“Mbah, ada cicak. Aira mau nyanyi.” Anak kecil di sampingku berceloteh girang saat melihat hewan merayap di tembok.
“Mana, mana? Oh, itu? Iya, ada cicak.” Ibu Agam ikut menimpali.
“Cicaknya ada berapa itu, Mbah? Ada banyak. Aira pengin nyanyi.”
Aku berdeham, berharap tamuku tahu, kalau aku tidak suka. Kulirik Agam yang menatapku segan.
“Bu, tolong Aira dibawa keluar,” pinta mantan suami Nia pada ibunya.
Kakak Agam yang beranjak dan meraih tubuh keponakannya, lalu membawa pergi.
“Jadi, kedatangan kalian ke sini untuk menghasut saya?” Aku bertanya untuk memastikan.
“Bukan menghasut, Pak. Kami ingin menyelamatkan Pak Irsya dari Nia. Dulu saja, waktu masih hidup dengan Agam, sukanya mengekang. Perempuan tapi mengatur suami, kan, itu tidak baik, Pak. Tidak menurut sama imam, itu bukan istri baik, kan? Kami sampai kehilangan akal mengatasi sifatnya. Makanya, Agam memili
Sejurus kemudian, wanita yang sebentar lagi akan kunikahi menempelkan keningnya pada kamera. Lalu, kucium layar gawai sekarang sekarang adalah keningnya. Cukup lama diriku melakukan hal bodoh itu. Hingga tawa Nia menyadarkan anganku. Ternyata, kamera sudah mengarah pada seluruh wajahnya. Setelah panggilan berakhir, aku segera bersiap-siap untuk mandi karena hari sudah sore. Malam hari selepas magrib, dengan ditemani Doni, aku berangkat ke rumah Nia. Tak lupa membawa satu set perhiasan sebagai mas kawin. Doni pemuda yang sangat sopan, dia tidak pernah berani menggodaku. Sikapnya sangat menunjukkan kalau dirinya seorang yang terpelajar. Meskipun hanya pernikahan siri, aku harus tampil dengan sempurna. Memakai baju batik berwarna coklat dengan celana hitam. Tak lupa, sebuah peci tersemat di kepala ini. Sejenak kupandangi diri di balik cermin. Tidak jauh dengan Dorry Harsa. Hanya beda usia saja. Begitu sampai di rumah Nia, suasana sudah ramai. Padahal, ak
Aku hendak menjawab, tetapi ada kedua anak di bawah umur yang tidak sepatutnya mendengar obrolan kami. Aku hanya mendengkus sebal. Ibu dari kedua anak itu malah tersenyum lebar dan menggoda.“Tunggu hukumanku nanti,” ancamku sembari menyeringai.“Papa mau hukum Ibu? Ibu salah apa?” tanya Dinta cukup keras, hingga terdengar oleh neneknya.“Dinta, Danis, katanya mau beli es krim sama tante?” Sepertinya, ibu dari Nia cukup paham, apa yang sedang kuinginkan, jadi berusaha memberikan uang waktu untuk kami berdua.“Dinta, papa punya sesuatu untuk Dinta.”Aku teringat sebuah benda yang kubelikan untuknya. Bagaimanapun, yang kunikahi adalah janda yang memiliki anak. Jadi, bukan hanya tentang hubunganku dengan Nia. Aku juga harus bisa membuat mereka nyaman dengan hadirnya orang baru di tengah-tengah mereka.“Apa itu?” tanya anak perempuan itu, penuh antusias.“Ada di antara perh
NIAPria itu akhirnya sah menjadi suamiku. Meski belum tercatat di KUA, tetapi bersentuhan dengannya saat ini sudah tidak menjadi dosa bagi kami berdua.Bahagia? Aku sangat bahagia. Tiada kata-kata yang mampu menggambarkan rasa hati ini. Kini, aku memiliki seorang pria tampan yang baik dan melindungi kami bertiga. Masalah pangkat dan kedudukannya, aku tidak peduli. Bilapun dirinya memiliki kelebihan akan hal itu, kuanggap hanya faktor kebetulan semata. Lagipula, awal pertemuan kami hanya karena masalah kerjasama bisnis.Diberikan sebuah mas kawin yang sangat indah merupakan kebanggaan tersendiri bagiku yang sudah janda. Pak Irsya orang yang pandai membawa diri. Sadar, bahwa menikahiku—kata pepatah beli satu dapat tiga—dirinya mencoba untuk tidak menciptakan suasana yang membuat Dinta merasa diabaikan.Saat lelaki berstatus duda itu mengucapkan ijab kabul, aku sengaja mendengarkan dari kamar. Aku tidak ingin ada yang melihat saat
“Aku punya sesuatu yang spesial untuk kamu.” Bisiknya di telinga ini. Selain suka memanggil namaku, dirinya juga hobi berbisik di telinga.“Menjauhan dikit. Aku lagi cuci piring.”Bukannya pergi, malah semakin mengeratkan lingkaran tangannya.“Mas,” panggilku manja. Dan memintanya untuk menjauh dari tubuhku menlalui kedipan mata. “Menjauh, nanti anak-anak lihat, bagaimana?”“Baiklah, aku tunggu di kamar, ya?” Sedetik kemudian, dirinya sudah berbalik dan menjauh dari aku.“Bu, Adek mau bobok sama Kakak. Tapi, boleh main HP, ya?” pinta Danis saat aku masuk ke kamar mereka.“Kakak pakai HP Ibu, Danis pakai HP papa. Ini.” Pak Irsya muncul dengan membawa dua benda pipih dan memberikannya pada mereka.“Tutup pintunya, Bu,” pinta Danis dan aku segera menutupnya.Kini, diriku sudah berada di dalam kamar dengan ranjang baru yang besar.
