Wajah Mas Agam memerah mendengar ucapanku. Biarlah aku ungkit kesalahannya. Supaya dia sadar bahwa pertanyaannya tadi sangat tidak masuk akal.
“Dan tentang perasaanku pada Pak Irsya, aku sangat mencintainya. Lebih dari cintaku sama kamu, dulu. Aku tidak pernah tahu seberapa banyak hartanya, tapi beliau selalu membahagiakan kami dengan membelikan barang-barang mahal. Sesuatu yang belum pernah kamu beri untuk kami.”
Muka Mas Agam semakin merah. “Aku membelikan sesuatu untuk Dinta, Nia. Sebagai wujud permintaan maafku padanya. Di mana dia sekarang?”
“Saya tidak akan membiarkan Dinta bertemu dengan orang yang bisa mencelakainya, Pak Agam. Maaf, mulai sekarang, mereka bertiga adalah tanggung jawab saya. Jadi, jangan harap, siapa pun bisa mencelakai Dinta.” Pak Irsya muncul dan kembali ikut bergabung duduk bersama kami.
“Aku ayah kandungnya.”
“Anda lupa, apa yang Anda perbuat kemarin?”
&l
AgamSebenarnya, dokter sudah mengatakan syarat untuk menjadi pendonor ginjal. Akan tetapi, keluargaku tetap memaksa ingin mencocokkan ginjal Dinta dan Aira. Jujur saja, ada rasa tidak rela ketika darah dagingku yang dikorbankan.Namun, yang meminta adalah kedua orang tuaku. Rida mereka diatas segalanya. Jadi, aku yakin, hal ini pasti akan membawa sebuah kebaikan dalam hidup kami. Karena apa yang diputuskan bapak adalah petuah tertinggi yang harus aku patuhi dan jalani. Toh, memiliki ginjal satu atau dua bagi Dinta, tidak ada bedanya. Justru dengan hal ini, mereka berdua akan menjalin sebuah hubungan yang dekat sampai dewasa.“Pokoknya, diperiksa saja dulu, Gam. Nanti, kalau sudah cocok, kita akan paksa dokter untuk mengoperasi. Itu hal yang gampang,” ucap ibu yang didukung Mbak Eka.“Tapi ada undang-undang dan aturan yang mengatur, Bu. Dan dokter tidak bisa melanggarnya. Kalau sampai terjadi mereka menyalahi aturan, kan, mereka juga ter
Aku tidak menanggapi ucapan beliau. Lebih memilih pergi untuj mencari Rani. Dia ada di dapur, sedang mengupas bawang untuk memasak ayam. Kini, dia berjualan mie ayam di depan rumah.“Ran, denger-denger, kamu habis dapat warisan, ya?” tanyaku, penuh hati-hati.“Iya, Mas. Kenapa?”“Boleh pinjam lima ratus ribu?” tanyaku, ragu.Selama ini, aku tidak pernah merepotkannya. Kupikir, sekaranglah saatnya dia membalas segala sikap baikku selama ini. Lagipula, aku hanya meminjam.“Maaf, Mas, aku tidak berani. Kan, itu uang pemberian orang tuaku.”Tak kusangka, penolakan yang kudapat. “Ya sudah, tiga ratus ribu saja. Mas cuma punya uang seratus ribu, Ran. Kan, kamubisa ambil dari hasil dagang mie ayam.”Aku duduk di meja makan, menunggu dia memberiku hutang. Namun, dia tak kunjung menyahut. Bahkan, sudah sepuluh menit aku menunggu, tak kunjung ada jawaban.“Ran, gimana?&rdq
Danis berani meminta banyak hal pada Pak Irsya. Padahal, saat aku masih di sini, anak itu tidak pernah menuntut apa pun. Apa karena aku selalu mengekang Nia untuk tidak membeli segala sesuatu yang tidak menjadi kebutuhan pokok? Diriku tertampar oleh perilaku di masa lalu.Ingin rasanya menarik paksa lengan Pak Irsya dan menyuruhnya keluar. Lalu mengatakan bahwa mereka adalah milikku.Akan kurajut kembali maghligai rumah tangga yang telah hancur menjadi sebuah istana yang indah. Namun, tentu Nia tidak akan mau. Binar matanya begitu bahagia saat berdampingan dengan Pak Irsya tadi. Wajahnya memancarkan aura yang berseri-seri. Beda dengan dulu, saat masih menjadi istriku.Hati ini kembali tertampar saat mendengar Danis memprotes Pak Irsya membelikan kalung pada Dinta. Spontan saja tangan ini merogoh saku celana dan mengambil sebuah benda yang kupersiapkan sebagai bentuk permintaan maafku pada Dinta.Aku memang payah. Kupandangi benda murahan di telapak tangan
“Papa, ayo. Katanya mau ke mal.” Danis berteriak sambil berlari melewati tubuh ini tanpa menyapa.“Mas, pulanglah! Dan jangan pernah kembali ke sini.” Nia mengusirku. “Aku yakin, keluargamu sangat menantikanmu di rumah. Jangan sampai, kebersamaanmu dengan mereka, terganggu oleh urusan kami. Pergilah. Kehadiranmu sangat tidak diharapkan oleh Dinta dan Danis.”Kulihat Dinta sudah memegang lengan Pak Irsya dengan erat. “Papa, aku takut.”“Selama ada papa, tidak akan ada siapa pun yang menyakiti Kakak. Sekarang, kita siap-siap pergi, ya? Nanti beli mainannya pas adek gak lihat.”Ucapan Pak Irsya pada putriku terdengar sangat akrab. Orang yang tidak mengenal, tidak akan tahu bila mereka bukan ayah dan anak kandung.Sepertinya, aku memang harus tahu diri. Bahkan, Pak Irsya ikut melewatiku, tanpa menyapa. Hanya Nia yang masih mau berbicara terhadapku.“Aku pamit, Nia. tolong berikan
