Sebelum resepsi pernikahan resmi dilangsungkan, Mas Irsya berangkat ke sekolah dari rumahku. Sesekali, kami bertiga diajak menginap di rumahnya yang besar.
Suatu sore yang cerah, saat di rumahnya, kami duduk di teras berdua. Dinta dan Danis memilih tinggal di rumah bersama mbahnya.
“Nia,” panggil lelaki yang sudah sah menjadi suamiku.
“Hm?” gumamku, sebagai jawaban.
“Besok, orang tuaku datang ke sini. Aku akan memperkenalkan kamu pada keluarga besarku yang datang. Jadi, kita menginap di sini, ya? Besok pagi, aku suruh Doni jemput Dinta dan Danis.”
“Iya. Terserah Mas saja.” Bibir ini mulai terbiasa memanggilnya dengan sebutan mas.
“Nia,” panggilnya lagi.
Kali ini aku hanya menoleh tanpa menyahut. Menarik bibir ke samping untuk menunjukkan bahwa diriku masih memperhatikan apa yang akan disampaikannya.
“Kenapa kamu tidak pernah bertanya tentang latar belakangku?&rdq
Bahagia akan datang pada di yang tepat. Seperti saat ini, hari-hariku selalu diisi dengan kebahagiaan dengan pria yang selalu memperlakukanku penuh cinta. Mengisi malam-malam indah dengan penuh kesyahduan. Setiap sorot mata yang dipancarkan Mas Irsya, selalu terlihat cinta untukku di sana.Terkadang, kita dipertemukan dengan orang salah supaya bisa mengerti betapa berharganya sosok yang baik untuk hidup kita di masa yang akan datang. Tentu, Mas Irsya bukan seseorang tanpa cela. Karena sejatinya, tiada manusia yang sempurna. Sikapnya posesif dan cemburuan. Namun, entah mengapa, aku selalu bahagia bila dirinya seperti itu. Seakan, lelaki itu begitu takut kehilanganku. Aku merasa diriku begitu berharga untuknya.***Esok harinya, keluarga besar Mas Irsya benar-benar datang ke rumah. Hanya dua mobil. Mas Irsya melarangku melakukan persiapan untuk mereka. Dengan alasan, aku ratu di rumah ini bukan pembantu. Jadi, untuk jamuan, semuanya diurus oleh tukang masak
“Mas Irsya sering mengirim foto perempuan, Bu?”“Sekitar empat kali sejak menduda. Yang pertama sesama guru, tapi Irsya sendiri tidak terlalu cocok. Dan gak ada kabar kelanjutannya. Yang kedua karyawannya. Tapi, tadi itu. Sepertinya, Irsya terpaksa mencari perempuan, jadi, selalu gagal. Sedangkan yang ketiga, namanya Selly. Kalau ini, sih, Selly yang ngejar-ngejar Irsya. Dia hanya cerita kalau sedang ada janda yang mendekati. Yang terakhir, kamu. Dengan kamu ini, Irsya sampai sempat frustrasi mau pindah, pulang ke kampung halaman.”Refleks aku menyernyitkan kening. Aku baru mengetahui cerita ini. Kalau buka ibu mertua yang cerita, sepertinya aku tidak akan pernah tahu.“Katanya, tidak direstui. Sebenarnya, Irsya sendiri sempat tidak mau menikah lagi. Dia benar-benar trauma. Tapi, kami yang memaksa. Dan memang atas saran ibu juga supaya dia mencari perempuan yang sudah memiliki anak. Dan hanya kamu, perempuan yang diceritakan s
Selama sesi foto, ibu mertuaku berperan sebagai pengarah gaya. Berkali-kali ganti posisi. Sampai anak laki-laki satu-satunya uring-uringan.“Bu, hadap kamera, nanti senyum cantik, ya? Ayo, Buk. Ciiisss.”Aku dan Fani tertawa terpingkal, melihat ibu kami diajak swafoto dengan berbagai gaya. Kesehariannya tidak pernah sekali pun bermain dengan kamera.“Bu, udah dulu, ya? Doni mau kuliah,” tegur Mas IrsyaAku dan Fani saling berpandangan. Ternyata benar, Doni seorang mahasiswa S2. Lengan ini menyenggol gadis di sampingku dan tersenyum menggoda.Fani hanya melirik sebal ke arahku. “Apaan sih, Mbak?” dengkusnya.“Sesuai kriteria, Fan,” balasku, setengah berbisik.“Berangkat aja, Don. Gak apa-apa, kami ditinggal aja,” ujar ibu mertua sekenanya.Akhirnya, setelah puas berfoto ria, rombongan keluarga Mas Irsya meninggalkan rumah kami. Terasa sepi setelah mereka berlalu pergi.
Kulihat beberapa tulisan memang kabur, seperti terkena air. Meskipun Mas Agam pernah menyakitiku, entah mengapa, ada yang mengosuk hati saat embaca goresan tintanya. Cinta? Bukan. Rasa yang kumiliki terhadapnya sudah hilang tidak berbekas. Kini sepenuhnya hati untuk suamiku. Namun, aku yang memang gampang mengasihani orang, tetap merasa prihatin atas apa dirasakan oleh pria yang pernah hidup bersama dulu. Bukan karena dirinya adalah sosok yang pernah ada dalam hati ini. Akan tetapi, aku hanya sedih membayangkan dirinya yang sudah tidak memiliki tempat di hati anak-anaknya. Tangis ini pecah juga. Entahlah, aku memang serapuh ini untuk urusan sesuatu yang sensitif. Kutumpahkan saja, segala rasa yang berkecamuk melalui isak yang hampir tidak terdengar. Semoga kamu bahagia dan menemukan kehidupan yang lebih baik, Mas. Semoga kamu bisa memperbaiki diri setelah ini, dengan siapa pun nantinya kamu hidup. Untaian doa tulus, terucap hanya di relung hati. Bukan
Satu minggu sudah berlalu sejak resepsi pernikahan kami. Kini, Pak Irsya mulai menjalani rutinitas seperti biasa. Pergi mengajar dari rumahku. Dan pulang ke sini juga. Kehidupan kami sudah layaknya keluarga pada umumnya. Pun dengan anak-anak. Tidak terlihat sikap canggung lagi terhadap ayah sambung mereka.Atas permintaan suami, kini aku tidak lagi mengajar di TK. Aku juga merasa tidak nyaman lagi di sana, sejak konflik dengan Bu Diah terjadi.Di pagi menjelang siang yang membosankan dan merasa sepi, aku memilih menyibukkan diri dengan merawat tanaman yang sudah lama tidak tersentuh.“Pagi, Mbak Nia.” Perempuan paling heboh di kampung ini lewat.“Pagi juga, Yu Tarni.”“Mbak Nia terlihat beda, ih.”“Yu Tarni juga.”“Mbak Nia kelihatan seger.”“Yu Tarni juga.”“Mbak Nia, tadi malem pasti nganu, ya?”“Yu Tarni juga pasti, kan?&r
Aku bertekad untuk melupakan masa lalu. Mau disesali sebanyak apa pun, tetap tidak akan merubah keadaan yang sudah terlanjur aku buat sendiri.Siang itu, Iyan pulang kerja dengan muka lusuh. Aku abai saja, tetap melakukan rutinitasku menjahit.“Mas, aku dipecat,” adunya dengan lirih.“Maksud kamu?” Terpaksa, tangan ini berhenti.“Di perusahaan ada perampingan karyawan, aku jadi salah satu yang dirumahkan,” jawabnya terdengar putus asa.“Kamu dapat pesangon, kan?”“Dapat, Mas. Tapi cuma dua puluh juta.”“Dua puluh juta itu banyak, Iyan. Kamu gunakan untuk operasi Aira, uang Rani bisa buat buka usaha.”“Gak bisa, Mas. Rani pengin beli kalung. Uang ini mau aku sisihkan untuk beli kalung.”Bagus sekali pemikirannya! Kalau begitu, aku tidak menanggapi.“Mas, aku mau kerja di mana lagi? Dan bagaimana dengan Aira?”&ldq
“Tolong! Tolong!” Iyan berusaha mencari bantuan.“Iyan, jangan bertindak gegabah! Kamu panggil semua orang ke sini, maka harga dirimu hancur.”Suasana di luar sangat sepi, tidak ada yang datang ke rumah kami. Ibu sedang berkeliling menjual baju membawa Aira. Sedangkan bapak masih di kebun, seperti biasa.”Mas, tolong lepaskan Rani. kami janji, tidak akan minta Mas buat cari uang lagi.” Iyan duduk bersimpuh sambil mengiba. Tangisnya mulai terdengar.Entah kenapa, aku puas melihat mereka seperti ini. Rani meraung menahan sakit. Sepertinya, dia juga takut aku benar-benar melakukan perbuatan keji. Bila tidak ingat ada Iyan, mungkin aku benar-benar sudah melakukannya. Bukan atas dasar cinta, melainkan ingin membalas segala sakit hatiku terhadap wanita yang tidak lain adalah adik iparku.“Mas, tolong lepaskan aku. Aku minta maaf.” Rani terus menohon.Ibu—baru pulang—berteriak hister
“Anti, apa kamu masih mencintaiku?”“Menurutmu, Mas?” Perempuan yang perutnya sudah mulai berisi itu malah balik bertanya. “Aku tahu, Mas, kamu sudah tidak mencintaiku seperti dulu lagi.”“Jangan suka menebak, kamu bukan dukun.”“Sikapmu beda, Mas. Aku merasakannya. Begitupun aku, jujur saja, rasa ingin hidup bersamamu seperti yang kita impikan dulu, kini telah sirna. Namun, di saat hasrat melepaskanmu menggebu, justru kenyataan berkata lain. Ada bayi yang hidup di rahimku untuk mengikat kita kembali.” Anti menunduk. Setetes air jatuh mengenai telapak tangannya.“Ini adalah buah dari perbuatan kita, Anti. Anggap saja ini hukuman untuk sedikit mengurangi dosa, kita jalani saja. Semoga esok hari, keadaan menjadi lebih baik.”Anti mengangguk pasrah. Lalu, bertanya, “Mas, kamu masih mencintai Nia?”Aku ingin menjawab. Bukan masih mencintai, tapi baru