"Bagaimana, Sayang? Apa menurutmu aku lebih memuaskan daripada kekasihmu yang sok polos itu?"
"Tentu, kau lebih memuaskan, My Lady. Dan aku sangat menyukai permainanmu."Langkah Chiara berhenti. Ia meremang begitu mendengar suara dua orang saling bersahutan dari arah kamar Patrick, kekasihnya. Memang samar, tapi ia masih bisa menangkap pembicaraan menjijikkan itu.Dengan hati perih dan mata yang memanas, Chiara mencoba menguatkan diri. Sebelah tangannya terulur untuk membuka pintu yang ternyata tidak dikunci dari dalam. Sehingga di saat Chiara mendorongnya, pandangannya langsung disambut oleh Patrick yang sedang bergelut mesra dengan seorang wanita tanpa pakaian.Patrick terlonjak dari posisinya begitu melihat kedatangan Chiara. Pria itu menyambar celananya dan memakainya asal, lantas berderap mendekati Chiara yang tengah mematung dengan wajah mengeras, menahan amarah. "Chiara, kenapa kau ada di sini?"Chiara mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Harusnya aku yang tanya, apa yang sudah kau lakukan, Patrick?! Besok adalah hari pertunangan kita, tapi kau malah membawa wanita lain di rumahmu!"Suara Chiara meninggi diikuti tetesan air matanya yang gagal ia bendung. Ia melayangkan satu tamparan keras di pipi Patrick. "Kau brengsek, Patrick! Harusnya aku tak pernah mempercayai pria sepertimu!"Hati Chiara sungguh terluka. Melihat Patrick berselingkuh di belakangnya, mengkhianati dan menghancurkan kepercayaan yang telah ia berikan pada pria itu.Patrick mencengkeram tangan Chiara yang hendak menampar pipinya lagi. "Jalang sialan! Harusnya kau tahu diri. Tahu tempatmu. Kau kira aku sudi bertunangan dengan wanita rendahan sepertimu."Chiara terbelalak, tak percaya dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Patrick. Semakin menambah luka di hatinya. "Kenapa kau bicara seperti itu, Patrick?"Patrick menghempaskan tangan Chiara dengan kasar hingga gadis itu terhuyung dan jatuh ke lantai. "Kau itu tidak pantas bersanding denganku. Kau itu hanya wanita miskin! Jangan kau pikir, aku mau berpacaran denganmu karena aku mencintaimu. Itu bullshit!" ucapnya sambil meludah di sisi Chiara."Kau terlalu naif dan bodoh. Mengira aku akan menikah denganmu. Ayolah, bangun dari mimpimu. Aku mendekatimu hanya karena taruhan dengan temanku. Mana ada pria yang mau menikah dengan wanita sepertimu. Sudah miskin, sok polos lagi. Lebih baik kau jual saja tubuhmu itu, " sambung Patrick tersenyum remeh.Chiara meremas kuat celana yang ia pakai dengan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia semakin terluka karena semua ucapan Patrick. Lalu, dengan kasar ia menghapus jejak air mata di pipinya, bangkit berdiri, dan menghujam Patrick dengan tatapannya yang penuh kebencian. "Dasar pria brengsek! Aku harap tak pernah melihat wajahmu lagi!"Chiara berlari keluar dari rumah Patrick dengan berderai air mata. Langkahnya melambat lalu berhenti begitu sudah ada di pinggir jalan. Rasanya kedua kakinya lemas dan tak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Chiara terjatuh dan lututnya membentur jalanan aspal. Sakitnya sudah tak ia pedulikan lagi, karena sakit di hatinya lebih parah dari itu.***"Chiara!" sentak seorang gadis di sisi Chiara dengan kesal karena ia sudah memanggil Chiara berulang kali, tapi tak mendapatkan respon sama sekali.Sejak kejadian tadi pagi, Chiara kehilangan konsentrasinya di tempat kerja. Ia lebih sering melamun dan sesekali menangis dalam diam setiap kali mengingat Patrick. Bahkan sekarang pun ia sampai tak mengacuhkan panggilan dari temannya."Chiara!"
Chiara mengerjap cepat. "Apa?" tanyanya setelah tersadar dari lamunan.
