Grace terbelalak. Apa dia tidak salah mendengar barusan. Xavier mengatakan 'milikku'. Secara bersamaan detak jantungnya berpacu cepat hingga mungkin saja bisa melompat keluar sekarang juga. Secepat kilat Grace menoleh ke depan, berharap pendengarannya tadi tidak salah. "Apa maksudmu?" tanya Grace, sangat penasaran. Lelaki itu tak langsung membalas, malah maju beberapa langkah kemudian meraih tangan Grace. Pupil mata Grace semakin melebar kali ini. Napasnya seolah-olah berhenti saat tangannya disentuh sekarang. "Apa kau tidak mendengar, kau milikku Grace. Jadi siapa nama kekasihmu itu? Aku ingin meminta izin padanya." Secara mengejutkan, sambil memegang tangan Grace, Xavier tiba-tiba berlutut dan mendongakkan sedikit kepala.Grace membeku, seiring dengan tatapan dalam Xavier yang menembus kalbunya sekarang. "Aku minta maaf atas perlakuanku selama ini padamu, aku tidak menyangka pernikahan dadakan ini malah membuatku terjebak dengan perasaanku sendiri, aku mencintaimu Grace." Lagi
Frederick dan Katherine saling lempar pandang sejenak karena ada sosok asing di dekat mereka sekarang. "Siapa?" tanya Katherine dalam mode siaga. Sebab sosok tersebut adalah seorang wanita. Belum juga wanita itu menjawab. Logan dan Robert berlari kecil ke arah mereka. "Pangeran Putri maaf menganggu waktu kalian, perkenalkan ini Nona Sisilia," ucap Logan dengan napas ngos-ngosan. Baik Katherine dan Frederick tidak langsung menjawab, justru saling menatap kembali. Sebuah nama yang terdengar tidak asing."Dia adalah tunangan Pangeran Xavier, maafkan aku karena tidak dia tidak memperkenalkan diri tadi." Robert tiba-tiba menimpali sambil membungkukkan badan dengan hormat. Mendengar kata tunangan, Katherine menyeringai tipis sejenak. Pantas saja namanya tidak asing. Menurut laporan dari Logan kemarin, istri pilihan ratu Norwegia bernama Sisilia. Katherine mengalihkan pandangan ke arah Sisilia, wanita berambut merah dan panjang itu tak memberi hormat kepadanya sama sekali. Dia mengama
Katherine dan Frederick saling melirik satu sama lain, tengah menahan senyum sekaligus merasa bersalah atas perbuatan mereka tempo lalu. "Untuk apa meminta maaf Xavier?" Frederick memberi tanggapan terlebih dahulu, perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya. Sebab demi egonya dia menjebak Xavier dengan obat perangsang kala itu. "Sudah seharusnya kami meminta maaf pada Pangeran dan Putri karena telah berbohong selama ini, aku juga minta maaf." Grace ikut menimpali. "Kalian tidak salah Grace, Xavier. Itu masalah kalian, dan setidaknya buah dari kebohongan kalian menghasilkan sebuah rasa, 'kan?" ujar Katherine, ikut berkomentar. Grace malah cengengesan. Merasa pasangan suami istri di hadapannya ini, terlampau baik. Hal yang wajar jika Katherine dan Frederick marah. Namun, reaksi keduanya di luar perkiraan. Xavier pun memiliki pikiran yang sama dengan Grace. Secara perlahan menatap kembali pasangan tersebut."Iy—a Putri, tapi terimalah permohonan maaf dari kami, hatiku rasanya mengganj
"Fred." Katherine merasa ada yang tidak beres lantas mendorong pelan dada Frederick. Frederick pun merasakan hal yang sama. Sungguh aneh, malam-malam begini malah terdengar bunyi pecahan kaca. Katherine dan Frederick serempak melirik jendela, memastikan apa jendelanya yang rusak. Akan tetapi, setelah diamati, jendela kamar dalam keadaan aman. Kerutan di kening Katherine dan Frederick makin bertambah. Pasangan suami istri tersebut menyudahi kegiatan panasnya lalu beringsut dari kasur dan memakai pakaian dengan tergesa-gesa. Begitu pula dengan Xavier dan Grace menghentikan kegiatannya, memilih keluar hendak memeriksa apa yang telah terjadi. Keduanya tanpa sengaja berpapasan dengan Frederick dan Katherine di lantai satu. "Ada apa ini Pangeran?" tanya Xavier dengan kening mengerut kuat. "Entahlah, aku juga tidak tahu, aku pikir dari jendela kamar kalian?" Frederick pun bertanya. Jika bukan berasal dari kamarnya bisa jadi bunyi pecahan dari kamar Grace. Sebab kamar Grace tepat berada
"Kenapa kalian ingin keluar istana? Apa ada seseorang yang menyakiti kalian?" Dengan sorot mata merah menyala, Katherine lantas beranjak dari kursi. Riak mukanya pun berubah tak enak pandang sekarang. Mendengar tanggapan Katherine, Xavier dan Grace saling lempar sesaat dengan dahi mengerut samar. "Tidak ada Putri, ini kulakukan karena kami ingin hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk,"jawab Xavier. Tadi malam Xavier dan Grace telah mempertimbangkan rencana dengan matang. Keduanya ingin hidup tenang dan menetap di desa terpencil, hanya berdua dan suatu saat nanti tinggal bersama buah hati mereka. Bukan hanya alasan itu, Xavier juga tak enak hati dengan kedatangan Robert dan Sisilia akhir-akhir ini. "Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan kalian keluar istana!" seru Katherine kemudian. Xavier melebarkan mata, tampak terkejut dengan respons Katherine. "Tapi Putri, kami—""Aku bilang tidak, ya tidak–""Sayang, tenangkan dirimu dulu, hei duduklah." Frederick langsung menyela saat kondisi d
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica