah resiko yang harus ia hadapi manakala ingin Nadia menjalin hubungan baik dengan ibu kandungnya.
"Apa yang dilakukan perempuan ja*ang itu terhadap Tohir dan keluarga ini sudah sangat keterlaluan, Erina! Jadi, jangan coba-coba kamu untuk mempengaruhi Nadia! Kamu bisa bicara ini itu, bahwa, bagaimanapun salah dan jeleknya seorang ibu, ia adalah sosok yang patut dihormati.
Akan tetapi, satu hal yang harus kamu ketahui dan kamu ingat-ingat! Kami pernah dipermalukan dan merasa sangat sakit dengan apa yang wanita itu lakukan. Jadi, jangan mencoba menjadi pahlawan untuk dia. Karena itu artinya, kamu telah menyakiti hati kami semua!" ujar ibu Tohir saat Erina yang sudah berada di atas motornya hendak berangkat mengajar.
"M
Siang itu, Anti harus mengantarkan berkas ke dinas pendidikan. Ibu kandung Nadia itu memang sekarang dimutasikan ke kantor UPT setelah sebelumnya menjalani masa hukuman dengan dipindah tugas ke kecamatan.Kantor dinas berdekatan dengan polres. Sehingga, banyak polisi berlalu lalang di sekitar jalan.Karena belum sempat sarapan, di perjalanan, Anti merasa pening dan pusing. Akhirnya, memilih berhenti pada sebuah warung untuk sekadar mengisi perut.Sepiring nasi dengan lauk telur balado serta tumis kacang panjang sudah tersaji di hadapannya. Mulailah Anti menyantap menu sederhana yang ia pesan.Saat sedang menikmati hidangan, datang segerombolan oknum berseragam aparat negara.Sekilas Anti melirik. Ada teman Feri yang selalu meledeknya di sana. Bahkan mungkin, mereka adalah orang-orang yang ia temui di alun-alun. Mendadak, Anti seperti kenyang. Namun, hendak disisakan makanannya, takut menjadi mubadzir.Dengan membesarkan hati sendiri, dirinya
Beberapa bulan setelah kepergiannya, Seno kembali pulang untuk mengurus perceraian dengan Eka.Saat di dalam bus menuju daerah tempat tinggalnya, ada kesedihan yang menguar dalam dada. Sebuah pilihan yang sulit yang harus ia ambil.Aku mengambilnya dari tempat itu karena kasihan. Bukan cinta. Dia hidup sebatang kara di dunia ini, bila tidak ada aku yang menolong, entah bagaimana nasibnya. Kesalahan terbesarku dalam hidup terhadap Eka dan Sarah, tapi itu bukan karena inginku mengkhianati mereka. Keadaan yang mengharuskan aku menikahi gadis malang itu. Karena tanpa sebuah pernikahan, mustahil aku dapat hidup bersamanya setiap hari. Eka, cinta dalam hati ini tetap untukmu. Sarah, rasa sayang Bapak terhadapmu melebihi apapun. Kali ini, Bapak akan pulang demi membebaskan kalian. Bapak berharap, akan ada orang yang lebih baik dari Bapak yang akan mengayomi hidup kalian,' ucap Seno dalam hati.Pandangannya menatap tanaman padi yang seakan berjalan melewatinya. Setitik
Erina tidak bisa meyakinkan Tohir untuk bisa memberi ijin pada Anti bertemu Nadia. Akhirnya, pasrah adalah jalan terakhir sambil terus berdoa memohon agar diberikan jalan yang terbaik untuk bisa kembali menjalin hubungan layaknya ibu dan anak seperti dulu kala. Di luar pengetahuan istrinya, Tohir mengajak bicara putrinya hanya berdua. Mencoba mencari tahu apa yang Nadia inginkan. Perlahan dan dengan penuh kehati-hatian, dirinya juga menyinggung perihal Anti. "Kalau Nadia ingin menemui Ibu, Ayah tidak akan melarang. Asalkan, itu berasal dari hati Nadia sendiri. Bukan atas permintaan orang lain," ujar Tohir saat duduk berdua di teras samping kamar Nadia. Nadia menggeleng. "Benar yang Mbah katakan, Ibu tidak akan pernah bisa berubah, jadi lebih baik aku tidak lagi menghubunginya," jawab Nadia pasti. "Kenapa Nadia bilang Ibu tidak akan pernah berubah?" tanya Tohir memastikan. "Aku melihatmu, Yah. Saat Ibu digoda dua orang itu ...." Nadia m
"Terserah Ibu mau percaya atau tidak. Aku melakukan semua hal bukan untuk mencari kepercayaan orang. Ibu tidak usah khawatir! Tanyalah sama Nadia, apa aku pernah menemuinya selama ini atau tidak? Aku berusaha pergi dari hidupnya karena sadar, aku memang bukan seorang ibu yang baik. Ibu silakan mau menghujat dan menghina aku, aku terima. Sepuas hati Ibu, bila memang itu bisa mengobati luka hati yang pernah aku torehkan sama kalian." Saroh bergeming mendengar jawaban Anti. Kehabisan kata untuk menyerang sosok yang ia benci. Dirinya memilih bangun dan beranjak pergi."Satu lagi! Mau dibungkus serapat apapun, tubuh kamu pernah kamu obral dengan laki-laki yang tidak halal untukmu," ucap Saroh saat berada di ambang pintu. Kebencian yang sudah besar membuatnya memiliki kesempatan saat berjumpa untuk menghujat Anti.Setelah kepergian Saroh, Anti urung berangkat. Memilih masuk kembali ke dalam ruang pribadinya dan menangis sesenggukan seorang diri.'Aku berubah bukan untuk dipandang