"Kau disuruh manager untuk mengantarkan pesanan ke meja nomor sepuluh. Makanan akan siap dalam tiga menit lagi. Jangan sampai membuat kesalahan karena orang di meja nomor sepuluh adalah orang yang sangat penting," tukas temannya dengan tegas, lalu pergi meninggalkan Chiara sebelum Chiara memberikan jawaban.
Chiara hanya bisa mendengus pasrah. Ia kemudian berdiri dari kursi, dan melangkahkan kakinya dengan malas menuju side board untuk mengambil pesanan yang akan ia antar ke meja nomor sepuluh. Sesuai yang temannya itu perintahkan."Hati-hati saat mengantarkannya," ucap koki dengan suara memperingatkan saat Chiara sudah menunggu di depan side board."Iya," balas Chiara mengangguk paham. Ia berbalik sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Langkahnya pelan dan penuh hati-hati, sambil menebak-nebak siapa yang duduk di meja nomor sepuluh. Seperti apa orangnya, sampai koki pun menghormatinya.Begitu Chiara sudah ada di dekat meja nomor sepuluh, matanya menangkap dua orang pria. Keduanya memakai jas formal, dengan tatanan rambut yang rapi. Salah satu dari pria itu tampak sibuk dengan ponselnya, sementara pria yang lain menyuruh Chiara untuk segera bergegas."Cepat, kemari! Jangan membuat Tuan Lucas menunggu!" titah pria di depan Chiara.Chiara mengangguk dan kembali melangkah. Tapi, karena kurang hati-hati ia tersandung kakinya sendiri dan terjatuh. Nampan yang ia bawa terlempar ke meja, membuat makanan dan minuman berceceran di sana. Serta mengotori pakaian dua pria itu."Astaga. Aku mengacaukannya," desis Chiara sambil meringis menahan sakit di lututnya yang tadi terluka, dan kini membentur lantai dengan cukup keras."Bagaimana sih kau kerjanya?! Kau membuat pakaian Tuan Lucas kotor!"Chiara bangkit berdiri dan membungkuk dalam. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja melakukannya.""Mudah sekali kau bilang maaf! Kau harus ganti rugi!" sentak pria di depan Chiara dengan berkacak pinggang. Tentu, ia marah karena sudah mengacaukan makan siang tuannya dan membuat pakaian mahal yang baru dipakainya itu kotor.Sementara pria yang disebut sebagai 'Tuan Lucas' itu hanya diam dan meletakkan ponselnya ke meja. Dengan tatapan dingin ia menghentikan pengawalnya. "Cukup, Albert!"Lucas kemudian melihat Chiara yang terus mengucapkan permintaan maafnya sambil berulang kali membungkuk. Matanya terpaku menatap gadis itu.Chiara yang mengangkat wajahnya tak sengaja bertemu pandang dengan Lucas. Seketika matanya lumpuh. Lucas sangat tampan. Dengan kulit gelap, mata amber yang menawan, hidung mancung, dan rahang tegas membuatnya serupa dengan mahakarya indah yang dipahat sempurna. Sungguh menawan.Chiara kemudian mengerjap cepat mendapati tatapan Lucas berubah tajam. "Maafkan saya, Tuan.""Ada apa ini?" Sang manager restoran berderap mendatangi meja di mana Lucas berada setelah mendengar keributan kecil dari ruangannya. "Apa yang kau lakukan, Chiara?" tanyanya saat melihat makanan dan minuman berserakan, serta pakaian pengunjung istimewanya kotor."Maafkan saya. Saya tidak sengaja melakukannya. Saya terjatuh dan....""Cukup! Kau dipecat!" ucap sang manager kepada Chiara dengan mata memelotot dan tangan terancung menuju pintu keluar restoran."Tapi, saya....""Keluar!"Chiara kehabisan kata-kata untuk membela diri. Ia menahan air matanya, lalu berlari keluar restoran tanpa berucap sepatah kata pun.Lucas melihat kepergian Chiara dalam diam. Ia masih terpaku pada pintu keluar yang tertutup kembali setelah Chiara melewatinya. Ada perasaan tak nyaman saat ia tadi menatap