“Doni, kamu antar Fani ke kampus, ya? Kan sekalian kamu ....” Pak Irsya menghentikan ucapannya. Dia menatap semua orang yang di sana, lalu kembali pada Doni. “Ya?”“Baik, Pak. Tapi, bagaimana dengan mobilnya?” sahut Doni.“Suruh karyawan toko antar mobilku ke sini. Nanti, aku kirim alamatnya.”Doni mengangguk.Karyawan toko? Seenak itu Pak Irsya nyuruh orang? Apa sebenarnya dia orang kaya?“Kamu jangan macam-macam, ya di mobil!” Fani mengancam Doni.“Mbak Fani duduk di belakang saja kalau takut.” Caranya memanggil Fani pun sangat sopan.“Ya sudah, cepat berangkat. Nanti kamu terlambat, Don.” Pak Irsya sepertinya mengusir mereka agar cepat pergi.“Bilang aja pengin cepat berduaan. Ayo, kita pergi,” sungut Fani kesal. “Nanti kamu bantuin aku angkat barangnya, ya!” Suara Fani masih terdengar saat mereka berdua sudah di dalam
Wajah Mas Agam memerah mendengar ucapanku. Biarlah aku ungkit kesalahannya. Supaya dia sadar bahwa pertanyaannya tadi sangat tidak masuk akal.“Dan tentang perasaanku pada Pak Irsya, aku sangat mencintainya. Lebih dari cintaku sama kamu, dulu. Aku tidak pernah tahu seberapa banyak hartanya, tapi beliau selalu membahagiakan kami dengan membelikan barang-barang mahal. Sesuatu yang belum pernah kamu beri untuk kami.”Muka Mas Agam semakin merah. “Aku membelikan sesuatu untuk Dinta, Nia. Sebagai wujud permintaan maafku padanya. Di mana dia sekarang?”“Saya tidak akan membiarkan Dinta bertemu dengan orang yang bisa mencelakainya, Pak Agam. Maaf, mulai sekarang, mereka bertiga adalah tanggung jawab saya. Jadi, jangan harap, siapa pun bisa mencelakai Dinta.” Pak Irsya muncul dan kembali ikut bergabung duduk bersama kami.“Aku ayah kandungnya.”“Anda lupa, apa yang Anda perbuat kemarin?”&l
AgamSebenarnya, dokter sudah mengatakan syarat untuk menjadi pendonor ginjal. Akan tetapi, keluargaku tetap memaksa ingin mencocokkan ginjal Dinta dan Aira. Jujur saja, ada rasa tidak rela ketika darah dagingku yang dikorbankan.Namun, yang meminta adalah kedua orang tuaku. Rida mereka diatas segalanya. Jadi, aku yakin, hal ini pasti akan membawa sebuah kebaikan dalam hidup kami. Karena apa yang diputuskan bapak adalah petuah tertinggi yang harus aku patuhi dan jalani. Toh, memiliki ginjal satu atau dua bagi Dinta, tidak ada bedanya. Justru dengan hal ini, mereka berdua akan menjalin sebuah hubungan yang dekat sampai dewasa.“Pokoknya, diperiksa saja dulu, Gam. Nanti, kalau sudah cocok, kita akan paksa dokter untuk mengoperasi. Itu hal yang gampang,” ucap ibu yang didukung Mbak Eka.“Tapi ada undang-undang dan aturan yang mengatur, Bu. Dan dokter tidak bisa melanggarnya. Kalau sampai terjadi mereka menyalahi aturan, kan, mereka juga ter
Aku tidak menanggapi ucapan beliau. Lebih memilih pergi untuj mencari Rani. Dia ada di dapur, sedang mengupas bawang untuk memasak ayam. Kini, dia berjualan mie ayam di depan rumah.“Ran, denger-denger, kamu habis dapat warisan, ya?” tanyaku, penuh hati-hati.“Iya, Mas. Kenapa?”“Boleh pinjam lima ratus ribu?” tanyaku, ragu.Selama ini, aku tidak pernah merepotkannya. Kupikir, sekaranglah saatnya dia membalas segala sikap baikku selama ini. Lagipula, aku hanya meminjam.“Maaf, Mas, aku tidak berani. Kan, itu uang pemberian orang tuaku.”Tak kusangka, penolakan yang kudapat. “Ya sudah, tiga ratus ribu saja. Mas cuma punya uang seratus ribu, Ran. Kan, kamubisa ambil dari hasil dagang mie ayam.”Aku duduk di meja makan, menunggu dia memberiku hutang. Namun, dia tak kunjung menyahut. Bahkan, sudah sepuluh menit aku menunggu, tak kunjung ada jawaban.“Ran, gimana?&rdq