Lepas Ashar, Anti membaca Al-Qur'an. Biasanya, dirinya pergi ke masjid. Namun, tidak dengan sore ini. Badan yang lelah setelah seharian dikejar berkas yang harus selesai hari itu juga, membuatnya memilih untuk melakukan ibadah wajib umat muslim di rumah.Tepat jam setengah lima sore, dirinya telah selesai. Dilepaskannya mukena berwarna putih gading yang menutup seluruh auratnya, dan menggantungnya pada gantungan baju yang menempel di dinding.Netranya menangkap dua foto yang ia pajang di atas meja.Wanita itu mengambilnya kemudian duduk di tepi ranjang. Foto Bilal yang pertama kali ia ambil. Diusapnya pelan, pipi yang ada dalam bingkai."Kamu sudah besar, Nak. Berbeda wajahmu dengan yang dulu. Maafkan Ibu, Nak. Karena telah menelantarkanmu," ucapnya lirih. Dipeluknya pigura berbahan kayu dengan erat. Kembali, Anti menangis setiap mengingat anak yang telah ia buang.Sesenggukan seorang diri, berteman dengan sepi. Memeluk segala lara sendiri tanpa ad
"Maaf," ucap Anti seolah tidak saling mengenal, kemudian kembali meneruskan langkah. Nadia berdiri mematung. Tidak disangka, akan bertemu dengan orang yang paling ia hindari. Namun, dirinya merasa aneh dengan sikap Sang Ibu. "Nad?" panggil temannya. "Eh, iya! Yuk, jalan," ajak Nadia kemudian. Anti dan Nadia berjalan berlawanan arah seperti orang yang tidak saling mengenal padahal, keduanya pernah menjadi satu tubuh selama sembilan bulan. Selesai rapat, Anti tidak bergegas pergi karena tidak mau berjalan berdesak-desakan dengan wali murid yang lain. Memilih tetap duduk sambil memainkan ponsel. Perasaannya masih sakit. Bertemu dengan anak kandungnya tapi, menyapa-pun tidak berani. "Anti!" Sebuah suara memanggil. "Mas Tohir!" ucapnya saat melihat sosok yang berdiri di barisan kursi depannya. "Kamu tidak sedang menghadiri undangan Nadi, 'kan?" "Jelas tidak, Mas! Aku hadir karena permintaan Ratri." "Baguslah
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi adalah sudah menjadi ketetapan dan skenario yang digariskan Allah. Tiada satu makhluk-pun berjalan tanpa kehendak Allah. Segala sesuatu yang terjadi sudah ada Sang Pengatur Kehidupan.Anti berangkat mengikuti kajian seperti biasa di hari Minggu.Saat ini, dirinya memang fokus memperbaiki diri. Tidak ada harapan apapun tentang masa depan kehidupannya. Karena merasa bahwa yang harus ia lakukan saat ini adalah berusaha melebur dosa yang telah ia lakukan dulu.Selesai mengikuti kajian, seperti biasa, Anti berbincang dulu dengan ustadzah yang dipanggilnya dengan sebutan Umi."Mbak Anti gak pengin gitu berpikir untuk menikah lagi?" tanya wanita berwajah teduh dengan jilbab lebar itu. Mereka berdua duduk di teras samping rumah menikmati hamparan sawah yang menghijau."Sementara belum kepikiran, Umi. Entah besok," jawab Anti dengan pandangan terus menatap tanaman padi yan
Anti menunduk. Berkali-kali berjumpa dengan pria itu, selalu berujung pada rasa sakit hati. "Kamu kenapa duduk di jalan sendiri?" tanya Agung lagi setelah pertanyaan sebelumnya tidak mendapat jawaban. "Bukan urusan kamu!" cetus Anti. "Ditanya itu dijawab!" Anti memilih diam lagi. "Kamu punya mulut, 'kan?" Anti bangkit dan segera bersiap menuntun kendaraannya lagi. Mata Agung awas pada ban motor Anti yang terlihat bocor. Pria itu turun dengan seketika dan mengejar Anti. Setelah dekat, direbutnya setang motor membuat Anti sedikit terhuyung. "Apaan sih?" teriak Anti tidak terima. "Bawa motorku!" perintah Agung sebelum akhirnya dirinya sedikit berlari mendorong motor Anti menuju bengkel. Anti bergeming, menatap kendaraan roda dua yang terparkir asal di pinggir jalan. Ada rasa enggan untuk menaikinya. Bagaimanapun cara Agung berusaha menolong hari ini, tetap saja, dalam hati ibu Nadia tersimpan rasa benci karena berkali-kali