wajahnya. Mengingatkan Lucas akan seseorang di masa lalu. Mungkinkah dia?Chiara yang sudah keluar dari restoran membiarkan air matanya jatuh. Ia menangis sesenggukan. Kenapa hidupnya jadi seperti ini? Pertunangannya gagal. Kekasihnya berkhianat. Sekarang, ia dipecat padahal ia sedang memerlukan uang untuk membayar biaya rumah sakit ibunya."Mommy... Daddy... apa yang harus aku lakukan? Hikss..." Chiara menutup wajah dengan tangan. Air matanya terus mengalir dengan deras. Hingga tarikan di tangannya membuatnya tersentak kaget."Siapa kau?!"-Bersambung-"Kau kan pria tadi. Kenapa kau menyusulku, Tuan? Apa kau masih ingin meminta ganti rugi? Aku sudah dipecat, aku juga tidak punya uang sepeser pun untuk membayarmu," ucap Chiara terdengar putus asa sambil menghapus air matanya dengan kasar. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain saat Lucas terus menatapnya. Tatapan itu begitu dingin, hingga sanggup membekukan siapa saja yang melihatnya. Termasuk Chiara.Lucas terdiam sebentar sebelum ia berkata datar, "Aku hanya ingin memberikan sebuah tawaran padamu."Lucas melepaskan tangannya dari Chiara, namun ia tak mendapati reaksi apapun dari gadis itu. Ia menghela napas kasar dan mengeluarkan sebuah kertas dari saku di balik jasnya. Lalu, menyerahkannya ke depan Chiara. "Baca ini baik-baik!"Chiara menerima kertas dari Lucas dengan raut wajah bingung. "Apa ini, Tuan?" "Baca!"Meski, ia tak paham akan situasi yang sekarang ia hadapi, tapi Chiara tetap melakukan apa yang Lucas suruh. Membaca kertas tersebut dengan seksama."Ini surat kontrak pernik
Chiara mendudukkan tubuhnya di kursi ruang tamu dengan lemas. Pagi ini ia berkeliling mencari lowongan pekerjaan, tapi tak ada satu pun yang ia dapatkan. Setelah lelah mencari, akhirnya ia memutuskan untuk pulang dengan tangan hampa."Bagaimana ini?" desahnya berat. Ia tak tahu lagi harus mencari ke mana uang lima ratus ribu dolar. Mencari pekerjaan saja sesulit ini, diterima pun gajinya tak akan bisa membayar uang sebanyak itu.Chiara juga tak memiliki saudara ataupun sahabat yang bisa ia mintai tolong untuk meminjamkan uang padanya. Semuanya telah pergi meninggalkannya sejak usaha ayahnya bangkrut lima belas tahun yang lalu. Dan kematian ayahnya satu tahun setelahnya.Orang kepercayaan keluarga Chiara telah berkhianat dengan membawa semua uang hasil penjualan. Ayah Chiara bingung harus membayar karyawannya dengan apa, hingga ia mencari pinjaman ke banyak orang. Bukannya membaik, keadaan usahanya semakin buruk. Ayah Chiara tenggelam dalam depresi yang berkepanjangan. Sampai suatu keti
Lucas melirik Albert. Kedatangan pria itu telah ia tunggu-tunggu sejak ia mengistirahatkan diri di kantor."Ini, Tuan." Albert menyerahkan sebuah berkas kepada Lucas. "Keluarga Chiara mengalami kecelakaan tunggal lima belas tahun yang lalu. Ayah Chiara bernama Ernest meninggal di tempat, sedang Ibu Chiara mengalami koma," jelasnya.Lucas mengangguk paham. Ia menerima berkas tersebut dan membukanya. Selagi ia membaca, Albert bertanya padanya."Tuan, kenapa Anda memilih gadis itu? Padahal banyak sekali gadis yang lebih cantik dan dari keluarga berada." Albert merapatkan bibirnya setelah mengeluarkan pikiran yang terus mengganggu kepalanya. Biar bagaimana pun ia merasa aneh dengan tuannya yang langsung memilih Chiara, alih-alih gadis lain yang lebih pantas bersanding dengan tuannya itu.Lucas menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Ia menarik turun kertas yang ia baca dan perhatiannya kini penuh kepada Albert. "Karena dia mirip dengan Lala."Suara Lucas berubah murung. "Jika Lala