“Mas, berhenti bersikap konyol. Aku harap, kamu tidak menjatuhkan harga dirimu lagi dengan tetap berada di sini, atau datang lagi kemari esok dan seterusnya. Lagipula, aku tidak ingin ada yang mencarimu ke sini. Kamu dengar ya, Mas, aku tidak mau lagi berhubungan denganmu ataupun kaluargamu.”Meski kata-katanya sungguh menyakitkan, setidaknya hanya Nia yang masih mau menyapaku. Karena pada dasarnya, dia memang wanita yang baik.“Nia, tolong izinkan aku memeluk Dinta. Sekali ini saja. Bila memang pintu rumah kamu sudah tertutup untukku. Setidaknya, kedatanganku kali ini tidak sia-sia.”Nia terlihat menghela napas panjang. “Mas, Dinta punya perasaan. Dia sendiriyang tidak mau bertemu denganmu. Sudahlah, Mas, nikmatilah hasil dari apa yang kamu perbuat dulu. Saat kamu seolah tidak peduli pada mereka, anak-anakku berusaha menerima, kan? Kami lewati masa-masa sulit tanpa merengek apa pun padamu. Masa kamu yang sudah dewasa, malah b
“Rani, aku mau meminta uang yang dulu kupinjam ke BRI untuk kamu buka usaha. Sekarang, aku sedang butuh modal buat beli mesin jahit.” Tepat satu minggu setelah aku belajar dan mulai bisa menjahit, kuutarakan keinginanku pada istri Iyan.“Lho? Kan, aku yang sekarang membayar setorannya, Mas.” Rani menjawab sambil mengupas bawang.“Kan, baru kemarin kamu nyicil. Dulu, aku pinjamkan sepuluh juta, dan sudah kusetori jumlahnya empat jutanan lebih. Aku minta empat juta saja.”“Itu, Mas Agam tanya sama Mas Iyan aja. Aku tidak tahu urusan hal itu,” jawabnya, tanpa mau menatap wajahku.“Kan, kamu baru dapat warisan. Bisa, lah, diambil segitu buat aku. Gak apa-apa, kan?” tanyaku jengkel.“Kenapa Mas Agam ungkit-ungkit terus warisan aku, sih? Itu hak aku, Mas. Mas Agam gak ada urusannya sama hal itu.” Rani seakan terusik dengan permintaanku.“Aku tahu, itu milik kamu. Tapi, a
“Jangan berkata seperti itu, Gam. Ini adalah ujian dari Allah untuk meningkatkan keimanan kita. Jangan pernah menyesali apa pun. Dalam agama kita, tidak ada karma.”“Terserah Bapak mau berpikir apa tentang semua ini. Yang pasti, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Kalau Bapak memaksa, silakan Bapak ambil tindakan sendiri. Tapi, kupastikan, aku akan pergi dari sini selamanya dan tidak akan lagi menghubungi Bapak. Satu lagi, Bapak harus siap-siap berurusan dengan Pak Irsya,” ancamku, serius.“Terus siapa lagi yang bisa menolong Aira, Gam?”“Bapak saja kalau begitu,” jawabku ketus. Setelahnya, aku kembali melanjutkan kegiatan menjahitku.Tak berselang lama, muncul Mbak Eka dari kamar. Dia duduk di bawah kursiku dengan wajah cemas.“Gam, coba telepon masmu. Beberapa hari ini, tidak.bisa dihubungi. Mbak udah coba hubungi temannya, katanya, dia tidak kembali ke tempat kerja. Mbak khawatir dia
“Aku harus bagaimana lagi, Bu? Sudahlah, ini jalan yang terbaik. Di antara Iyan atau Rani yang akan memberikan ginjal pada Aira. Itu pun kalau ibu masih menginginkan cucu ibu sembuh.” Kataku sewot, sembari berdiri dan melangkah masuk ke kamar.“Coba sekali lagi kamu ke rumah Nia untuk—”“Untuk bunuh diri, Bu? Biar aku dibunuh sama suami Nia? Kalau begitu, coba saja Ibu yang ke sana. Aku capek jadi boneka. Giliran aku pusing gak punya uang, semua kupikirkan sendiri.” Tidak ingin debat berlama-lama, kututup pintu kamar dengan suara keras. Biar ibu paham.Kubaringkan tubuh lelah di atas kasur. Entah mengapa, semenjak kutahu Nia menikah dengan Pak Irsya, hati begitu kosong. Terlebih, saat sendiri seperti seperti sekarang. Bayangan perilaku di masa lalu terekam jelas dalam otak.Kumiringkan tubuh, menatap sisi kosong di sampingku. Dulu, aku pernah mengisi malam penuh gairah dengan ibu dari Dinta dan Danis. Kini,
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”