"Chiara, apa kau ada di dalam? Cepat buka pintunya." Patrick mengetuk pintu dengan keras saat tak segera mendengar sahutan dari dalam. Ketukannya semakin keras diiringi teriakannya yang menggelegar."Aku tahu kau ada di dalam kan? Cepat buka!"Chiara berdiri di balik pintu sambil merapalkan doa. Ia tak mau menemui Patrick. Ia sudah terlanjur muak dan kesal hanya untuk melihat wajahnya. Ia mengunci pintunya dan menghiraukan semua teriakan Patrick, bahkan saat pria itu memanggilnya dengan sebutan 'jalang'."Jalang, cepat keluar! Atau aku dobrak pintumu! Cepat buka, sialan!" Kesabaran Patrick sudah habis. Dengan mengerahkan semua kekuatannya ia menendang pintu rumah Chiara. Dalam keadaan mabuk, tenaganya semakin kuat. Hingga dua kali tendangan, pintu tersebut berhasil dibukanya."Patrick, kenapa kau di sini?! Hubungan kita sudah berakhir. Pergi dari rumahku! Jika tidak, aku akan menelepon polisi sekarang juga." Chiara memundurkan langkah, merasa ada yang aneh dari Patrick. Ia dengan cepat
Lucas meremang sambil menggenggam erat ponselnya. Wajahnya mengeras menunjukkan kemarahannya."Ada apa, Tuan Lucas? Apa yang terjadi pada Nona Chiara?" tanya Albert mendekati tuannya.Lucas menatap Albert. "Cepat siapkan mobil! Kita akan pergi ke rumahnya sekarang!""Baik, Tuan," jawab Albert tanpa membantah. Ia berlari mengerjakan perintah Lucas.Napas Lucas memburu. Ia tidak akan membiarkan siapapun merampas incarannya. Jika ia menginginkan sesuatu, maka ia harus mendapatkannya juga. Bagaimana pun caranya. Seperti halnya dengan Chiara. Ia akan mendapatkan gadis itu dan membuatnya tunduk padanya. ***Chiara terus menahan agar Patrick tidak memasukkan miliknya pada milik Chiara. Meski, wajahnya kini penuh memar dan luka karena pukulan serta tamparan Patrick."Berhenti, Patrick! Jangan lakukan itu," ucap Chiara berusaha untuk terus menjauhkan Patrick darinya. Ia tak mau merelakan hal berharganya yang telah ia jaga selama dua puluh dua tahun dirampas oleh pria berengsek itu begitu saja
Chiara masih enggan untuk berbicara setelah kejadian tadi. Ia masih tak menyangka Patrick, mantan kekasihnya tega melecehkannya dan bersikap kasar padanya. Lebih dari itu, Patrick telah membuat luka di hati Chiara terkoyak lebih lebar lagi."Kita akan menunggu sampai Tuan Lucas kembali," tukas Albert seperti tahu kekalutan yang tengah mendera Chiara. Ia sesekali melirik gadis itu lewat cermin yang tertempel di atas dashboard depan mobil.Chiara hanya mengangguk pelan, kemudian menunduk dalam. Sampai suara terbukanya pintu mobil menarik perhatiannya.Kedua mata Chiara menatap sosok Lucas yang kini mendudukkan tubuhnya di bangku depan, tepat di sisi Albert. Dalam sepersekian detik pandangannya terkunci pada pria itu. Dengan bibirnya yang masih terasa perih karena sobek, Chiara memaksa agar bibirnya itu terbuka dan bergerak untuk mengatakan sesuatu."Terima kasih, Tuan Lucas. Kau sudah datang menolongku." Satu kalimat terlontar dari bibir Chiara disusul dengan sebuah senyuman tulus. Ia m
Paginya. Chiara menarik napas dalam dan menghembuskannya kembali dengan pelan. Kegugupan mulai merambatinya. Ia pandangi wajahnya lagi yang terpantul pada cermin di depannya.Chiara berkedip, sedikit tak percaya dengan apa yang sudah ada di hadapannya. Ia kini mengenakan gaun pernikahan yang semalam telah ia coba. Wajahnya yang biasanya terlihat pucat sekarang terlihat lebih segar karena sentuhan make up yang tebal, namun tetap natural. Semua bekas luka dan lebamnya pun tersamarkan."Mempelai wanitanya sangat cantik," puji pelayan berbisik pada temannya, tapi ucapannya itu masih bisa Chiara dengar dari tempatnya duduk.Chiara memaksakan senyumnya. Ia sama sekali tak bahagia. Untuk para mempelai yang lain, saat menjelang acara pernikahan mereka pasti dipenuhi rasa haru akan kebahagiaan. Tapi, sangat berbeda dengan yang Chiara rasakan sekarang. Chiara kini berusaha menutupi kesedihannya sambil berulang kali mengingat semua tulisan yang ada di dalam buku berisi aturan yang harus ia patuh
Chiara menatapi cincin berlian yang tersemat di jari manisnya dengan diiringi napasnya yang terbuang berat. Ia tersenyum nanar sambil berucap pada dirinya sendiri. "Aku harus bisa bertahan. Hanya tiga bulan. Tiga bulan saja."Chiara kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengganti gaunnya dengan pakaian santai. Ia sudah menghapus make upnya dan kini ia berjalan mendekati lemari.Tangan Chiara terulur untuk mengambil satu set pakaian. Dengan perlahan ia mulai melepas gaunnya. Lalu, ia melangkah dengan tubuh setengah telanjang menuju kamar mandi, sementara gaunnya sudah jatuh teronggok di lantai.Saat Chiara mulai menggerakkan kakinya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara gebrakan pintu kamarnya. Ia membulatkan matanya dan spontan berteriak keras saat melihat seseorang berdiri di ambang pintu."Arghhh!" Chiara berusaha menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.Sedang Lucas yang masuk ke kamar Chiara tanpa permisi, hanya menatap dingin gadis itu. Ia bersedekap sambil memutar mata malas. "
Robert menekuk wajahnya. Ia lalu mengalihkan tatapan ke arah Zyan yang baru saja mengulum senyum saat menatap kepergian Lucas. Setelahnya, pria itu justru membalas tatapan Robert sambil mengedikkan bahu.Sontak Robert menggertakkan gigi. Ia segera menggerakkan tangan demi menjalankan kursi rodanya. Sedangkan Sarah bingung dengan apa yang tengah dilakukan Robert."Sayang, kau mau kemana?" tanyanya. Karena Robert tak meresponnya sama sekali, ia jadi khawatir.Sarah kemudian harus membungkukkan badan berkali-kali demi meminta maaf kepada tamunya karena ia akan menyusul Robert. Lantas, Sarah bergerak cepat untuk membantu mendorong kursi roda Robert."Kau mau pergi kemana, Sayang? Biar aku bantu," desis Sarah."Antarkan aku kepada Zyan," tegasnya.Meskipun bingung, tapi Sarah tetap mengikuti permintaan suaminya tersebut. Mendekat ke posisi Zyan, Robert sudah bersiap-siap."Apa yang kau lakukan sampai adikmu pergi begitu saja, hah?!" gertak Robert langsung.Zyan justru memiringkan senyum. "
"Dad, kau menaruh kamera CCTV mikro di sini?"Pertanyaan Poppy seketika langsung menghentikan perbincangan kedua pria di depannya. Kedua orang itu tampak saling melempar pandang sekarang.Chen Ze kemudian segera melangkahkan kaki untuk memeriksanya. Ia pun jadi sedikit terkejut."Tuan, ada yang mengawasi kita!" celetuk Chen Ze yang membuat napas Franklin tercekat.Franklin mau tak mau berderap mendekat juga. Ingin membuktikan langsung dengan mata kepala sendiri. Setelah mengamati CCTV tersebut, bibirnya tekatup rapat."Sial! Siapa yang melakukannya?! Sejak kapan kamera itu berada di sini!" umpat Franklin kesal. Ia berkacak pinggang dengan sesekali membuang napas gusar.Chen Ze juga terlihat berpikir keras. Ia terdiam selama sepersekian detik sebelum menyebutkan sebuah nama."Menurut Anda, apakah Albert adalah anak Ashley, Tuan?"Mendengar itu, perhatian Franklin akhirnya tersedot kepada Chen Ze juga. Kedua matanya saling mencari-cari jawaban ketika saling berhadapan."Seharusnya kita
Sambil mengatupkan rahangnya, Sarah duduk di jok penumpang belakang dengan tubuh yang menegang. Bahkan pemandangan di sisi kanan dan kirinya tak mampu mengalihkan rasa emosinya. Masih terbayang-bayang olehnya tentang perkataan Poppy tadi pagi."Lucas dan Lala ternyata selama ini membohongi kita, Bu. Mereka hanya menikah secara kontrak."Waktu itu, kedua mata Sarah langsung terbelalak lebar. Rasanya kecewa dibohongi oleh anaknya sendiri. Apalagi itu Lucas.Sarah menggertakkan gigi. Ini semua pasti karena pengaruh gadis miskin itu. Padahal dari dulu, ia membenci Lala sekaligus keluarganya. Ia takut jika Lucas terpengaruh karena pola pikir orang miskin dan keluarganya berbeda. Apalagi sampai tertular penyakit mereka. Bulu kuduk Sarah meremang. Pokoknya, ia sangat anti dengan Lala yang miskin, kotor dan liar.Tak terasa mobil yang ia tumpangi sudah tiba di depan mansion Lucas. Si pegawai membukakan pintu, memberi jalan kepada Sarah. Sekarang wanita itu mendaratkan kakinya dengan yakin.Sa
Pagi buta sekali, dua mobil hitam berkilat meluncur cepat ke salah satu bangunan yang tinggi besar. Bangunan tersebut didominasi oleh dinding warna cream dengan sebagian catnya terkelupas. Sedang di depannya, hanya ada rolling door abu-abu tua yang menggantikan fungsi pintu pada umumnya.Pintu mobil akhirnya terbuka, menampilkan sejumlah pria yang berpakaian serba hitam memasuki bangunan tersebut secara diam dan cepat. Saking heningnya, kaki-kaki mereka tak terdengar menapak tanah.Sebagian dari mereka menjebol pintu samping. Sisanya memasuki bangunan itu dengan memanjat balkon dan menyusup dari atas.Berikutnya, mereka dengan gerakan cepat dan hening menangkap dan membius orang-orang yang ada di dalam. Hanya ada tiga pria dan satu wanita di dalam sana. Lantas pasukan pria yang memakai serba hitam mengumpulkan sejumlah korbannya di dalam gudang yang berisi banyak produk minuman berkarbonasi.Setelah orang-orang ditangkap tersebut siuman, salah satu pria melangkah maju. Menyodorkan seb
Beruntung, Zyan tangkas menangkap tubuh Chiara. Pria itu langsung menggendong Chiara dan melangkahkan kaki cepat menuju ke dalam mansion Lucas.Zyan harus melewati beberapa penjaga dulu. Baru saat Melly muncul di permukaan, Zyan diperbolehkan masuk. Melly mengekor di belakang Zyan sambil memasang ekspresi cemas.Mereka berlari menaiki tangga hingga akhirnya tiba di kamar Chiara. Perlahan Zyan menurunkan Chiara di atas ranjang. Sementara Melly langsung berhambur keluar untuk menghubungi Lucas yang masih berada di kantor.Zyan menumpukan kedua tangan ke permukaan kasur sambil memandang Chiara yang terpejam dan berwajah pucat. Perasaannya campur aduk. Sedih, frustasi dan marah. Ia akhirnya mendengus kasar dan memutuskan untuk berdiri. Begitu Zyan bangkit, Chiara yang masih lemah memanggil Zyan."Zyan…" lirih wanita tersebut hingga membuat langkah Zyan terhenti.Mau tak mau, Zyan berpaling lagi ke arah Chiara. Chiara tampak memijat pelipisnya, lantas membuka kedua mata sayunya perlahan. S
Wajah Lucas merah padam. Ia menggeram karena masa lalu tak mengenakan tersebut akhirnya menghampiri ingatannya kembali. Sejak saat itulah, Lucas tak mau berurusan dengan Zyan lagi. Beruntung waktu itu nyawa Lucas dapat diselamatkan karena Sarah mencari dua anaknya tersebut.Tapi, setelahnya Zyan dihajar habis-habisan oleh Robert. Sementara Sarah hanya tergugu, tak tega melihat anaknya dihajar. Jangan tanya dimana Lucas. Lucas kecil masih terlentang tak berdaya di kamar sambil menjalankan perawatan intensif dari dokter Isaac.Zyan yang waktu itu hanya selisih dua tahun dari Lucas menahan setiap cambukan yang Robert tancapkan ke setiap permukaan kulit hingga menganga, menghasilkan luka seperti terbakar. Zyan mengatupkan rahang. Wajahnya sudah merah padam. Ia bahkan tak bisa menangis lagi. Kedua mata hazelnya tajam memandang lurus. Sedangkan rasa bencinya terhadap Lucas kian bertumbuk."Bisakah kau mencari wanita lain dan itu bukan Chiara?!" sentak Lucas kepada Zyan. Mereka saling berhad
Chiara mengeluarkan seluruh isi perutnya. Setelah mencuci bersih mulut, ia memandangi cermin kecil yang menempel dinding di hadapannya.Chiara menelan saliva saat kedua matanya beradu pada bayangan yang terpantul pada cermin. Cermin yang sebagian sudah retak tersebut secara kejam menjebol tanda tanya besar di benaknya sekarang.Lalu, suara langkah sepasang kaki terdengar tergopoh-gopoh mendatangi Chiara sekarang. Susan mendongak, memandangi Chiara dengan cemas."Sayang, apa kau tidak apa-apa? Apa kau salah makan pagi ini?"Chiara terdiam. Agak gugup jika harus memikirkannya. Kemudian ia buru-buru menggelengkan kepala agar Susan dan Alan tak khawatir."Tidak, Bu. Sepertinya hanya gangguan pencernaan biasa. Nanti juga pasti sembuh sendiri," tukas Chiara enteng.Susan masih memasang raut wajah cemasnya. "Sungguh, Chiara? Kau terlihat sangat pucat sekarang."Chiara mengulurkan kedua tangan demi menjamah bahu ibunya. Kedua matanya menatap lekat Susan. Berusaha mendapat kepercayaan dari wan
"Aku berubah pikiran, Lucas. Mari hentikan sandiwara ini," ungkap Poppy suatu pagi. Sekarang wanita tersebut dengan santai menyesap teh di hadapannya. Berusaha mengabaikan raut wajah kaget yang terpasang pada Lucas.Lucas mengernyit. Memperhatikan Poppy bergerak seenaknya. "Apa maksudmu? Kau akan menyerah?"Poppy menggelengkan kepala. Tangannya meletakkan kembali cangkir teh ke meja. Sedang mulutnya buru-buru menelan cairan teh yang telah terkumpul di rongga mulutnya."Bukan. Tapi, aku rasa perasaanku sudah berubah. Aku jadi jatuh cinta sungguhan padamu, Lucas," aku Poppy gamang. Matanya menatap lurus hingga menembus manik hazel milik Lucas.Napas Lucas tercekat. Jika ia pikir rencananya lancar, maka Poppy sudah menjadi salah satu hambatannya sekarang. Lucas menegakkan tubuhnya."Perjanjian tetaplah perjanjian. Kau harus profesional. Kau melakukan itu agar fasilitasmu tak blokir oleh Franklin. Sedang aku membutuhkan sandiwara ini untuk membungkam Robert. Kau harusnya ingat itu."Poppy
"Maaf ya, Bu. Aku belum bisa menjenguk Ibu dan Ayah. Kakiku masih sakit," ungkap Chiara sedih ketika Susan meneleponnya.[Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting kau selalu sehat. Tapi, aku harus berterima kasih banyak kepada Lucas. Ia sudah melindungimu sejauh ini.]Chiara mengulum senyum. Lucas memang sudah berbuat banyak untuk dirinya.[Halo? Kau sekarang pasti sedang tersenyum ya, Sayang. Apa kau menyukai Lucas?]Chiara terhenyak. Kemudian buru-buru menegakkan badan sambil menggeleng. Meski ibunya tak melihat, tapi Chiara refleks menggerakkan tangannya juga."Tidak, Bu. Aku tidak menyukai Lucas sama sekali, kok," tandasnya berbohong. Bagaimanapun hati Lucas tetap untuk saudara kembarnya sendiri.Namun tanpa ia ketahui, Lucas tak sengaja mendengar kalimat itu terucap dari bibirnya. Lucas membeku di tempat. Sebelah tangannya yang memegang box cincin yang telah ia beli tadi pagi terlepas begitu saja.Chiara terkesiap. Ia langsung menoleh untuk memastikan sumber suara tersebut. Namun gera